Saat aku melihat dan mendengarkan Doris dan Lucas berbincang, aku jadi teringat apa yang dikatakan Lucas kepadaku. Malam itu, kami mengobrol tentang berbagai hal setelah bercinta. Aku berkata sambil bertelungkup di atas tubuh Lucas, kepalaku bersandar nyaman di dadanya yang bidang …."Ceritain sesuatu yang nggak aku ketahui tentang masa lalumu ….""Aku anak haram Harry, suami Doris ….""Aku sudah mendengarnya berkali-kali," selaku sambil pura-pura mengerang marah. "Ceritain sesuatu yang aku belum tahu." Dia terkekeh mendengar ucapanku dan tawanya langsung membuatku tersenyum."Baiklah. Biar aku ceritain sesuatu yang nggak kamu ketahui. Nama ibuku Seraphina," ujarnya dengan suara muram dan tangannya tanpa sadar membelai rambutku.Aku ingat pada saat itu, aku memasang telinga, bersiap untuk mendengarkan. Selama ini, Lucas selalu malu membicarakan ibunya."Harry ingin wanita yang lebih muda, kamu tahu maksudku, 'kan? Orang yang bisa membuatnya merasa muda kembali. Ternyata, ibuku bukan cu
"Oh, maaf," gumamku malu sambil bergeser ke pinggir.Perawat itu mengganti infus Doris, memeriksa suhu tubuhnya, dan melakukan apa pun yang dilakukan perawat saat mereka datang untuk memeriksa pasien, lalu pergi.Lucas dan Doris masih terus berbincang. "Sekarang, aku jauh lebih lega karena kamu sudah menemukan kebahagiaanmu.""Ya, aku sudah menemukan kebahagiaanku," ulang Lucas. Lalu, Doris dan Lucas serentak menoleh padaku. Aku melihat senyum menawan di bibir Lucas, dan Mark juga mengangkat kepalanya. Aku tersipu karena tatapan mereka semua dan berharap mereka akan mengalihkan pandangan. Untungnya, tatapan mereka segera beralih, tetapi Mark masih menatapku. Mataku beradu dengan matanya. Setelah aku mengangkat alisku padanya, dia baru mengalihkan pandangan.Doris menatap Lucas, matanya dipenuhi campuran kesedihan, penyesalan, dan juga ... kepuasan?"Lucas," panggil Doris seraya kembali menyentuh pipi Lucas. "Kamu anak yang baik. Kuharap kamu nggak akan melepaskan apa pun yang membuatm
Satu Bulan KemudianHari-hari setelah Nenek Doris dinyatakan koma berlalu begitu cepat. Bisnis berjalan lancar, hubunganku dan Lucas makin dekat, dan semuanya berjalan dengan baik. Atau setidaknya, begitulah kelihatannya.Mark dan Sandra mengumumkan pertunangan mereka dan acaranya dijadwalkan hari ini. Sandra tidak bisa berhenti membicarakannya di internet."Aku penasaran gimana perasaan Steven dan Sandra tentang semua ini," ujar Grace tanpa sadar saat menonton salah satu dari sekian banyak cuplikan video pre-wedding Sandra.Aku hanya mengangkat alis dan tidak mengatakan apa-apa. Grace tidak mendongak untuk meminta pendapatku, jadi sepertinya dia tidak mengharapkan tanggapan dariku. Selain itu, aku tidak peduli pada perasaan mereka berdua sehingga aku sendiri tidak tahu harus memberi tanggapan apa.Mungkin aku masih peduli pada perasaan Mark, tetapi itu hanya karena Doris telah membuatku berjanji sehingga terkadang aku merasa bertanggung jawab padanya. Hatiku menjadi berat karena memik
