Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
"Duh enak banget ya kerjamu. Bersantai di rumah seperti Nyonya besar!" Ucap sang ibu mertua. Ia berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Suaranya terdengar menggelegar di telinga Arumi."Maaf, Bu. Arumi sedang tidak enak badan." Arumi yang tengah terbaring di atas sofa memaksakan tubuhnya untuk bangun menyambut sang ibu mertua. Tangannya terulur hendak mencium takzim pada sang ibu mertua."Eh, nggak usah salam-salaman. Ibu jijik kalau harus bersentuhan dengan tanganmu!" Belum sempat Arumi meraih tangan sang ibu mertua, wanita paruh baya itu sudah menepis tangannya. Hati Arumi mencelos karenanya. Semenjijikan itukah dia hingga sang mertua tidak mau bersentuhan dengannya.Arumi mengepalkan tangannya seraya mengikuti Ibu mertuanya masuk ke dalam rumah. Santi, adik Ardi berjalan mengekor di belakangnya. Langkah mereka terhenti ketika melihat Dinda duduk di lantai dengan plastik bungkus makanan yang berserakan."Heh, apa-apaan ini! Kenapa kamu mainan bungkus makanan begini?" uja
"Tolong Mama saya, Om. Tiba-tiba mama saya pingsan." Dinda menatap penuh harap pada laki-laki tinggi dan gagah di depannya.Laki-laki itu segera mengambil tas kerjanya, dan memeriksa Arumi. Tak lama kemudian Arumi segera sadar. Perlahan ia membuka matanya, menatap Dinda dan dokter muda yang duduk di sampingnya."Tadi Mama pingsan, untung ada om itu yang menolong," ucap Dinda menunjuk ke arah dokter muda tadi. Dokter itu mendekat, lalu tersenyum ke arah Arumi."Syukurlah kamu sudah sadar." ujar laki-laki itu sambil menyunggingkan senyum manis, menunjukkan barisan gigi putihnya yang tersusun rapi."Andrean?" Arumi menaikkan alisnya ketika melihat laki-laki itu. Kenapa dunia begitu sempit, Arumi bisa dipertemukan lagi dengan teman lamanya, dan Andrean terlihat sangat berbeda. Rupanya teman SMA nya itu sekarang sudah menjadi seorang dokter.Andrean bercerita jika ia baru saja dipindah tugaskan ke Rumah sakit Harapan, menggantikan Dokter Luis yang sebentar lagi akan pensiun. Dokter Luis ad
"Pulanglah, Mas!" ucap Arumi lirih. Ia telah mengumpulkan keberanian untuk datang ke rumah sang mertua untuk menyusul suaminya. Ia menekan egonya untuk meminta maaf dan membujuk Ardi pulang. Lebih baik Arumi dihina oleh ibu mertuanya, daripada melihat Dinda selalu murung menanyakan kenapa ayahnya tidak pulang."Kenapa aku harus pulang?" ucap Ardi dengan acuh tak acuh. Ia sama sekali tidak mau menatap wajah sang istri. Hatinya jengkel setiap kali mengingat pertengkarannya dengan Arumi kemarin. Membayar uang kuliah Santi itu kan memang sudah kewajiban Ardi jadi kenapa ia harus membahasnya lagi?"Kamu masih marah ya Mas?" ucap Arumi gusar. "Maaf, Mas. aku tidak pernah bermaksud untuk melawanmu, tapi uang SPP Dinda memang harus segera dibayar," ucapnya lagi.Ardi mendengus. Bukannya Ardi tidak punya uang untuk membayar uang sekolah Dinda, tapi Ardi memang tidak mau membayarnya. Hasutan ibunya sudah meracuni pikiran. Ia begitu membenci anak itu, semenjak anak itu lahir ke dunia."Lagian ng
