Kematian tidak dapat ditolak oleh siapa pun. Tua, muda, bahkan bayi baru lahir pun, tak luput dari proses kematian. Aku masih menangis di ruang tunggu, depan kamar ICU Erna dan Mitta. Tepukan pundak membuatku menoleh, ternyata Azam yang berdiri di sampingku.Spontan aku menangis di pelukannya saat Azam duduk, aku sudah tidak mengingat di mana Mas Bo'eng dan juga Fito."Kita bantu doa untuk mereka, ya. Jangan terlalu ditangisi, kasian Erna dan Mitta nantinya." Azam mengelus kepalaku. Ada ketenangan dan juga damai mengalir perlahan.Aku melepaskan pelukanku, harusnya aku tidak boleh bersikap seperti itu. Apalagi di tempat umum seperti ini."Maaf, aku meluk kamu.""Gak apa-apa. Oh, ya, tadi di depan aku ketemu sama Mas Arka—hanya Azam yang memanggil nama sebenarnya Mas Bo'eng—lagi main sama Fito di taman."Tadi sebelum berangkat ke rumah sakit ini, aku sempat mengirim pesan pada Azam kalau Erna kecelakaan."Oh, iya, Zam. Kemarin aku lupa, maaf, ya."Azam menghela napas dengan berat. Mene
Azam mengantarkan aku pulang ke rumah kontrakan. Sebelum pulang, ia mengajak aku dan Fito makan di restoran mewah. Sontak, aku enggan menurunkan kakiku.Azam mengetuk kaca jendela mobil. "Ada apa?" tanyanya. Azam mematung diluar mobil, sedangkan tanganku menahan pintu agar tidak terbuka. Aku hanya menggeleng, saat kaca pintu turun sedikit."Ayo, kasihan Fito pasti udah lapar," imbuhnya. Aku melirik Fito sekilas."Tapi, aku berpakaian seperti ini ...," lirihku.Azam tertawa dan masuk kembali ke dalam mobil. "Maaf, aku lupa. Bagiku, kamu itu tetep manis, kok, berpakaian seperti apa juga." Azam masih terkekeh.Aku menghela napas, "Aku memang memalukan, ya." Menatap keluar jendela sambil menyenderkan kepala."Baju yang kemarin gak dipakai?" tanyanya. Aku menoleh, lalu menghela napas kembali."Diambil sama Mami. Katanya, aku gak pantas pakai baju itu," keluhku. Aku sengaja memberitahu tentang kejadian itu pada Azam. Karena, aku ingin ia tahu bagaimana kelakuan ibunya. Meskipun dari dulu, a
Suami tidak tahu malu! Harusnya, tugas mencari nafkah itu adalah tugas utama seorang suami! Bukannya hanya tidur, makan, ngerokok, main game, dan bahkan selingkuh!Mas Bo'eng, Risa, Rian, dan nyonya besar itu, kembali lagi ke kontrakan ini dengan tidak malu. Bahkan, mereka dengan sengaja merubah interior yang sempat aku rombak beberapa waktu lalu.Lebih parahnya lagi, nyonya besar itu mengaku-ngaku kepada tetangga yang bertanya, kenapa mereka kembali lagi? Mertuaku itu mengatakan, kalau kontrakan ini masih miliknya."Apa-apaan kalian?!" sungutku. Mereka tidak menghiraukan ucapanku, memasukkan barang-barang yang diangkut dengan mobil sewaan."Kenapa kalian ke sini lagi?! Ini rumahku, aku yang membayarnya untuk setahun mendatang!"Mereka tetap tak peduli, meski jeritanku memekakkan telinga. Aku membanting beberapa gelas hingga pecahannya menyebar ke lantai."Hey! Kenapa barang-barang Mami di pecahin?!" bentak mertuaku.Memang tidak tahu malu! Rian dan Mas Bo'eng menabrak bahuku dengan s
