"Maaf Mella, aku tidak bisa memutuskannya. Semua harus aku rundingkan dengan suamiku," jawabku sambil membantu Mella berdiri. Tidak enak rasanya Mella bersujud dikakiku. Sebenci-bencinya aku dengan Mella, aku tidak pernah berharap ia sujud di kakiku. Dengan Ia meminta maaf secara baik-baik saja, aku sudah cukup senang. "Tolong, Mbak. Bicarakan dengan Bang Jo. Aku tidak mau disini terus," kata Mella sambil terisak-isak."Mella, ngapain sih kamu merengek-rengek seperti itu. Memalukan! Masalah biaya itu urusan Deni, suamimu yang gak punya otak itu. Istri sakit malah nggak pernah dijenguk apalagi ditunggui," ketus Bu Tari berkata pada Mella."Kak Deni nggak punya uang, Bu. Kalau begitu, Ibu yang membiayai perawatan disini. Nanti kalau Mella sudah sehat, Mella akan bekerja untuk membayar hutang pada Ibu," bela Mella."Huh, enak saja. Kamu sudah menikah, jadi bukan tanggungan Ibu lagi. Tapi tanggungan suamimu. Percuma saja kamu menikah kalau semua masih kembali ke Ibu. Makanya cari suami i
Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Emak. Aku dan Aisyah berjalan menuju pintu. Tampak Bang Jo keluar dari mobil. Mella turun dari mobil dibantu Bu Tari. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah."Biar barangnya aku yang bawa," ucap Bang Jo, ketika Mella berusaha mengangkat barang bawaannya. Aku membantu Bang Jo membawa barang bawaan Mella.Aku mengikuti Bang Jo masuk ke dalam rumah, dan meletakkan barang Mella di kamarnya. Kamar Mella sudah tampak bersih dan tidak bau lagi. Mungkin ini yang dikerjakan Deni beberapa hari yang lalu, membersihkan kamar. Kalau kamar seperti ini, pasti sangat nyaman untuk ditinggali.Setelah keluar dari kamar Mella, aku dan Bang Jo menuju ke ruang keluarga. Tampak semua sudah duduk disana.Mella mendekati Emak dan Bapak yang duduk bersebelahan. Kemudian duduk bersimpuh di lantai."Pak, Emak, maafkan segala kesalahanku. Selama ini aku melakukan banyak hal yang membuat Bapak dan Emak marah dan kecewa. Di rumah sakit beberapa hari, membuatku banyak ber
Rutinitas pagi selalu kulalui dengan semangat. Semangat menjemput rezeki, karena didalam rezekiku, ada rezeki untuk orang lain. Para pegawaiku dan mertua. Sesekali aku juga mengirimkan untuk ibu kandungku. Alhamdulillah, sejauh ini, usahaku lancar. Warung nasi sepuluh ribu, lumayan ramai. Jualan es boba dan makanan ringan juga lancar. Aku selalu berusaha untuk mensyukuri apa yang ada. "Assalamualaikum, Mbak Nova," sapa seseorang yang masuk ke dalam rumahku.Aku menoleh ke arah suara itu. Ternyata Mella yang datang, ia tampak lebih segar dari kemarin."Waalaikumsalam," jawabku.Mella mendekatiku, aku baru selesai mencuci pakaian."Sudah sarapan?" tanyaku sambil.mengajaknya untuk duduk di kursi makan. Aku membuka tudung saji dan memperlihatkan makanan yang ada. "Sudah, Mbak. Tadi aku bangun pagi terus masak tumis kangkung. Karena hanya ada kangkung di kulkas," jawab Mella."Nanti siang ambil lauk disini, ya?" kataku pada Mella.Mella mengangguk, kulihat matanya berkaca-kaca."Kenapa?
