Rutinitas harian telah selesai, hanya tinggal menunggu jam untuk berjualan. Entah kenapa, aku merindukan Azam. Ah, harusnya aku merindukan Mas Bo'eng, bukan adiknya! Hubunganku dengan Mas Bo'eng semakin menjauh, kemarin mertuaku datang dan memaki seperti biasanya.Mengata-ngatai aku sebagai pelakor yang mencoba menggoda Azam. Ya, pesan WA yang ada di ponsel Azam, tak sengaja terbaca oleh Lisa. Mungkin saja, Lisa baru mengetahuinya. Karena, beberapa hari yang lalu saat kami bertemu di jalan itu, mereka tak membahas soal pesan itu.Aku hanya diam saat nyonya besar itu memaki, lontaran kata-kata kasarnya tidak membuatku terkejut. Para tetangga pun sempat melihat kami. Malu! Tentu saja aku malu. Terlebih, tetangga sebelah pernah melihat Azam membawakan barang-barang belanjaan untukku."Lihat aja, akan aku buat jadi kenyataan ketakutan kalian!" umpatku kesal.Dengan malas, aku memainkan ponsel pemberian Azam. Tanpa sengaja membaca postingan dari Lisa. Mem-posting fotoku dengan caption "Pel
Setelah memastikan semua baik-baik saja, aku kembali masuk ke dalam kamar Erna. Terlihat ia sedang tertidur, aku menutup pintu kamar dengan perlahan. Agar tidak berderit."Fito, tadi ada siapa?" Aku duduk di ruang tamu bersama Fito. Tidak seharusnya aku bertanya, karena memang tidak ada siapa-siapa di sini. Akan tetapi, aku begitu penasaran."Ada Om, tapi sudah pergi." Jawaban Fito membuatku bergidik dan mendekat lebih dekat dengan Fito.Meskipun ini masih terbilang pagi hari, namun suasana rumah Erna begitu hening. Nyaris tak bersuara. Lampu ruang tamu rada temaram jika pintu tidak dibuka. Mendadak, aku merasakan takut yang luar biasa. Hingga suara batuk Erna pun mampu membuatku melonjak karena takut.Uhuk! Uhuk!Batuk Erna terdengar semakin sering. Aku berlari kecil melihat keadaannya."Erna, ayo, kita ke puskesmas aja? Atau ke dokter?" bujukku. Namun, hanya gelengan kepala yang ia sampaikan.Bau rumah sakit tercium terbawa angin, "Bau apa ini, ya?" ujarku lagi.Namun, Erna tidak me
Sudah setengah jam aku menunggu di teras rumah Erna, tapi belum juga kembali. Aku memutuskan untuk kembali pulang bersama Fito, dan bersiap diri untuk bertemu dengan Azam.Langkah kaki dengan cepat melangkah, hatiku begitu bahagia bisa mendengar suara Azam lagi. Apalagi, dia ingin mengajak aku dan Fito bermain.Baru saja sampai di pagar rumah, Mas Bo'eng berdiri dengan bermain ponsel di tangannya. Ia menoleh ke arah kami saat mendengar langkah kakiku."July, apa kabar?" tanyanya tanpa rasa berdosa.Dadaku mulai berdegup kencang, amarah menjalar perlahan begitu saja. Aku merasakan sedih yang teramat saat menatap matanya. Tanpa menjawab pertanyaannya, aku berbalik arah dan menghapus air mata secara kasar. Aku tak ingin ia tahu jika aku sedang menangis."Mau ke mana? Aku dari tadi menunggu kamu di sini," ucapnya lagi. Langkahku terhenti, diam bergeming. Dada bergetar hebat, air mata menetes kembali saat mendengar suara Mas Bo'eng. Sakit hati ini. Apa? Dia mengucapkan "Aku Kamu" barusan?
