Sudut Pandang Sydney:Dia membelalak dan menghela napas dengan dramatis sambil menepuk dahi sendiri dan berkata, "Sial! Bagaimana aku bisa lupa soal itu? Aku benar-benar bodoh. Aku sebaiknya mulai berhati-hati dengan tindakanku sekarang."Aku tidak bisa menahan tawa, lalu tertawa kecil dan berkata, "Kamu aktor yang buruk, bahkan anak umur dua tahun bisa melihat kalau kamu sama sekali nggak takut."Dia pun menyeringai dan membalas, "Kamu bisa tahu soal itu karena aku memang sengaja ingin kamu tahu. Kamu nggak bakal pernah bisa membedakan kalau aku sedang berakting atau nggak. Aku punya bakat akting sehebat itu." Dagunya sedikit terangkat dan aku mengerling.Kemudian, dia tersenyum tulus dan sorot matanya yang jahil sudah hilang. "Ayolah, aku memegang 60 persen saham GT Group. Ditambah lagi lima persen saham atas nama ibuku. Hitung saja sendiri, aku masih pemegang saham terbesar. Apa pun yang kamu atau orang lain lakukan, aku akan selalu menjadi pemenangnya di akhir," jelasnya dengan som
Sudut pandang Sydney:Beberapa Hari Kemudian."GT Group benar-benar optimis tentang Luxe Vogue," ujar salah seorang reporter sambil menggeleng saat yang lain mengomentari perkembangan terbaru Luxe Vogue. "Sepertinya perusahaan itu masih memiliki masa depan yang menjanjikan!""Tentu saja," sahut reporter yang lainnya dengan antusias, "GT Group sudah menginvestasikan saham yang cukup besar di perusahaan itu. Kamu lihat sendiri seberapa pesat kenaikan harga saham mereka hanya dalam beberapa hari? Benar-benar gila, ya, 'kan?" Lalu, dia menoleh ke arah layar. "Lini pakaian pria menjadi sorotan utama. Para investor dari berbagai perusahaan berbondong-bondong ingin bermitra dengan mereka. Alhasil, harga saham mereka terus naik tiap menit!"Perhatianku berpindah dari layar laptopku ke pintu kantor yang tiba-tiba saja didobrak terbuka. Grace masuk dengan rona wajah berbinar-binar. "Sydney! Sudah tonton ini?" tanyanya seraya mengulurkan iPad-nya ke arahku."Aku sedang menontonnya." Aku tertawa,
Sudut pandang Sydney:"Berterima kasih? Bukannya katamu kita sama-sama untung? GT Group juga dapat bagian dari keuntungannya, 'kan?" balasku."Haha. Kamu selalu saja tegas berfokus pada urusan bisnis. Bagaimana kalau makan malam bersama? Mari kita rayakan pertumbuhan yang terus berlanjut ini," sarannya dengan tawa canggung.Aku mendengus. "Kamu sangat membingungkan, tahu nggak? Sekarang kamu berlagak kayak seorang pengejar. Kadang cemburuan, kadang terlalu serius, kadang genit. Apa kamu lagi coba buat aku jatuh cinta, supaya kamu bisa mencampakkanku dengan kejam dan mempermalukanku setelah membuatku berharap terlalu tinggi?"Mark terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Waduh, ketahuan deh. Aktingku makin lama makin kacau, ya.""Sejak awal, kamu memang nggak ada bakat. Aktingmu itu selalu buruk.""Kamu kenal aku banget, Sydney."Aku mengabaikan perkataannya. "Lagi pula, Doris pernah kasih tahu aku kalau kamu saat ini sedang menjalin kasih dengan putri senator, Sandra."Saat nama S
