"Mas, ayo mandi. Habis itu dandan yang rapi," ujarku seraya menyeret Mas Ruslan ke dalam kamar.
"Kamu ngajak mandi bareng?" tanya Mas Ruslan jahil.Aku langsung mendelik sebal, lantas Aku cubit pinggang Mas Ruslan dengan keras. Aku sedang sangat serius saat ini, tapi Mas Ruslan malah mengajak bercanda!"Aku juga mau mandi bareng bapak sama ibu," celetuk Danis yang air matanya telah kering.Aku kembali melemparkan delikan maut pada Mas Ruslan. Hanya saja pria tampan itu membalas tatapanku dengan wajah cengengesannya."Danis mandi sama bapak aja ya," ujarku."Kenapa?" tanya Danis dengan mulut mencebik lucu."Kamar mandinya nggak muat!" jawabku sekenanya sembari membantu Danis membuka bajunya.Untungnya Danis bisa menerima alasanku ini dan tidak mengajak berdebat lebih lama. Aku pun segera mendorong Mas Ruslan yang masih menggendong Danis menuju kamar mandi."Jangan lama-lama mandinya!" ujarku memperingatkan."Iya~" jawab Mas Ruslan dengan patuh dari dalam kamar mandi.Sementara Mas Ruslan dan Danis sedang mandi, aku sibuk membongkar lemari untuk mencari pakaian terbaik untuk kami kenakan. Aku memilih gamis berwarna dusty pink dengan jilbab berwarna senada. Sementara untuk Mas Ruslan, aku memilih sebuah kemeja batik dan celana kain. Adapun untuk Danis, aku memilih baju kaos lengan panjang berwarna biru yang masih baru.Begitu Mas Ruslan dan Danis selesai mandi, gantian aku yang bergegas. Aku tidak mau ketinggalan acara syukuran rumah baru ini.Tadinya aku memang berencana untuk mematuhi saja permintaan ibu mertua agar mengambil jatah lauk berupa paru dan ampela itu. Tapi apa yang dikatakan oleh anak Mbak Dina pada Danis telah membuatku berubah pikiran."Ayo, kita keluar!" Aku mengajak anggota keluarga kecilku ini keluar dari kamar begitu kami semua telah tampil rapi."Danis nggak mau keluar!" seru putraku itu begitu kami mencapai ambang pintu kamar."Loh, kenapa?" tanyaku."Nanti Danis dipanggil pengemis lagi sama Kak Aldi," ujar Danis dengan wajah merajuknya.Aku dan Mas Ruslan saling bertukar tatapan dengan nelangsa. "Kali ini nggak akan dipanggil pengemis lagi kok. Danis kan udah rapi, udah harum, udah ganteng," ucapku merayu dengan suara super lembut."Em~" Danis melengos sambil memajukan bibirnya tampak enggan."Kalau Kak Aldi ngomong gitu lagi, nanti bapak sama ibu tegur dia!" ujar Mas Ruslan turut membujuk anak kami yang tampaknya memiliki bayangan psikologis setelah dikatai pengemis."Bapak beneran?" tanya Danis sedikit sanksi."Iya~" jawab Mas Ruslan meyakinkan.Mendengar janji dari Mas Ruslan, akhirnya Danis setuju agar kami beranjak ke ruang tamu, tempat dimana acara syukuran sedang berlangsung. Akan tetapi, setibanya di sana, acara hampir berakhir. Beberapa tetangga yang telah kami undang bahkan ada yang sudah mulai membubarkan diri."Kamu kemana aja sih, Tri?!" tanya Mbak Dina saat melihat kemunculanku dan Mas Ruslan."Habis mandi sama ganti baju!" jawabku santai."Aku 'kan udah bilang buat jangan malu-maluin keluarga ini. Kamu kenapa pakai acara mandi sama ganti baju segala sih? Kalau aku nggak sigap melayani para tamu, bisa kacau acara ini!" cerocos Mbak Dina dengan gaya congkaknya.Aku diam-diam menggulung mata dengan dramatis. "Justru kalau aku nggak mandi sama ganti baju, bisa-bisa keadaannya