Tubuhku melemas, tulang-tulang terasa tidak dapat menopang berat badanku lagi. Ada apa ini? "Kejadian apa, Mbak?" tanyaku."Sebelum berangkat, lampu belakang Erna tiba-tiba aja putus dua kali. Lalu, saat dia mengecek bahan bakarnya, kunci motor malah tertinggal di bawah jok motor." Mbak Asih mengingat-ingat kejadian kemarin pagi, saat dia sedang menemani Erna."Terus? Kok, dia bisa tetep pergi?""Iya, dia mengambil kunci duplikat dari dalam. Mungkin aja, itu sebagai pertanda sebenarnya, kalau dia dilarang pergi," imbuhnya."Mbak udah melihat mereka?" tanyaku."Sudah. Kemarin aku dan suami yang melihat kejadiannya secara langsung, kasihan mereka," jawabnya. Mata Mbak Asih mulai berkaca-kaca.Erna dan Mitta dilarikan ke rumah sakit terdekat, keadaan mereka benar-benar kritis dan sampai saat ini belum sadar."Bang Wendra apa sudah tau tentang ini?" Pikiranku sudah kacau."Sudah. Bang Irwan—suami Mbak Asih—yang memberikan kabar padanya lewat WA. Erna sempet bilang sama aku, ada yang mengi
Kematian tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Tua, muda, bahkan bayi baru lahir pun, tak luput dari proses kematian. Aku masih menangis di ruang tunggu, depan kamar ICU Erna dan Mitta. Tepukan pundak membuatku menoleh, ternyata Azam yang berdiri di sampingku.Spontan aku menangis di pelukannya saat Azam duduk, aku sudah tidak mengingat di mana Mas Bo'eng dan juga Fito."Kita bantu doa untuk mereka, ya. Jangan terlalu ditangisi, kasian Erna dan Mitta nantinya." Azam mengelus kepalaku. Ada ketenangan dan juga damai mengalir perlahan.Aku melepaskan pelukanku, harusnya aku tidak boleh bersikap seperti itu. Apalagi di tempat umum seperti ini."Maaf, aku meluk kamu.""Gak apa-apa. Oh, ya, tadi di depan aku ketemu sama Mas Arka—hanya Azam yang memanggil nama sebenarnya Mas Bo'eng—lagi main sama Fito di taman."Tadi sebelum berangkat ke rumah sakit ini, aku sempat mengirim pesan pada Azam kalau Erna kecelakaan."Oh, iya, Zam. Kemarin aku lupa, maaf, ya."Azam menghela napas dengan berat. Mene
Azam mengantarkan aku pulang ke rumah kontrakan. Sebelum pulang, ia mengajak aku dan Fito makan di restoran mewah. Sontak, aku enggan menurunkan kakiku.Azam mengetuk kaca jendela mobil. "Ada apa?" tanyanya. Azam mematung diluar mobil, sedangkan tanganku menahan pintu agar tidak terbuka. Aku hanya menggeleng, saat kaca pintu turun sedikit."Ayo, kasihan Fito pasti udah lapar," imbuhnya. Aku melirik Fito sekilas."Tapi, aku berpakaian seperti ini ...," lirihku.Azam tertawa dan masuk kembali ke dalam mobil. "Maaf, aku lupa. Bagiku, kamu itu tetep manis, kok, berpakaian seperti apa juga." Azam masih terkekeh.Aku menghela napas, "Aku memang memalukan, ya." Menatap keluar jendela sambil menyenderkan kepala."Baju yang kemarin gak dipakai?" tanyanya. Aku menoleh, lalu menghela napas kembali."Diambil sama Mami. Katanya, aku gak pantas pakai baju itu," keluhku. Aku sengaja memberitahu tentang kejadian itu pada Azam. Karena, aku ingin ia tahu bagaimana kelakuan ibunya. Meskipun dari dulu, a
Suami tidak tahu malu! Harusnya, tugas mencari nafkah itu adalah tugas utama seorang suami! Bukannya hanya tidur, makan, ngerokok, main game, dan bahkan selingkuh!Mas Bo'eng, Risa, Rian, dan nyonya besar itu, kembali lagi ke kontrakan ini dengan tidak malu. Bahkan, mereka dengan sengaja merubah interior yang sempat aku rombak beberapa waktu lalu.Lebih parahnya lagi, nyonya besar itu mengaku-ngaku kepada tetangga yang bertanya, kenapa mereka kembali lagi? Mertuaku itu mengatakan, kalau kontrakan ini masih miliknya."Apa-apaan kalian?!" sungutku. Mereka tidak menghiraukan ucapanku, memasukkan barang-barang yang diangkut dengan mobil sewaan."Kenapa kalian ke sini lagi?! Ini rumahku, aku yang membayarnya untuk setahun mendatang!"Mereka tetap tak peduli, meski jeritanku memekakkan telinga. Aku membanting beberapa gelas hingga pecahannya menyebar ke lantai."Hey! Kenapa barang-barang Mami di pecahin?!" bentak mertuaku.Memang tidak tahu malu! Rian dan Mas Bo'eng menabrak bahuku dengan s
Entah sudah berapa banyak, air mata yang sudah ku teteskan di sepanjang perjalanan rumah tanggaku bersama Mas Bo'eng. Selain air mata, ia juga menoreh luka yang cukup dalam dan panjang di hatiku. Mungkin, waktu pun tidak akan bisa mengobati lukaku.Aku semakin larut dalam kabut dendam, tenggelam hingga ke dasar benci. Hati terluka parah. Kecewa pada kehidupan, terlunta pada kebodohan. Ah, aku benci drama kehidupan ini. Kenapa aku yang selalu mengeluarkan air mata kesedihan? Sedangkan mereka terbuai oleh kejahatannya.Pukul sembilan malam, aku keluar kamar. Kalau tidak mendesak, aku juga enggan membuka pintu. Derit pintu kamar membuat mertuaku dan juga Mas Bo'eng menoleh, rupanya mereka tengah asik makan bakso.Tatapanku tak lepas dari tumpukan-tumpukan dus yang masih berjejer di ruang tamu, persis kapal pecah! "Kalian punya otak gak, sih?!" umpatku.Mereka menoleh lalu melanjutkan makan malamnya kembali, bisa-bisanya mereka makan dengan kondisi berantakan seperti itu! Tidak ada jawaba
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d