Arumi masih termenung di depan meja makan. Menatap sepiring nasi dan mangkuk sayur asem yang masih utuh. Perutnya terasa lapar, namun rasanya ia tak ingin makan.Dinda sudah tidur sejak sore tadi. Sepertinya anak itu kelelahan membantunya mengerjakan pekerjaan borongannya. Arumi memang mengambil kerja borongan membungkus snack, dari usaha makanan rumahan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hasilnya memang tidak seberapa. Arumi hanya mendapatkan upah Rp.15.000,- sehari.Namun bagi Arumi uang segitu sangat berarti. Arumi bisa menggunakannya untuk membeli sayuran dan uang jajan Dinda setiap harinya. Arumi mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding yang menempel di tembok sebelahnya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun tidak ada tanda - tanda suaminya akan pulang. Sudah empat hari ini Ardi tidak pulang ke rumah. Bahkan menghubunginya pun juga tidak.Tiba-tiba Arumi merasakan kesepian yang sangat dalam. Ia begitu merindukan suaminya yang dulu. Bayangan hari - hari yang mere
"Jadi kau tidak percaya kepadaku, Mas?" Arumi duduk berhadapan dengan Ardi di ruang tamu. Mereka hanya berbicara berdua saja, sebab Dinda sudah disuruh masuk ke kamarnya oleh Arumi."Kenapa aku harus percaya kata-katamu? Buktinya jelas, kau yang mendorong ibuku!" Ardi berbicara tanpa mau menatap wajah istrinya. Pikirannya kacau, apalagi rasa cemburu kini menguasai hatinya."Memang aku yang mendorong Ibu. Tapi aku tidak sengaja melakukannya, karena Ibu ingin menyakiti Dinda." Arumi mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, tetapi sepertinya tidak ada lagi celah bagi Ardi untuk mempercayainya."Jangan lagi kau memutar balikan fakta, Arumi. Kau mendorong Ibu, karena kau tidak terima Ibu menegurmu telah berselingkuh dengan dokter itu!" Ardi meninggikan suaranya. Sepertinya amarahnya sedang berada di puncak."Bukan seperti itu kejadiannya, Mas!" Arumi menceritakan kejadian yang sebenarnya. Kala Bu Hilda memintanya untuk bercerai dengan Ardi. Sampai mengancamnya dan menyakiti Dinda, hingga
"Ternyata seperti ini kelakuanmu, jika suamimu tidak ada di rumah!" geram Ardi. Ia mengepalkan tangannya menahan amarah. Sorot matanya tajam, seperti sebuah kilatan pedang yang siap mencabik - cabik Arumi dan dokter Andrean.Ternyata apa yang dikatakan ibunya selama ini bukan hanya omong kosong. Hanya saja ia terlalu naif untuk mempercayainya. Cintanya pada Arumi membuatnya selalu menutup mata. Tapi hari ini ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri. Ia semakin yakin jika Dinda memang benar- benar bukan darah dagingnya. Seketika kebenciannya pada anak itu kembali menguasai hatinya."Mas, kamu salah sangka!" Arumi menarik tangannya dari genggaman tangan dokter Andrean. Lalu ia berdiri menghampiri suaminya."Aku tidak buta, Arumi!" ucapnya dingin."Dokter Andrean hanya …." Arumi ingin menjelaskan semuanya. Namun belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya, Ardi sudah memotongnya."Ternyata benar yang dikatakan Ibu. Kamu hanyalah wanita murahan, yang merelakan tubuhmu disentuh oleh