Hari ini Septi datang ke rumahku, sendirian. Aku senang akhirnya ia mau main kesini. Septi mengajakku ke rumah Bapak. Ia ingin meminta restu pada Bapak dan Bu Sis, sekalian meminta Bapak untuk menjadi wali nikahnya nanti. "Intan, beri salam pada Tante Septi," kataku pada Intan ketika ia pulang sekolah.Intan mendekati Septi dan memberi salam. Kemudian Intan masuk ke dalam untuk ganti pakaian. Aku mengajak Septi ke warung."Mbak Mella, apa kabar," sapa Septi."Alhamdulillah, kabar baik. Kapan sampainya Sep?" tanya Mella."Baru saja, Mbak."Kemudian Mella dan Septi asyik berbincang-bincang. Mereka cepat akrab, selama ini mereka hanya saling sapa saja. Maklumlah dulu Mella kurang bersahabat. Tak lama kemudian Dewi pulang sekolah. Ia pun menyalami Septi dan kemudian masuk ke dalam rumah. Selesai berganti pakaian ia langsung membantu menjual es Boba."Kamu nggak makan dulu, Wi?" tanyaku."Nanti saja, Bu. Kalau sudah lapar. Masih kenyang tadi jajan di sekolah," sahut Dewi.Akhirnya Dewi s
"Ibu maklum, yang penting semua sehat-sehat dan selalu memberi kabar. Gimana mertuamu?" tanya Bu Sis."Alhamdulillah, Bu. Semua sudah berubah menjadi lebih baik. Emak sekarang sudah rajin ikut pengajian, jadi waktunya banyak digunakan untuk kegiatan positif. Mella semenjak sembuh dari sakit, juga mulai berubah. Sekarang ia membantu di warung.""Syukurlah, semua harus melewati jalan yang terjal dulu, sebelum akhirnya berubah.""Biar Nova yang membawanya, Bu." Aku membantu Bu Sis membawa minuman ke depan.Septi sedang bercanda dengan Nayla, ketika aku membawakan minuman."Ayo diminum dulu, haus kan tadi di jalan," kata Bu Sis."Iya, Bu. Makasih," jawab Septi."Gimana kabarnya Ibu, Sep?" tanya Bu Sis. Sepertinya beliau berusaha untuk membuka percakapan dengan Septi, supaya suasana tidak kaku."Alhamdulillah, sehat, Bu. Tapi ya gitu, harus selalu diingatkan dalam hal makanan. Senangnya makan yang asin-asin, padahal punya penyakit darah tinggi. Kalau dikasih tahu, ngeyel." Septi sepertinya
Terdengar suara langkah kaki yang masuk ke dalam rumah. Semua menoleh ke arah pintu. Ternyata Nayla dan Icha masuk ke dalam rumah, mungkin sudah capek main di luar."Icha, kasih salam sama Mbak Septi," kata Bapak pada Icha. Icha pun mendekati Septi, kemudian Septi mencium pipi Icha."Icha sudah besar ya? Ini Mbak Septi, mbaknya Icha." Septi berkata pada Icha."Oh, Mbak Septi ya? Bapak pernah cerita sama Icha kalau Icha punya dua Mbak. Mbak Nova dan Mbak Septi. Kalau sama Mbak Nova sering bertemu. Tapi dengan Mbak Septi baru sekali ini. Waktu Icha tanya kok Mbak Septi nggak pernah kesini? Bapak menjawab katanya Mbak Septi sedang sibuk sekolah. Nanti kalau sekolahnya sudah selesai pasti Mbak Septi kesini. Berarti sekarang Mbak Septi sudah selesai ya sekolahnya?" Icha nyerocos dengan polosnya.Septi mengangguk sambil meneteskan air mata. Sepertinya ia merasa sangat bersalah, mungkin karena sudah menyia-nyiakan waktu selama ini."Iya, Mbak Septi sudah selesai sekolahnya. Maafkan Mbak ya,
"Mbak, apa penyesalan terbesar dalam hidup Mbak Nova?" tanya Septi ketika kami mau tidur. Aku dan Septi tidur bersama. Nayla tidur dengan Icha."Tidak melanjutkan kuliah. Padahal dulu Bapak sudah memintaku untuk kuliah. Tapi aku dengan jiwa labilku malah nekat merantau. Karena saat itu Bapak mau menikah dengan Bu Sis. Aku takut nanti aku diabaikan oleh Bapak. Makanya aku nekat mencari kerja. Akhirnya malah mendapatkan jodoh." Aku tersenyum kecut."Jadi Bang Jo itu semacam pelarian gitu ya?""Nggak juga sih. Mungkin memang sudah jodohku.""Apa yang Mbak pikirkan ketika Mbak mau menikah dengan Bang Jo?""Yang jelas aku merasa nyaman dengan Bang Jo. Dulu aku beranggapan kalau aku menikah dengan Bang Jo, pasti aku bahagia karena ada orang yang mengayomiku. Aku sebenarnya butuh seseorang yang bisa membuatku merasa dibutuhkan.""Apa Mbak bahagia menikah dengan Bang Jo?""Yang namanya menikah, pasti ada ribut-ributnya. Apalagi aku dengan Bang Jo sangat jauh berbeda. Dari usia, perbedaannya s