Entah sudah berapa banyak, air mata yang sudah ku teteskan di sepanjang perjalanan rumah tanggaku bersama Mas Bo'eng. Selain air mata, ia juga menoreh luka yang cukup dalam dan panjang di hatiku. Mungkin, waktu pun tidak akan bisa mengobati lukaku.Aku semakin larut dalam kabut dendam, tenggelam hingga ke dasar benci. Hati terluka parah. Kecewa pada kehidupan, terlunta pada kebodohan. Ah, aku benci drama kehidupan ini. Kenapa aku yang selalu mengeluarkan air mata kesedihan? Sedangkan mereka terbuai oleh kejahatannya.Pukul sembilan malam, aku keluar kamar. Kalau tidak mendesak, aku juga enggan membuka pintu. Derit pintu kamar membuat mertuaku dan juga Mas Bo'eng menoleh, rupanya mereka tengah asik makan bakso.Tatapanku tak lepas dari tumpukan-tumpukan dus yang masih berjejer di ruang tamu, persis kapal pecah! "Kalian punya otak gak, sih?!" umpatku.Mereka menoleh lalu melanjutkan makan malamnya kembali, bisa-bisanya mereka makan dengan kondisi berantakan seperti itu! Tidak ada jawaba
"Kenapa?! Gak seneng? Jangan kurang ajar sama orang tua!" Mertuaku melengos begitu saja.Bisikan-bisikan itu kembali terdengar, menyuruhku untuk mendorong tubuh mertuaku, menginjaknya, dan membungkam mulutnya dengan senjata tajam!"Kenapa cuma berdiri! Beresin rumah ini!" teriaknya dari dapur. Aku hanya menoleh sesaat, lalu berjalan keluar.Umpatan dan teriakan mertuaku mengiringi langkah kakiku, sepanjang jalan tetangga menatapku. Aku sudah terbiasa menahan malu karena ulah mertuaku itu.Aku bisa gila bila berlama-lama di rumah itu! Berjalan sekitar tiga meter dari rumahku, baru menemukan gang, dan memesan ojek pangkalan."Bang, ke rumah sakit Pelita, ya. Berapa?" tanyaku pada ojek langganan."Mau jenguk Mbak Erna, ya?" Aku hanya mengangguk."Ayo, Fito di depan apa di belakang sama Mama?" tanya Bang Avan, ojek langganan kami."Sama Mama," jawab Fito."Berapa, Bang?" tanyaku kembali."Sudah, naik aja, Mbak. Aku juga sekalian mau jenguk Mbak Erna, kemarin belum sempat ke sana."Akhirny
Ada yang menepuk-nepuk pundakku, aku merasakan kantuk yang begitu besar. Ah, rupanya aku tertidur. Aku memicingkan mata menyisir pandangan ke ruangan ini. Erna dan Mitta masih tak bergerak, aneh. Apakah tadi aku bermimpi?"Permisi, Mbak. Kami mau memeriksa pasien," ujar perawat yang baru saja datang."Oh, iya, Sus. Silahkan," jawabku seraya menjauhkan tubuh dari ranjang mereka.Sejak kapan aku tertidur? Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah pukul satu siang."Keluarga pasien ada di mana, Mbak?" Salah satu perawat itu bertanya padaku."Suaminya masih di Malaysia, Sus. Kalau keluarganya ada di depok kalau tidak salah," jawabku."Berarti, malam ini tidak ada yang menemani pasien lagi, dong?"Aku hanya diam. Kasihan mereka, bahkan saat kritis seperti ini, tidak ada siapa pun yang menemani. Aku tidak tahu di mana keluarga Erna. Saat ingin keluar, mataku melihat tas Erna. ‘Tas itu ... apakah mimpi tadi sungguhan? Aku bahkan tidak tau Erna memakai tas yang mana. Apaka
Aku dan Azam membersihkan rumah Erna, sebelumnya Azam telah meminta izin kepada Pak Nimong, selaku RT di gang Arwana ini. Awalnya, Pak Nimong pun meragukan pengakuan kami, tetapi ia berpikir positif.Aku bisa menangkap dari ekspresi di wajahnya itu, aku meminta Mbak Asih tetangga sebelah rumah Erna, atau tetangga lainnya untuk membantu di sana nanti. Pak RT pun menyetujui, ia pun mengatakan kalau prihatin kepada Erna.Tidak ada saudara ataupun suami yang menemani mereka. Jadi, rumahnya selain kami yang membersihkan, siapa lagi?Mbak Asih lebih banyak menangis saat membersihkan rumah Erna, Mbak Lilis pun ikut menambahkan kalau ia pernah dimimpikan oleh Erna. Katanya, di dalam mimpi itu, Erna meminta tolong untuk diantarkan ke tempat Mbah Diah, paranormal terkenal di kampung Sukaraja. Mbak Lilis bercerita, kalau Erna ingin melepaskan sesuatu di sana.Aku masih tidak dapat mempercayai semua itu, Erna yang aku kenal tidak pernah membahas soal perdukunan atau semacamnya. Semilir angin memba
