"Kalau kamu ingin keluar dari rumah ini, keluar saja sendiri. Pokoknya haram hukumnya bagi Ruslan untuk keluar dari rumah ini sampai kami mati!"
Kalimat terakhir yang dikatakan ibu mertua terus bergema berulang kali di dalam kepalaku. Tidak lagi bisa didefinisikan bagaimana kacaunya perasaanku sekarang. Rasanya ingin berteriak sejadi-jadinya. Namun, segalanya harus serba aku tahan."Jangan terlalu dipikirkan," bisik Mas Ruslan seraya mengelus puncak kepalaku."Bagaimana aku tidak memikirkan ini, Mas? Ibu cuma mau memeras manfaat dari kamu!" ujarku dengan frustrasi."Tri, bukankah Mas sudah pernah bilang, kalau Mas sudah mati rasa untuk ini? Mas sudah lelah bertanya kenapa hanya Mas yang diperlakukan berbeda. Jika memang kita perlu tahu alasannya, semesta akan menunjukkan jalannya," ujar Mas Ruslan dengan lemah lembut."Tapi, Mas... ""Tetap tinggal di rumah ini, dan mengurus peternakan untuk keluarga ini, hanya itu bakti tersisa yang ingin Mas berikan pada bapak dan ibu. Jika mereka meminta lebih dari ini, mungkin Mas tidak akan mewujudkannya," pungkas Mas Ruslan."Mas~""Tri, hanya kamu dan Danis yang paling penting untuk Mas. Selama kamu dan Danis ada di sisi Mas, semuanya akan baik-baik saja. Percayalah!" ujar Mas Ruslan.Disertai dengan bibir mencebik, aku menatap mata Mas Ruslan dalam-dalam. "Selama kamu tidak selingkuh dan main tangan, aku sama Danis akan selalu ada di samping kamu, Mas!" ujarku mantap."Mas janji itu tidak akan pernah terjadi!" balas Mas Ruslan dengan penuh tekad dan percaya diri."Pegang kata-kata kamu ya, Mas!"Mas Ruslan lantas mengangguk dengan mantap. Obrolan singkat ini sedikit berhasil membuat kerusuhan yang terjadi di dalam hati menjadi tenang."Ayo, kompres dulu pipi kamu," ujar Mas Ruslan seraya membuka lemari es untuk mengambil beberapa potong balok kecil es batu.Sembari meletakkan handuk berisi es batu itu di pipi yang bengkak, aku mendengus pelan. "Aku lupa melabrak Mbak Dina perihal anaknya yang seenak jidat menyebut Danis pengemis!" seruku dengan geram."Jangan khawatir, kamu punya banyak waktu untuk itu," seloroh Mas Ruslan dengan tenang."Ayo pergi solat!" ajaknya kemudian.Aku melirik bak cuci piring yang masih penuh dengan piring kotor. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di dalam benakku."Ibu emang mau kita tinggal di rumah ini. Tapi bukan berarti aku juga harus mau-mau aja dibabuin 'kan?" ucapku."Terserah kamu. Kalau kamu mau bantu ibu mengerjakan pekerjaan rumah dengan sukarela, silakan. Kalau tidak juga, silakan!" ujar Mas Ruslan dengan acuh tak acuh." ... "Aku melirik sebentar pada Mas Ruslan. Sikap acuh tak acuh seperti ini memang tidak seharusnya dimiliki oleh seorang anak pada orang tuanya. Tapi aku tidak tahu hal seperti apa yang telah dilalui Mas Ruslan hingga hati yang seharusnya perasa, berubah menjadi mati rasa. Entahlah!"Kalau kita dimarahi, tinggal didengarkan saja. Kalau kita diusir, tinggal pergi saja!" sambungku seraya menyeret Mas Ruslan meninggalkan dapur yang masih kotor."Hm," gumam Mas Ruslan menyetujui.* * *Keesokan harinya aku terbangun sesuai dengan jam biologis biasanya. Begitu azan subuh bergema, aku dan Mas Ruslan bergegas menuju masjid yang tak jauh dari rumah.Biasanya aku akan bergegas pulang ke rumah untuk menyiapkan sarapan bagi semua orang begitu selesai solat berjamaah. Namun, kali ini aku ingin melakukan hal yang berbeda. Bersama Mas Ruslan, kami memutuskan untuk berjalan-jalan pagi. Menikmati udara segar subuh hari yang belum terkontaminasi polusi.Dengan aku yang masih mengenakan mukena, dan Mas Ruslan yang mengenakan kain sarung, Kami tidak berjalan