Septi sengaja berdehem membuat kami kaget. Septi muncul sepertinya baru selesai menyapu rumah. Septi memang tipe orang yang senang membersihkan rumah. Kalau kotor sedikit saja, ia sudah sibuk membersihkannya. Aku membayangkan kalau ia punya anak nanti, pasti akan cerewet dengan anak-anaknya. Sedangkan aku tipe orang yang senang memasak, entah masak sayur dan lauk, atau membuat snack.“Eh, Septi, ngagetin aja deh.” Aku memang benar-benar kaget."Apa yang perlu dibantu, nih?" tanya Septi sambil melihat ke sekeliling."Kamu mencuci beras untuk memasak ini saja.""Oke, Mbak.""Sep, kamu bisa memasak kan?" tanyaku."Bisa dong, Mbak. Walaupun tidak seenak Mbak Nova yang masak. Tapi setidaknya makananku tidak diprotes sama Ibu dan Pak Edi." Septi berkata sambil cengengesan."Kalau Pak Edi tidak bakal protes. Soalnya kalau diprotes, kamu nggak bakal mau masak lagi, haha," kataku sambil tertawa."Ih, Mbak Nova meledek saja nih. Tapi benar juga kata Mbak Nova. Mau protes nggak berani, hihi.” Se
“Abang takut kehilanganmu. Abang banyak merenung dan berpikir selama Adek masih di klinik. Masalah anak kita, apa yang yang Abang ucapkan itu hanya emosi sesaat. Karena Abang masih kalut dengan usaha Abang yang merugi, ditambah kedatangan perempuan itu. Abang benar-benar minta maaf. Abang akan melakukan apa saja asal kamu tidak pergi. Abang berjanji tidak akan melakukan kesalahan seperti ini lagi.”Aku hanya diam, tidak tahu harus melakukan apa. Apakah aku senang dengan apa yang dilakukan Bang Jo sekarang? “Dek, Abang minta maaf kalau tidak bisa menjadi suami yang seperti kamu inginkan. Tapi Abang berjanji, Abang akan selalu melindungi dan menjagamu. Abang akan menjadi suami siaga untukmu dan bayi kita. Nak, maafkan Ayah,” kata Bang Jo sambil mengelus perutku. Kemudian ia berusaha berdiri dan menunduk untuk mencium perutku.“Maafkan Ayah, Nak. Ayah akan menjagamu sampai kamu lahir dan sampai kamu besar nanti. Ayah akan bercerita tentang ibumu, betapa hebatnya ibumu selama mendamping
Aku sedang mengemasi pakaianku di kamar. Aku baru saja pulang dari klinik dan langsung pulang ke rumah untuk mengemas pakaianku dan Nayla. Diruang tamu ada Bapak dan Bang Jo, entah apa yang mereka bicarakan.“Jadi Ibu benar-benar mau pergi?” tanya Dewi dengan meneteskan air mata. Aku tidak tahu kapan Dewi masuk ke kamarku. Aku menghentikan sejenak kegiatanku dan kemudian duduk di sebelah Dewi.“Maafkan Ibu, Dewi. Semua ini tergantung ayahmu. Kalau memang ayahmu masih menghendaki Ibu ada disini, Ibu akan tetap disini. Tapi percayalah, Ibu akan tetap menyayangimu, apapun yang terjadi.” aku berkata dengan mata yang berkaca-kaca.“Mana janji Ibu yang akan mendampingi Dewi sampai Dewi mandiri? Ibu bohong!” Dewi berteriak sambil menangis. Aku segera memeluknya dan ikut menangis. Sebenarnya berat bagiku meninggalkan anak-anak. Tapi daripada disini tapi diabaikan oleh Bang Jo, lebih baik aku pergi, demi kesehatan mentalku. Apalagi aku sedang mengandung.Aku mendengar diluar sedang terjadi pe