"Mas Ardi pasti suka dengan makanan ini!" gumam Arumi.Arumi datang ke kantor Ardi, dengan menenteng rantang di tangan kanannya. Ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Ardi sekaligus memberi kejutan. Arumi membawakan makan siang spesial untuk Ardi. Kebetulan kemarin Arumi mendapat bonus dari Pak Kasim, pemilik pabrik tempat ia mengambil pekerjaan borongan. Dengan uang itu, Arumi bisa membeli daging dan memasak rendang kesukaan Ardi.Namun rupanya, justru Arumi yang dibuat terkejut oleh Ardi. Ia melihat Ardi tengah duduk di coffee shop depan kantornya bersama dengan seorang wanita. Kira- kira wanita itu seumuran dengannya. Namun penampilannya sangat menarik. Pakaiannya terlihat sangat modis. Rambut panjangnya tergerai rapi, menambah aura kecantikan wanita itu. Sangat berbeda dengan penampilan Arumi yang sedikit lusuh. Bukannya tidak ingin berpenampilan cantik, tapi Arumi harus menyesuaikan penampilannya dengan uang belanjanya. Bagaimana mungkin Arumi bisa berpenampilan cantik jika han
Dokter Andrean buru- buru keluar dari rumah sakit begitu mendengar kabar Dinda diculik. Begitu pedulinya ia pada Dinda. Meskipun ia tak mmiliki hubungan apapun dengan Dinda, tapi anak itu berhasil mengisi salah satu bilik di hatinya. Keceriaan dan keberaniannya berhasil membuat dokter Andrean merasa tersentuh. Terlebih Dinda adalah anak Arumi, gadis yang pernah singgah di dalam hatinya, meski rasa itu hanya bertepuk sebelah tangan."Dokter, tolong saya. Dinda diculik dan penculiknya meminta uang tebusan seratus juta!" Kata- kata Arumi di seberang telepon tadi terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa membayangkan seperti apa perasaan Arumi sekarang. Sepertinya ia sedang panik dan kebingungan saat ini.Dokter Andrean sudah sampai di mobilnya. Tangannya hendak meraih pintu mobil, tapi tiba- tiba seseorang menghentikannya."Dokter Andrean!" Nyonya Tiara dan Tuan Hanggoro saling bergandengan berjalan ke arahnya.Dokter Andrean menajamkan penglihatannya menatap sepasang suami istri yang ta
Ardi menggamit lengan Arumi dan Dinda, memasuki sebuah restoran mewah di kota itu. Kehadiran mereka menarik perhatian beberapa pengunjung lain. Wajah cantik Arumi yang disorot oleh lampu temaram memiliki daya pikat tersendiri. Kecantikannya mampu menarik perhatian orang- orang yang tengah duduk, menikmati makan malamnya di restoran itu.Arumi memang selalu terlihat menarik di mata laki- laki. Mungkin karena hal itulah rasa cemburu Ardi begitu besar. Meskipun Arumi selalu bisa menjaga hati dan pandangannya tapi Ardi justru selalu mencurigainya. Bodohnya ia sampai termakan hasutan ibunya.Ardi semakin mengeratkan tangannya ke lengan Arumi. Sungguh ia merasa sangat beruntung memiliki istri secantik Arumi. Entah selama ini apa yang membuatnya buta sampai menyia- nyiakan istri seperti Arumi.Ardi terus melangkah sampai ketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang melambaikan tangan ke arahnya.Ardi mempercepat langkahnya menuju ke meja lelaki yang tak lain adalah kliennya itu.Lela
"Bu, lihatlah si Babu ini sudah berpakaian rapi, mau kemana dia?" Aurel berteriak ketika melihat Arumi dan Dinda berpakaian rapi. Arumi mengenakan gaun berwarna hitam yang dibelikan oleh Ardi beberapa hari yang lalu. Tubuhnya yang kurus nampak cantik berbalut gaun hitam yang nampak mewah dan elegan itu. Polesan make up tipis di wajahnya, tampak membuatnya semakin cantik. Tentu saja hal.itu membuat Aurel yang selalu iri dengan Arumi naik pitam.Arumi dekil dan penyakitan saja, Aurel iri karena Ardi tetap selalu mencintainya. Apalagi sekarang, Aurel tampak cantik dengan gaun yang dibelikan oleh Ardi. Ardi memang pintar memilih gaun. Gaun hitam itu pas sekali di tubuh Arumi. Aurel sempat melontarkan protes, karena suaminya tak pernah memilihkannya gaun seperti itu. Namun Ardi selalu berkilah. Selera fashion Aurel sangat tinggi, ia takut jika pilihannya tidak cocok untuk Aurel. Namun tentu saja semua itu hanyalah alasan Ardi. Ia memang tidak pernah mencintai Aurel. Perhatian dan kasih say