"Mamaaa ... mamaaa," teriak Fito ketika kakinya baru saja masuk beberapa langkah."Kalian sudah pulang?" tanya mertuaku kepada Azam."Iya, sudah magrib. Azam pamit langsung, ya, Mi. Mana ai July?" tanya Azam yang masih di dekat pagar, ia hanya mengantar Fito pulang saja."Lagi mandi, ya, sudah. Hati-hati," jawab mertuaku berbohong.Beberapa menit kemudian, suara mesin mobil terdengar semakin menjauh. Fito masuk ke dalam rumah, langsung menghampiriku.Hanya anak inilah yang membuatku kuat dan bertahan selama ini. Kalau bukan karena memikirkan Fito akan menjadi piatu, aku sudah lama pergi dari kehidupan ini."Mamaaa," jeritnya dengan riang."Jangan diem aja! Bergerak, ini sudah mau malam!" Bentakan Mas Bo'eng membuat Fito sedikit tersentak dan makin erat memelukku."Cepetan! Beresin ini barang-barang!" Mertuaku menambhakan kembali.Aku muak! Sungguh! Aku beranjak perlahan, membenahi semuanya. Aku juga tidak betah berantakan seperti ini. Perutku terasa lapar, karena hanya makan siang tad
( SAKIT HATI )*****"Besok, dateng sama siapa si mami Mas?" aku berbasa-basi sedikit, membuka obrolan. Padahal sebenarnya, aku males bertanya. Dan berdoa dalam hati, agar besok mertuaku tidak jadi datang."Sama Bianca, yank". Jawabnya tanpa menoleh, karena mata terfokus di cacingnya. Aku pun mendapatkan sebuah ide."Aaagggghhhhh, tuh kan MATI!!!" Teriaknya penuh kekesalan menoleh kearahku dan menatap tajam, seakan-akan aku adalah mangsanya.Aku terkekeh, bagaimana dia tidak kesal? aku menutup layar ponselnya dengan tanganku."Makanya, kalau lagi diajak ngomong itu lihat kearahku dong!" aku pun membalas dengan suara tinggi dan melotot tajam kearahnya."Cacingku sudah sembilan juta beratnya, ahhh kamu ini!" persis seperti anak bocah umuran lima tahun, yang ketika mainan nya dirampas. Merengek tidak jelas."Lagian laki-laki kok mainnya game cacing. Ga gentle banget." Ledekku."Main game itu yang seperti ini, daripada main game yang nguras emosi." Timpalnya lagi."Pantes saja gak dewasa!
( KENANGAN MASA LALU )****Suster jaga datang untuk melihat air infusan, memberikan obat, lalu bertanya padaku. "Maaf, Bu. Apa keluarga pasien?" tanyanya dengan ramah.Aku mengangguk, "Iya, Sus. Saya anaknya.""Bisa ke ruang administrasi? Sejak kemarin kami menunggu, nanti malam tolong ditemani, ya. Jangan biarkan seperti semalam, tidak ada yang menjaga!" titahnya."Baik." Aku menjawab dengan menahan malu yang besar. "Bu, July ke ruang administrasi dulu, ya.""Iya, Nak. Terima kasih, ya."Aku segera menuju ruang yang diperintahkan, mengurus semua berkas-berkas ibuku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa kakakku tidak mengurusnya terlebih dahulu!Setelah semuanya beres, aku mencari Azam untuk memberitahu padanya. Salahku tidak meminta nomer ponselnya.Perutku tiba-tiba berbunyi, baiklah aku melangkahkan kaki menuju kantin. Memesan nasi goreng seafood, teh manis hangat, dan kerupuk. Tak lupa, memesan makanan untuk Azam dan Fito nanti.Pesanan datang 10 menit kemudian. Perut semakin meli