Pagi menjelang siang, aku dikejutkan dengan kedatangan bapakku. Ya Pak Hardi, bapakku datang ke klinik. “Kamu dengan siapa disini? Sendirian? Johan benar-benar keterlaluan! Nanti kamu pulang ke rumah Bapak saja. Bapak masih sanggup mengurusmu!” Bapak tampak geram.“Bapak sama siapa kesini?” tanyaku basa-basi.“Sama Manto!”“Dari kemarin Bapak merasa tidak enak, kepikiran kamu terus. Apalagi waktu mendengar kalau Tina pergi kesini. Bapak sudah menebak apa yang terjadi.”“Bapak tahu dari mana kalau Tina kesini?” tanyaku dengan heran.“Kemarin Bapak mencari beras, anak buahnya bilang sedang pergi kesini. Ya Bapak langsung berpikir tentang kamu. Makanya pagi-pagi Bapak sudah berangkat. Sampai rumahmu hanya ada Nayla, terus Mella bilang kalau kamu disini. Tadi malam kamu sama siapa disini?” Bapak menjelaskan.Aku diam tidak menjawabnya.“Sendirian? Tega sekali Johan ya?” Bapak mulai emosi.“Sebenarnya Dewi, Mella mau menemaniku. Tapi aku nggak mau. Aku sudah meminta Dewi untuk menjaga adi
Sepertinya Bang Jo terpengaruh dengan kata-kata Tina. Tadi malam ia memilih tidur dengan Angga. Pagi ini pun ia tidak banyak bicara. Tidak menyapaku seperti biasanya.Aku membereskan meja makan setelah semuanya sarapan. Anak-anak sudah berangkat sekolah, hanya ada Nayla yang sudah asyik di depan televisi. Dari tadi Bang Jo menghindari bertatapan mata denganku. Aku merasa kalau ia sengaja tidak mau menyapaku.“Hari ini Abang mau kemana?” tanyaku sambil mendekatinya. Ia malah berjalan menghindar.“Bang!” teriakku. Ia tetap tidak menghiraukanku.Aku berlari mengejarnya sampai ke warung.“Mbak Nova, jangan lari, Mbak sedang hamil,” teriak Mella. Aku tersadar kalau aku memang sedang hamil. Bang Jo tetap tidak peduli, ia berjalan keluar. Aku tetap berlari mengejarnya, akhirnya aku bisa meraih tangannya.“Ada apa?” Bang Jo berkata dengan datar.“Seharusnya aku yang bertanya, ada apa Bang? Dari tadi malam Abang menghindariku.”“Bisa kamu pikirkan sendiri!” Bang Jo menjawab dengan ketus.“Jadi
“Bu, ada yang nyariin,” kata Warti. Aku sedang tiduran di depan televisi, kehamilanku ini membuatku tak berdaya. Tapi aku tetap bersemangat dan tidak mau menunjukkan kepada Bang Jo dan anak-anak. Mereka tahunya aku kuat.“Siapa?” “Nggak tahu, Bu.”Aku pun beranjak dari tidurku dan berjalan perlahan menuju ke warung. Tampak seorang perempuan yang isinya diatasku. Aku sepertinya pernah melihatnya, tapi dimana ya? Aku mencoba mengingat-ingat.“Maaf, apakah Ibu mencari saya?” Kau bertanya dengan sopan pada perempuan itu.“Oh, anda yang bernama Nova?” Perempuan itu menatapku dari ujung rambut ke ujung kaki. “Iya. Maaf, anda siapa ya?”“Kenalkan saya Tina, istrinya Romi.” Perempuan bernama Tina itu mengulurkan tangannya. Aku pun menerima uluran tangan itu.“Oh, ada apa ya?”“Kamu kenal Romi kan?” tanya Tina.“Iya, kenal. Teman waktu SMA.”“Teman? Hanya teman? Bukannya pacaran?” Suaranya agak meninggi. Beberapa orang melihat ke arahku.“Cinta monyet, Bu. Waktu kami SMA. Sesudah itu tidak
"Ayo kita semua makan, hidangan sudah siap. Nova panggil mertuamu untuk bergabung kesini." Ibu mengajak kami makan siang bersama.Aku segera memanggil Bapak dan Emak, juga Mella. Bang Jo dan Deni ternyata sudah siap duduk di dekat meja makan."Ayo anak-anak kita makan," panggilku pada anak-anak yang asyik bermain. Dewi dan Angga ternyata dari tadi nungguin adik-adiknya bermain. Dewi memang sudah bisa diandalkan, begitu juga dengan Angga.Kami pun makan siang bersama, menyantap hidangan yang memang sudah disediakan. Mulai dari tempoyak, ada juga bekasam.Bekasam adalah ikan yang difermentasi, tidak hanya dengan garam, tapi ikan juga dicampur dengan sedikit nasi. Lalu simpan di tempat kedap udara setelah 10 hari hingga Bekasam bisa dinikmati.Bekasam bisa menjadi lauk makan. Rasanya asam dan sedikit bau. Bau disini itu karena unsur fermentasinya, baunya itu ciri khas Bekasam. Tapi aku tidak menyukai bekasam, karena baunya ini sudah membuat perutku merasa mual.Penyajiannya bisa ditumis