"Ardi…!" Bu Hilda berlari tergopoh- gopoh ke kamar Arumi. Arumi dan Ardi yang tengah bercengkrama, sontak mengalihkan perhatiannya pada Bu Hilda."Ada apa, Bu?" ucap Ardi seraya menaikkan alisnya."Aurel… Aurel pingsan!" ucap Bu Hilda sambil menunjukan wajah paniknya.Ardi mengernyitkan alisnya mendengar perkataan Bu Hilda. Tadi Aurel nampak baik- baik saja, kenapa tiba- tiba pingsan.Melihat putranya tak bergeming, Bu Hilda langsung menarik tangannya."Ayo, kita harus segera membawa Aurel ke rumah sakit!" "Tapi —" Ardi enggan meninggalkan Arumi. Saat - saat seperti ini adalah saat yang paling dirindukannya. Namun suasana syahdu itu harus rusak karena teriakan Bu Hilda."Ayo, Ardi! Aurel istrimu juga. Kalau sampai terjadi apa- apa padanya, kau juga harus bertanggung jawab!" Bu Hilda meninggikan suaranya, agar anak lelakinya itu mau mengikutinya. Sejenak Ardi menatap Arumi, seolah ingin meminta izin pada wanita itu. Arumi tersenyum sembari menganggukkan kepala, membuat seluruh keragua
Deru suara mobil berhenti di pekarangan rumah Bu Hilda. Beberapa saat kemudian Ardi terlihat turun dari mobil dengan menenteng beberapa kantong plastik dan tas belanja.Bu Hilda, Santi, dan Aurel tersenyum melihat tentengan di tangan Ardi. Sepertinya lelaki itu habis dapat bonus dari kantor sampai belanja sebanyak itu."Wah, kamu habis belanja, Mas?" Aurel mencium takzim telapak tangan suaminya, kemudian bergelayut manja di lengannya."Ya, aku tadi abis dari supermarket, aku juga mampir ke restorant biasa, untuk membeli makanan," sahut Ardi seraya mengangkat kantong plastik yang ditentengnya.Senyum Aurel semakin lebar, melihat logo restorant favoritnya di kantong plastik yang ditunjukkan suaminya itu."Wah, Mas Ardi memang suami idaman. Padahal aku ga minta dibeliin makanan, tapi Mas Ardi sudah pengertian." Aurel hendak meraih kantong plastik dan tas belanja di tangan suaminya itu, tapi belum sempat tangannya menyentuh kantong plastik dan tas belanja itu, Ardi sudah menjauhkannya dar
"Mama!" Dinda melepas genggaman tangan Ardi dan berhambur ke arah ranjang Arumi. Baru beberapa hari saja, ia tidak bertemu dengan sang mama, rasa rindunya sudah membuncah. Arumi yang masih lemah, dengan selang- selang infus masih terpasang di tubuhnya mencoba bangun untuk menyambut putrinya itu. Tak bisa dipungkiri, ia juga sangat merindukan Dinda."Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Air matanya meleleh saat tangannya berhasil merengkuh bocah perempuan yang masih memakai seragam SD tersebut."Bagaimana keadaan Mama? Apa perut Mama masih sakit? Biar Dinda obati!" ucap bocah polos itu. Selama ini, yang selalu ia lakukan saat sang mama berguling kesakitan menahan rasa nyeri di perutnya, adalah mengelus- elusnya. Kali ini Dinda pun melakukan hal yang sama, membuat Arumi tersenyum geli."Mama udah ga sakit kok, Sayang," ucap Arumi sembari membelai rambut gadis kecil yang dikuncir dua itu. Semua rasa sakitnya seolah musnah begitu melihat putri kesayangannya itu."Kalau begitu, kapan Mam
