“Aku memang penyakitan, tapi penyakitku ini bukan penyakit yang memalukan!” Mella membalas dengan sengit.“Terus, maksud kamu apa?” tantang Deni."Pa, perempuan bernama Ani itu kan PSK kelas kakap. Pelanggannya banyak, karena pelayanannya sangat memuaskan. Apa Papa pikir Ani itu bebas dari penyakit kelamin? Okelah kalau ia sehat. Tapi apakah pelanggannya sehat semua? Belum tentu kan? Apakah Papa kemarin pakai pengaman? Terus laki-laki satunya pakai pengaman? Coba cek ke Puskesmas, untuk memastikan Papa sehat atau tidak. Jangan sampai setelah menikah, barang Papa nggak bisa dipakai karena penyakitan." Mella berkata dengan tegas."Aku sehat. Ani juga sehat, buktinya bisa memuaskan." Deni menjawab dengan meyakinkan."Tentu saja bisa memuaskan karena memang itu pekerjaannya. Kalau tidak memuaskan nggak punya pelanggan bodoh sepertimu. Kenapa kamu nggak menikah dengan Ani, biar tidak membayar denda," kata Bang Jo, terlihat sekali kalau ia kesal dengan Deni."Enak saja menikah dengan Ani. A
Suasana warung cukup ramai, aku pun turun tangan untuk membantu Minah dan warti.“Alhamdulillah, capek juga ya,” gumamku dalam hati sambil duduk di kursi kasir. Waktunya untuk istirahat sejenak sambil mengawasi warung. Aku merapikan dan menghitung uang yang ada di laci, aku tersenyum melihat pendapatan sampai siang hari ini. Tak lupa aku mengucap syukur atas rezeki hari ini.Klunting-klunting, ponselku berbunyi. Sebuah pesan masuk ternyata dari Septi. Perlahan aku membuka pesan itu.[Mbak, tadi ada kiriman dari Bapak. Lumayan banyak. Beras ada lima karung besar, minyak dan beberapa bahan makanan. Aku menjadi sangat terharu. Ternyata Bapak dan Ibu Sis sangat baik padaku.] Tulis Septi.[Alhamdulillah, apakah Bapak sendiri yang mengantarkannya?] Aku menjawab pesan dari Septi.[Enggak, Mbak. Manto dan satu orang lagi. Aku tidak begitu paham orangnya. Ibu dan Pak Edi juga terharu. Ternyata menyenangkan kalau kita semua akur ya, Mbak. Menjadi keluarga yang besar.] Aku juga terharu membaca p
"Mella, Mella." Suara itu semakin lama semakin mendekat. Ternyata Bu Tari yang muncul di hadapan kami berdua. Kok Bu Tari kesini ya? Apakah ia tahu masalah yang dihadapi Mella dan Deni? Secepat itukah beritanya sampai ke telinga Bu Tari? Jangan sampai ia membuat masalah disini."Kenapa kamu lari, Mella?" tanya Bu Tari dengan menatap Mella. "Mella sengaja kesini, nggak enak dilihat orang. Takutnya nanti malah terjadi keributan di warung, dan banyak yang menonton," kilah Mella, wajahnya tampak pucat, mungkin ia ketakutan melihat ibunya datang."Silahkan duduk, Bu." Aku berkata sambil mempersilahkan Bu Tari untuk duduk. Bu Tari hanya melengos saja, aku sudah tidak heran dengan watak Bu Tari. Tapi akhirnya ia duduk juga."Ada apa, Bu? Kapan Ibu datang?" tanya Mella dengan senyum yang dipaksakan."Nggak usah basa-basi. Ibu kesini mau menjemputmu pulang." Suara Bu Tari terdengar seperti orang emosi."Ngapain pulang?" tanya Mella sambil mengernyitkan dahi."Ibu tahu apa yang terjadi disini
"Besan sudah pulang ya?" tanya Emak yang baru keluar dari kamar. Aku kaget, aku pikir Emak pergi kemana. Ternyata sembunyi di kamar. Ada-ada saja Emak ini."Sudah. Kenapa Emak nggak keluar tadi?" tanya Bang Jo."Maaf Mella, bukannya Emak membenci ibumu. Hanya saja Emak tidak mau berdebat dan terpancing emosi. Lebih baik Emak tidak menemuinya. Kalau memaksakan diri menemuinya, pasti Emak tidak bisa menahan emosi." Emak berkata pada Mella."Nggak apa-apa, kok, Mak. Mella yakin pasti Emak punya alasan tersendiri.""Terima kasih kamu masih mau bertahan dengan Deni. Bersama kita mencoba untuk menyadarkan Deni, sampai batas kemampuanmu bertahan. Kalau kamu sudah tidak sanggup, bilang sama Emak dan Bapak. Emak dan Bapak pasti akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu. Jangan memaksakan diri." Emak berkata dengan bijaksana. "Iya, Mak. Selama keluarga disini mendukung saya, saya akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga ini." Mella berkata dengan penuh keyakinan. Semoga Deni