terlalu jauh. Hanya sampai di ujung jalan kompleks saja."Mas, aku nggak mau masak. Kita beli nasi bungkus aja ya?" ujarku."Emang kamu bawa uang?" tanya Mas Ruslan."Bawa. Aku sudah merencanakan ini," jawabku.Mengingat bak cuci piring yang pasti masih penuh dengan piring kotor itu membuatku ingin menjauh sebentar dari omelan mertua."Ya sudah," jawab Mas Ruslan.Kami lalu melipir ke arah rumah seorang warga yang memang kesehariannya menjual nasi bungkus. Walau matahari belum kelihatan berkilau di langit. Tapi penjual nasi bungkus itu sudah mulai memajang barang dagangannya."Mbok Hindun, beli nasi bungkusnya tiga!" sahutku."Loh, Mbak Astri. Tumben nih beli nasi bungkus," celetuk Mbok Hindun."Iya nih, mau ganti suasana aja," timpalku dengan asal-asalan."Mau nasi putih atau nasi kuning?" tanya Mbok Hindun."Mas, kamu mau nasi kuning atau nasi putih?" tanyaku beralih pada Mas Ruslan yang berdiri di samping."Cobain nasi kuningnya," jawab Mas Ruslan."Mbok, nasi kuningnya satu, yang sepuluh ribuan. Terus nasi putihnya yang tujuh ribuan itu dua," pesanku.Dikarenakan kami adalah pelanggan pertama, tidak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk menunggu pesanan dikemas."Sudah lama menikah tapi kalian kelihatannya masih lengket ya. Resepnya apa sih?" goda Mbok Hindun seraya menyerahkan kantong plastik hitam berisi nasi bungkus pesananku."Halah, Mbok. Baru juga jalan 5 tahun. Masih kinyis-kinyis-nya nih kita," timpalku dengan santai sambil menyerahkan sejumlah uang pada Mbok Hindun.Wanita paruh baya itu terkekeh pelan sebagai balasan. Setelah transaksi selesai, aku dan Mas Ruslan langsung undur diri.Dalam perjalanan pulang, mentari pagi perlahan mulai terlihat pendarnya. Namun, hal itu tidak lantas membuat kami bergegas. Setapak demi setapak jalan menuju rumah kami lalui dengan santai.Setelah mengucapkan salam yang kemudian dijawab ketus oleh mertua, kami hendak langsung berjalan menuju kamar. Tetapi, teguran sinis ibu mertua menghentikan langkah kami."Tri, kamu nggak tahu kalau di dapur ada tumpukan piring kotor?""Tahu!" jawabku dengan acuh tak acuh."Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tidak bereskan?!" raung ibu mertua dengan marah."Malas!" jawabku sekenanya."Apa kamu bilang?!" pekik ibu mertua."Malas!" jawabku sekali lagi. Tentu dengan intonasi suara yang lebih tinggi daripada sebelumnya."Malas kamu bilang?!""Iya. Ibu saja yang bersihkan!" pungkasku seraya melengos pergi. Mas Ruslan lantas mengekori dengan patuh dari belakang."Dasar anak dan menantu kurang ajar!" maki ibu mertua.Akan tetapi, aku tidak peduli. Seperti apa yang aku katakan kemarin. Jika ibu mertua marah-marah, aku hanya perlu mendengarkan. Jika ibu mertua mengusir kami dari rumah ini, kami tinggal pergi. Aku tidak mau lagi ambil pusing.Benar kata Mas Ruslan, jika memang kami perlu tahu alasan dibalik perawatan ibu mertua pada Mas Ruslan, Mbak Dina dan Dimas itu timpang, maka semesta pasti akan menunjukkan jalanannya untuk mengungkap semua. Tidak perlu terlalu ngotot seperti kemarin.Aku dan Mas Ruslan menghabiskan sarapan nasi bungkus yang kami beli di dalam kamar. Kami tidak sekalipun keluar kamar hingga waktunya Mas Ruslan berangkat kerja."Oh, aku pikir kalian tidak akan pernah keluar dari kamar!" sindir mertua ketika aku dan Danis hendak mengantar Mas Ruslan ke gerbang rumah."Mas Ruslan hati-hati di jalan," ucapku seraya mencium punggung tangan suamiku ini. Sindiran sang mertua yang sedang duduk di teras sengaja kami abaikan total."Bapak hati-hati di jalan," ujar Danis turut mengikuti tindakanku."Hm, kamu baik-baik di rumah," ucap Mas Ruslan sembari