Sudut pandang Sydney:Dengan alis berkerut, Grace menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dan langsung bertanya begitu aku menjauhkan ponsel dari telingaku, "Tadi, kamu menyebut nama Sandra?" Nama itu dia ucapkan dengan nada penuh kebencian. "Kenapa nama itu bisa muncul pas kamu ngobrol sama Mark? Tolong jelaskan padaku."Aku menaruh ponselku di meja. "Apa yang kamu simpulkan, itulah kenyataannya.""Ayolah, Sydney, jelasin. Ini nggak masuk akal.""Nah, lihat, 'kan? Tadi kamu bilang dia itu pahlawanmu," ejekku. Matanya menyipit saat dia menatapku dengan tajam. "Pahlawanmu sekarang bersama musuh lamamu, Sandra, si ratu cakar yang pernah diangkat Steven supaya dia bisa mencakar wajahmu."Grace mengerang. "Oh, tolonglah. Nggak perlu mengingatkanku soal itu."Aku tertawa kecil. "Pokoknya, mereka sedang menjalin hubungan sekarang, jadi kamu masih belum bisa mengambil hati pahlawanmu. Kamu harus tunggu sampai mereka putus." Meskipun aku terdengar tidak peduli dan memang tidak, aku teta
Sudut pandang Sydney:"Itu sih berlebihan." Aku tertawa dan duduk, sementara dia setengah bersandar di ujung meja.Bunga yang diberikan Lucas kuletakkan dengan hati-hati di atas meja, lalu aku menoleh ke arahnya. Dia menggenggam tanganku dan selama beberapa saat, kami hanya diam menikmati keheningan yang nyaman.Lalu, muncul ide untuk bertanya padanya demi memuaskan rasa penasaranku. Dia pasti tahu, ‘kan?"Kenapa Mark tiba-tiba jadi mesra banget sama Sandra?" tanyaku sambil mengernyit dalam-dalam saat menatapnya."Dari mana kamu tahu mereka mesra banget?" Dia menyipitkan mata dengan ekspresi jenaka, pura-pura curiga."Nenek Doris yang bilang. Selain itu, unggahan yang ditandai Sandra di media sosial sering muncul di mana-mana.""Hmm," gumamnya. "Kadang aku lupa kalau kamu itu cucu kesayangan Nenek Doris dan ya, ada di media sosial juga." Dia mengangkat bahunya. "Jadi begini, aku yang bujuk Nenek Doris mengatur semuanya. GT Group sudah mencapai kesuksesan finansial besar-besaran dan la
Sudut pandang Sydney:Aku mengenakan gaun hitam sederhana, dipadukan dengan sepatu hak tinggi warna nude dan tas yang senada. Aku merapikan rambutku menjadi dua bagian, membiarkannya membingkai wajahku di kedua sisi. Lucas mengenakan tuksedo hitam yang rapi, dengan kemeja nude di bawahnya. Kami sengaja memilih warna yang serasi.Aku dan Lucas berjalan ke pintu masuk acara lelang dengan bergandengan tangan. Petugas keamanan memeriksa kami menggunakan alat pemindai sebelum mengizinkan kami masuk.Begitu kami masuk, ruangan lelang sudah dipenuhi orang-orang. Kalau saja Lucas tidak memesan kursi VIP di barisan depan atas namanya, kami mungkin harus berdiri sepanjang acara. Salah satu petugas memandu kami menuju kursi kami.Saat mendekati tempat duduk, aku merasakan genggaman Lucas di tanganku menguat. Tadi perhatianku sempat teralihkan oleh keindahan karya seni yang dipamerkan, tetapi begitu aku melihat ke depan, aku sadar tempat duduk kami berada tepat di sebelah kursi Mark.Mark, yang pe
Tiba-tiba, aku merasakan angin dingin di leherku. Aku menoleh dan melihat Sandra memamerkan kipas antik yang indah itu sambil mengipas dirinya sendiri.Aku mendengus dalam hati dan berpaling. "Padahal nggak panas," bisikku pelan."Apa?" Sandra langsung menyahut. "Aku nggak dengar terlalu jelas, kamu bilang kipas ini keren, ya?"Aku mengerlingkan mataku melihat kelakuannya."Ya sudah, karena kamu ingin tahu, akan kuceritakan. Mark memenangkan lelangnya untukku sebelum kamu datang. Yang perlu kulakukan hanya bilang ke dia kalau aku mau kipas ini, kemudian dia langsung jadi penawar terakhir dengan harga 900 juta," katanya dengan nada puas seolah Mark baru saja menggali pohon berusia seratus tahun untuknya.Aku menyeringai, berpikir untuk memberitahunya bahwa Mark memberiku 1,5 miliar hanya untuk menemuiku. Aku penasaran dengan apa yang akan dia katakan, tetapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.Sandra berbisik lagi, "Aku yakin kamu nggak pernah lihat barang sebagus ini, 'kan?""Ngga