lebih memalukan lagi, Mbak!" Aku membalas dengan acuh tak acuh."Kamu tuh ya, nggak bisa banget dibilangin!" hardik Mbak Dina sambil berkacak pinggang.Bibirku hendak terbuka untuk membalas. Namun, suara ibu mertua datang menginterupsi."Semua tamu sudah pergi. Sekarang tinggal giliran keluarga kita makan-makan," seloroh ibu mertua menghentikan perdebatan yang hendak terjadi antara aku dan Mbak Dina."Din, kamu ajak keluarga suami kamu ke halaman belakang," ujar ibu mertua pada Mbak Dina."Iya, Bu!" jawab Mbak Dina dengan patuh. Dia lantas melengos pergi meninggalkanku dan Mas Ruslan."Memalukan!" cibir ibu mertua padaku dan Mas Ruslan yang hanya berdiri diam di belakang.Setelah mengucapkan kata-kata itu, ibu mertua segera berbalik dan mengikuti langkah Mbak Dina. Aku dan Mas Ruslan saling tatap sambil mengendikkan bahu tak mengerti."Mas, sebentar lagi aku akan membuat keadaan menjadi lebih memalukan dari ini buat ibu. Sebaiknya kamu persiapkan hati," ujarku memberi peringatan pada Mas Ruslan."Jangan terlalu keras," balas Mas Ruslan memperingatkan.Aku mendengus dingin. "Ayo ke halaman belakang!" ajakku pada Mas Ruslan.Tanpa banyak kata-kata, kami pun menyeret tungkai masing-masing menuju halaman belakang. Tempat dimana perjamuan lain hendak diadakan.Di halaman belakang yang lumayan luas dan cukup asri itu, sebuah meja panjang telah ditata rapi. Berbagai macam makanan hasil masakanku dan Mas Ruslan juga telah terhindang dengan megah. Para anggota keluarga dari suami Mbak Dina dan juga keluarga istri Dimas yang tidak aku kenal telah mengambil tempat duduk masing-masing.Melihat aku yang berjalan mendekat membuat ibu mertua tampak semakin geram."Apa yang kamu lakukan di sini? Ibu 'kan sudah bilang kalau kalian makan terpisah di dapur aja!" geram ibu mertuaku dari balik gigi yang terkatup rapat.Aku mendengus sinis. "Maaf, Bu. Aku sama Mas Ruslan 'kan bagian dari keluarga ini juga. Kenapa harus makan terpisah di dapur?" balasku tidak lagi sungkan melawan kata-kata mertua."Kalian nanti malu-maluin!""Aku sama Mas Ruslan udah mandi dan pakai baju yang bagus. Nggak mungkin sih keluarga suami dan istrinya Mbak Dina sama Dimas akan berpikir kalau aku sama Mas Ruslan ini malu-maluin!" timpalku tak mau kalah."Kamu itu ya, kalau dibilangin pasti ngeyel,"Ibu mertuaku mendumel seraya melemparkan tatapan penuh arti pada Mas Ruslan. Mungkin beliau berharap pada Mas Ruslan agar membujukku untuk tidak membuat masalah. Sayang sekali, Mas Ruslan lebih memilih untuk berpura-pura tidak mengerti arti dari tatapan itu."Ibu juga jangan kebanyakan marah-marah. Kasian matanya udah mulai keriput tuh," selorohku semakin kesenangan menjawab kata-kata mertua.Bola mata ibu Saripah seketika melebar garang menatapku. Akan tetapi, beliau tidak bisa melepaskan amarahnya dalam momen seperti ini. Alhasil, beliau hanya bisa mendengus dingin, lalu berlalu pergi untuk mengurus tamu terhormatnya."Sekarang apa?" bisik Mas Ruslan di samping telingaku.Aku menatap halaman rumah yang luas dengan senyum kecil di wajah. Sikap dari keluarga Mas Ruslan pada keluarga kecilku ini terlihat jelas kalau mereka ingin mengabaikan kami."Mas, kamu ambil tiga kursi di dalam terus letakkan di seberang tempat duduk Dimas," bisikku pada Mas Ruslan.Mas