"Ibu maklum, yang penting semua sehat-sehat dan selalu memberi kabar. Gimana mertuamu?" tanya Bu Sis."Alhamdulillah, Bu. Semua sudah berubah menjadi lebih baik. Emak sekarang sudah rajin ikut pengajian, jadi waktunya banyak digunakan untuk kegiatan positif. Mella semenjak sembuh dari sakit, juga mulai berubah. Sekarang ia membantu di warung.""Syukurlah, semua harus melewati jalan yang terjal dulu, sebelum akhirnya berubah.""Biar Nova yang membawanya, Bu." Aku membantu Bu Sis membawa minuman ke depan.Septi sedang bercanda dengan Nayla, ketika aku membawakan minuman."Ayo diminum dulu, haus kan tadi di jalan," kata Bu Sis."Iya, Bu. Makasih," jawab Septi."Gimana kabarnya Ibu, Sep?" tanya Bu Sis. Sepertinya beliau berusaha untuk membuka percakapan dengan Septi, supaya suasana tidak kaku."Alhamdulillah, sehat, Bu. Tapi ya gitu, harus selalu diingatkan dalam hal makanan. Senangnya makan yang asin-asin, padahal punya penyakit darah tinggi. Kalau dikasih tahu, ngeyel." Septi sepertinya
Terdengar suara langkah kaki yang masuk ke dalam rumah. Semua menoleh ke arah pintu. Ternyata Nayla dan Icha masuk ke dalam rumah, mungkin sudah capek main di luar."Icha, kasih salam sama Mbak Septi," kata Bapak pada Icha. Icha pun mendekati Septi, kemudian Septi mencium pipi Icha."Icha sudah besar ya? Ini Mbak Septi, mbaknya Icha." Septi berkata pada Icha."Oh, Mbak Septi ya? Bapak pernah cerita sama Icha kalau Icha punya dua Mbak. Mbak Nova dan Mbak Septi. Kalau sama Mbak Nova sering bertemu. Tapi dengan Mbak Septi baru sekali ini. Waktu Icha tanya kok Mbak Septi nggak pernah kesini? Bapak menjawab katanya Mbak Septi sedang sibuk sekolah. Nanti kalau sekolahnya sudah selesai pasti Mbak Septi kesini. Berarti sekarang Mbak Septi sudah selesai ya sekolahnya?" Icha nyerocos dengan polosnya.Septi mengangguk sambil meneteskan air mata. Sepertinya ia merasa sangat bersalah, mungkin karena sudah menyia-nyiakan waktu selama ini."Iya, Mbak Septi sudah selesai sekolahnya. Maafkan Mbak ya,
"Mbak, apa penyesalan terbesar dalam hidup Mbak Nova?" tanya Septi ketika kami mau tidur. Aku dan Septi tidur bersama. Nayla tidur dengan Icha."Tidak melanjutkan kuliah. Padahal dulu Bapak sudah memintaku untuk kuliah. Tapi aku dengan jiwa labilku malah nekat merantau. Karena saat itu Bapak mau menikah dengan Bu Sis. Aku takut nanti aku diabaikan oleh Bapak. Makanya aku nekat mencari kerja. Akhirnya malah mendapatkan jodoh." Aku tersenyum kecut."Jadi Bang Jo itu semacam pelarian gitu ya?""Nggak juga sih. Mungkin memang sudah jodohku.""Apa yang Mbak pikirkan ketika Mbak mau menikah dengan Bang Jo?""Yang jelas aku merasa nyaman dengan Bang Jo. Dulu aku beranggapan kalau aku menikah dengan Bang Jo, pasti aku bahagia karena ada orang yang mengayomiku. Aku sebenarnya butuh seseorang yang bisa membuatku merasa dibutuhkan.""Apa Mbak bahagia menikah dengan Bang Jo?""Yang namanya menikah, pasti ada ribut-ributnya. Apalagi aku dengan Bang Jo sangat jauh berbeda. Dari usia, perbedaannya s
Septi sengaja berdehem membuat kami kaget. Septi muncul sepertinya baru selesai menyapu rumah. Septi memang tipe orang yang senang membersihkan rumah. Kalau kotor sedikit saja, ia sudah sibuk membersihkannya. Aku membayangkan kalau ia punya anak nanti, pasti akan cerewet dengan anak-anaknya. Sedangkan aku tipe orang yang senang memasak, entah masak sayur dan lauk, atau membuat snack.“Eh, Septi, ngagetin aja deh.” Aku memang benar-benar kaget."Apa yang perlu dibantu, nih?" tanya Septi sambil melihat ke sekeliling."Kamu mencuci beras untuk memasak ini saja.""Oke, Mbak.""Sep, kamu bisa memasak kan?" tanyaku."Bisa dong, Mbak. Walaupun tidak seenak Mbak Nova yang masak. Tapi setidaknya makananku tidak diprotes sama Ibu dan Pak Edi." Septi berkata sambil cengengesan."Kalau Pak Edi tidak bakal protes. Soalnya kalau diprotes, kamu nggak bakal mau masak lagi, haha," kataku sambil tertawa."Ih, Mbak Nova meledek saja nih. Tapi benar juga kata Mbak Nova. Mau protes nggak berani, hihi.” Se
