Sudut pandang Sydney:"Itu sih berlebihan." Aku tertawa dan duduk, sementara dia setengah bersandar di ujung meja.Bunga yang diberikan Lucas kuletakkan dengan hati-hati di atas meja, lalu aku menoleh ke arahnya. Dia menggenggam tanganku dan selama beberapa saat, kami hanya diam menikmati keheningan yang nyaman.Lalu, muncul ide untuk bertanya padanya demi memuaskan rasa penasaranku. Dia pasti tahu, ‘kan?"Kenapa Mark tiba-tiba jadi mesra banget sama Sandra?" tanyaku sambil mengernyit dalam-dalam saat menatapnya."Dari mana kamu tahu mereka mesra banget?" Dia menyipitkan mata dengan ekspresi jenaka, pura-pura curiga."Nenek Doris yang bilang. Selain itu, unggahan yang ditandai Sandra di media sosial sering muncul di mana-mana.""Hmm," gumamnya. "Kadang aku lupa kalau kamu itu cucu kesayangan Nenek Doris dan ya, ada di media sosial juga." Dia mengangkat bahunya. "Jadi begini, aku yang bujuk Nenek Doris mengatur semuanya. GT Group sudah mencapai kesuksesan finansial besar-besaran dan la
Sudut pandang Sydney:Aku mengenakan gaun hitam sederhana, dipadukan dengan sepatu hak tinggi warna nude dan tas yang senada. Aku merapikan rambutku menjadi dua bagian, membiarkannya membingkai wajahku di kedua sisi. Lucas mengenakan tuksedo hitam yang rapi, dengan kemeja nude di bawahnya. Kami sengaja memilih warna yang serasi.Aku dan Lucas berjalan ke pintu masuk acara lelang dengan bergandengan tangan. Petugas keamanan memeriksa kami menggunakan alat pemindai sebelum mengizinkan kami masuk.Begitu kami masuk, ruangan lelang sudah dipenuhi orang-orang. Kalau saja Lucas tidak memesan kursi VIP di barisan depan atas namanya, kami mungkin harus berdiri sepanjang acara. Salah satu petugas memandu kami menuju kursi kami.Saat mendekati tempat duduk, aku merasakan genggaman Lucas di tanganku menguat. Tadi perhatianku sempat teralihkan oleh keindahan karya seni yang dipamerkan, tetapi begitu aku melihat ke depan, aku sadar tempat duduk kami berada tepat di sebelah kursi Mark.Mark, yang pe
Tiba-tiba, aku merasakan angin dingin di leherku. Aku menoleh dan melihat Sandra memamerkan kipas antik yang indah itu sambil mengipas dirinya sendiri.Aku mendengus dalam hati dan berpaling. "Padahal nggak panas," bisikku pelan."Apa?" Sandra langsung menyahut. "Aku nggak dengar terlalu jelas, kamu bilang kipas ini keren, ya?"Aku mengerlingkan mataku melihat kelakuannya."Ya sudah, karena kamu ingin tahu, akan kuceritakan. Mark memenangkan lelangnya untukku sebelum kamu datang. Yang perlu kulakukan hanya bilang ke dia kalau aku mau kipas ini, kemudian dia langsung jadi penawar terakhir dengan harga 900 juta," katanya dengan nada puas seolah Mark baru saja menggali pohon berusia seratus tahun untuknya.Aku menyeringai, berpikir untuk memberitahunya bahwa Mark memberiku 1,5 miliar hanya untuk menemuiku. Aku penasaran dengan apa yang akan dia katakan, tetapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.Sandra berbisik lagi, "Aku yakin kamu nggak pernah lihat barang sebagus ini, 'kan?""Ngga
Saat Lucas bangkit dari tempat duduknya, dia mengulurkan tangannya kepadaku, lalu berkata, "Ngomong-ngomong, kalau kamu melihat sesuatu yang kamu suka di antara barang-barang yang dipajang, beri tahu aku, ya."Aku memberi senyuman manis padanya, "Baiklah."Saat aku meraih tangannya, tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak ingin pergi begitu saja. Aku ingin memberikan sesuatu yang bisa membuat Sandra kesal.Aku menarik tangan Lucas dengan lembut, "Tunggu sebentar, ada yang ingin kubicarakan dengan Sandra." Dia menatapku dan Sandra, lalu bertanya, "Apa ada masalah?""Oh, nggak. Aku hanya ingin memberitahunya sesuatu. Sebentar."Dia menatapku sekali lagi dan mengangguk. "Baiklah." Dia menungguku saat aku bergerak sedikit menjauh, mendekati Sandra yang sudah menatapku dengan tatapan penuh kebencian."Tahu nggak apa yang akan dia katakan setelah kamu menikah dengannya?"Tatapannya seketika beralih ke Mark, lalu kembali ke diriku dengan cepat. Sepertinya dia sudah mulai tertekan dengan kata-