“Ternyata Ibu kepo juga ya? Haha.” Dewi tertawa kecil. Dewi pun duduk di sebelahku.“Dewi berkata seperti itu berdasarkan cerita Malvin. Sebenarnya Malvin itu hidupnya tertekan karena banyak tuntutan dari mamanya,” lanjut Dewi.“Terus papanya diam saja?” “Papanya itu juga sangat nurut dengan mamanya. Malvin dan Dewi hanya berteman kok, Bu. Memangnya Ibu mau punya besan kayak mamanya Malvin?” Gantian Dewi yang menggodaku.“Kalau itu sudah kemauan anak, mau nggak mau ya harus mau.” Aku tertawa.“Itulah yang Dewi senangi dari Ibu. Ibu selalu membebaskan Dewi untuk melakukan apa saja, yang penting tidak aneh-aneh.”“Ibu nggak mau jadi orang tua yang suka memaksakan kehendak. Dewi kan sudah besar, pasti tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.”“Apakah Malvin pernah mengatakan kalau menyukai Dewi?” tanyaku penasaran.“Secara terang-terangan sih enggak pernah, Bu. Bukannya Dewi ge er, tapi memang sepertinya Malvin itu menyukai Dewi. Lagipula perempuan yang menyukai Malvin itu banyak,
"Mbak!" Suara itu mengagetkanku. Aku menoleh, karena ada yang memanggilku. Ternyata Mella."Eh, Mella. Ada apa?" tanyaku.Mella mendekatiku dan duduk di sebelahku."Ada yang ingin aku bicarakan. Mbak Nova ada waktu?" tanya Mella."Oh, iya. Ada apa ya?""Sekedar berbagi cerita, Mbak. Masalah rumah tanggaku.""Oh, aku akan mendengarkan."Mella pun mulai bercerita."Mbak, aku belajar untuk ikhlas menjalani hidupku. Aku selalu memasrahkan diri pada Allah. Ternyata ketika kita sudah ikhlas, jalannya dipermudah. Aku dan Kak Deni banyak bercerita dan saling bertukar pikiran. Kak Deni sudah meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya. Kami sepakat untuk memulai lagi dari awal. Aku sudah meminta Kak Deni untuk periksa ke dokter, takutnya ada penyakit kelamin menular. Sekarang kami berdua sedang berobat, untuk sekedar meyakinkan kalau kita benar-benar sehat."Mella menarik nafas panjang, kemudian melanjutkan lagi."Untuk saat ini kami memang belum melakukan hubungan badan. Menunggu sampa
Dengan deg-degan aku membuka pesan itu.[Nova, kok kamu lama nggak online. Kemana saja? Aku merindukanmu.][Nova, kamu nggak apa-apa, kan?][Aku sangat merindukanmu. Ingin mengulang lagi kisah kita. Walaupun banyak yang menganggap cinta monyet, tapi aku menganggapmu cinta sejatiku.]Jantungku berdetak semakin kencang.[Boleh aku main ke rumahmu? Sekedar melihat wajahmu yang selalu aku rindukan.][Atau kita bertemu di hotel saja, melepas rindu.][Kita bernasib sama, memiliki pasangan hidup yang usianya jauh berbeda. Jujur saja, kalau aku tidak pernah merasa puas dengan istriku. Aku yakin kalau denganmu aku bisa sangat puas. Aku selalu membayangkan melakukannya denganmu.][Aku rela menceraikan istriku demi mendapatkanmu. Aku yakin kita bisa bahagia bersama.]Deg! Pikiranku jadi kacau membaca pesan dari Romi.Kok Romi semakin nekat saja. Aku menjadi ilfil dengan kata-katanya. Ujung-ujungnya hubungan badan itulah. Memang benar jika laki-laki beristri dan perempuan bersuami berhubungan, pa