Saat Lucas bangkit dari tempat duduknya, dia mengulurkan tangannya kepadaku, lalu berkata, "Ngomong-ngomong, kalau kamu melihat sesuatu yang kamu suka di antara barang-barang yang dipajang, beri tahu aku, ya."Aku memberi senyuman manis padanya, "Baiklah."Saat aku meraih tangannya, tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak ingin pergi begitu saja. Aku ingin memberikan sesuatu yang bisa membuat Sandra kesal.Aku menarik tangan Lucas dengan lembut, "Tunggu sebentar, ada yang ingin kubicarakan dengan Sandra." Dia menatapku dan Sandra, lalu bertanya, "Apa ada masalah?""Oh, nggak. Aku hanya ingin memberitahunya sesuatu. Sebentar."Dia menatapku sekali lagi dan mengangguk. "Baiklah." Dia menungguku saat aku bergerak sedikit menjauh, mendekati Sandra yang sudah menatapku dengan tatapan penuh kebencian."Tahu nggak apa yang akan dia katakan setelah kamu menikah dengannya?"Tatapannya seketika beralih ke Mark, lalu kembali ke diriku dengan cepat. Sepertinya dia sudah mulai tertekan dengan kata-
Aku mengangguk. "Aku ibu kandungnya, tapi dia bukan ayahnya." Dokter itu menggeleng. "Ya, Ibu bisa menjadi pendonor untuk transplantasi kalau sumsum tulangnya cocok. Tapi, aku ingin memberi tahu Ibu, sangat jarang ada orang tua biologis yang cocok. Tapi, itu nggak akan menghentikan kita. Ibu akan menjalani tes yang diperlukan untuk menentukan kecocokan." Dokter mengambil sebuah berkas dari tumpukan di mejanya. "Apa Ibu siap untuk melakukan tes kecocokan sekarang atau lebih memilih kami jadwalkan untuk hari lain?" "Sekarang saja, tolong," kataku menyeka air mata di wajahku sambil duduk tegak. Dokter membuka berkas dan mulai mengajukan beberapa pertanyaan. Di sela-sela, dia menjelaskan, "Kami perlu semua informasi ini untuk memastikan pengujian yang sukses dan akurat." "Nggak apa-apa, aku mengerti." Aku mengangguk. Dia melanjutkan bertanya dan aku menjawab dengan cepat. "Baik, Ibu bisa melakukan tesnya sekarang," kata dokter itu sambil berdiri dan melirik ke Dennis yang juga
Sudut pandang Anastasia:Wajahku basah oleh air mata saat aku mengguncang tubuh Amie agar bangun. Aku memeluknya erat-erat dan menangis. Aku bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Sementara aku terisak, Dennis bergegas masuk ke kamar."Ada apa? Apa yang terjadi?" Dia bergegas ke sampingku dan langsung menatap Amie. Dia pun mengerti. Dia langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Dia dengan cekatan mengambil Amie dari lenganku yang gemetar dan meraih kunci mobilnya. Saat dia menggendong Amie ke mobil, aku mengikutinya dari belakang, masih menangis dan memanggil nama putriku.Saat Dennis mengemudi menuju rumah sakit, sebagian perhatiannya tertuju kepadaku. "Nggak apa-apa, Ana," ucapnya seraya meremas tanganku, tatapannya tertuju kepada Amie yang kugendong. "Dia akan baik-baik saja."Saat kami sampai di rumah sakit, sebuah tandu dibawa keluar dan Amie dilarikan ke bangsal. Kami dilarang masuk bersamanya.Aku menangis di baju Dennis saat kami berdua menunggu dokter atau salah satu perawa
Anak laki-laki itu menatap adik perempuannya dan dengan sedikit cemberut, dia melihat sekeliling, matanya mencari apa yang diinginkan adiknya.Aku melihat sekeliling dan menyadari bahwa tidak ada lagi permen. "Permennya sudah habis," gerutuku."Mestinya ada lebih banyak di dapur," jawab Dennis."Aku akan pergi mengambilnya. Tunggu di sini, aku akan segera kembali," kataku kepada Dennis dan pergi.Beberapa detik kemudian, aku mendengar langkah kaki di belakangku. Aku melihat ke belakang dan menggelengkan kepala, menyembunyikan senyumku."Apa? Aku juga mau lebih banyak permen.""Baiklah," kataku sambil tertawa pelan.Begitu kami memasuki dapur, jari-jari Dennis melingkari pergelangan tanganku dan dia menarikku agar mendekat kepadanya.Saat dia menatap mataku, tatapannya berpindah-pindah di antara mataku dan bibirku. Aku pun menggoda, "Memangnya permen itu ada di mataku?"Dengan tawa kecil, dia menundukkan kepalanya dan menyatukan bibir kami dalam ciuman yang menggairahkan.Aku mencengker
Sudut pandang Anastasia:Lima bulan kemudian."Hai!" Aku melambaikan tangan pada salah satu teman Amie yang baru saja masuk bersama ibunya."Selamat datang." Aku menghampiri mereka. "Terima kasih sudah datang."Ibunya tersenyum. "Pilihanku cuma dua, datang ke sini atau mendengar Kayla menangis di telingaku seharian."Kami tertawa, sementara Kayla hanya bisa tersipu malu. Aku menutup pintu, lalu saat kami berjalan lebih jauh ke ruang tamu, aku melihat ibunya menatap bingkai-bingkai foto yang tergantung di dinding, sama seperti semua orang yang pertama kali masuk ke rumah kami.Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil dan aku mengikuti arah pandangannya untuk melihat foto mana yang menarik perhatiannya. Aku menghela napas saat mataku tertuju pada pria di sampingku dalam foto itu.Dengan setelan terbaiknya, begitu katanya, Dennis berdiri sambil melingkarkan lengannya di bahuku, menatap ke arahku. Aku masih mengingat hari itu seolah baru kemarin.Fotografer sampai lelah menyuruhn
Aku rasa mereka berdua memang bersalah dalam beberapa hal, tetapi Clara seharusnya tidak melakukan ini. Oh, dia seharusnya tidak melakukannya. Dia sudah keterlaluan.Clara tahu aku hamil anak Aiden, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. Jika bukan demi aku, setidaknya demi bayi itu, dia seharusnya memberitahuku yang sebenarnya. Namun tidak, dia hanya diam dan menyaksikan aku berjuang sendirian membesarkan Amie.Dia ada di sana setiap malam, saat aku menangis diam-diam agar tidak membangunkan Amie karena semuanya terasa terlalu berat. Dia selalu ada di sana. Dia ada di sana, menyaksikan dengan kejam bagaimana Amie tumbuh tanpa seorang ayah.Ya Tuhan! Dia bahkan yang menenangkan Amie setiap kali putriku menangis merindukan sosok ayah!Itu semakin membuatku marah. Bagaimana bisa dia mengaku mencintai Amie, sementara dia yang merenggut bagian penting dalam hidupnya?"Kamu nggak punya pembenaran untuk semua yang sudah kamu lakukan, Clara." Suaraku bergetar, tetapi aku tetap melanjutkan, "Kal
Sudut pandang Anastasia:Wajah Clara terpaling ke samping akibat tamparan keras yang baru saja aku layangkan ke pipinya.Dia terhuyung ke belakang, memegangi wajahnya, lalu menatap lantai dalam diam untuk waktu yang lama.Tamparan itu hanyalah hal paling ringan dari semua yang ingin aku lakukan padanya. Aku benar-benar menahan diri agar tidak melontarkan hinaan sambil menghajarnya. Namun, untuk apa? Itu tidak akan mengubah apa pun. Yang sudah terjadi tetaplah terjadi. Semuanya sudah menjadi masa lalu."Kamu akhirnya tahu." Suaranya terdengar lirih. "Dennis yang memberitahumu, 'kan?""Aku nggak percaya kamu sampai memerasnya agar tetap diam soal ini. Kamu pikir dia sepertimu? Seorang pembohong? Kamu tersenyum padaku, tapi jauh di dalam hatimu, kamu membenciku karena ...." Aku membuat tanda kutip di udara dengan jariku, lalu melanjutkan, "Merebut Aiden darimu."Clara tetap diam, tidak mengatakan apa pun."Clara, kenapa kamu tega? Kamu temanku! Aku percaya padamu. Aku menceritakan segalan