mengecup keningku. "Danis juga jangan nakal. Dengerin apa kata Ibu ya," sambung Mas Ruslan menyampaikan pesannya pada sang jagoan kecil. Dia lalu mengecup seluruh wajah putra kami hingga anak itu menggelinjing kegelian."Mas berangkat dulu. Assalamu'alaikum!" ucap Mas Ruslan sambil mulai menyalakan mesin sepeda motor bututnya.Setelah menjawab salam dari Mas Ruslan, aku dan Danis melepas kepergian Mas Ruslan dengan lambaian tangan ringan hingga bayangannya tidak lagi tampak di depan mata."Huh, lebay!" dengus mertuaku. "Nih, daftar belanjaan hari ini. Jangan ada bahan yang terlewat satupun. Tiana sama Dimas mau pindah ke sini hari ini," perintah ibu mertuaku dengan seenaknya.Akan tetapi, fokusku tidak ada pada daftar belanjaan yang disodorkan, melainkan pada informasi terakhir yang baru saja diucapkan mertua."Apa?!" Aku memekik. "Dimas dan Tiana mau tinggal di sini?!" seruku dengan mata membelalak.* * *Ibu mertuaku tampak berjengit tidak suka ketika mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku. "Kenapa? Kamu tidak suka Dimas dan Tiana tinggal di sini? Kamu masih berpikir kalau rumah ini milik suami kamu seorang? Hanya karena Ruslan yang membantu merenovasi rumah ini?" cecar mertuaku dengan garang sambil tangannya berkacak pinggang. " ... "Aku terdiam tidak menimpali, tapi mataku mengerjap beberapa kali. Mungkin inilah yang disebut-sebut sebagai firasat wanita. Sejak melihat tatapan cemerlang yang ditujukan wanita itu pada Mas Ruslan, aku tiba-tiba merasakan alarm berbahaya berdering di kedalaman hati. Agak tidak masuk akal untuk memikirkan ini. Biar bagaimanapun, wanita itu belum genap setahun menjadi istrinya Dimas. Tapi aku juga yakin bahwa apa yang aku lihat waktu itu tidak salah. Sorot mata Tiana menunjukkan ketertarikan pada Mas Ruslan! "Bukan begitu. Tapi seingatku, awalnya Tiana nggak mau tinggal di rumah ini karena tidak bisa berpisah dengan orang tuanya. Tapi
"Mbak Tri, kita pakai mobil aja ya ke sananya? Aku nggak biasa pakai sepeda motor," pinta Tiana."Nggak, aku mau pakai motor!" jawabku dengan tegas. "Tapi kasian Danis kepanasan," "Danis baik-baik aja kok," balasku. "Bu~" Tiana memanggil ibu mertua yang sedang berdiri di teras rumah. Sedang melepas kepergian sang menantu kesayangannya. "Tri, apa salahnya sih pakai mobil. Ini panas banget loh. Gimana kalau kulitnya Tiana nanti terbakar?" tegur mertuaku itu. Aku mendecakkan lidah dengan terang-terangan. "Nggak mau!" jawabku dengan mantap. "Aku udah telat nganter makan siang buat Mas Ruslan. Kalau kamu nggak mau pakai motor, besok aja kamu perginya sama Dimas!" seruku seraya menaiki sepeda motor milikku. Pada akhirnya, wanita ini mau mengalah dan ikut denganku menggunakan sepeda motor. Aku sama sekali tidak mau peduli dengan wajahnya yang terlihat jelas memberengut tak suka. 'Siapa suruh kamu sok-sokan mau ikut segala!' batinku dalam hati. Peternakan milik bapak mertua berada di
"Mas Ruslan~"Aku dan Mas Ruslan spontan saling lirik. Kami tidak perlu menoleh ke arah sumber suara untuk mengetahui siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dengan mata sedikit membola, aku menatap lekat ke arah Mas Ruslan. Bibirku berkomat-kamit tanpa suara, membentuk seuntai kalimat tanya. 'Dia tidak mendengar apa-apa 'kan?' Namun, Mas Ruslan mengendikkan bahu pelan sebagai tanda bahwa dia juga tidak tahu. Gelombang kekesalan yang datangnya entah darimana, tiba-tiba menelusup ke dalam hatiku. Apalagi saat di detik berikutnya, Tiana mendorong pintu ruangan Mas Ruslan hingga menjeblak terbuka. Kami bahkan belum sempat mempersilakan wanita ini untuk masuk! "Ih, Mbak Astri. Kenapa nggak bilang kalau Mas Ruslan udah datang sih~" ujar Tiana dengan nada merajuknya. Mungkin di mata suaminya, nada suara merajuk centil seperti ini akan terdengar lucu. Tetapi bagiku, nada suara ini terdengar menyebalkan. Terutama sekali setelah Tiana datang di waktu yang tidak tepat. "Kamu 'kan ke sini ma