Ruslan lantas mengangguk patuh. Dia kemudian menurunkan Danis dari gendongan dan bergegas ke dalam rumah untuk mengambil kursi sesuai dengan permintaanku.Setelah itu, Mas Ruslan dengan sigap mengatur kursi itu di depan Dimas yang terlihat masih lowong sesuai dengan permintaanku. Perilaku Mas Ruslan ini tentu saja segera mendapat delikan dari anggota keluarganya yang lain. Terutama sekali ibu mertua dan Mbak Dina."Apa lagi yang mau kamu lakukan?" desis Mbak Dina dengan matanya yang melotot penuh peringatan.Aku hanya menatap kakak iparku itu dengan pandangan masa bodoh, lantas memilih untuk mengabaikannya. Aku masih sangat kesal karena anaknya telah memanggil anakku pengemis. Anak-anak jika tidak diajar oleh orang dewasa di sekitarnya, mana mungkin mereka akan berkata seperti itu. Mbak Dina ini pasti sering berkata yang tidak-tidak mengenai diriku di belakang punggung."Halo semuanya," sapaku dengan ramah pada semua orang yang telah duduk manis di meja makan.Tanpa menunggu balasan dari mereka, aku langsung menghempaskan tubuh di kursi yang telah diatur oleh Mas Ruslan."Ini siapa? Bukannya dia ini pembantu di rumah ini?" celetuk suara seorang wanita yang tidak aku kenal.Aku lantas menatap wanita cantik yang tampak angkuh itu dengan senyum lebar di wajah. "Bukan. Aku adalah menantu kedua dari keluarga ini," jawabku dengan nada formal. "Perkenalkan, namaku Astri dan ini suamiku, Mas Ruslan. Ruslandar Hadinata," lanjutku menunjuk pada suamiku dengan bangga." ... "Hening,Tidak ada seorangpun di meja panjang itu yang menanggapi ucapanku. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya senang melihat wajah mertua yang memerah menahan amarah."Jadi, ini adalah kakaknya Mas Dimas ya? Mas Dimas kayaknya nggak pernah cerita kalau dia punya kakak lain selain Mbak Dina," suara lembut seorang wanita yang duduk di samping Dimas memecah kesunyian yang terjadi tiba-tiba. Aku tahu wanita ini adalah istri yang baru dinikahi oleh Dimas kurang dari setahun lalu."Wah, nggak tahu ya kalau itu, kenapa juga Dimas nggak pernah cerita soal kakak yang sudah membangun rumah ini dan membantu dia punya gelar di belakang namanya," sindirku dengan nada acuh tak acuh.* * *"Astri!" Nada peringatan yang menggema di udara kali ini meluncur dari bibir bapak mertua yang biasanya selalu diam. Namun, aku tidak gentar. Karena aku tidak merasa ada yang salah dalam ucapanku. Jika bukan karena tuntutan untuk berbakti pada orang tua, aku dan Mas Ruslan sudah lama hengkang dari rumah ini. Dan bukannya kami tidak pernah mencoba, tapi ibu mertua berulah dan membuat kami terpaksa kembali lagi ke sini. Tahu apa yang dilakukan ibu mertua? Beliau mogok makan selama 2 hari dan berakhir diopname di rumah sakit. Saat kami datang menjenguk beliau kala itu, ibu langsung menuding Mas Ruslan sebagai anak durhaka. Kami jadi tidak punya pilihan selain kembali ke rumah ini lagi. Aku masih ingat kata-kata ibu mertua waktu itu. Bahwa sampai bapak dan ibu mertua meninggal, Mas Ruslan dilarang keras untuk pergi dari sisi mereka. Apakah karena mertua terlalu sayang pada Mas Ruslan? Aku rasa tidak! Aku sendiri justru berpikir kalau mertuaku ini hanya memanfaatkan kata berbakti p
