Share

BAB 68

Penulis: Yuli Zaynomi
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-07 09:22:56

Ya Tuhan… kumohon apa yang disampaikan Rahma bohong. Meski Mas Riza telah membuatku amat kecewa, tetapi jika sampai menghamili wanita lain tentu aku sangat tersakiti. Seolah diriku tak ada harga di matanya. Entah seperti apa hatiku jika sampai yang dikatakan Rahma adalah suatu kebenaran.

"Dia bilang… itu anakmu." Kutegarkan hati ini agar tak menitikkan air mata. Mas Riza tampak menyugar rambutnya dengan kasar. Kulihat dia menutup matanya rapat. Rahangnya mengeras.

"Kamu percaya, Bun?" tanyanya sesaat kemudian. Dia kembali meraih tanganku. Meski berusaha untuk melepasnya, nampaknya tangan Mas Riza terlalu kuat menggenggam tanganku.

Ya Tuhan. Aku sudah hidup dengannya lebih dari enam tahun. Hati kecilku berkata tak mungkin Mas Riza melakukan hal serendah itu. Tetapi rasa takutku dibohongi lagi-lagi membayangi pengakuan yang dilakukan suamiku. Aku takut kembali merasakan kekecewaan lebih dalam.

"Bun, kamu percaya?!" ulangnya. Dia semakin menguatkan genggamannya pada tanganku. Aku lem
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Mesin Cuci   BAB 69

    Rencana Kali ini aku akan berusaha mengulurkan rasa sabarku. Kutepiskan rasa kecewaku pada Mas Riza mengenai kebohongan yang ditutupinya selama ini. Aku berusaha mengabaikan semua itu, sambil tetap berharap Mas Riza benar-benar menunaikan janjinya. Aku masih yakin, suamiku tak akan melakukan perbuatan sehina itu. Tetapi tak menutup kemungkinan jika ibu mertuaku turut serta berperan dalam kejadian ini. Yang kutakutkan adalah ibu mertuaku melakukan hal licik untuk memuluskan rencananya. Hingga pagi ini, aku dikejutkan dengan kehadiran dua orang tua yang cukup asing. Aku sedikit tercengang saat mereka memperkenalkan diri sebagai orang tua Rahma. Ada rasa kekhawatiran melihat raut wajah mereka berdua. Bahkan ibunya Rahma dari tadi terus menerus meneteskan air mata. Ayah Rahma berkali-kali mengusap punggung tangan istrinya. Aku mencoba menguatkan diri untuk mendengarkan apa yang akan mereka sampaikan. "Maaf, barangkali kedatangan kami mengganggu waktu Nak Vita," ucap ayah Rahma membuk

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-08
  • Mesin Cuci   BAB 70

    "Maaf, maksudku… aku ragu bahwa anak yang dikandung Rahma adalah anak Mas Riza," kataku kemudian. Akhirnya aku mampu mengatakan hal itu. Aku ragu, anak yang dikandungnya benar-benar benih Mas Riza. Bagaimana watak suamiku tentu aku sangat mengetahui, meskipun masih ada keraguan dalam hatiku. "Maksudmu, anak kami hamil dengan orang lain dan meminta Riza untuk bertanggung jawab? Begitu maksudmu?" Suara wanita itu meninggi. Aku yakin harga dirinya lumayan tercabik ketika tuduhan iu disematkan pada putrinya. "Maaf, Bu. Aku percaya suamiku." Kembali kudengar suara tangis wanita itu. Aku agak bingung, mengapa mereka tak melanjutkan lagi kalimatnya. Mengapa seolah mereka tak punya stok kalimat pembelaan lagi untuk putri mereka. "Maafkan kami… kami gagal mendidik Rahma. Tak kusangka dia akan menjadi perusak hubungan rumah tangga orang lain. Bahkan kami sudah kehabisan cara untuk mengingatkannya." Akhirnya kudengar nada pasrah dalam suara ayah Rahma. Kulihat pandangan matanya kosong. "Kam