Dikarenakan desahan lega dan ucapan penuh syukur Tiana itu, aku tidak lagi memiliki niat untuk menguping lebih lanjut pembicaraan mereka. Cukup tahu saja alasan kenapa Tiana sampai ingin tinggal di rumah ini segala. "Selama tidak mendekati Mas Ruslan, bodo amatlah kalau dia mau menguasai rumah ini dan juga peternakan itu," gumamku pada diri sendiri. Aku lalu menutup pintu kamar tidur kami dan menggiring Danis untuk mencuci tangan dan kaki sebelum tidur siang. Sambil berbaring di atas ranjang, aku menyempatkan diri untuk menekuri pekerjaanku. Sejak empat tahun lalu, saat usia Danis masih beberapa bulan, aku memulai profesi sebagai penulis. Awalnya aku hanya iseng untuk mengisi waktu luang sekaligus ingin mengeluarkan unek-unek. Siapa yang menyangka bahwa profesi ini bisa mendatangkan rezeki yang melimpah untukku pribadi. Kemudian dari hasil menulis itu, aku sudah bisa membeli sawah yang luasnya sekitar 5 are. Sawah itu letaknya di kampung halamanku dan dikelola oleh orang tuaku. Ti
"ASTRI!"Raungan marah ibu mertua bergema bersaing dengan suara azan di masjid yang tak jauh. Gelegar teriakan itu menarik semua penghuni rumah untuk berdatangan. "Ada apa ini?" tanya bapak mertua yang muncul tergesa dari dalam rumah dengan diikuti oleh Tiana. Bahkan Dimas yang baru saja tiba bergegas menghampiri ibunya. "Bu, ada apa? Kok teriak-teriak?" tanya Dimas. "Ini loh Dim, kakak ipar kamu!" seru ibu mertua seraya menunjuk ke arahku dengan jari telunjuknya yang sudah berkerut. "Ada apa lagi dengan Mbak Astri, Bu?" tanya Dimas dengan lembut. Ibu mertua menggelengkan kepala tampak tidak berdaya. Beliau juga meremat kain daster yang ada di bagian dadanya dengan dramatis. "Ibu nggak sanggup lagi, Dim!" ujar ibu mertua. Suaranya terdengar serak dan amat lesu. "Kenapa?" tanya Dimas lagi. Setitik air mata tak terduga perlahan jatuh menitik dari sudut mata tua wanita paruh baya ini. Aku dan Mas Ruslan yang menjadi tersangka otomatis saling melempar lirikan. "Apa salah jika ibu
"Kamu sungguh berhati dengki, Mbak!" Di sepanjang acara makan malam tadi, kata-kata Tiana itu terus bergema di dalam kepalaku. Hal itu sampai membuatku kehilangan nafsu makan. Bukannya aku tidak tahu bahwa apa yang aku lakukan ini memang sesuai dengan apa yang dituduhkan Tiana padaku. Akan tetapi, menyadari sendiri dan ditegur oleh orang lain itu rasanya sungguh berbeda. Kata-kata Tiana itu berhasil menohok jantungku! "Kalau terus begini, aku bukan hanya akan menambah penyakit hati. Tapi juga menambah dosa!" gumamku. Saat ini, aku dan Mas Ruslan sedang bergelung di atas ranjang kami dan hendak bersiap untuk tidur. Kusandarkan kepala pada bahu suamiku, dengan lengan kananku menggurita di atas perutnya yang keras. Sementara tangan kanan Mas Ruslan tersampir di bahuku, sambil jemarinya bermain-main dengan ujung rambutku. "Kamu memikirkan kata-kata Tiana tadi?" tanya Mas Ruslan yang paling bisa mengerti aku. Akupun tidak ragu untuk menganggukkan kepala membenarkan. "Mas, capek bange