"Saya persembahkan keindahan yang luar biasa ini!" seru sang juru lelang yang menyadarkanku dari kepanikan."Harga dibuka mulai dari 3 miliar saja."Aku tahu juru lelang masih berbicara, tetapi pikiranku tidak bisa menangkap kata-katanya. Aku tidak bisa menghapus tatapan tajam Mark dari benakku. Memikirkannya saja membuat tanganku gemetar. Aku mengambil tas genggam dari pangkuanku dan memegangnya dengan erat. Untungnya, tanganku tidak lagi gemetar.Aku menarik napas dalam-dalam dan mendongak. Saat itu, juru lelang sedang tersenyum lebar. Mungkin seseorang telah menawar dengan harga yang lebih tinggi. Juru lelang pun membuka mulutnya untuk berbicara, tapi aku mendengar Lucas berkata, "7,5 miliar."Aku menoleh dan memelototi Lucas, "Apa?" bisikku dengan nada tinggi."Tadi aku tanya, kamu mau barang ini atau nggak? Tapi kamu nggak jawab.""Terus, kenapa barangnya kamu tawar?" Walaupun harga asli gelang itu jauh lebih mahal daripada harga yang ditawar Lucas, aku tidak mau dia membelinya."
Aku melihat-lihat deretan notifikasi, memeriksa email, dan juga berbagai pemberitahuan penting lainnya. Pada saat itulah, aku melihat panggilan tidak terjawab dari Bella. Karena sedang senggang dan berada di tempat yang sepi, aku memutuskan untuk menelepon Bella.Bella langsung mengangkatnya seolah-olah dia sudah menunggu panggilanku. Dia berkata dengan marah, "Maksud kamu apa sih?!" amuknya tanpa berbasa-basi. "Kamu berharap apa setelah ngirim itu? Aku sudah putus sama Mark. Hubungan kamu sudah kelar. Aku nggak peduli dia mau jalan sama siapa pun, ngerti? Pokoknya aku nggak peduli!""Hmm," gumamku pelan hingga membuatnya makin marah. "Kamu yakin? Kalau menilai dari kemarahanmu sekarang ... ck, ck, kedengarannya kamu masih peduli sama dia.""Heh, aku kasih tahu ya! Mendingan kamu pikirin saja urusanmu sendiri, dasar jalang! Kalau aku bilang aku nggak peduli, artinya aku nggak peduli!"Aku tertawa. Aku tertawa keras sampai harus memegangi perutku. Jika ada orang di bilik lain, mereka pa
Aku menekan sekat kamar kecil itu dengan telapak tanganku. Aku berharap sekat itu bisa menelanku saat Mark menatapku tajam tanpa berkata-kata. Kemarahan di wajahnya membuat jantungku berdebar kencang. Aku nyaris mendengar detak jantungku yang berpacu saat aku menatapnya dengan ragu-ragu dan panik."Kamu ada di toilet perempuan," kataku tak berdaya. Mungkin ucapanku akan membuatnya sadar kalau dia sedang berada di tempat yang tidak seharusnya dan segera pergi. Namun, Mark hanya menatapku tanpa ekspresi."Aku tahu," ucapnya dengan suaranya pelan seolah-olah dia sedang menahan diri untuk menyerangku.Aku menelan ludah dan pikiranku berpacu. Aku mencoba memikirkan apa yang harus aku katakan untuk memecah keheningan dan membuatnya pergi dari sini. Tatapannya makin membuatku tidak nyaman. Dia membuatku ingin berlari menjauh darinya dan membungkus diriku dengan aman dalam pelukan Lucas.Lagi pula, bukankah Lucas bilang dia akan mengawasi Mark? Mengapa dia tidak meneleponku sebelum Mark masuk