"Inilah akibat dari kata-kata nggak penting kamu itu. Maksud kamu apa sih ngomong kalau rumah ini dibangun sama Ruslan? Mana bawa-bawa gelar segala. Malu-maluin aja!" hardik Mbak Dina. Akibat dari tamparan keras yang mendarat di pipi, aku hanya bisa berdiri diam. Butuh beberapa lama bagiku untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. "Lagian kenapa sih dulu Ruslan mau-maunya menikah sama anak petani miskin kayak kamu!" cibir Mbak Dina sinis. Kalimat yang menusuk disertai rasa panas dan kebas yang mulai menjalar di pipi membuatku segera tersadar. Sebelum memutuskan untuk menimpali Mbak Dina, aku mengerjakan mata beberapa kali. Setelah sekian tahun hidup, ini pertama kalinya aku merasakan bagaimana rasanya ditampar. "Mulai sekarang, jangan kurang ajar. Kamu bukan siapa-siapa di rumah ini. Kalau ibu minta Ruslan untuk menceraikan kamu detik ini juga, dia nggak akan pernah berpikir dua kali untuk menolak!" ujar Mbak Dina lagi. Nafasku membuncah naik turun dengan cepat saat mendengar ra
"Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!" Kalimat terakhir yang dikatakan ibu mertua terus bergema berulang kali di dalam kepalaku. Tidak lagi bisa didefinisikan bagaimana kacaunya perasaanku sekarang. Rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Namun, segalanya harus serba aku tahan. "Jangan terlalu dipikirkan," bisik Mas Ruslan seraya mengelus puncak kepalaku. "Bagaimana aku tidak memikirkan ini, Mas? Ibu cuma mau memeras manfaat dari kamu!" ujarku dengan frustrasi. "Tri, bukankah Mas sudah pernah bilang, kalau Mas sudah mati rasa untuk ini? Mas sudah lelah bertanya kenapa hanya Mas yang diperlakukan berbeda. Jika memang kita perlu tahu alasannya, semesta akan menunjukkan jalannya," ujar Mas Ruslan dengan lemah lembut. "Tapi, Mas... ""Tetap tinggal di rumah ini, dan mengurus peternakan untuk keluarga ini, hanya itu bakti tersisa yang ingin Mas berikan pada bapak dan ibu. Jika me
Ibu mertuaku tampak berjengit tidak suka ketika mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku. "Kenapa? Kamu tidak suka Dimas dan Tiana tinggal di sini? Kamu masih berpikir kalau rumah ini milik suami kamu seorang? Hanya karena Ruslan yang membantu merenovasi rumah ini?" cecar mertuaku dengan garang sambil tangannya berkacak pinggang. " ... "Aku terdiam tidak menimpali, tapi mataku mengerjap beberapa kali. Mungkin inilah yang disebut-sebut sebagai firasat wanita. Sejak melihat tatapan cemerlang yang ditujukan wanita itu pada Mas Ruslan, aku tiba-tiba merasakan alarm berbahaya berdering di kedalaman hati. Agak tidak masuk akal untuk memikirkan ini. Biar bagaimanapun, wanita itu belum genap setahun menjadi istrinya Dimas. Tapi aku juga yakin bahwa apa yang aku lihat waktu itu tidak salah. Sorot mata Tiana menunjukkan ketertarikan pada Mas Ruslan! "Bukan begitu. Tapi seingatku, awalnya Tiana nggak mau tinggal di rumah ini karena tidak bisa berpisah dengan orang tuanya. Tapi
"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana."Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas. "Tapi kasian Danis kepanasan," "Danis baik-baik aja kok," balasku. "Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya. "Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu. Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku. Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka. 'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati. Peternakan milik bapak mertua berada di
