Dasar pecundang sejati, aku hanya bisa bersembunyi dan terus berlari dari kenyataan. "Manusia lemah dan bodoh. Sudah mendapati siksaan batin sedemikian rupa, masih saja mau bertahan dengan keadaan ini." Mungkin kalian pun juga mengatakan hal yang sama seperti itu. Ya, benar! Aku memang bodoh. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan, akhirnya diri ini terjebak di dalam prahara kebodohanku sendiri.Erna menatapku iba, tanpa menceritakan tentang sumber tangisanku, ia sudah tahu permasalahannya. Tangannya meraih bahuku dan memeluknya. "Sabar, ya, Jul. Tuhan sedang menguji, tetap percaya pada-Nya." Aku membenamkan kepalaku di pelukannya."Kurang apa aku, Na? Selama ini, aku gak pernah menuntut apa pun dari Mas Bo'eng. Aku dengan ikhlas menerima semua kekurangannya," ucapku sambil tergugu. Erna mengusap-usap bahuku."Kekurangan kamu adalah terlalu sabar! Pemaaf!" rutuknya."Aku hanya mencoba menjadi istri yang gak neko-neko, Na.""Justru itu, si Bo'eng mengambil kesempatan atas kelemahanmu!" t
Setelah selesai, Azam mengantarkan kami pulang. Hari ini, aku begitu bahagia bisa menemaninya. Azam mengatakan, bahwa ia habis berbelanja untuk kebutuhan konter barunya. Membeli beberapa alat untuk menservis HP. Dalam perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Sedangkan Fito, tengah asyik bermain mainan baru yang dibelikan oleh Azam tadi.Kami melewati konter Mas Bo'eng, sekilas aku melihat suamiku sedang memangku perempuan itu. "Ada apa?" tanya Azam yang tanpa sadar mengikuti arah mataku."Gak ada apa-apa," jawabku asal."Rencananya, aku ingin memasang cctv di sana." Hatiku berdebar. Seolah Azam tahu apa yang sedang aku pikirkan."Oh. Oh, ya, Zam ... Melly itu siapa yang masukin kerja?" tanyaku iseng. Entah kenapa, saat menyebutkan nama perempuan itu, hatiku begitu sakit sekali. Tenggorokan tiba-tiba begitu tercekat.Azam mengerutkan dahi, "Melly? Siapa dia?" Pertanyaan Azam membuatku bertanya-tanya, apa semua hak telah diserahkan sepenuhnya kepada suamiku? Dari memilah karyawan, hing
Pukul sembilan pagi, aku dan Fito baru keluar dari kamar. Beberapa cemilan dan susu kotak rasa coklat, telah pindah ke perut Fito. Aku memang sengaja menunggu mertuaku mengantar Risa kerja. Mereka semua telah pergi, hanya ada aku dan Fito di rumah ini.Aku mengajak Fito mandi dan bergantian denganku. Piring kotor telah menumpuk di atas wastafel dapur, sebenarnya aku tidak betah melihat rumah berantakan seperti itu. Akan tetapi, aku ingin memberikan pelajaran untuk mertuaku. Bisa-bisanya mereka tega membohongiku selama ini. Mendukung Mas Bo'eng tinggal sendiri tanpa kami!"Baiklah, ini, kan, yang kalian mau?" Aku bergumam. Sesak rasanya. Setelah selesai mandi, aku merias diri dengan make-up dari Azam kemarin. Cantik juga wajahku kalau berdandan. Dengan tersipu malu dan tersenyum sendiri.‘Terima kasih, Azam. Dari dulu, hanya kamu yang membuatku tersenyum bahagia.’"Fito, ayo, kita main ke rumah Mbak Mitta," ucapku kepada Fito yang masih bermain dengan mobilannya."Iya, Ma." Anak itu me
Erna menyenggol lenganku. "Cie, dari tadi senyum-senyum terus?" ledeknya."Erna, apa aku salah kalau menerima semua kebaikan dari Azam?" tanyaku."Tentu aja gak salah, kan, bukan kamu yang minta?""Aku takut dibilang pelakor nanti, apalagi kalau sampai Lisa tau," jawabku kemudian."Kamu jangan mengirimkan pesan WA duluan, biar aja si Azam yang duluan kirim." Aku mengangguk paham.Benar juga, untuk apa juga aku mengirim pesan duluan? Di dalam kontak, hanya ada nomor Erna dan Azam yang baru kusimpan dalam memori telepon.Bahkan, aku tidak tahu berapa nomor telepon suamiku sendiri. Setengah jam telah berlalu, suara mertuaku terdengar dari dalam rumah. Sepertinya, dia baru kembali."July! Buatin kopi!" teriaknya."Baru pulang, tuh. Sana buatkan dulu, biar Fito di sini aja," ucap Erna.Aku melangkahkan kaki dengan malas, masuk melewati pintu belakang kembali. Namun, aku terkejut melihat mertuaku berkacak pinggang, "Bisanya ngerumpi aja!" bentak mertuaku.Tanpa berkata apa pun, aku mengambi