Tangan Mark mulai bergerak lagi. Tatapannya terkunci pada mataku, mengancamku agar tidak bergerak. Aku ingin berteriak, tetapi jemarinya mencengkeram pahaku. Dia bahkan tidak perlu mengatakan apa pun karena aku tahu matanya berkata, "Awas saja kalau kamu berani!"Aku memejamkan mata dan menggigit bibir ketika aku merasakan jemari Mark menyentuh tepi celana dalamku. Lututku lemas saat ibu jarinya menekan celana dalamku. Aku yakin satu-satunya alasan aku tidak jatuh terduduk di lantai adalah karena tubuh Mark mengimpitku sampai aku tidak bisa bergerak."Sydney?" Kelopak mataku terbuka saat Lucas memanggil lagi. Aku tidak percaya aku hampir melupakan fakta bahwa dia ada di luar sana. "Sydney, kamu di dalam, 'kan?" panggilnya dengan suara lebih mendesak dan kekhawatiran yang lebih kentara.Aku setengah berharap Lucas akan mendobrak pintunya, tetapi sebaliknya, kepalan tangannya malah mengetuk pintu dengan pelan. "Ada orang di dalam? Sydney? Apa semuanya baik-baik saja?""Bilang sesuatu!" b
Aku mencengkeram rokku dengan erat sambil mencoba menenangkan ketakutanku serta menstabilkan detak jantungku yang kacau. Hal seperti ini benar-benar asing bagiku dan juga sangat menakutkan."Berlutut." Aku tersentak mendengar suaranya dari belakangku. Dengan patuh, aku berlutut, meringis saat lantai keras menggores lututku.Tavon mengangguk puas, matanya bersinar dengan tatapan aneh. "Kamu penurut, bagus."Dia berjalan ke salah satu sisi ruangan dan mengambil sebuah cambuk. Bulu kudukku meremang ketika dia mendekatiku. Tangan tuanya mencengkeram cambuk itu dengan erat. Sebelum aku bisa memproses apa yang akan terjadi atau mencoba memprotes, dia tiba-tiba mengangkat tangannya dan langsung mencambukku kulitkuPunggungku melengkung saat aku mencoba menghindari rasa sakit yang menyengat itu. Jeritanku menggema di seluruh ruangan, rasa sakit itu menyebar ke seluruh tubuhku, air mata menggenang di mataku."Kamu suka ini?" Suaranya kasar, matanya dipenuhi gairah yang mengerikan.Sial, bagaima
Aku memaksa diriku untuk tetap tenang. Aku melepaskan genggaman tanganku yang erat, berhenti menggertakkan gigi, dan memberikan senyuman terbaikku padanya, meskipun aku merasa mual karena jijik. Menjaga kepura-puraan ini sangat melelahkan, tetapi aku tahu aku harus tetap bersandiwara jika ingin rencana ini berhasil.Peringatan Dylan terngiang di pikiranku. Satu kesalahan saja bisa berarti kematianku. Jadi, aku memasang ekspresi manis dan lembut, tidak peduli seberapa besar rasa mual yang kurasakan.Bibir Tavon membentuk senyuman jahat. Tangannya yang berkeliaran berhenti di lekuk pantatku dan menekannya secara halus sambil menoleh ke arah Dylan. "Nak, kamu selalu tahu apa yang aku suka."Dylan mengangguk dengan senyum puas, matanya berbinar-binar. "Paman, kepuasanmu selalu menjadi kebahagiaan terbesarku."Bulu kudukku meremang mendengar kata-kata Dylan. Pengabdiannya dengan menjilat kepada pria bejat ini benar-benar menjijikkan. Bagaimana mungkin dia begitu antusias, begitu bangga, mel
Sudut pandang Sydney:Sekitar satu jam setelah Dylan mendandaniku, dia diberi tahu bahwa mobil sudah siap. Dia berganti ke setelan jas yang, menyebalkannya, membuatnya terlihat semakin mirip Lucas.Aku tidak melewatkan rasa iri yang sekilas muncul di mata para wanita lain saat Dylan dengan kasar menyuruh mereka bersikap baik dan tetap di kamar mereka, lalu pergi bersamaku. Aku rasa mereka pasti ingin menjadi paket yang akan dikirimkan. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apakah dia pernah menawarkan salah satu dari mereka kepada pamannya juga.Kami masuk ke dalam mobil, dan sopir membawa kami ke tempat di mana aku akan bertemu dengan Paman Tavon.....Setelah beberapa menit perjalanan yang menyesakkan bersama Dylan, akhirnya kami sampai di tujuan, dan aku bisa bernapas lega lagi.Mobil berhenti di depan mansion besar, tetapi yang satu ini jelas lebih mewah dan megah dibandingkan dengan tempat tinggal para wanita Dylan. Aku perlahan mengangguk pada diri sendiri. Aku bisa me