"Mas Ruslan~"Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik. Kami tidak perlu menoleh ke arah sumber suara untuk mengetahui siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dengan mata sedikit membola, aku menatap lekat ke arah Mas Ruslan. Bibirku berkomat-kamit tanpa suara, membentuk seuntai kalimat tanya. 'Dia tidak mendengar apa-apa 'kan?' Namun, Mas Ruslan mengendikkan bahu pelan sebagai tanda bahwa dia juga tidak tahu. Gelombang kekesalan yang datangnya entah darimana, tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat di detik berikutnya, Tiana mendorong pintu ruangan Mas Ruslan hingga menjeblak terbuka. Kami bahkan belum sempat mempersilakan wanita ini untuk masuk! "Ih, Mbak Astri. Kenapa nggak bilang kalau Mas Ruslan udah datang sih~" ujar Tiana dengan nada merajuknya. Mungkin di mata suaminya, nada suara merajuk centil seperti ini akan terdengar lucu. Tetapi bagiku, nada suara ini terdengar menyebalkan. Terutama sekali setelah Tiana datang di waktu yang tidak tepat. "Kamu 'kan ke sini ma
Dikarenakan desahan lega dan ucapan penuh syukur Tiana itu, aku tidak lagi memiliki niat untuk menguping lebih lanjut pembicaraan mereka. Cukup tahu saja alasan kenapa Tiana sampai ingin tinggal di rumah ini segala. "Selama tidak mendekati Mas Ruslan, bodo amatlah kalau dia mau menguasai rumah ini dan juga peternakan itu," gumamku pada diri sendiri. Aku lalu menutup pintu kamar tidur kami dan menggiring Danis untuk mencuci tangan dan kaki sebelum tidur siang. Sambil berbaring di atas ranjang, aku menyempatkan diri untuk menekuri pekerjaanku. Sejak empat tahun lalu, saat usia Danis masih beberapa bulan, aku memulai profesi sebagai penulis. Awalnya aku hanya iseng untuk mengisi waktu luang sekaligus ingin mengeluarkan unek-unek. Siapa yang menyangka bahwa profesi ini bisa mendatangkan rezeki yang melimpah untukku pribadi. Kemudian dari hasil menulis itu, aku sudah bisa membeli sawah yang luasnya sekitar 5 are. Sawah itu letaknya di kampung halamanku dan dikelola oleh orang tuaku. Ti
"ASTRI!"Raungan marah ibu mertua bergema bersaing dengan suara azan di masjid yang tak jauh. Gelegar teriakan itu menarik semua penghuni rumah untuk berdatangan. "Ada apa ini?" tanya bapak mertua yang muncul tergesa dari dalam rumah dengan diikuti oleh Tiana. Bahkan Dimas yang baru saja tiba bergegas menghampiri ibunya. "Bu, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya Dimas. "Ini loh Dim, kakak ipar kamu!" seru ibu mertua seraya menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang sudah berkerut. "Ada apa lagi dengan Mbak Astri, Bu?" tanya Dimas dengan lembut. Ibu mertua menggelengkan kepala tampak tidak berdaya. Beliau juga meremat kain daster yang ada di bagian dadanya dengan dramatis. "Ibu nggak sanggup lagi, Dim!" ujar ibu mertua. Suaranya terdengar serak dan amat lesu. "Kenapa?" tanya Dimas lagi. Setitik air mata tak terduga perlahan jatuh menitik dari sudut mata tua wanita paruh baya ini. Aku dan Mas Ruslan yang menjadi tersangka otomatis saling melempar lirikan. "Apa salah jika ibu
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman