Pukul tujuh pagi, aku telah siap untuk berjualan. Akan kutata kembali hati yang hancur ini. Mas Bo'eng tidak mencariku hingga detik ini, aku masih berharap ia mencari kami. Benci dan sedih tercampur menjadi satu.Saat kakiku melangkah keluar rumah, pintu belakang rumah mertuaku terbuka. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah Erna, dan bersembunyi di balik tirai sambil mengintip apa yang akan dilakukan mertuaku.Langkahnya mengarah ke halaman rumah Erna, buru-buru aku masuk lebih dalam lagi. Erna yang tengah memajang sayur-sayur yang telah matang ke etalase depan, sempat heran menatapku berlari kecil."Ernaaa!" jerit mertuaku dari luar."Iya. Tunggu!" jawabnya."Sayur, dong. Perkedel kentang lima, sayur asamnya sebungkus aja, sama telur sambal, deh, tiga." Mertuaku menyerahkan uang lembaran pada Erna."Semuanya tiga puluh ribu," ucap Erna dan menyerahkan kembaliannya. Tak lama mertuaku pun kembali ke rumah.Erna masuk ke dalam untuk mengambil sayuran yang masih ada di dapur, melihat k
"Mengeluh hanya akan membuat hidup kita semakin tertekan, sedangkan bersyukur akan senantiasa membawa kita pada jalan kemudahan."****Kami sama-sama terdiam hingga suara Fito mencairkan suasana. "Mama," Fito memelukku. Sejak pulang tadi, aku belum sempat mencium ataupun menggendongnya.Suara Azam terdengar, "Fito lagi apa?" tanyanya disela-sela keheningan kami. "Coba video call, angkat, gih." Mau tidak mau aku mengangkatnya."Halo Fito," panggil Azam. Fito dengan cepat meraih ponselku. Hampir saja terjatuh."Om Azam, cini," sapanya."Iya, Sayang. Nanti Om ke sana, ya. Kita beli mainan lagi yang banyak, mau?" Fito mengangguk kegirangan. Jeritannya memekakkan telinga."Tanya mamanya, mau ikut gak?" Pertanyaan Azam membuat pipiku terasa memerah."Mauuu! Tante Erna juga mau ikut, boleh gak?" teriak Erna dari kejauhan. Sontak, membuat mataku melotot ke arahnya."Boleh, kok. Ya, sudah. Siap-siap, gih." Rupanya, Azam serius dengan perkataannya."Sayang, kamu lagi telepon siapa?" Suara Lisa
( AZAM ADITYA )Jika suatu hari, aku menghilang tanpa jejakApakah kau akan mencarinya?Tentu saja "Tidak" adalah jawaban terbaiknya.Aku mengagumi dirimu tak terbatas waktuBeribu resah menyelimuti benakkuApakah kau rindu padaku?Ah, berkali-kali aku menulis lalu merobeknya kembali. Bahkan, kata-kata indah pun tak mampu menyamai gadis manis bermata sipit itu. Dia adalah July, aku mengenalnya saat sekolahku mengadakan pertandingan antar sekolah.Gadis itu berkali-kali terkena bola basket, namun ia tak merasakan kesakitan. Aku selalu memperhatikannya, tingkahnya yang ceroboh membuatku tertawa-tawa sendiri. Ada 17 sekolah lain yang turut meramaikan acara tersebut. Aku yang kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS, dengan leluasa bisa mencaritahu tentang gadis itu.Tidak ada yang menonjol darinya, selain kecerobohan yang ia buat. Aku selalu mengikuti ke mana gerak langkahnya, tentu saja ada banyak hal yang membuatku semakin penasaran dengannya. July ternyata seumuran denganku, hanya berbed
Waktu tanpa terasa begitu cepat berlalu, sudah satu minggu aku tinggal bersama Erna di rumah ini. Namun, tempat tinggal pun belum juga dapat. Uang tabungan dari keuntungan berjualan, telah terkumpul banyak. Itu semua berkat bantuan Erna meminjamkan motornya padaku. Jadi, dalam sehari aku bisa berjualan hingga tiga ratus kantung sayur matang, tentu dengan waktu yang berjarak—sarapan, makan siang, dan sore hari—mengelilingi kompleks maupun perkampungan dekat sini.Mas Bo'eng dan ibu mertuaku sudah pindah ke rumah baru mereka. Kontrakan yang ibu mertuaku tinggal untuk sementara memang kosong, tetapi harus membayar satu tahun penuh. Sepuluh juta. Tabunganku bahkan tidak punya sebanyak itu, mau meminjam pada Erna pun segan. Bagaimana jika tidak sanggup membayar? Meskipun Erna akan meminjamkannya, tetapi aku takut jika tidak bisa mengembalikan dengan cepat. Itu adalah tabungan untuk Mitta masuk ke sekolah baru, enam bulan lagi.Ketika aku sedang menghitung hasil hari ini, Erna menghampiriku
Kabut dendam telah sempurna menyelimuti hati. Bahkan, jika mereka meminta maaf pun, tidak ada artinya lagi bagiku. Aku menyudahi jemariku mengusap layar ponsel ini, menaruhnya di lantai dan bersiap untuk mandi.Segar rasanya, mandi tanpa harus menimba dan mengangkat air terlebih dahulu. Mulai hari ini, aku akan merawat tubuh dan wajahku. Aku kini sudah selesai mandi, melihat Fito terbangun aku jadi seperti mendapatkan mood baru."Mama ...," sapa Fito. Matanya masih mengantuk. Aku mendekat dan mencium keningnya. Fito balas memeluk erat."Iya, Sayang. Fito, doain mama lagi, ya. Supaya jualannya habis semua," pintaku. Fito mengangguk dan mengucapkan doa seperti biasa."Tuhan, semoga jualan mama banyak yang beli. Amin.""Amiiin." Aku mengamini ucapannya.Ya, aku akan membalas rasa sakit hati dan kekecewaan yang tumbuh di dalam hati ini, pada mereka semua. Terlebih kepada suamiku, Mas Bo'eng! Persetan menjadi perempuan baik-baik! Ah. Kenapa pikiran itu selalu mengisi benakku? Dorongan untu
Rutinitas harian telah selesai, hanya tinggal menunggu jam untuk berjualan. Entah kenapa, aku merindukan Azam. Ah, harusnya aku merindukan Mas Bo'eng, bukan adiknya! Hubunganku dengan Mas Bo'eng semakin menjauh, kemarin mertuaku datang dan memaki seperti biasanya.Mengata-ngatai aku sebagai pelakor yang mencoba menggoda Azam. Ya, pesan WA yang ada di ponsel Azam, tak sengaja terbaca oleh Lisa. Mungkin saja, Lisa baru mengetahuinya. Karena, beberapa hari yang lalu saat kami bertemu di jalan itu, mereka tak membahas soal pesan itu.Aku hanya diam saat nyonya besar itu memaki, lontaran kata-kata kasarnya tidak membuatku terkejut. Para tetangga pun sempat melihat kami. Malu! Tentu saja aku malu. Terlebih, tetangga sebelah pernah melihat Azam membawakan barang-barang belanjaan untukku."Lihat aja, akan aku buat jadi kenyataan ketakutan kalian!" umpatku kesal.Dengan malas, aku memainkan ponsel pemberian Azam. Tanpa sengaja membaca postingan dari Lisa. Mem-posting fotoku dengan caption "Pel
Setelah memastikan semua baik-baik saja, aku kembali masuk ke dalam kamar Erna. Terlihat ia sedang tertidur, aku menutup pintu kamar dengan perlahan. Agar tidak berderit."Fito, tadi ada siapa?" Aku duduk di ruang tamu bersama Fito. Tidak seharusnya aku bertanya, karena memang tidak ada siapa-siapa di sini. Akan tetapi, aku begitu penasaran."Ada Om, tapi sudah pergi." Jawaban Fito membuatku bergidik dan mendekat lebih dekat dengan Fito.Meskipun ini masih terbilang pagi hari, namun suasana rumah Erna begitu hening. Nyaris tak bersuara. Lampu ruang tamu rada temaram jika pintu tidak dibuka. Mendadak, aku merasakan takut yang luar biasa. Hingga suara batuk Erna pun mampu membuatku melonjak karena takut.Uhuk! Uhuk!Batuk Erna terdengar semakin sering. Aku berlari kecil melihat keadaannya."Erna, ayo, kita ke puskesmas aja? Atau ke dokter?" bujukku. Namun, hanya gelengan kepala yang ia sampaikan.Bau rumah sakit tercium terbawa angin, "Bau apa ini, ya?" ujarku lagi.Namun, Erna tidak me
Sudah setengah jam aku menunggu di teras rumah Erna, tapi belum juga kembali. Aku memutuskan untuk kembali pulang bersama Fito, dan bersiap diri untuk bertemu dengan Azam.Langkah kaki dengan cepat melangkah, hatiku begitu bahagia bisa mendengar suara Azam lagi. Apalagi, dia ingin mengajak aku dan Fito bermain.Baru saja sampai di pagar rumah, Mas Bo'eng berdiri dengan bermain ponsel di tangannya. Ia menoleh ke arah kami saat mendengar langkah kakiku."July, apa kabar?" tanyanya tanpa rasa berdosa.Dadaku mulai berdegup kencang, amarah menjalar perlahan begitu saja. Aku merasakan sedih yang teramat saat menatap matanya. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku berbalik arah dan menghapus air mata secara kasar. Aku tak ingin ia tahu jika aku sedang menangis."Mau ke mana? Aku dari tadi menunggu kamu di sini," ucapnya lagi. Langkahku terhenti, diam bergeming. Dada bergetar hebat, air mata menetes kembali saat mendengar suara Mas Bo'eng. Sakit hati ini. Apa? Dia mengucapkan "Aku Kamu" barusan?
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d