Pukul satu siang, saat aku sedang membantu Erna merajang sayuran untuk esok, suara Mas Bo'eng terdengar begitu melengking dari dalam rumah kontrakan mertuaku. Mungkin saja ibunya mengadu seperti biasa."Juliii! Sini lu!" teriak suamiku."Loh, itu suara si Bo'eng? Pasti mertuamu ngadu, tuh, ke dia.""Paling juga tar malam si Risa bakalan nambahin." Aku berjalan pulang ke rumah, Fito masih bermain di dalam. Setelah pamit, aku langsung berlari kecil sampai ke pintu dapur. Benar saja, Mas Bo'eng sudah ada di sini."Kenapa?" tanyaku pada lelaki itu.Mas Bo'eng duduk di sofa ruang tamu, awalnya ia membulatkan matanya seperti ingin menerjang musuhnya. Namun, detik kemudian ia terperangah melihatku. Mas Bo'eng menatapku dari ujung rambut, hingga ke ujung kaki sambil melongo."K-ka-kamu, kamu kenapa?" tanyanya dengan tergagap. Sudah lama sekali Mas Bo'eng tidak berbicara memakai "aku kamu" denganku, selama ini dia hanya memakai "lu gue" saaj. Namun, hari ini berbeda.Hatiku puas dan senyum dal
~Jangan pernah memulai sebuah hubungan hanya karena kamu kesepian. Sebab, ketika kau sadar cinta mulai tumbuh perlahan, maka itu akan terasa sangat menyakitkan.~***Ketika sampai di rumah Erna, Fito berlari mendekatiku. Mungkin, anak itu heran kenapa aku membawa buntalan baju ke rumah ini. Aku menyeka kembali air mata yang hampir mengering di pipiku."Sudah, kamu suapi Fito makan dulu, terus sekalian kamu juga makan. Baru nanti kita cari kontrakan," tutur Erna sambil menyerahkan piring lengkap dengan lauknya ke tanganku."Terima kasih banyak, Na. Kebaikan kamu, tidak akan pernah habis terbayar sepertinya.""Jangan bilang seperti itu. Sudah sepatutnya kita saling tolong, kan?"Aku menyuapi Fito, lalu menyuapi diriku sendiri. Makanan yang masuk tidak terasa di tenggorokan ini, padahal rasa lapar sudah dari tadi terasa. Akhirnya, aku tidak bernapsu untuk makan. Hanya Fito yang menghabiskannya.Erna sibuk memasak, sedangkan Mitta mewarnai buku gambarnya. Suami Erna telah mengijinkan aku
Tiga panggilan tak terjawab dari Azam, sengaja tidak mengangkatnya. Berkali-kali Mas Bo'eng dan keluarganya menyakitiku, perhatian Azam semakin membuatku tenggelam ke dalam cinta masa laluku."Angkat, loh. Itu Azam nelpon." Erna seperti gregetan melihatku, ia mencoba meraih ponsel tetapi aku menepis tangannya."Untuk apa diangkat? Aku takut," jawabku."Takut apa?" tanyanya. Dering teleponku sudah taj berbunyi. Pesan masuk bertubi-tubi dari Azam, hanya mengirimkan huruf "P" saja."Coba dibuka dan balas, kasian, loh."[P][P]Pesan "P" dari Azam, hingga 19 kali. Terlihat Azam sedang mengetik.Belum sempat membalas pesannya, ia mengirimkan kembali pesan baru. [July, ada apa? Kenapa gak mau angkat? Kamu marah?][Gak, Zam. Mana mungkin aku marah sama orang baik seperti kamu.][Besok kita bicarakan lagi, ya.] Pesan terakhir Azam."Erna, apa aku ini jahat?" tanyaku. Pandangan mataku masih menatap foto Azam sambil mengusapnya."Jahat kenapa?" Aku tahu, Erna pasti melihat apa yang sedang kulak
Pukul tujuh pagi, aku telah siap untuk berjualan. Akan kutata kembali hati yang hancur ini. Mas Bo'eng tidak mencariku hingga detik ini, aku masih berharap ia mencari kami. Benci dan sedih tercampur menjadi satu.Saat kakiku melangkah keluar rumah, pintu belakang rumah mertuaku terbuka. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah Erna, dan bersembunyi di balik tirai sambil mengintip apa yang akan dilakukan mertuaku.Langkahnya mengarah ke halaman rumah Erna, buru-buru aku masuk lebih dalam lagi. Erna yang tengah memajang sayur-sayur yang telah matang ke etalase depan, sempat heran menatapku berlari kecil."Ernaaa!" jerit mertuaku dari luar."Iya. Tunggu!" jawabnya."Sayur, dong. Perkedel kentang lima, sayur asamnya sebungkus aja, sama telur sambal, deh, tiga." Mertuaku menyerahkan uang lembaran pada Erna."Semuanya tiga puluh ribu," ucap Erna dan menyerahkan kembaliannya. Tak lama mertuaku pun kembali ke rumah.Erna masuk ke dalam untuk mengambil sayuran yang masih ada di dapur, melihat k
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d