"Tri, kamu... ""Kenapa bisa anak sekecil Aldi bisa menyebut sepupunya sendiri sebagai pengemis? Ini pasti karena Mbak Dina nggak bisa mendidik anak dengan baik 'kan?!" Aku meraung dengan marah hingga menyela perkataan ibu mertua yang hendak menegurku karena telah membuat cucu kesayangannya menangis. "Jangan sembarangan kamu ya!" balas Mbak Dina tidak kalah marahnya. "Terus kenapa Aldi bisa menyebut Danis sebagai pengemis? Dan ini bukan yang pertama kalinya loh. Apa selama ini Danis pernah minta-minta sama Aldi? Ini pasti ajaran kamu nih, Mbak!" seruku terus menyudutkan Mbak Dina. "Astri, diam kamu!" jerit ibu mertua dengan suaranya yang melengking tinggi. "Kenapa aku disuruh diam?!" Aku semakin mengamuk tidak terima."Karena kamu sudah membuat Aldi menangis!" balas ibu mertua tidak mau kalah. Perdebatan ini menyebabkan suasana di ruang tamu seketika menjadi seperti minyak panas yang dipercikkan air. Aku lantas melirik garang ke arah Aldi yang masih sesenggukan sambil bersembunyi
[Mas, aku bertengkar lagi dengan ibu dan Mbak Dina. Hari ini aku mau mengungsi aja dulu ke rumah orang tuaku,]Sebelum bertolak menuju rumah orang tuaku, aku terlebih dulu mengirim pesan meminta izin pada Mas Ruslan. Untungnya aku tidak perlu menunggu waktu lama sampai pesan balasan dari Mas Ruslan tiba. [Oke. Hati-hati di jalan. Nanti Mas nyusul,]Setelah mendapat persetujuan singkat dari suamiku itu, barulah aku memacu sepeda motorku meninggalkan rumah mertua. Jarak antara rumah mertua dan rumah orang tuaku itu sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 30 menit lamanya. "Assalamu'alaikum!" ucapku setibanya di sana. "Waalaikumsalam!" jawab orang dari dalam rumah. "Loh, Mbak Astri?!" seru Wisnu dengan nada terkejut ketika melihat kehadiranku di depan pintu rumah. Bukan apa-apa, tapi hari ini memang bukan jadwalnya aku datang berkunjung ke rumah ini. Biasanya aku dan Mas Ruslan kebagian jatah menginap di sini pada hari sabtu dan minggu. Tapi sekarang m
Untuk yang kedua kali, aku dan keluarga mengunjungi Bali. Kali ini aku berhasil membujuk ayah dan ibu untuk ikut turut serta. Alasannya adalah biar ada yang menemani ibu mertuaku untuk hanya sekedar mengobrol dengan orang seusianya."Kamu yakin semuanya akan baik-baik saja?" tanya ibu ketika kami baru saja tiba di Bali."Kenapa harus nggak baik-baik aja?" tanyaku dengan santai."Ibu mertua kamu benar-benar setuju nggak kalau kami ikut?" tanya ibu masih tidak yakin."Setuju kok. Ibu tenang aja. Ibu mertuaku sekarang baik. Kalau ibu nggak percaya, nanti kita buktikan!" ujarku dengan percaya diri."Kamu yakin?" tanya ibu lagi."Halah ibu ini, kenapa malah jadi kamu yang paranoid?" sambar bapak.Beliau sepertinya risih dengan pertanyaan yang sudah berulang kali diajukan oleh ibu sejak kemarin."Ih, bapak. Ibu kan cuma nanya," protes ibu atas reaksi bapak."Ya habis ibu nanya itu terus. Telinga bapak panas d
Dina POV,Berbulan-bulan berlalu, wacanaku untuk menculik Aldi dari ayah kandungnya sendiri selama ini hanya berakhir sebagai wacana. Aku tidak bisa membawa Aldi pergi menjauh dari ayah kandungnya tanpa persetujuan dari anak itu sendiri. Walaupun menyakitkan, aku tetap berusaha untuk menghargai keinginan Aldi."Aku tidak mengharapkan Aldi akan diabaikan oleh ayahnya sih. Tapi aku pikir begitu anaknya si Astuti lahir, fokus si Arifin pasti akan lebih dominan pada istri dan anak barunya," tukas Sadewa yang masih setia tinggal di desa ini untuk menemaniku."So?""Mungkin saat itu kamu bisa kembali merayu Aldi untuk tinggal bersamamu," ujar Sadewa."Hm," gumamku sembari menganggukkan kepala pelan tanpa menoleh ke arah Sadewa yang sedang duduk di balik kemudi.Saat ini, aku dan dia sedang menunggu di depan sekolahnya Aldi. Aku sangat merindukan anak yang beberapa waktu ini menolak untuk menemuiku. Semua ini lantaran dia marah padaku k