"Hah?" Sendokku yang penuh sereal terhenti di depan mulutku setelah aku membaca keterangan di Instasnap Sandra. Awalnya, teksnya tidak masuk akal bagiku. Namun, setelah menonton videonya sampai habis, aku bisa melihat semua isi bingkisan pernikahannya.Clive Christian, atas permintaan Sandra, telah menciptakan parfum edisi terbatas dengan wangi favorit yang dinamai sesuai nama Sandra. Mereka membuat ribuan parfum ini untuk Sandra sebagai hadiah yang akan dibagikan kepada tamu pernikahannya."Oke, ini gila!" seruku sambil menjatuhkan sendokku ke dalam mangkuk."Apa yang gila?" Grace yang sedang berkutat dengan kantong pakaian mendongak karena penasaran.Aku mengarahkan ponselku pada Grace dan dia terkekeh. "Dasar anak manja! Dia kerja tanpa digaji, tapi bisa habisin uang segitu banyak," kata Grace sambil mengemas jas pernikahan Mark dalam kantong pakaian.Tidak seperti pengantin wanitanya, sang pengantin pria hanya meminta jas yang dibuat khusus dari Luxe Vogue. Grace telah menghabiskan
Aku menghela napas dan mengabaikan pertanyaannya. Tanganku terus bekerja mengancingkan jasnya. Selama beberapa minggu terakhir, Mark dan aku mulai menjalin hubungan platonik dan juga mitra bisnis. Namun, kami berdua bisa merasakan ada sesuatu yang membuncah di balik semua formalitas dan sikap profesional kami.Kami berdua tidak mau mengakuinya; itu juga yang membuatku tidak ingin menghabiskan terlalu banyak waktu dengannya, terutama kalau hanya ada kami berdua. Sekarang, aku hanya ingin menyelesaikan urusanku secepat mungkin dan pergi dari sana.Namun, aku seharusnya tahu kalau dia tidak akan mundur begitu saja. Mark bukanlah tipe orang yang akan menghindar atau mundur dari apa pun."Hei, aku nanya sama kamu," katanya dengan wajah datar.Aku menghela napas lagi. Aku benar-benar tidak ingin bercanda pagi ini. "Ini hari pernikahanmu, Mark," kataku dengan nada bosan. "Kenapa kamu nanyain hal kayak gitu?"Aku menggeleng dan meliriknya sesaat sebelum aku memberikan sentuhan akhir untuk memb
Aku berbalik dan menoleh pada Mark. Dia mulai maju ke arahku, tetapi aku tidak ragu untuk mendorongnya dengan kasar agar dia menjauh dariku. Dia pun terpaku di tempat.Aku menatapnya dan dengan dingin dan berkata, "Cukup! Aku nggak mau main kucing-kucingan sama kamu lagi!" Aku melangkah maju dan mendorong dadanya lagi. "Kamu mau apa, sih?" Aku mendorongnya lagi. "Ini yang kamu mau? Jawab! Tubuh ini yang kamu mau?" tanyaku sambil menunjuk diriku sendiri. Dengan marah dan membabi buta, aku membuka kancing kemeja yang aku kenakan dengan tangan gemetar. Tanpa malu-malu, aku memperlihatkan bra berenda yang berada di balik kemeja. "Ini yang kamu mau?! Oke! Ayo, kita sembunyi-sembunyi kayak tikus!" Aku menempelkan tubuhku padanya."Kenapa kamu nggak tidur saja sama wanita lain di hari pernikahanmu? Ayo!" Aku meraih tangan Mark dan meletakkannya di bokongku. "Lampiaskan saja nafsumu dan bebasin aku dari obsesimu!"Dia menutup mata karena ludahku mengenai wajahnya. "Aku cuma minta satu hal, pl
Sejenak, ada keheningan saat aku menyadari apa yang baru saja terjadi. Aku terdiam sesaat, lalu berlari ke arah kecelakaan itu. Jantungku seolah-olah berhenti sejenak.Sudah ada beberapa orang yang berkumpul di sekitar area kecelakaan. Ada yang menelepon polisi, ada juga yang hanya merekam situasi kejadian.Aku meletakkan tasku, lalu berjongkok di samping mobil Mark yang sudah hancur dan terbalik. Di dalamnya, Mark, sopir, dan asistennya terjebak. Ada darah yang mengalir di pelipis Mark."Mark!" Tidak peduli berapa kali aku memanggil namanya, dia tidak membuka matanya. "Mark! Bertahanlah ...." Aku melihat sekeliling dan meminta bantuan orang-orang yang ada di sekitar. Setidaknya mereka bisa membuat kehadiran mereka berguna."Siapa saja, tolong bantu!" Aku berteriak dan berbalik lagi ke Mark. "Aku butuh bantuan!" Aku terus berteriak sambil meraih Mark dan berusaha menariknya keluar."Tolong!" Sejenak, aku merasa aku melihat Luigi di tengah kerumunan, tetapi ketika aku menoleh lagi, itu
"Aku harap dia baik-baik saja," ucap Grace dengan nada serius."Aku juga berharap begitu," jawabku pelan.Grace menghela napas, lalu berkata, "Aku rasa belum ada siapa pun di sini yang tahu. Persiapan masih berjalan dengan cepat. Apa aku harus beri tahu mereka?""Aku nggak tahu, Grace. Lakukan saja apa yang menurutmu benar," sahutku dengan lemas.Grace menghela napas lagi. "Aku nggak tahu apakah aku harus merasa sedih untuk sponsor utama kita atau malah merasa senang atas kemalangan Sandra yang kehilangan tunangannya."Aku berkata, "Mari kita berdoa untuk sponsor utama kita. Lagi pula, uangnya sangat penting bagi kita." Faktanya, bukan hanya uangnya yang penting bagiku. Jika itu hanya tentang uangnya, hatiku tidak akan begitu sakit.Grace menyahut dengan serius, "Ya, aku akan urus urusan perusahaan, kamu temani saja Mark di sana. Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku."Aku mengangguk. "Terima kasih."Aku hendak mengakhiri telepon ketika Grace memanggil namaku. "Sydney?""Ya?" sahutku den
Sudut pandang Dennis:"Dia ada di sini, di Eclipse?" tanyaku. "Bukan bermaksud menyinggung, tapi kamu yakin info yang kamu punya sudah benar?"Detektif itu tersenyum. "Ya, Pak Dennis. Kami nggak akan berada di sini kalau kami nggak yakin.""Bisa kamu kasih tahu siapa orang itu? Mungkin aku tahu kalau dia memang sering ke sini."Dia menggeleng dengan raut wajah menyesal dan menyatukan tangannya di atas meja. "Aku nggak bisa memberi tahu lebih dari yang sudah aku sampaikan. Tapi aku jamin kamu nggak perlu khawatir. Kamu nggak berada dalam masalah apa pun.""Keberadaan kami di sini bukanlah suatu kesalahan, kami sudah memastikan itu. Meskipun belum ada bukti kalau si pembunuh benar-benar ada di klub ini, tapi kemungkinannya cukup besar."Saat mendengar penjelasan detektif itu, aku berada di antara rasa lega dan cemas. Dia baru saja bilang tidak ada bukti, tetapi kemudian bilang ada kemungkinan besar."Sebenarnya, apa yang kamu butuhkan?"Dia melepas genggaman tangannya dan menaruh kedua t
Tidak bisa berkata-kata, aku hanya tersenyum dan mengangguk untuk menerima rasa terima kasihnya. Saat memikirkan situasi itu lebih dalam, aku sadar bahwa aku sebenarnya tidak berpikir saat berteriak menghentikannya.Argh, ada apa denganku? Sekarang semua orang mencuri pandang ke arahku."Bagaimana kamu tahu kalau dia punya alergi?" Salah satu rekan timku memanfaatkan kedekatannya denganku untuk bertanya.Hanya ada satu cara untuk menghindari pertanyaan itu. Aku langsung mengabaikannya dan pura-pura tidak mendengar sambil fokus memperhatikan para juri yang mencicipi makanan, seolah-olah mereka sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar membuka mulut, memasukkan makanan dengan sendok atau garpu, lalu mengunyah dengan sadar untuk menilai rasa.Tanpa kendali, mataku melirik ke arah Aiden, tetapi aku segera mengalihkan pandanganku. Meski begitu, pikiranku tetap tertuju padanya.Aku bergidik membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak tanpa sengaja mendengar mereka membicarakan r