Menjelang tidur malam, aku masih mengingat pembicaraanku dengan Bapak. Betapa Bapak begitu menyayangiku, mengingatkan aku supaya tidak salah jalan. Tapi aku juga penasaran dengan Romi. Apakah aku harus bertanya pada Bapak tentang Romi? Apa tanggapan Bapak kalau aku sampai menanyakan hal itu? Pasti Bapak akan menceramahi aku.Seandainya Bang Jo seperti Romi, masih muda, ganteng dan pasti juga perkasa di… eh aku kok jadi ngelantur. Ingat Nova, kamu itu sudah punya suami. Aku hanya menggelengkan kepala, menyadari kebodohan ku. Tiba-tiba bayangan Bang Jo melintas di pikiranku.“Kenapa geleng-geleng, Mbak?” Suara Septi mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya, aku pikir ia sudah tidur.“E..enggak apa-apa, Sep. Aku pikir kamu sudah tidur.”“Aku nggak bisa tidur, Mbak. Mungkin karena hatiku sedang bahagia, jadi seolah-olah mataku tidak mau terpejam sedikitpun ikut merasakan kebahagiaan hatiku.” Septi pun bangun dari tidurnya dan duduk di kasur.“Ih, sok puitis kamu.” Aku tertawa.“Mbak, apa yan
Aku, Septi dan Nayla sudah sampai di rumah. Barang bawaan sudah diturunkan dari mobil. Senang rasanya sudah kembali ke rumah. Malam ini Septi menginap di rumahku lagi. Besok pagi ia akan pulang ke dusun Ibu.Aku dan Septi mengantar oleh-oleh ke rumah Emak."Assalamu'alaikum." Aku mengucapkan salam."Waalaikumsalam," jawab Emak."Apa kabar, Mak?" sapa Septi sambil menyalami Emak."Alhamdulillah, kabar baik. Ayo masuk, Sep." Emak mempersilahkan Septi dan aku masuk.Aku membawa beberapa bungkus oleh-oleh untuk Emak dan keluarga disini."Sudah pulang dari rumah Bapak, ya?" sapa Bapak mertuaku."Sudah, Pak."Septi dan aku duduk di sofa. Emak dan Bapak juga ikut duduk."Bapak, Emak, saya disini diutus Ibu dan Pak Edi untuk mengundang Emak dan Bapak. InsyaAllah bulan saya mau menikah." Septi membuka pembicaraan."Alhamdulillah, insya allah kami datang. Selamat ya? Semoga nanti acaranya lancar, tidak ada hambatan apapun." Bapak menjawab undangan Septi."Amin."“Jadi kemarin pergi ke dusun Ba
Terdengar suara orang mengetuk pintu. Aku terbangun dan melihat jam di dinding yang menunjukkan pukul satu dini hari. Aku jadi takut, jangan-jangan hanya pendengaranku saja, mana ada orang bertamu pada dini hari seperti ini. Apakah ini mimpi? Aku menatap ke arah Bang Jo, ia tampak tertidur pulas. Aku pun berusaha untuk memejamkan mata lagi. Terdengar lagi suara orang mengetuk pintu.Tok...Tok"Pak Johan!" Suara orang memanggil Bang Jo. Jantungku berdetak dengan kencang.Berarti memang benar ada yang mengetuk pintu dan memanggil Bang Jo. Aku pun membangunkan Bang Jo."Bang, ada yang memanggil," kataku pada Bang Jo. Bang Jo hanya menggeliat saja."Bang!" panggilku lagi."Ada apa sih?" tanya Bang Jo dengan kesal dan membuka mata."Ada yang mengetuk pintu.""Jam berapa sekarang?""Jam satu.""Jam satu pagi?""Ya iya lah, masa jam satu siang." ucapku."Aduh, siapa sih yang mengetuk pintu jam segini?" gerutu Bang Jo sambil beranjak dari tempat tidur.Aku mengikuti langkah kaki Bang Jo, kare
"Kata Deni, semenjak Mella sakit, Deni merasakan kalau Mella sudah tidak hot lagi. Tidak menggairahkan. Jadi Deni melakukan dengan Ani untuk memuaskan hasratnya."Aku kaget mendengar kata-kata Bang Jo, seketika aku menjadi sangat kesal."Memang laki-laki kebanyakan begitu ya Bang? Yang di rumah sudah tidak mampu memuaskannya kemudian mencari kepuasan diluar. Dasar laki-laki," kataku dengan kesal."Tapi Abang nggak seperti itu, Dek." Bang Jo membela diri."Ya iyalah, selama ini aku masih bisa memuaskan Abang. Tapi nanti kalau Abang sudah tidak merasa puas lagi, bagaimana?" Aku menjadi sewot sendiri."Adek kok kayak gitu sih. Kok jadi marah sama Abang? Bukan Abang yang melakukan itu. Lagipula Abang akan tetap melakukan hanya dengan Adek seorang."Aku tersipu malu, menyadari kesalahanku."Maaf, Bang, aku jadi emosi mendengar alasan Deni. Tapi memang benar, Bang. Seperti yang pernah aku baca, penderita diabetes itu gairah se*snya biasanya menurun. Tapi kan itu bukan alasan untuk mencari k