Share

BAB 75

Author: Yuli Zaynomi
last update Last Updated: 2022-10-10 09:48:23

"Mas lepas… takut anak-anak melihat," ucapku yang sedikit terganggu dengan tingkahnya. Sebenarnya aku masih sedikit canggung padanya. Lucu sekali, padahal kami hanya tak berinteraksi intens selama kurang lebih dua minggu. Kenapa aku jadi sekaku ini?

Mas Riza melepaskan tangannya, kemudian menarik kursi makan dan duduk tak jauh dari posisiku berdiri.

"Apa-apaan sih, Mas? Kaya ABG baru jatuh cinta. Ngeliatin sampai segitunya." Aku mencebik melihatnya yang seolah tak berkedip melihatku. Mas Riza terkekeh.

"Kamu orang pertama yang membuatku jatuh cinta, lagi… dan lagi, Bun." Aku terkesiap. Sejak kapan Mas Riza begitu frontal merayu wanita seperti ini?

"Mas. Selama dua minggu hukuman, kamu belajar ngegombal ke siapa?" Pertanyaanku sukses membuat Mas Riza tertawa hingga barisan giginya yang putih terlihat jelas.

Dia gemas kemudian mengacak rambutku. Kembali dia memelukku dari belakang, dan menenggelamkan kepalanya di pundakku. Entahlah, aneh sekali rasanya. Ada desiran aneh yang tiba-t
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mesin Cuci   BAB 76

    Tikakah Orangnya? Pulang sekolah aku mencari buku di toko buku langgananku yang terletak di pusat kota. Setelah kucari buku untuk persiapan asesmen anak, aku menuju ke kios baso yang cukup terkenal di kota ini. Sebenarnya aku janjian dengan Farida untuk bertemu di sini. Farida adalah teman seangkatanku saat latsar CPNS beberapa tahun yang lalu. Letak penempatan kami masih satu kabupaten, hanya beda kecamatan saja. Jaraknya pun tak sampai satu jam perjalanan. Karena kami sudah sama-sama sibuk, jadi sangat jarang kami bisa bersua seperti ini. Rasanya aku sudah kangen dengan teman satu kamarku di balai diklat dulu. Farida pun berkata ada hal penting yang ingin dia ceritakan padaku. Saat kuminta bocorannya, dia bilang ingin membicarakannya langsung. "Vita!" Kami saling memeluk dan berteriak histeris. Beruntung kios baso tersebut sedang sepi pembeli, jadi kami tak perlu takut mengganggu pengunjung lain. "Makin cantik, Fa. Sehat kan?""Alhamdulillah, sehat badanku. Tidak jiwaku." Farid

    Last Updated : 2022-10-10
  • Mesin Cuci   BAB 77

    Aku heran sekali melihat Farida. Dia nampak tegar bercerita gamblang mengenai keadaan keluarganya. "Lalu apa suamimu tahu kamu mengetahui tingkah busuknya ini?" Farida mengangguk. "Dan reaksinya?" "Tadinya menyangkal, tapi lama-lama dia sudah ndableg istilahnya. Pokoknya dia terang-terangan melakukan perbuatan buruk itu. Sudah nggak main umpet-umpetan lagi. Pernah dia disidang oleh orang tua dan kakaknya. Dia berjanji akan menghentikan perbuatannya ini. Terlebih waktu itu aku sedang hamil muda. Tapi… dia cuma bertahan beberapa saat saja. Setelah itu… kembali lagi dia bertemu dengan wanita tak tahu diri itu.""Kamu… hamil?" "Iya…Sempet. Sekarang sudah enggak. Keguguran. Secara, aku benar-benar setres dibuat lelaki itu. Nggak nyangka kelihatannya alim, agamis, duh… Sifatnya. Amit-amit. Emang hati manusia nggak bisa ditebak." Aku mengusap punggung tangan temanku itu. Kulihat senyum Farida mengembang. Itu yang membuatku salut padanya. Dia pandai membungkus lukanya dengan sangat rapi