"Aku nggak butuh bantuanmu!" Aku ingin meludah ke wajahnya dan menunjukkan semua kebencian yang kurasakan padanya, tetapi itu pasti akan merusak segalanya, bukan? Itu bahkan bisa membuatku kehilangan nyawa.Jadi, sebagai gantinya, aku memasang senyuman tipis di bibirku dan berbalik menghadapnya. Aku mengejapkan bulu mataku padanya, "Aww." Aku mendesah manja. "Terima kasih."Sambil tersenyum sinis, dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Tiba-tiba, lingerie yang kupakai dirobek olehnya dari tubuhku dan dilemparkannya begitu saja, lalu dia merebut gaun itu dari tanganku.Aku terperanjat dan menatapnya dengan mata terbelalak, tetapi dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia bahkan tidak melihatku dan senyum itu telah lenyap dari wajahnya. Alisnya berkerut dalam konsentrasi saat dia memakaikan gaun itu kepadaku dan mulai mendandaniku.Tangannya bergerak begitu terampil seolah-olah dia sudah terbiasa melakukan hal ini.Saat dia selesai, dia melangkah mundur dan menatap tubuhku
Dengan hati-hati, aku mengambil gaun itu darinya dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan benar-benar menyerahkannya padaku. Dengan kedua tanganku menggenggam sisi gaun, aku mengangkatnya di depan tubuhku dan membentangkannya sepenuhnya agar bisa melihat desainnya dengan jelas.Itu adalah gaun merah panjang yang langsung membuatku tercengang. Saat aku melihatnya lebih dekat, aku menyadari bahwa bahan gaun ini adalah sutra halus dan mewah dengan tekstur yang begitu lembut sehingga aku bisa langsung tahu bahwa aku akan menyukai sensasinya saat kain itu mengenai kulitku.Panjangnya saja sudah memberikan kesan elegan dan berkelas, tetapi desainnya yang berani, menjadikannya jauh dari kesan sederhana. Kamu hanya perlu melihatnya untuk mengetahuinya.Sebagai pemilik bersama lini pakaian dengan sahabatku, Grace. Aku telah terbiasa dengan banyak desain mode yang menakjubkan dan indah selama bertahun-tahun. Namun, aku tidak bisa menyangkal bahwa gaun yang dipilih Dylan ini memiliki keunikan d
Sudut pandang Sydney:Aku langsung menarik diri dari pelukan Dylan begitu mendengar suara tepukan tangan.Sambil menatap Dylan yang hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, aku tetap membiarkan lenganku melingkar di lehernya. "Kenapa kamu tepuk tangan?" tanyaku dengan senyum kecil, mataku mencari-cari petunjuk di wajahnya. Ada kilatan nakal di matanya yang membuatku bertanya-tanya apa yang sedang dia rencanakan.Dylan hanya balas tersenyum, tidak repot-repot menjawab. Dan dia memang tidak perlu menjelaskan apa pun karena, tepat saat itu, salah satu anak buahnya membuka pintu kamar dan melangkah masuk.Pria itu membawa sebuah kantong belanja di tangannya. "Selamat malam, Pak," sapanya sopan sambil menunduk sedikit, lalu mengangguk padaku. "Nona." Wajahnya tetap datar, tidak memberi petunjuk apa pun tentang isi kantong yang dibawanya.Aku melirik pria itu lalu kembali menatap Dylan, masih dengan tangan yang melingkari lehernya."Apa itu?" tanyaku sambil mengangkat alis, penuh selidik.