Sudut pandang Anastasia:"Amie ...." Aku mengeluh sambil tertawa. "Kamu belum selesai? Tanganku pegal."Amie terkekeh-kekeh. "Tetap jaga ekspresi wajahmu seperti tadi. Aku perlu menggambar bibirmu dengan benar."Aku menghela napas dan mengangkat kedua tangan ke udara, lalu menyeringai lebar. Aku benar-benar tidak mengerti kenapa dia ingin menggambarku dengan pose seperti ini.Saat ini, di kamar rumah sakit Amie, aku duduk bersila di kursi dengan tangan terangkat dan senyum lebar di wajahku.Aku bertahan dalam pose itu selama beberapa menit lagi sampai akhirnya Amie meletakkan buku gambarnya dan bertepuk tangan. "Selesai! Mama, kamu kelihatan cantik sekali!"Amie sudah menghabiskan banyak waktu di rumah sakit dengan menggambar, jadi dia semakin mahir. Saat aku bergeser ke tempat tidur untuk melihat hasilnya, aku tertegun melihat sketsa di bukunya. Yang ada di sana bukan sosok manusia yang realistis, melainkan gambar seperti orang-orangan dengan tangan terangkat, kaki bersilang membentu
Sudut pandang Aiden:Aku menggertakkan gigi, mencengkeram setir dengan erat saat melaju ke alamat yang dia kirimkan.Pikiranku kacau. Meskipun aku tahu telah kehilangan Anastasia, dia tetap ada dalam benakku. Aku masih menyalahkan diri sendiri karena tidak berusaha lebih keras mencarinya saat dia pergi pertama kali. Aku menyalahkan diriku karena tidak mengejar taksi yang dia naiki pada hari dia mengakhiri segalanya di antara kami ... sampai ... sampai apa? Mungkin sampai dia meminta sopir untuk berhenti.Sharon juga ada dalam pikiranku, atau lebih tepatnya, kontrak pernikahan terkutuk yang aku miliki dengannya. Sekarang, setelah ayahnya menelepon dan memintaku menemuinya di sebuah alamat yang dia kirimkan, aku yakin kekacauan akan segera dimulai.Jika dia memintaku untuk menemuinya di sini, itu berarti dia telah terbang ke negara ini.Aku sebenarnya bisa saja mengabaikan panggilannya, terutama setelah aku benar-benar menyadari bahwa aku telah kehilangan Ana. Yang aku inginkan hanyalah
Dia tampak terkejut, yang entah kenapa justru membuatku heran. Aku hanya berharap dia tidak meragukan dirinya sendiri karena tadi malam dia benar-benar sempurna.Dennis menggeleng, lalu menenggak habis isi cangkirnya. "Aku harus memberitahumu sesuatu."Aku terdiam, tanganku membeku di udara, masih memegang sendok pengaduk teh. "Apa yang ingin kamu katakan padaku?"Dia mengalihkan pandangannya, menatap sesuatu di belakangku sebelum akhirnya kembali menatapku. "Ini tentang Aiden ... lebih tepatnya tentang apa yang terjadi bertahun-tahun lalu, tentang tuduhan perselingkuhannya.""Oh," gumamku datar. "Itu." Itu sudah berlalu. Lagi pula, sekarang semuanya baik-baik saja. Dia akan menikah dengan seseorang yang mencintai dan mempercayainya, sementara aku sudah menemukan seseorang yang kusukai dan yang juga mencintaiku. Semuanya sudah sesuai dengan jalan yang memang seharusnya kami tempuh."Ya, itu." Dennis melanjutkan dengan hati-hati, sepertinya salah paham dengan ekspresiku. "Sebenarnya, di