    Last Updated : 2022-10-10
  • Mesin Cuci   BAB 78

    Kebusukan Tika"Tika? Namanya Tika?" Aku membelalakkan mata. Apakah yang Tika maksud itu adik iparku? Tapi dia bukan yatim piatu. Bahkan dia punya seorang kakak yakni Mas Riza. Sedangkan Tika yang dimaksud Farida berstatus yatim piatu. Kurasa mereka bukan orang yang sama. "Iya namanya Tika. Dia tinggal di daerah Ceremai. Nah itu yang mau kutanyakan padamu. Bukannya rumah asli Mas Riza di daerah ceramai, Vit?" Lututku lemas seketika. Benarkah orang yang dimaksud Farida adalah Tika adik iparku?"Vit? Kenal?" tanya Farida menggoyangkan lenganku. Aku menggeleng. Tidak. Mungkin hanya kebetulan, Tika masih punya keluarga lengkap. Bukan yatim piatu seperti yang digambarkan oleh Farida. "Jadi dia selalu menjual kisah hidupnya pada suamiku. Dia bercerita mengenai kehidupannya yang pahit, tak ada orang tua. Sendirian harus menghidupi dirinya. Sementara ini dia tinggal di rumah bekas neneknya. Kapan hari ibu mertuaku minta samperin tuh ke sana. Tapi akunya malas. Kayaknya buang-buang energi.

    Last Updated : 2022-10-11
  • Mesin Cuci   BAB 79

    Hinggga waktunya sholat magrib aku belum juga memberi tahu suamiku bahwa ibunya berulang kali telepon. Biarlah dia melihat di daftar panggilan pada ponselnya . Toh ponselnya tak kuapa-apakan, jadi Mas Riza akan mudah menemukan riwayat panggilan tersebut. Setelah makan malam, aku menyelesaikan pekerjaan administrasi pelaporan dana BOS yang memang harus dilaporkan dalam bulan ini. Lala dan Risa bermain dengan ayahnya, menyusun puzzle yang memang menjadi hobi baru mereka bertiga. Saat aku membuka ponsel, aku melihat pesan dari Bu Ratna. Dia mengirimkan tangkapan layar status milik Tika yang terlihat tengah berlibur. Aku mengernyit ketika menyadari dia berlibur di kawasan Malioboro. Selain itu, dia juga mengambil foto di beberapa kawasan wisata kota Gudeg itu. [ Memangnya adik ipar Bu Vita sudah nggak kerja?] Begitu isi pesan Bu Ratna untukku. Aku sendiri tak tahu, mengapa Tika bisa berada di Jogja. Karena setahuku, dia hanya punya jatah libur satu hari saja. Sedangkan dari foto yang

    Last Updated : 2022-10-11
  • Mesin Cuci   BAB 80

    Tinggal Tunggu Waktu"Vit. Kukirimkan foto Tika yang kubicarakan tadi siang ya! Sepertinya mereka sedang berkencan di Jogja! ] Darahku mendesir seperti dialiri arus listrik. Foto yang dikirimkan Farida menampilkan Tika yang memeluk pria yang kutahu adalah Mas Reno, suami Farida. [ Kamu mengenalnya, Vita?] Aku menatap Mas Riza yang sepertinya sudah melihat ekspresi tak biasa yang kutunjukkan. Mas Riza mengambil ponselku dan matanya bergerak-gerak membaca pesan dari Farida. Kulihat tangannya menggenggam erat benda pipih di tangannya. Wajahnya memucat dengan rahang yang mengatup rapat. "Memang keterlaluan anak itu!" umpat Mas Riza pada adik perempuannya. Aku pun masih syok menerima kabar tersebut, apalagi dia? "Mas, apakah sebaiknya bapak dan ibu mengetahui hal ini?" tanyaku pelan. Mas Riza menatapku penuh keraguan. "Besok saat Tika sudah pulang, kita bicarakan masalah ini dengan bapak dan ibu. Persoalan seperti ini harus segera diselesaikan. Tak boleh berlarut-larut, apalagi menya