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-08
  • Mesin Cuci   BAB 71

    Tuhan Tidak Tidur! Aku mematut diriku di cermin. Sudah kuyakinkan berkali-kali pada diriku, mengenai keputusanku menerima undangan dari Tika kemarin. Aku akan datang, menyaksikan rencana akad Mas Riza dengan Rahma. Meski aku sudah diberi tahu kejutan yang akan mereka yang terima hari ini, aku tetap was-was. Hatiku tak tenang, siapa yang akan tenang mendatangi pernikahan suaminya dengan wanita lain? Aku bukan malaikat yang bisa sekuat itu. Lala dan Risa kutitipkan pada Mbak Marni. Melihatku yang tak memakai baju dinas membuat mereka tadinya ingin ikut. Tapi membayangkan kejadian yang akan berlangsung nanti, aku tak tega mengikutsertakan mereka. Aku tak ingin menghancurkan kebahagiaan mereka dengan mempertemukan Mas Riza dalam keadaan seperti itu. Biarlah aku kesana sendiri, mendatangi acara yang harusnya sangat sakral bagi pasangan yang saling mendamba satu sama lain. Kutepikan motor di halaman rumah mertuaku. Bapak yang duduk termenung di teras menatapku agak kaget. Dia tak menyan

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-08
  • Mesin Cuci   BAB 72

    "Wah. Hebat kamu, Vit. Kamu mau datang ke acara ini. Ibu yakin dari tadi malam kamu menangisiku anakku. Sudah kubilang, sebaiknya kamu meminta cerai dari Riza. Kenapa bebal sekali, bertahan seolah-olah kamu wanita yang kuat. Kita lihat, sejauh mana kamu akan bertahan hidup dengan madumu yang jauh lebih segalanya dari pada kamu." Ucapan ibu mertua membuatku menarik ujung bibirku dan tersenyum sinis. "Jangan terlalu banyak bicara, Bu. Persiapkan saja tenagamu untuk menerima kejutan yang akan terjadi," ucapku lirih telat di sisi ibu mertuaku. Matanya menatapku nyalang, seolah paham akan bahaya yang sedang mencintainya. " Jangan coba-coba merusak hari bahagia mereka!" "Kau lihat suamiku, Bu? Tak ada kelihatan rona bahagia sedikit pun. Hanya calon menantu ibu yang tak tahu malu itu yang dari tadi tersenyum bahagia, kemungkinan dia sama seperti Ibu. Sama-sama lupa karma bagi wanita perebut suami orang." Ibu tersentak mendengar ucapanku. Sepertinya dia paham aku sudah tahu masa lalunya, m

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-08
  • Mesin Cuci   BAB 73

    "Rahma! Kumohon. Jangan lakukan ini. Aku mau bertanggung jawab dengan anak kita. Kenapa justru kamu memilih orang lain yang harus menjadi ayahnya? Aku janji, aku akan bekerja memenuhi kebutuhan keluarga kecil kita. Kumohon, hentikan ide gilamu dan wanita ini yang telah berhasil menghasutmu!" Laki-laki itu menunjuk ibu mertuaku dengan wajah garang. Kemudian dia mendekati Rahma yang makin beringsut berlindung di balik tubuh Mas Riza. Kulihat Mas Riza menyingkir, tak mau dijadikan tameng untuk wanita licik di sampingnya. "Kamu?! Sudah kukatakan tak perlu mendekati Rahma lagi. Dia akan menikah dengan anakku! Kenapa kamu nekad datang kemari?!" Ucapan ibu mertuaku membuat semua orang tersentak. Artinya dia tahu kenyatan bahwa anak tersebut bukan anak Mas Riza? Dan dengan teganya dia memfitnah anaknya sendiri demi ambisinya terpenuhi? Gila! "Ini! Ini uang yang kamu beri agar aku tak mendekati Rahma lagi! Ini! Kukembalikan padamu, aku tak mau menjual anak yang dikandung Rahma pada anakmu