( Ibu masuk rumah sakit )******Azam menitipkan kendaraan roda empat miliknya di sebuah bengkel ternama, gak jauh dari kafe Andrian. Setelah mempersiapkan semuanya, aku dan Fito membeli cemilan dan minuman terlebih dahulu untuk diperjalanan nanti. Meskipun sebenarnya, Azam bisa berhenti jika aku meminta, alangkah baiknya bersiap saja.Aku pun pamit kepada Andrian, lelaki itu memberikan sebuah amplop kecil padaku. Aku menolaknya karena tahu itu pasti uang. Akan tetapi, Andrian bersikeras menyuruhku untuk menerima. Katanya, untuk keperluan selama di kampung nanti.Azam mengecek kondisi mobil milik Ambar, mengisi angin pada ban kendaraan itu, lalu bersiap untuk menempuh perjalanan."Kalian lapar gak?" tanya Azam setelah memakai sabuk pengaman."Nggak. Kamu uda sarapan?" tanyaku balik."Belum.""Lisa gak nyiapin?" selidikku."Fito, kalau capek bilang, ya." Azam mengalihkan pembicaraan."Iya, Om. Fito seneng bisa jalan-jalan sama Om laagiiii.""Hehehe, Om juga." Azam menjawab sambil menge
( Bertemu dengan Azam kembali )****Aku meluapkan emosi pada Fito. Sudah sekian lama menyimpan kekesalan terhadap Mas Bo'eng dan ibunya. Tanpa berpikir ulang, aku telah memutuskan untuk membawanya Fito ke kampung halaman."Fito, nanti kamu tinggal di rumah Nenek, ya." Aku bersiap pulang ke kampung halaman bersama dengan Fito. Kali ini, aku tidak akan membawanya kembali lagi ke Jakarta."Gak mau, Fito mau sama mama aja." Fito menepis tanganku. Spontan saja membuat emosiku meluap."Tau diri sedikit kamu itu! Gara-gara kamu lahir, hidupku jadi hancur! Masa depan jadi suram!" teriakku.Sengaja aku berkata seperti itu, agar mereka mendengar apa yang aku rasakan selama ini. Bahkan, menjelang hari lahir Fito pun Mas Bo'eng acuh. Mengingat hari lahir anaknya pun, kurasa tidak ingat."Heh! Bisa kecilin suara lu gak, sih?!!" bentak mertuaku."Makanya, Fito! Jangan lahir dari rahim perempuan itu!" sergahnya lagi.Mas Bo'eng masih terlelap meskipun berisik. Dari ruang tamu, nyonya besar itu mele
( DEPRESI )*****Luka lama kembali mengangaBeribu perih tersimpan indahBersemayam tanpa paksaanMenikmati setiap kesakitan yang terciptaMerawat dendam merangkai benci*****Sudah satu bulan berlalu, Azam belum juga menghubungiku. Nomor WA milikku pun masih diblokir. Aku mencoba untuk menata hatiku, agar tidak terlalu memikirkannya.Hari ini, rencananya aku akan menjemput ibuku. Ponselku berganti kembali, ini adalah ketiga kalinya dihadiahkan oleh seseorang. Kali ini adalah pemberian dari Andrian."Mau ke mana lagi?" tanya Mas Bo'eng.Laki-laki itu sedang menikmati rokoknya. Luka lebam di tubuhnya masih terlihat membiru. Kadang kasihan, tetapi jika mengingat kembali kelakuannya, membuatku benci setengah mati!"Mau menjemput ibuku.""Ngapain?? Mau tidur di mana nanti??!" bentak Mas Bo'eng."Aku mau kerja, Fito biar dipantau sama Ibu nanti.""Gak bisa! Lagian, lu mau kerja di mana? Hahaha. Tamatan SMP mana ada yang mau terima kerja!" cibirnya merendahkan diriku."Tenang aja, Mas. Aku
(Pulang)" Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dikecewakan oleh seseorang, yang kau pikir tak akan pernah menyakitimu."~ ANONIM ~****Kami memasuki kawasan elit, perumahan yang terdiri hanya beberapa rumah megah saja. Pintu pagar terbuka lebar saat mobil Andrian membunyikan klakson mobil."Kita mau ke tempat siapa?" tanyaku takjub dengan apa yang kulihat.Bangunan-bangunan megah berjejer begitu indah. Ada yang rumah bergaya Eropa, Mediterania, ada juga yang bergaya seperti istana pada film kartun. Pilar-pilar kokoh itu, berdiri menambah kesan elegan pada rumah-rumah mewah di depan mataku.Ah, andaikan aku memiliki satu rumah seperti itu, gimana ya rasanya? Aku terkekeh dalam hati."Ayo, kita sudah sampai." Andrian membukakan pintu mobil, aku dan Fito turun.Andrian menggenggam tanganku, lalu kami berjalan bersama masuk ke dalam rumah mewah itu. Tak lama, pintu terbuka setelah Andrian mengetuknya."Ayo," ucapnya.Aku hanya tersenyum kepada wanita itu."Permisi," ucapku kepada a