    Last Updated : 2022-10-11
  • Mesin Cuci   BAB 81

    Dengan sangat menyesal aku memberi tahu Farida mengenai Tika yang sebenarnya adik iparku. Aku takut sekali Farida akan melampiaskan kekesalannya pada hubungan pertemanan kami. Tapi demi kebaikan semua orang, aku membuka informasi mengenai Tika padanya. Beruntung sekali temanku itu memahami posisiku. Terlebih dia tahu persis mengenai Tika yang sudah lebih dulu kuceritakan sebelum kenyataan ini terungkap. Ya…Aku pernah mengurai cerita mengenai adik iparku yang juga menjadi salah satu toxic dalam kehidupan rumah tanggaku. Tak kusangka, Tika juga yang menjadi musuh dalam rumah tangga Farida. Kadang aku heran, apakah bibit pelakor dari ibunya menurun padanya? Apakah sifat jelek itu menurun atau memang hanya kebetulan saja? Yang jelas itu perbuatan yang sangat amoral dan perlu dihentikan secepatnya. Rasanya aku tak rela jika semuanya berakhir begitu saja. Kurasa perselingkuhan itu bisa secepatnya dihentikan sebelum perceraian antara Farida dan Mas Reno terjadi. Aku sendiri tak habis piki

    Last Updated : 2022-10-11
  • Mesin Cuci   BAB 82

    Ancaman Tak lama, sebuah mobil keluaran terbaru berhenti tepat di depan rumah mertuaku. Kami penasaran, terlebih ibu mertuaku. Wajahnya nampak berbinar saat melihat Tika keluar dari dalam mobil. Wanita itu langsung berlari ke arah depan rumah dengan raut yang sangat bangga. Terlebih saat Mas Reno keluar dari kursi kemudi.Aku yakin dia belum sepenuhnya menyadariku yang merupakan teman istrinya, Farida. Kebetulan saat pernikahan lelaki itu dengan Farida aku tak bisa naik ke panggung untuk memberi selamat. Kebetulan anak-anak yang saat itu kubawa tak bisa diajak kompromi. Ibu langsung menggandeng tangan anak perempuannya dengan sangat manis. Pada Mas Reno, suara ibu terdengar lembut sekali. Kontras sekali dengan sikapnya padaku. "Wah… ini pasti Nak Reno,ya? Ternyata lebih ganteng dari yang di foto. Ibu sampai nggak percaya," ujar ibu dengan suara yang begitu empuk. "Ayo silahkan masuk." Ibu mempersilahkan pada Mas Reno untuk masuk. Dia tersenyum mengangguk padaku dan Mas Riza. Suami

    Last Updated : 2022-10-11
  • Mesin Cuci   BAB 83

    Lagi, ibu mertua menyalahkanku. Aku menarik napas pelan dan membuangnya. Rasanya memang watak wanita ini tak akan berubah hingga kapanpun. Aku mengambil gawai dan bermaksud mengirimkan pesan untuk Farida. Ternyata temanku itu sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu untukku. [ aku sudah sampai di SD, rumahnya ke arah mana lagi?] Aku melongokkan pandangan ke arah luar. Benar, sebuah mobil berwarna putih terlihat berhenti di depan sekolah dasar tempatku mengajar. [ tengok sebelah kananmu! Rumah bercat hijau muda.] Pesan di whatsapp itu berubah menjadi centang dua berwarna biru. Hatiku makin bergemuruh. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Jariku mendadak bergetar. "Rumah saya di Keputren, Mas. Sekitar dua jam dari sini," jelas singkat laki-laki itu. "Lalu mengenai statusmu? Apakah kamu bisa membuktikan saat ini kamu sedang tak terikat pernikahan dengan siapapun? Tentu saja kami berhak tahu," tanya Mas Riza lagi. "Mas Riza, jangan menenakannya seperti itu! Kamu keterlaluan, Ma

