Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Emak. Aku dan Aisyah berjalan menuju pintu. Tampak Bang Jo keluar dari mobil. Mella turun dari mobil dibantu Bu Tari. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah."Biar barangnya aku yang bawa," ucap Bang Jo, ketika Mella berusaha mengangkat barang bawaannya. Aku membantu Bang Jo membawa barang bawaan Mella.Aku mengikuti Bang Jo masuk ke dalam rumah, dan meletakkan barang Mella di kamarnya. Kamar Mella sudah tampak bersih dan tidak bau lagi. Mungkin ini yang dikerjakan Deni beberapa hari yang lalu, membersihkan kamar. Kalau kamar seperti ini, pasti sangat nyaman untuk ditinggali.Setelah keluar dari kamar Mella, aku dan Bang Jo menuju ke ruang keluarga. Tampak semua sudah duduk disana.Mella mendekati Emak dan Bapak yang duduk bersebelahan. Kemudian duduk bersimpuh di lantai."Pak, Emak, maafkan segala kesalahanku. Selama ini aku melakukan banyak hal yang membuat Bapak dan Emak marah dan kecewa. Di rumah sakit beberapa hari, membuatku banyak ber
Rutinitas pagi selalu kulalui dengan semangat. Semangat menjemput rezeki, karena didalam rezekiku, ada rezeki untuk orang lain. Para pegawaiku dan mertua. Sesekali aku juga mengirimkan untuk ibu kandungku. Alhamdulillah, sejauh ini, usahaku lancar. Warung nasi sepuluh ribu, lumayan ramai. Jualan es boba dan makanan ringan juga lancar. Aku selalu berusaha untuk mensyukuri apa yang ada. "Assalamualaikum, Mbak Nova," sapa seseorang yang masuk ke dalam rumahku.Aku menoleh ke arah suara itu. Ternyata Mella yang datang, ia tampak lebih segar dari kemarin."Waalaikumsalam," jawabku.Mella mendekatiku, aku baru selesai mencuci pakaian."Sudah sarapan?" tanyaku sambil.mengajaknya untuk duduk di kursi makan. Aku membuka tudung saji dan memperlihatkan makanan yang ada. "Sudah, Mbak. Tadi aku bangun pagi terus masak tumis kangkung. Karena hanya ada kangkung di kulkas," jawab Mella."Nanti siang ambil lauk disini, ya?" kataku pada Mella.Mella mengangguk, kulihat matanya berkaca-kaca."Kenapa?
Hari ini Septi datang ke rumahku, sendirian. Aku senang akhirnya ia mau main kesini. Septi mengajakku ke rumah Bapak. Ia ingin meminta restu pada Bapak dan Bu Sis, sekalian meminta Bapak untuk menjadi wali nikahnya nanti. "Intan, beri salam pada Tante Septi," kataku pada Intan ketika ia pulang sekolah.Intan mendekati Septi dan memberi salam. Kemudian Intan masuk ke dalam untuk ganti pakaian. Aku mengajak Septi ke warung."Mbak Mella, apa kabar," sapa Septi."Alhamdulillah, kabar baik. Kapan sampainya Sep?" tanya Mella."Baru saja, Mbak."Kemudian Mella dan Septi asyik berbincang-bincang. Mereka cepat akrab, selama ini mereka hanya saling sapa saja. Maklumlah dulu Mella kurang bersahabat. Tak lama kemudian Dewi pulang sekolah. Ia pun menyalami Septi dan kemudian masuk ke dalam rumah. Selesai berganti pakaian ia langsung membantu menjual es Boba."Kamu nggak makan dulu, Wi?" tanyaku."Nanti saja, Bu. Kalau sudah lapar. Masih kenyang tadi jajan di sekolah," sahut Dewi.Akhirnya Dewi s
"Ibu maklum, yang penting semua sehat-sehat dan selalu memberi kabar. Gimana mertuamu?" tanya Bu Sis."Alhamdulillah, Bu. Semua sudah berubah menjadi lebih baik. Emak sekarang sudah rajin ikut pengajian, jadi waktunya banyak digunakan untuk kegiatan positif. Mella semenjak sembuh dari sakit, juga mulai berubah. Sekarang ia membantu di warung.""Syukurlah, semua harus melewati jalan yang terjal dulu, sebelum akhirnya berubah.""Biar Nova yang membawanya, Bu." Aku membantu Bu Sis membawa minuman ke depan.Septi sedang bercanda dengan Nayla, ketika aku membawakan minuman."Ayo diminum dulu, haus kan tadi di jalan," kata Bu Sis."Iya, Bu. Makasih," jawab Septi."Gimana kabarnya Ibu, Sep?" tanya Bu Sis. Sepertinya beliau berusaha untuk membuka percakapan dengan Septi, supaya suasana tidak kaku."Alhamdulillah, sehat, Bu. Tapi ya gitu, harus selalu diingatkan dalam hal makanan. Senangnya makan yang asin-asin, padahal punya penyakit darah tinggi. Kalau dikasih tahu, ngeyel." Septi sepertinya