Aku memasak makan siang di bawah pengawasan ibu mertua. Awalnya terasa tidak nyaman, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku mulai melupakan keberadaan beliau dan sepenuhnya fokus pada pekerjaan yang ada di tangan.Setelah sibuk berkutat di depan panci dan wajan, akhirnya masakan yang aku buat matang. Dengan telaten aku mulai menyendok nasi beserta lauk pauknya ke atas piring, lalu menyajikannya di depan ibu mertua."Coba aja kamu melakukan hal seperti ini dari dulu," celetuk ibu mertua.Aku spontan memutar mata. "Ini semua gara-gara ibu sih. Coba kalau ibu nggak keseringan sensi dan marah-marah," timpalku dengan santai."Cih," balas ibu mertua."Ayo makan siang. Setelah ini aku harus kembali kerja," ujarku seraya mengambil tempat duduk di kursi yang berada tepat di hadapan ibu mertua."Hubunganmu dengan Ruslan gimana?" tanya ibu mertua sembari mulai menyendok makanan ke dalam mulutnya."Sangat baik!" jawabku dengan
Hari demi hari masih berlalu dengan monoton seperti biasanya. Kata-kata bapak masih menghantuiku hingga saat ini, tetapi aku belum memiliki keberanian untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk merayunya atau apalah itu.Selentingan kabar mereka diam-diam aku cari tahu melalui akun sosial media yang ada. Dan dari sana aku mengetahui bahwa Arumi dan ibu Sarinah telah kembali ke ibu kota. Ada juga kabar perceraian Dimas dan Tiana, serata kabar perceraian Mbak Dina dan suaminya.Rentetan kabar buruk yang datang satu demi satu menyambangi keluarga Hadinata membuat grup whats*app kompleks diibaratkan layaknya air yang dituangkan ke dalam minyak panas. [Keluarga Hadinata lagi dikasih banyak banget cobaan belakangan ini,][Ho-oh. Aku tidak menyangka umur pernikahan si Dimas bakal singkat banget. Padahal dia kelihatan cinta banget sama istrinya,][Isi dapur orang nggak ada yang tahu,][Memang sih,][Belum lagi si Dina juga bercerai.
Dina POV,"Din, hubungan kamu dengan Arifin bagaimana sih sebenarnya?" tanya bapak ketika kami sedang menyantap makan malam." ... "Karena makanan yang masih ada di dalam mulutku, aku tidak langsung memberi jawaban."Kamu juga, Dim. Tiana kemana? Kok dia nggak pulang-pulang?" tukas bapak pada Dimas yang duduk di sampingku."Aku dan Tiana berencana untuk bercerai," jawab Dimas dengan santai."Bercerai? Kenapa?" tanya ibu terdengar cukup terkejut.Dimas mengangkat bahunya pelan seraya berkata. "Sudah tidak ada kecocokan. Kalian masih ingat mengenai dia yang meminjam uang 100 juta untuk menutupi hutang keluarganya?" "Iya, terus kenapa?" tanya ibu dengan sedikit nada mendesak dalam suaranya."Aku tidak bisa membantunya untuk mencari jalan keluar terkait hutang itu. Alhasil dia mendekati banyak pria yang bersedia memberikannya uang secara cuma-cuma," jawab Dimas dengan enteng."What?!" seruku tida
"Kakek!""Nenek!"Danis berteriak dengan antusias tepat ketika kami baru tiba di rumah orang tuaku. Kebetulan saat ini kami bertemu dengan bapak dan ibu yang baru saja pulang dari sawah tepat di depan pintu gerbang rumah. "Danis, apa kabar? Nenek sama kakek udah lama nggak ketemu Danis," sambut ibuku dengan nada yang dibuat sedih ketika melihat cucunya.Memang beberapa minggu belakangan ini, kami terlalu sibuk mengurus toko yang baru dibuka, sehingga kami tidak bisa datang berkunjung ke rumah orang tuaku ini seperti biasanya."Iya nih. Bapak sama ibu sibuk-sibuk terus!" timpal Danis turut merajuk sambil bibirnya dimajukan beberapa sentimeter."Ayo, ngobrolnya di dalam aja," tukas bapak sembari membuka pintu gerbang untuk kami."Rumah kok sepi, Pak? Wisnu mana?" tanyaku."Di kosnya. Kamu lupa kalau adik kamu itu sudah masuk kuliah?" tukas bapak."Oh, aku lupa," timpalku seraya menepuk kepalaku pelan.