    Last Updated : 2022-10-11

Latest chapter

  • Mesin Cuci   BAB 162

    Anak-anak sudah tidur di kamar mereka. Ibu pun tak terlihat keluar lagi setelah jam sembilan tadi. Sedangkan Mas Riza sendiri entah apa yang dilakukannya di luar. Kurasa dia tengah menghubungi pegawai tokonya yang sedang melakukan proses bongkar kiriman gula pasir dari suplier. Aku bersyukur sekali, usaha Mas Riza berkembang begitu pesat seiring perjalanan waktu. Sungguh perjalanan yang tak mudah, aku dan Mas Riza sangat beruntung berada di posisi kami ini. Cobaan hidup yang tak mudah sudah kami lewati. Sungguh kuasa Tuhan, pemilik seluruh alam semesta dan isinya. Tak ada yang tak mungkin, seperti perubahan pada Tika contohnya. Gadis yang amat kubenci itu akhirnya berubah seiring pernikahannya yang juga tak semulus jalan tol. Aral melintang pun mereka jumpai di perjalanan rumah tangga Tika dan Tio. Tak kusangka, lelaki yang bukan berasal dari keluarga tak berpunya itu justru menjadi satu-satunya lelaki yang bisa menaklukkan hati Tika yang keras bagai karang. Sungguh kuasa Allah, p

  • Mesin Cuci   BAB 161

    Aku mengelus dada mendengar kabar wanita yang entah kemana nuraninya berada. Lila kini meringkuk di dalam penjara, berteman sepi. Tak ada lagi harta yang dia bangga-banggakan untuk menekan Tika. Tak ada lagi harta yang bisa dia sombongkan di depan orang-orang. Lila kembali menjadi kaum papa yang bahkan entah kapan bisa menghirup udara bebas. Dan kabar orangtua dan adik-adiknya yang baru sekejap menikmati harta peninggalan Pak Ranu kini kembali hidup seperti semula. "Makan, Bu," ucapku perlahan pada wanita yang dulu seringkali mencaci maki diriku. Terkadang masih ada ketakutan yang kusimpan saat beradu pandang dengan ibu tiri Mas Riza itu. Aku takut dia akan bertindak brutal padaku. Namun lagi-lagi itu hanya ketakutanku saja, nyatanya selepas dari rumah sakit jiwa kondisi Ibu seperti kehilangan tenaga. Waktunya hanya dihabiskan untuk melamun, dengan sesekali bibirnya meracau tak jelas. Hanya ungkapan maaf saja yang mampu kutangkap dengan jelas. Selebihnya tidak. "Bu," panggilku seray

  • Mesin Cuci   BAB 160

    Akhir Sebuah Kisah (Ending) Kutatap suami istri yang seluruh rambutnya memutih. Sang suami, duduk di atas kursi roda yang beberapa tahun terakhir setia menemani setiap pergerakannya. Beruntung setelah melewati puluhan kali terapi dan juga pengobatan, laki-laki itu mulai menampakkan hasil yang menggembirakan. Meski separuh tubuhnya sulit untuk digerakkan, cara bicaranya sudah kembali lagi seperti semula.HSementara sang istri duduk termenung di atas kursi kayu yang juga sengaja disiapkan di salah satu sudut rumah yang menghadap ke jalan. Pandangannya kosong, dan itu lebih baik dari pada keadaanya yang sebelumnya. Kami sekeluarga sepakat untuk merawatnya di rumah setelah dokter yang menanganinya memberi rekomendasi. Ibu sudah menampakkan kemajuan yang berarti menurutku. Dia tak pernah bertindak brutal seperti sebelumnya. Hanya sesekali dia berkata pada dirinya sendiri yang ucapan yang sama yang selalu diulang-ulang. "Maaf, maaf, maaf…."Siapapun yang dilihatnya, terlebih padaku yang

  • Mesin Cuci   BAB 159

    "Mas, bagaimana aku bisa melupakan hal yang membuatku menanggung malu seumur hidup?" Tika mengusap air matanya yang jatuh tak terbendung. "Bahkan aku selalu didera rasa malu pada suamiku. Aku merasa tak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku begitu kotor, menjijikkan. Lebih-lebih saat ada wanita itu, yang mengorek luka lamaku. Dia membuatku muak, dia membandingkan dirinya denganku yang memang tak pantas bersanding dengan Mas Tio. Oleh karenanya aku ingin sekali mencari laki-laki yang memang bertanggung jawab pada semua yang menimpaku ini. Aku tak bisa membiarkannya lepas begitu saja. Itu terlalu menyakitkan untukku!" "Tik, tapi kau bisa membicarakannya denganku! Bukan dengan lelaki itu! Kau membuatku berpikir macam-macam!" Suami Tika pun sama dengan Mas Riza. Intonasi suaranya menunjukkan betapa laki-laki itu marah dengan perbuatan istrinya. "Maaf, itu memang salahku." "Ya, hanya kata itu saja yang mampu kau katakan! Kau tak mampu mengucap hal lain karena memang kau tak percaya p

  • Mesin Cuci   BAB 158

    Mengulangi Kesalahan"Kenapa Tik?" Sepasang suami istri di depanku dan Mas Tio ini menunduk, sementata Fatih—anak mereka duduk di lantai bermain dengan kedua anakku. Tika nampak memainkan kedua tangannya. Terlihat sekali tangan wanita itu bergetar. "Tio, ada yang bisa kalian katakan? Apakah hal yang membuat kalian seperti ini?" tanya Mas Riza dengan suara pelan. Bapak yang tidur di kamarnya menjadi satu-satunya orang yang menjadi alasan diab bersikap demikian. "Adakah yang bisa Mas Riza atau Mbak Vita bantu?" Lagi-lagi pertanyaan Mas Riza hanya ditanggapi sepi. Tak ada yang membuka mulutnya. "Tolong, jaga Bapak baik-baik. Kalian tahu sendiri di rumah kami ada Ibu, tak mungkin membiarkan Bapak tinggal disana. Kuharap kalian mengerti kondisi kami. Terima kasih sekali kalian bersedia tinggal di rumah ini bersama Bapak. Mudah-mudahan keadannya segera membaik." "Mas, ada yang ingin kukatakan sebenarnya. Mohon maaf jika momennya kurang pas. Tetapi ini harus segera diselesaikan dengan

  • Mesin Cuci   BAB 157

    Aku menoleh cepat ke arah lelaki itu. Kalimatnya memberi tamparan untukku. Ada sudut hatiku yang nyeri mendengar kenyataan bahwa dia membutuhkanku sebagai teman untuk berdiskusi. Apakah hanya sebatas itu arti diriku baginya? "Bun, aku benar-benar pusing saat ini. Tolong, bantu aku untuk menghadapi semua ini bersama-sama." "Memangnya ada lagi fungsiku bagimu selain untuk menghadapi seluruh masalah-masalahmu itu?" ucapku sinis. Kupandang dengan raut masam lelaki di depanku. Rasanya memang apapun yang dilakukan atau dikatakan Mas Riza tak akan benar di mataku. "Bun, tolong jangan memperkeruh suasana." Aku berdiri, tak terima dengan tuduhannya. Dadaku naik turun menahan emosi yang kembali tersulut akibat perkataan suamiku. "Ini, lihat ini! Aku atau adikmu yang memperkeruh suasana. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya!" Kuberikan ponselku ke tangannya berharap dia tak banyak bicara dan langsung melihat foto yang kutunjukkan. Seketika mata lelaki itu membulat, menatap tak percaya l

  • Mesin Cuci   BAB 156

    Perdebatan di Rumah Sakit Rencana untuk menjenguk Ibu Sari di rumah sakit kami tangguhkan. Kondisi Bapak lumayan mengkhawatirkan. Badannya kaku, tak bisa digerakkan. Aku yang melihatnya dari samping kiri ranjang tak kuasa menahan air mata. Rasanya tak percaya kemarin kami baru saja menemuinya di rumah saat mengantar makanan. Lelaki itu nampak sehat, tak disangka kini dia terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Kudengar erangannya lirih, menandakan apa yang dia rasakan benar-benar menyiksanya. Mas Riza menangkupkan kedua tangan di wajah, sesekali dia terdengar helaan napasnya yang cukup berat. Aku yang sebenarnya masih malas berbicara dengan Mas Riza dengan agak terpaksa menemani lelaki itu ke rumah sakit. Sore tadi Tika mengabarkan kalau dia tak bisa bergantian jaga dengan Mas Riza. Entah apa alasannya, aku pun malas bertanya lebih lanjut. Moodku sudah hancur berkeping-keping karena ulah Rahma. Meski ini pun bukan sepenuhnya salah wanita itu. Mas Riza yang tak mampu berpikir

  • Mesin Cuci   BAB 155

    "Mantan pacarmu mengembalikan ponselmu yang tadi terbawa olehnya. Dia juga titip pesan padamu untuk mengantar motor yang sudah digunakan kalian untuk berboncengan ke rumah sakit besok pagi. Oh ya, satu lagi. Ada salam pula dari wanita itu. Untukmu." Aku segera menekan kata terakhir padanya. Amarahku benar-benar menggelegak kali ini. Seharian tanpa kabar, tiba-tiba Farida mengabari hal yang tidak mengenakkan sama sekali, kemudian kedatangan Rahma ke rumah ini untuk menceritakan apa yang telah terjadi, sungguh membuat kepalaku sakit tak terkira. "Bun, bisa dengar penjelasanku?" ucap Mas Riza dengan penuh permohonan. "Tadi aku buru-buru sekali hingga tak sempat berpikir panjang. Kabar yang menimpa Bapak membuatku tak bisa berpikir hati-hati. Aku langsung mengiyakan ajakan Rahma untuk menaiki mobilnya ke rumah sakit. Maaf, Bun. Mobil toko sedang dibawa Rian untuk mengantar pesanan minyak dalam jumlah banyak. Dan motor, kau tahu sendiri motornya sedang di bengkel." Penjelasan Mas Riza sa

  • Mesin Cuci   BAB 154

    Kuberikan sepiring nasi beserta lauknya kepada Risa dan segera ke depan untuk menemui tamuku. Dari dalam rumah aku bisa melihat seorang wanita berdiri membelakangi pintu. Saat pintu kubuka, rasanya jantungku hampir terlepas melihat sosok itu berbalik. Wanita yang sempat membuat rumah tanggaku berada di ujung tanduk tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. Wajah itu kini berubah, jauh lebih cantik. Jika dulu dia hanya berani mengenakan make up tipis, tidak dengan sekarang. "Hai, Mbak. Apa kabar?" tanyanya dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Aku mencoba menormalkan degup jantungku dan tampil dengan ekspresi sebiasa mungkin. Aku tak ingin dia merasa keberadaannya membuatku khawatir. Aku tak ingin dia merasa besar kepala. "Baik, ada perlu apa?" Aku langsung menanyakan hal tersebut langsung. Tak ada keinginan untuk basa-basi padanya. Bayangan tentang masa lalunya yang begitu licik membuatku enggan melakukan hal tersebut. Lagi pula aku penasaran dengan tujuannya kemari. "Mas Riza a

DMCA.com Protection Status