“Gimana, Nov, ada kan?” Bik Cici mengulangi lagi permintaannya.“Sekali lagi saya minta maaf, Bik. Saya belum bisa membantu.” Aku berkata dengan pelan dan hati-hati, supaya ia tidak tersinggung.“Bilang dong dari tadi kalau nggak mau bantu. Kamu malah ngajak saya ghibah disini. Capek-capek saya ngasih informasi banyak, nggak tahunya malah nggak dapat hasil.” Bik Cici malah ngomel-ngomel. Siapa juga yang butuh informasi, aku kan nggak minta. Dia saja yang dari tadi nyerocos nggak karuan.“Bukannya nggak mau, tapi belum bisa. Saya juga banyak keperluan.”“Apa kamu takut tidak saya bayar? Iya kan, bilang saja kalau kamu takut. Saya nggak seperti Mella yang suka pinjam uang tapi susah bayarnya.” Suara Bik Cici semakin tinggi, membuatku khawatir. Khawatir kalau sampai Mella mendengarnya pasti ia akan sedih.Aku hanya diam saja, malas meladeninya. Nanti malah merembet kemana-mana.“Bu, susu!” teriak Nayla tiba-tiba.“Iya, Nak, sebentar ya?” Aku menjawab permintaan Nayla.“Memangnya anakmu i
“Benar kan Bu yang saya katakan tadi?” Warti masih saja penasaran.“Memangnya kamu dengar ya suaranya Bik Cici tadi?” tanyaku.“Enggak, saya kan tadi sibuk bungkus nasi. Saya tadi cuma melihat Bik Cici masuk ke rumah Ibu.”“Kok kamu tahu yang dibicarakan Bik Cici?” Aku jadi penasaran, jangan-jangan memang tadi Warti menguping pembicaraan kami.“Ibu kuper sih, jadi nggak tahu ceritanya! Bik Cici itu hobinya ngutang, alasannya seperti itu. Banyak kok yang bilang. Katanya Isti dapat beasiswa, berarti kan kuliahnya nggak bayar. Kok pakai alasan untuk bayar kuliah Isti.” Warti memberi penjelasan.“Terus kalau dia pinjam uang itu dikembalikan nggak?” tanyaku lagi. “Dikembalikan sih, tapi lama sekali, kadang-kadang gak utuh. Soalnya dia itu bayarnya nyicil. Kalau nggak dicatat, dia akan bilang kalau hutangnya sudah lunas. Kalau pinjam dua juta, kembalinya hanya satu juta setengah.”Aku hanya manggut-manggut saja. Aku memang kuper gak tahu berita terupdate di dusun ini. Tahunya ya dari Warti
“Kok nggak percaya sama saya, nanti saya bayar, jangan khawatir.” Suara itu masih berusaha meyakinkan Bik Yani.Aku ragu, mau muncul di hadapan mereka atau enggak. Takut nanti malah membuat suasana menjadi semakin heboh. Karena yang datang dari itu adalah Bik Cici, aku hafal betul suaranya. Teringat ketika ia ngomel-ngomel mau pinjam uang nggak aku kasih.Drtt…drtt…ponselku berdering. Bakal ketahuan Bik Cici kalau aku ada disini. Aku pun keluar dari persembunyianku.“Halo?” Aku menerima panggilan dari Bang Jo.“Dimana, Dek?” tanya Bang Jo.“Belanja di warung Bik Yani sama anak-anak.”“Oh, ya sudah. Abang sudah di rumah.”“Oke, bentar lagi aku pulang.” Aku pun mengakhiri panggilan itu.“Oh, ternyata ada Nova? Kok tadi diam saja, sengaja menguping pembicaraan kami ya?” Bik Cici berkata sambil melihat ke arahku.“Saya sudah dari tadi disini, lagi nyari barang, Bik.” Aku menghampiri Bik Cici.“Betul, Mbak Nova sudah dari tadi disini.” Bik Yani menimpali ucapanku.“Oh.” Bik Cici memandangk
“Bang, ada masalah apa?” tanyaku lagi.“Banyak ikan mati karena di potas. Beberapa kolam bahkan mati semua ikannya.” Bang Jo berkata dengan pelan.“Kolam kita?” “Bukan, kolam di dusun sebelah. Imbasnya ke kita. Pasti mereka akan menunggak membayar peletnya. Sedangkan kita sudah membayar cash ke agen.”Potasium cyanide atau dikenal dengan potas, yakni sejenis obat/cairan racun. Pemotasan ikan dianggap merupakan cara yang paling cepat untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya ikan dalam waktu yang singkat. Atau juga karena ada yang iri dan sengaja memberi racun supaya yang punya kolam mengalami kerugian besar. Akibatnya, banyak ikan yang pingsan bahkan mati, baik yang sudah besar maupun yang masih kecil.Aku menghela nafas panjang.“Ketahuan nggak siapa yang menyebar potas itu?” tanyaku dengan penasaran.“Enggak ketahuan.” Bang Jo menggelengkan kepala.Jujur saja aku sedih mendengarnya. Uang yang aku harapkan bisa untuk membeli sesuatu yang selama ini kuinginkan, malah belum tahu kapan akan