Dina POV,"Bu, apa rencana ibu selanjutnya?" tanyaku pada ibu setelah kami kembali ke rumah. Saat ini hanya ada aku, dan ibu saja yang ada di rumah. Bapak memilih untuk pergi ke peternakan dan menghabiskan waktu di sana. Sementara itu, Dimas sudah berangkat ke kantor."Entahlah. Ibu juga tidak tahu," jawab ibu dengan nada gamang. Aku pun menghela nafas lelah."Ibu tidak mau bercerai saja dengan bapak. Lalu memulai kehidupan baru?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut membuat ibu terlalu emosional." ... "Hening,Ibu tidak langsung menimpali ucapanku. Mata beliau terlihat menerawang jauh. Dan aku pun tidak mendesak ibu untuk segera menjawab. Hal-hal terkait hati memang tidak bisa diputuskan dengan mudah."Baik bibi Sarinah dan juga Ruslan telah memutuskan jalan hidup mereka sendiri. Dan tampaknya mereka juga bahagia-bahagia saja dengan pilihan hidup mereka saat ini. Hanya tinggal ibu saja yang masih terjerat dal
Dimas POV,Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi ketika semua drama mengenai orang tua kandung itu selesai. Setidaknya itu yang mereka katakan. Sementara menurutku, penyelesaian seperti ini agak terdengar tidak benar. Akan tetapi, jika ditanya hasil seperti apa yang aku inginkan atas masalah ini, tentu saja aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Karena orang-orang yang terlibat dalam masalah ini telah memutuskan untuk terus melangkah. Hanya ibu yang tampaknya masih terus terjerat dalam masa lalu. Namun, bahkan jika aku mengatakan apapun hingga berbusa, kalau ibu telah membuat keputusan keras kepala sendiri, lantas apa yang bisa aku lakukan?Rambutku yang sudah disisir dengan rapi, aku acak hingga berantakan. Masalah keluarga ini sungguh tidak ada habisnya!"Tau ah. Terserah mereka!" dumelku seraya mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan yang ada di hadapanku kini.Dikarenakan masalah keluarga tadi, aku sampai harus minta i
"Jadi, masalah ini sudah selesai sampai di sini 'kan?" tanya Mas Ruslan dengan intonasi datarnya yang seperti biasa."Iya!" timpal ibu Sarinah."Kalau begitu, kami bisa pulang duluan 'kan? Aku masih punya banyak pekerjaan," tukas Mas Ruslan."Baiklah, ayo bubar!" pungkas Mbak Dina mengikuti.Karena posisi berdiri kami yang sudah ada di ambang pintu rumah kontrakan ini, Mas Ruslan dapat langsung membuka pintu, dan mengambil langkah keluar."Kamu pamit. Assalamualaikum, semuanya!" ujar Mas Ruslan yang segera aku ikuti dari belakang."Waalaikumsalam!" jawab Mbak Dina seorang.Tanpa menoleh ke arah belakang. Kami terus berjalan menuju sepeda motor yang diparkir Mas Ruslan tidak jauh."Ruslan, ada apa? Kok keluarga kamu rame-rame berkumpul di kontrakan Arumi?""Iya nih, Lan. Tadi kita semua lihat ibu kamu menjambak ibunya si Arumi itu. Mereka ada masalah apa sih sebenarnya?"Warga kampung yang meman