Terdengar suara langkah kaki yang masuk ke dalam rumah. Semua menoleh ke arah pintu. Ternyata Nayla dan Icha masuk ke dalam rumah, mungkin sudah capek main di luar."Icha, kasih salam sama Mbak Septi," kata Bapak pada Icha. Icha pun mendekati Septi, kemudian Septi mencium pipi Icha."Icha sudah besar ya? Ini Mbak Septi, mbaknya Icha." Septi berkata pada Icha."Oh, Mbak Septi ya? Bapak pernah cerita sama Icha kalau Icha punya dua Mbak. Mbak Nova dan Mbak Septi. Kalau sama Mbak Nova sering bertemu. Tapi dengan Mbak Septi baru sekali ini. Waktu Icha tanya kok Mbak Septi nggak pernah kesini? Bapak menjawab katanya Mbak Septi sedang sibuk sekolah. Nanti kalau sekolahnya sudah selesai pasti Mbak Septi kesini. Berarti sekarang Mbak Septi sudah selesai ya sekolahnya?" Icha nyerocos dengan polosnya.Septi mengangguk sambil meneteskan air mata. Sepertinya ia merasa sangat bersalah, mungkin karena sudah menyia-nyiakan waktu selama ini."Iya, Mbak Septi sudah selesai sekolahnya. Maafkan Mbak ya,
"Mbak, apa penyesalan terbesar dalam hidup Mbak Nova?" tanya Septi ketika kami mau tidur. Aku dan Septi tidur bersama. Nayla tidur dengan Icha."Tidak melanjutkan kuliah. Padahal dulu Bapak sudah memintaku untuk kuliah. Tapi aku dengan jiwa labilku malah nekat merantau. Karena saat itu Bapak mau menikah dengan Bu Sis. Aku takut nanti aku diabaikan oleh Bapak. Makanya aku nekat mencari kerja. Akhirnya malah mendapatkan jodoh." Aku tersenyum kecut."Jadi Bang Jo itu semacam pelarian gitu ya?""Nggak juga sih. Mungkin memang sudah jodohku.""Apa yang Mbak pikirkan ketika Mbak mau menikah dengan Bang Jo?""Yang jelas aku merasa nyaman dengan Bang Jo. Dulu aku beranggapan kalau aku menikah dengan Bang Jo, pasti aku bahagia karena ada orang yang mengayomiku. Aku sebenarnya butuh seseorang yang bisa membuatku merasa dibutuhkan.""Apa Mbak bahagia menikah dengan Bang Jo?""Yang namanya menikah, pasti ada ribut-ributnya. Apalagi aku dengan Bang Jo sangat jauh berbeda. Dari usia, perbedaannya s
Septi sengaja berdehem membuat kami kaget. Septi muncul sepertinya baru selesai menyapu rumah. Septi memang tipe orang yang senang membersihkan rumah. Kalau kotor sedikit saja, ia sudah sibuk membersihkannya. Aku membayangkan kalau ia punya anak nanti, pasti akan cerewet dengan anak-anaknya. Sedangkan aku tipe orang yang senang memasak, entah masak sayur dan lauk, atau membuat snack.“Eh, Septi, ngagetin aja deh.” Aku memang benar-benar kaget."Apa yang perlu dibantu, nih?" tanya Septi sambil melihat ke sekeliling."Kamu mencuci beras untuk memasak ini saja.""Oke, Mbak.""Sep, kamu bisa memasak kan?" tanyaku."Bisa dong, Mbak. Walaupun tidak seenak Mbak Nova yang masak. Tapi setidaknya makananku tidak diprotes sama Ibu dan Pak Edi." Septi berkata sambil cengengesan."Kalau Pak Edi tidak bakal protes. Soalnya kalau diprotes, kamu nggak bakal mau masak lagi, haha," kataku sambil tertawa."Ih, Mbak Nova meledek saja nih. Tapi benar juga kata Mbak Nova. Mau protes nggak berani, hihi.” Se
Menjelang tidur malam, aku masih mengingat pembicaraanku dengan Bapak. Betapa Bapak begitu menyayangiku, mengingatkan aku supaya tidak salah jalan. Tapi aku juga penasaran dengan Romi. Apakah aku harus bertanya pada Bapak tentang Romi? Apa tanggapan Bapak kalau aku sampai menanyakan hal itu? Pasti Bapak akan menceramahi aku.Seandainya Bang Jo seperti Romi, masih muda, ganteng dan pasti juga perkasa di… eh aku kok jadi ngelantur. Ingat Nova, kamu itu sudah punya suami. Aku hanya menggelengkan kepala, menyadari kebodohan ku. Tiba-tiba bayangan Bang Jo melintas di pikiranku.“Kenapa geleng-geleng, Mbak?” Suara Septi mengagetkanku. Aku menoleh ke arahnya, aku pikir ia sudah tidur.“E..enggak apa-apa, Sep. Aku pikir kamu sudah tidur.”“Aku nggak bisa tidur, Mbak. Mungkin karena hatiku sedang bahagia, jadi seolah-olah mataku tidak mau terpejam sedikitpun ikut merasakan kebahagiaan hatiku.” Septi pun bangun dari tidurnya dan duduk di kasur.“Ih, sok puitis kamu.” Aku tertawa.“Mbak, apa yan