Ardi memasuki ruang rawat Arumi, tampak wanita itu tengah berbaring dengan mata terpejam. Mendadak Ardi merasa udara di ruangan itu terasa menipis dan itu membuat dadanya sesak, apalagi ketika melihat wajah pucat Arumi yang sangat kentara. "Arumi ..." panggilnya pelan, jika Arumi sedang tidur maka dia tidak mau mengganggu.Namun kemudian mata Arumi perlahan membuka, binar matanya terpancar ketika melihat Ardi ada di sampingnya. "Mas ..." ucapnya lemah, suaranya hampir tak terdengar.Ardi meraih tangannya, terasa dingin."Arumi, maafkan aku," ucap Ardi dengan terbata-bata, dia sedih melihat kondisi istri pertamanya itu."Aku sungguh tidak tahu semua ini, kenapa kamu nggak ngomong kalau kamu sakit? Aku bisa membantu pengobatannya dan kamu nggak harus bekerja keras sendirian," ucap Ardi sedikit menyesalkan akan diamnya Arumi selama ini.Arumi hanya tersenyum tipis menjawabnya, dia menggeleng dan balas menggengam tangan Ardi meski terasa lemah. "Aku menyesal menuduhmu selama ini!" tut
"Bedebah! Berani sekali kamu bicara seperti itu!" geramnya, dia bergerak maju dan gantian mencengkeram kerah kemeja Andrean. Ardi naik pitam, dia tersinggung dan tak terima dengan ucapan Andrean yang secara terang-terangan meminta Arumi darinya.Andrean tampak tenang dan malah tersenyum."Aku ingin tahu sejauh mana kamu masih mencintai Arumi, bahkan jika mendengar fakta sebenarnya antara aku dan dia," ucapnya tersenyum miring.Ardi salah mengira, dia berpikir jika Andrean memang benar-benar akan mengatakan kebenaran mengenai perselingkuhan yang dilakukannya dengan Arumi."Dia masih istriku, jadi aku masih berhak atas hidupnya, kamu tidak bisa mengambil dia begitu saja dari tanganku!" gertak Ardi mengguncang Andrean dengan marah.Andrean menarik sudut bibirnya berlawanan, sekarang jelas dia bisa melihat perasaan Ardi sebenarnya terhadap Arumi."Dia mengidap penyakit mematikan, aku dan dia tak lebih hanya sebagai dokter dan pasien, Arumi tak ingin memberitahukan semuanya sama kamu karen
"Bos kenal dia?" tanya Bonar heran. Andrean yang menyadari jika perempuan yang pingsan itu adalah Arumi, pasiennya sendiri, segera mendekat dan memeriksanya."Dia pasien saya," jawab Andrean singkat. Alis Bonar terangkat mendengarnya.Tangannya memeriksa denyut nadi Arumi dan keningnya berkerut dalam. Raut wajahnya berubah cemas. Tanpa banyak bicara, lelaki itu menunduk lalu dengan sigap mengangkat tubuh Arumi.Bonar tanggap, dia bergegas menuju mobil Andrean dan membantu membukakan pintu mobil."Tolong kamu urus gerobaknya dulu!" kata Andrean pada Bonar."Siap, Bos!" sahut Bonar.Andrean mendudukkan Arumi di kursi depan dan memasangkang sabuk pengaman, dia sedikit merendahkan kursi agar Arumi bisa berbaring. Setelah memastikan Arumi aman, dia sendiri segera masuk dan menyalakan mobil. Langsung tancap gas menuju Rumah Sakit."Kamu kok maksain diri, Arumi! Sudah tahu badan kamu itu lemah dan nggak boleh terlalu kelelahan!" gumam Andrean sejenak melirik ke arah Arumi yang terpejam di k