Tanpa memberinya kesempatan untuk mengajukan keberatan lebih jauh, aku langsung membungkamnya dengan ciuman yang intens.Sekejap saja, bibirnya sudah bergerak membalas ciumanku, tangannya mencengkeram erat pinggangku dan menarikku lebih dekat ke dadanya. Lalu, satu tangannya meluncur turun, meremas bokongku seolah-olah tubuhku adalah miliknya.Aku menggeliat di atas pangkuannya, merasakan tonjolan keras di balik celananya. "Sial, Sydney," desahnya kasar sebelum menggigit bibir bawahku dengan keras, lalu mengisapnya seakan-akan hendak menghapus bekas yang baru saja dia tinggalkan.Dalam permainan balas dendam yang berkedok cinta ini, kami terus menguji dan menebak satu sama lain. Aku bertanya-tanya, apakah dia bisa melihat senyum palsuku, atau kasih sayang yang hanya merupakan ilusi belaka? Hatiku bergidik saat memikirkan kemungkinan itu.Dylan meremas bokongku lebih kuat, membuatku kembali menggeliat di atasnya. Aku mengerang pelan yang terdengar begitu meyakinkan walaupun semuanya han
"Tentu saja aku keberatan karena kamu ngebunuh sahabatku," kataku pelan, berusaha menjaga agar suaraku tetap terdengar lembut tanpa memperlihatkan kemarahan atau kebencian yang tersembunyi di baliknya. Aku menampilkan gambaran sempurna seorang wanita yang jatuh cinta terlalu dalam, yang sedang mengungkapkan kenyataan pahit pada pria yang dicintainya."Tapi Lucas memang sudah sakit parah sejak lama. Bahkan kalau kamu nggak melakukan apa-apa, dia nggak akan bertahan lebih lama lagi. Mungkin, dengan cara ini, kamu justru membebaskan dia dari penderitaan lebih cepat. Selama ini, dia terus dihantui rasa sakit dan siksaan dari segala penyakit yang bikin tubuhnya melemah …."Aku mengangkat bahu seolah-olah kematian Lucas tidak lagi membebani pikiranku."Lagi pula, aku nggak bisa membenci laki-laki yang sekarang jadi alasan jantungku berdetak. Aku cuma ingin bisa bersama orang yang aku cintai, hanya itu yang aku mau. Aku yakin Lucas nggak akan nyalahin aku … atau bahkan nyalahin kamu, karena k
Sudut pandang Sydney:Tawaku meledak karena ucapan Dylan yang menggelikan. Bagaimana mungkin dia bisa cemburu pada orang yang sudah mati?Dylan berdiri di sana, berusaha terlihat mengintimidasi dengan tatapan marahnya, tapi malah terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. Di saat itu, rasanya hampir seperti saat aku sedang bercanda dengan Lucas, dan bukan dengan Dylan.Konfrontasi ini sebenarnya pertanda baik walaupun tingkah Dylan ini agak terlalu dramatis. Ini artinya sandiwara yang selama ini kurancang dengan hati-hati masih berjalan sesuai rencana.Mungkin aku belum sepenuhnya memasuki hatinya yang gila itu, tapi setidaknya aku sudah berhasil masuk cukup jauh ke dalam pikirannya yang rapuh."Maaf," kataku terkikik sambil menutup mulut dengan tanganku untuk menahan tawa. Aku pun turun dari tempat tidur dan berdiri di hadapannya. Aku tidak bisa menahan rasa geli melihat kecemburuan Dylan terpicu oleh sesuatu yang begitu sepele. Dia benar-benar konyol.Selagi aku masih tertawa p