Sudut pandang Anastasia:Pikiranku langsung melayang ke saat persiapan masih berlangsung dan setiap tim sibuk bolak-balik mengumpulkan bahan-bahan mereka.Meski aku sedang sibuk memikirkan jumlah dan jenis bahan yang harus kuambil, aku sempat mendengar sekilas percakapan anggota tim di sebelahku. "Kenapa kita nggak tambahin wijen?" Salah satu dari mereka mengusulkan.Temannya menjawab, tetapi aku tidak sempat menangkap jelas apa jawabannya.Beberapa saat kemudian, aku mendengar anggota tim yang lain bertanya, "Butuh bubuk wijen sebanyak apa?"Temannya hanya mengangkat bahu sambil tetap fokus pada wortel yang sedang dia ukir. "Nggak tahu. Tambahin aja secukupnya. Kita cuma butuh rasa wijennya terasa."Saat itu, aku sempat mencatatnya dalam pikiranku tanpa sadar, tetapi aku tidak terlalu memikirkannya. Kupikir, itu bukan urusanku karena setiap tim pasti akan membacakan bahan-bahan yang mereka gunakan sebelum juri mencicipi camilan mereka. Namun, saat mereka memaparkan bahan-bahan yang di
"Kamu yakin?" tanyaku ragu-ragu sambil memotong daun dill dan mint segar yang akan dicampurkan ke dalam yogurt lembut yang sedang dia aduk dengan cekatan.Dia tertawa. "Percaya deh, kamu nggak akan pernah salah kalau pakai yogurt," katanya dengan wajah berbinar. Aku tidak bisa menahan pikiran bahwa dia benar-benar menikmati membuat yogurt.Aku mengangkat bahu. "Aku cuma nggak mau jadi terlalu berlebihan, kamu tahu, 'kan?" Aku melirik ke sekeliling dan melihat semua orang melakukan yang terbaik untuk mengesankan para juri.Meskipun tidak ada hadiah uang, rasanya menyenangkan bisa berkotor-kotoran dengan pekerjaan kami di dunia nyata, bukan cuma di balik layar. Selain itu, aku juga melihat beberapa orang di sini memang punya bakat alami di dapur.Mungkin itu juga alasan kenapa mereka melamar kerja di PT Tasoron. Aku yakin mereka agak kecewa saat tahu kalau bagian "Teknik" di nama perusahaan ini tidak sekeren yang mereka bayangkan.Jujur saja, kami memang lebih banyak berurusan dengan tek
Sudut pandang Anastasia:"Kalian semua harus benar-benar menggunakan bahan-bahan yang tersedia di peternakan ini," kata pembicara, matanya menyapu kami satu per satu. Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan."Tolong, demi kebaikan kalian, patuhi aturan ini," lanjutnya dengan nada memperingatkan."Para juri akan menilai setiap kreasi berdasarkan kreativitas, rasa, penyajian, dan seberapa baik kalian mengolah bahan-bahan segar dari peternakan ini ke dalam hidangan kalian." Dia mengedipkan mata, membuat sebagian besar dari kami tersenyum karena sikapnya yang santai."Itu tadi adalah sebuah petunjuk, jadi pikirkan baik-baik bagaimana cara terbaik untuk menonjolkan keunikan bahan-bahan lokal ini dalam hidangan kalian," katanya dengan nada menggoda."Siapa tahu, kreasi tim kalian bukan hanya jadi pemenang, tapi mungkin juga akan diadopsi sebagai camilan resmi perusahaan." Kata-katanya langsung memicu bisikan antusias dari para peserta.Setelah memberikan sem
Aku terkekeh, tetapi aku merasa ingin segera menanyakan alasan Sharon menelepon agar dia bisa segera menjelaskannya dan panggilan itu bisa segera berakhir.Alih-alih langsung ke inti alasan dia menelepon, Sharon mengerucutkan bibirnya. "Ayo beri aku pemandangan yang lebih baik. Aku bahkan seharusnya nggak perlu minta!""Kamu harus belajar untuk nggak hilang fokus, Sharon. Itu salah satu aturan penting dalam bisnis dan hidup secara umum," kataku dengan berpura-pura serius. "Kenapa kamu menelepon?"Sharon terkikik, menutupi mulutnya dengan tangan. Kemudian, dengan gerakan tangannya, dia menjelajahi wajahku. "Kamu terlihat lebih seksi dengan ekspresi serius seperti itu." Dia mendesah, "Aku beruntung punya pacar setampan kamu, 'kan?"Aku mendesah, "Serius, Sharon, kenapa kamu menelepon?"Dia mengerucutkan bibir bawahnya. "Calon tunanganmu nggak perlu alasan untuk menelepon. Aku bisa menelepon kapan saja aku mau. Aku bisa menelepon hanya untuk mendengar suaramu. Kamu harus terbiasa dengan i