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-08
  • Mesin Cuci   BAB 74

    Mulai dari AwalRasanya canggung sekali melihat Mas Riza bermain dengan kedua anak kami di kasur yang akhir-akhir ini hanya kutempati bertiga. Mas Riza menatapku sekilas, ada raut kelegaan tergambar jelas di wajahnya. Lala dan Risa bergelayut manja di lengan ayah mereka. Bahkan Risa tak mau lepas dari pangkuan sang ayah. Biarlah, aku melupakan kesalahan Mas Riza. Tak ada manusia yang sempurna. Aku berusaha mengikhlaskan kejadian yang menimpa orang tuaku di masa lalu. Aku harus menyadari satu hal, segala sesuatu yang terjadi sudah menjadi kehendak yang di atas. Pertimbanganku adalah anak-anak. Bagaimana mungkin aku tega memisahkan mereka dengan ayah yang sangat dicintai. Aku tak sanggup melihat kedua anakku menjadi penunggu jendela ruang tamu, menanti dengan sabar ayah mereka yang sedang menerima konsekuensi dari ibu mereka akibat perbuatan pengecutnya di masa lalu. Dari kejadian ini, timbul kebanggaan dalam diriku sendiri, setidaknya aku tak mudah percaya dengan kabar apapun mengen

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • Mesin Cuci   BAB 75

    "Mas lepas… takut anak-anak melihat," ucapku yang sedikit terganggu dengan tingkahnya. Sebenarnya aku masih sedikit canggung padanya. Lucu sekali, padahal kami hanya tak berinteraksi intens selama kurang lebih dua minggu. Kenapa aku jadi sekaku ini? Mas Riza melepaskan tangannya, kemudian menarik kursi makan dan duduk tak jauh dari posisiku berdiri. "Apa-apaan sih, Mas? Kaya ABG baru jatuh cinta. Ngeliatin sampai segitunya." Aku mencebik melihatnya yang seolah tak berkedip melihatku. Mas Riza terkekeh. "Kamu orang pertama yang membuatku jatuh cinta, lagi… dan lagi, Bun." Aku terkesiap. Sejak kapan Mas Riza begitu frontal merayu wanita seperti ini? "Mas. Selama dua minggu hukuman, kamu belajar ngegombal ke siapa?" Pertanyaanku sukses membuat Mas Riza tertawa hingga barisan giginya yang putih terlihat jelas. Dia gemas kemudian mengacak rambutku. Kembali dia memelukku dari belakang, dan menenggelamkan kepalanya di pundakku. Entahlah, aneh sekali rasanya. Ada desiran aneh yang tiba-t

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • Mesin Cuci   BAB 76

    Tikakah Orangnya? Pulang sekolah aku mencari buku di toko buku langgananku yang terletak di pusat kota. Setelah kucari buku untuk persiapan asesmen anak, aku menuju ke kios baso yang cukup terkenal di kota ini. Sebenarnya aku janjian dengan Farida untuk bertemu di sini. Farida adalah teman seangkatanku saat latsar CPNS beberapa tahun yang lalu. Letak penempatan kami masih satu kabupaten, hanya beda kecamatan saja. Jaraknya pun tak sampai satu jam perjalanan. Karena kami sudah sama-sama sibuk, jadi sangat jarang kami bisa bersua seperti ini. Rasanya aku sudah kangen dengan teman satu kamarku di balai diklat dulu. Farida pun berkata ada hal penting yang ingin dia ceritakan padaku. Saat kuminta bocorannya, dia bilang ingin membicarakannya langsung. "Vita!" Kami saling memeluk dan berteriak histeris. Beruntung kios baso tersebut sedang sepi pembeli, jadi kami tak perlu takut mengganggu pengunjung lain. "Makin cantik, Fa. Sehat kan?""Alhamdulillah, sehat badanku. Tidak jiwaku." Farid

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10

Bab terbaru

  • Mesin Cuci   BAB 162

    Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p

  • Mesin Cuci   BAB 161

    Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray

  • Mesin Cuci   BAB 160

    Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang

  • Mesin Cuci   BAB 159

    "Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p

  • Mesin Cuci   BAB 158

    Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan

  • Mesin Cuci   BAB 157

    Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l

  • Mesin Cuci   BAB 156

    Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir

  • Mesin Cuci   BAB 155

    "Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa

  • Mesin Cuci   BAB 154

    Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a

DMCA.com Protection Status