( Kasus Bunuh Diri )" LUKA ... ada, BUKAN untuk dipendam. Namun, untuk disembuhkan. "*****Perempuan itu melompat! Siapa? Siapa dia? Kenapa bisa masuk ke kamar ini? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada Andrian ataupun Fito! Di mana aku? Ke mana perginya mereka?Aku menyibak selimut dan melemparkannya ke sembarang arah, beranjak menuju jendela, dan ...."Nay! Nayaaa! Tungguuu! Jangaaann!" Suara seseorang yang aku kenal.Tangan Andrian mencengkeram erat pundakku, lalu ia pun mendorong tubuhku ke atas kasur. Aku masih belum mampu menguasai diri.Tubuhku terasa kaku, aku hanya menatap Andrian yang meracau. Aneh. Kenapa aku tidak bisa mendengar suaranya? Aku hanya melihat raut kepanikan dari wajah tampan itu, sambil memperhatikan gerak bibirnya.Tangan Andrian menampar pelan pipiku, tetap saja aku hanya mampu menatapnya. Beberapa menit kemudian, Andrian memercikkan air ke wajahku."Akh!" pekikku. Aku langsung mencari perempuan itu. Mendorong tubuh Andrian, lalu beranjak ke jendela
( Perempuan Berbaju Putih )____Alat-alat berwarna hijau menghinggapi tubuh-tubuh kaku itu. Perlahan, ulat-ulat belatung menjalar dan berjatuhan. Andrian kecil hanya menatapnya tanpa rasa jijik.Braaaakk!Pintu dibuka paksa oleh Aldo. Ia menendang dengan kasar, membuat pintu yang terbuat dari kayu itu roboh seketika. Pandangan orang-orang yang datang bersama Aldo dan istrinya itu, seketika menjerit menyebut nama Sang pemberi hidup.Secara bersamaan, mereka menutup hidung dengan kedua tangan. Ada yang memuntahkan seluruh isi perut mereka, karena tidak kuat mencium aroma busuknya.Aldo menelepon pihak berwajib, sedangkan Pak RT membubarkan para warga. Agar tidak mengganggu proses evakuasi nanti. Sementara itu, Andrian kecil hanya memperhatikan gerak-gerik orang dewasa sambil memegangi piring nasi yang telah berdebu."Hey! Cepat minggir, bodoh!" hardik Aldo kepada Andrian."Pa, sudah. Kasian anak itu," ucap Hanum, istrinya."Gimana ini, Ma? Si Danu sudah mati, siapa yang akan membayar h
(Ingatan Masa Lalu Andrian )~~~Cinta datang tanpa kita sadariPerlahan tumbuh begitu sajaHati saling mengikat meski tanpa ucapRasa saling memiliki lekat begitu nyataApakah semua itu hanya sebuah ilusi bagiku?Mencintaimu melebihi apa punRasaku begitu membuncah kala teringat akan dirimuSenyummu, suaramu, napasmu, semua tentangmu~ Amoy Shanghai ~****Ah, aku amat merindukan Azam. Berdekatan dengan Andrian, membuatku semakin terluka menahan rinduku pada Azam. Perlakuan, perhatian, dan senyum mereka nyaris serupa.Aku mengikuti saran Andrian, menginap di salah satu kamar apartemen di tower C. Memang, bangunan ini dikhususkan untuk para pelancong atau siapa pun yang hendak menginap harian melepas penat bersama orang terkasih.Lantai 53, adalah kamar aku dan Fito. Sementara Andrian, menginap di lantai 50. Sebenarnya, aku masih trauma dengan ruangan hotel, takut jika melihat penampakan lagi seperti waktu itu. Akan tetapi, aku juga tidak mungkin berada di dalam satu kamar yang sama d