Sudut pandang Aiden:Keluar dari kamar mandi, aku dengan cepat mengacak-acak rambut basahku dengan handuk lembut dari kain terry. Jari-jariku menyisir helaian rambut yang kusut dan merapikan simpul-simpulnya saat aku melakukannya.Entah kenapa, aku sepertinya lupa membawa handuk, dan handuk yang diberikan di sini lebih kecil daripada yang aku butuhkan. Mungkin seharusnya aku lebih menekankan bahwa aku bukan meminta handuk muka?Dengan pilihan yang terbatas, aku memutuskan untuk hanya menggunakan kain kecil itu untuk rambutku. Lagi pula, aku satu-satunya yang menempati ruangan ini, jadi aku punya kemewahan untuk menganginkan tubuhku tanpa rasa khawatir.Aku melangkah di atas karpet, kaki telanjangku tenggelam ke dalam serat-serat lembutnya saat aku berdiri di depan cermin yang terpasang di dinding.Aku kembali melanjutkan tugasku untuk merapikan rambut dengan handuk, mengamati helai-helai yang tadinya acak-acakan perlahan mulai teratur, saat mataku tanpa sengaja beralih dari cermin ke s
Amie terlihat begitu lucu dan polos saat tidur nyenyak dan hatiku terasa sakit saat aku bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Meskipun dia mungkin melihat hal-hal seperti itu, apa yang membuatnya menggambarnya?"Aku harus membuat penjelasan panjang besok," kata Clara sambil tertawa pelan, menggaruk-garuk rambutnya. "Aku nggak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya saat dia bertanya. Sebelum aku memutuskan untuk merobek halaman itu, aku sudah mencari-cari alasan apa yang akan kukatakan saat dia tahu tentang halaman yang hilang itu."Aku mengangkat bahu sambil mencoba mencari-cari alasan yang bisa dia berikan kepada Amie. "Kamu bisa bilang kalau itu menakutkanmu."Dia menatapku, berkedip. "Serius, Dennis?""Apa?" Aku mengangkat bahu dengan sikap defensif. "Kamu bisa bilang begitu, atau kamu bisa bilang kalau kamu sedang melihat gambar-gambar itu saat makan dan mereka kena noda atau basah. Itu akan berhasil, percayalah."Dia menggelengkan kepala dan aku sudah tahu dia ak
Sudut pandang Dennis:"Oh!" seru Clara, matanya melebar sebesar cawan. "Kamu kembali."Aku menatapnya tanpa berkedip, dengan sengaja menahan diri untuk tidak merespons kekagetannya seperti yang mungkin dia harapkan. Kami tetap terkunci dalam tatapan yang tidak tergoyahkan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dan meskipun aku berusaha sekuat tenaga, aku tidak bisa menahan pikiran yang berlarian dengan kecepatan luar biasa dalam pikiranku.Meskipun Clara terus menatapku, sikapnya memancarkan kecemasan yang nyata. Telapak tangannya menggenggam erat halaman yang dirobeknya dari buku gambar Amie.Aku menatapnya dengan tatapan bertanya, mataku berpindah-pindah antara wajahnya yang terlihat penuh kecemasan yang sulit disembunyikan dan kepalan tangannya yang sedikit gemetar di bawah pengamatanku.Clara sepertinya menyadari pertanyaan tidak terucap dalam tatapanku karena dia tiba-tiba mengeluarkan tawa canggung yang terdengar seperti cegukan tertahan. Mengangkat kedua kepalan ta