"Mella, Mella." Suara itu semakin lama semakin mendekat. Ternyata Bu Tari yang muncul di hadapan kami berdua. Kok Bu Tari kesini ya? Apakah ia tahu masalah yang dihadapi Mella dan Deni? Secepat itukah beritanya sampai ke telinga Bu Tari? Jangan sampai ia membuat masalah disini."Kenapa kamu lari, Mella?" tanya Bu Tari dengan menatap Mella. "Mella sengaja kesini, nggak enak dilihat orang. Takutnya nanti malah terjadi keributan di warung, dan banyak yang menonton," kilah Mella, wajahnya tampak pucat, mungkin ia ketakutan melihat ibunya datang."Silahkan duduk, Bu." Aku berkata sambil mempersilahkan Bu Tari untuk duduk. Bu Tari hanya melengos saja, aku sudah tidak heran dengan watak Bu Tari. Tapi akhirnya ia duduk juga."Ada apa, Bu? Kapan Ibu datang?" tanya Mella dengan senyum yang dipaksakan."Nggak usah basa-basi. Ibu kesini mau menjemputmu pulang." Suara Bu Tari terdengar seperti orang emosi."Ngapain pulang?" tanya Mella sambil mengernyitkan dahi."Ibu tahu apa yang terjadi disini
"Besan sudah pulang ya?" tanya Emak yang baru keluar dari kamar. Aku kaget, aku pikir Emak pergi kemana. Ternyata sembunyi di kamar. Ada-ada saja Emak ini."Sudah. Kenapa Emak nggak keluar tadi?" tanya Bang Jo."Maaf Mella, bukannya Emak membenci ibumu. Hanya saja Emak tidak mau berdebat dan terpancing emosi. Lebih baik Emak tidak menemuinya. Kalau memaksakan diri menemuinya, pasti Emak tidak bisa menahan emosi." Emak berkata pada Mella."Nggak apa-apa, kok, Mak. Mella yakin pasti Emak punya alasan tersendiri.""Terima kasih kamu masih mau bertahan dengan Deni. Bersama kita mencoba untuk menyadarkan Deni, sampai batas kemampuanmu bertahan. Kalau kamu sudah tidak sanggup, bilang sama Emak dan Bapak. Emak dan Bapak pasti akan mengantarmu pulang ke rumah orang tuamu. Jangan memaksakan diri." Emak berkata dengan bijaksana. "Iya, Mak. Selama keluarga disini mendukung saya, saya akan berusaha sekuat tenaga mempertahankan rumah tangga ini." Mella berkata dengan penuh keyakinan. Semoga Deni
“Gimana, Nov, ada kan?” Bik Cici mengulangi lagi permintaannya.“Sekali lagi saya minta maaf, Bik. Saya belum bisa membantu.” Aku berkata dengan pelan dan hati-hati, supaya ia tidak tersinggung.“Bilang dong dari tadi kalau nggak mau bantu. Kamu malah ngajak saya ghibah disini. Capek-capek saya ngasih informasi banyak, nggak tahunya malah nggak dapat hasil.” Bik Cici malah ngomel-ngomel. Siapa juga yang butuh informasi, aku kan nggak minta. Dia saja yang dari tadi nyerocos nggak karuan.“Bukannya nggak mau, tapi belum bisa. Saya juga banyak keperluan.”“Apa kamu takut tidak saya bayar? Iya kan, bilang saja kalau kamu takut. Saya nggak seperti Mella yang suka pinjam uang tapi susah bayarnya.” Suara Bik Cici semakin tinggi, membuatku khawatir. Khawatir kalau sampai Mella mendengarnya pasti ia akan sedih.Aku hanya diam saja, malas meladeninya. Nanti malah merembet kemana-mana.“Bu, susu!” teriak Nayla tiba-tiba.“Iya, Nak, sebentar ya?” Aku menjawab permintaan Nayla.“Memangnya anakmu i
“Benar kan Bu yang saya katakan tadi?” Warti masih saja penasaran.“Memangnya kamu dengar ya suaranya Bik Cici tadi?” tanyaku.“Enggak, saya kan tadi sibuk bungkus nasi. Saya tadi cuma melihat Bik Cici masuk ke rumah Ibu.”“Kok kamu tahu yang dibicarakan Bik Cici?” Aku jadi penasaran, jangan-jangan memang tadi Warti menguping pembicaraan kami.“Ibu kuper sih, jadi nggak tahu ceritanya! Bik Cici itu hobinya ngutang, alasannya seperti itu. Banyak kok yang bilang. Katanya Isti dapat beasiswa, berarti kan kuliahnya nggak bayar. Kok pakai alasan untuk bayar kuliah Isti.” Warti memberi penjelasan.“Terus kalau dia pinjam uang itu dikembalikan nggak?” tanyaku lagi. “Dikembalikan sih, tapi lama sekali, kadang-kadang gak utuh. Soalnya dia itu bayarnya nyicil. Kalau nggak dicatat, dia akan bilang kalau hutangnya sudah lunas. Kalau pinjam dua juta, kembalinya hanya satu juta setengah.”Aku hanya manggut-manggut saja. Aku memang kuper gak tahu berita terupdate di dusun ini. Tahunya ya dari Warti
“Kok nggak percaya sama saya, nanti saya bayar, jangan khawatir.” Suara itu masih berusaha meyakinkan Bik Yani.Aku ragu, mau muncul di hadapan mereka atau enggak. Takut nanti malah membuat suasana menjadi semakin heboh. Karena yang datang dari itu adalah Bik Cici, aku hafal betul suaranya. Teringat ketika ia ngomel-ngomel mau pinjam uang nggak aku kasih.Drtt…drtt…ponselku berdering. Bakal ketahuan Bik Cici kalau aku ada disini. Aku pun keluar dari persembunyianku.“Halo?” Aku menerima panggilan dari Bang Jo.“Dimana, Dek?” tanya Bang Jo.“Belanja di warung Bik Yani sama anak-anak.”“Oh, ya sudah. Abang sudah di rumah.”“Oke, bentar lagi aku pulang.” Aku pun mengakhiri panggilan itu.“Oh, ternyata ada Nova? Kok tadi diam saja, sengaja menguping pembicaraan kami ya?” Bik Cici berkata sambil melihat ke arahku.“Saya sudah dari tadi disini, lagi nyari barang, Bik.” Aku menghampiri Bik Cici.“Betul, Mbak Nova sudah dari tadi disini.” Bik Yani menimpali ucapanku.“Oh.” Bik Cici memandangk
“Bang, ada masalah apa?” tanyaku lagi.“Banyak ikan mati karena di potas. Beberapa kolam bahkan mati semua ikannya.” Bang Jo berkata dengan pelan.“Kolam kita?” “Bukan, kolam di dusun sebelah. Imbasnya ke kita. Pasti mereka akan menunggak membayar peletnya. Sedangkan kita sudah membayar cash ke agen.”Potasium cyanide atau dikenal dengan potas, yakni sejenis obat/cairan racun. Pemotasan ikan dianggap merupakan cara yang paling cepat untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya ikan dalam waktu yang singkat. Atau juga karena ada yang iri dan sengaja memberi racun supaya yang punya kolam mengalami kerugian besar. Akibatnya, banyak ikan yang pingsan bahkan mati, baik yang sudah besar maupun yang masih kecil.Aku menghela nafas panjang.“Ketahuan nggak siapa yang menyebar potas itu?” tanyaku dengan penasaran.“Enggak ketahuan.” Bang Jo menggelengkan kepala.Jujur saja aku sedih mendengarnya. Uang yang aku harapkan bisa untuk membeli sesuatu yang selama ini kuinginkan, malah belum tahu kapan akan
“Mella.” Aku berusaha untuk memanggilnya lagi.Masih juga tidak ada respon, aku pun memegang bahunya sambil memanggilnya. Mella tampak kaget dan buru-buru mengusap kedua matanya.Aku duduk di sebelah Mella.“Mella, ada apa?” “Nggak ada apa-apa, Mbak.” Mella menjawab dengan pelan.“Jangan bohong padaku, apa yang kamu pikirkan?” Mella ragu untuk berbicara, aku pun mengangguk meyakinkannya untuk berbicara.“Aku sedih, Mbak. Ternyata setelah beberapa hari kejadian, masih banyak orang yang membicarakannya. Kemarin Bik Cici, juga orang yang di warung tadi. Apa yang harus aku lakukan, Mbak?” Mella berbicara dengan air mata yang menetes perlahan.“Tidak ada yang perlu kamu lakukan. Kamu diamkan saja, tidak usah pedulikan omongan orang. Memang aku tidak tahu apa yang kamu rasakan, tapi kamu harus kuat. Ada Sheila yang selalu membutuhkanmu. Nanti lama-lama kelamaan, orang akan lupa dengan sendirinya.” Aku berusaha membesarkan hatinya.“Memang tidak semudah apa yang aku katakan, tapi setidakny
“Ada apa, Bu?” tanyaku penasaran.“Tekanan darah Pak Johan sangat tinggi.” Bu Erni menyebutkan angka yang membuatku sangat kaget.“Setinggi itu?” Aku mengernyitkan dahi.“Iya, Mbak. Pak Johan harus banyak istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Kalau terlalu tinggi tekanan darahnya, nanti malah bisa stroke. Bukannya saya menakut-nakuti lho?” Bu Erni menjelaskan.“Iya, Bu. Saya tahu.” Aku mengiyakan penjelasan Bu Erni, karena aku memang pernah membaca tentang penyebab stroke.“Apakah Ayah saya baik-baik saja Bu?” tanya Dewi, terlihat sekali kalau ia sangat cemas dengan kondisi ayahnya.“Ayah nggak apa-apa, Dewi, hanya kecapekan saja.” Bang Jo berkata dengan pelan.“Insyaallah baik-baik saja, nanti saya kasih obat. Apa Pak Johan dirawat di klinik saja?” Bu Erni menawarkan pada Bang Jo.“Nggak usah, Bu. Saya dirawat di rumah saja.” Bang Jo ikut berkomentar dengan suara yang pelan.“Pak Johan masih rutin minum obatnya kan?”“Sudah lama nggak minum, Bu,” sahut Bang Jo.“Pak, obat hiperte
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa