"Lepaskan! Kalau tidak kalian halangi, tentu sudah kubunuh bedebah sialan itu dengan tanganku!" Mas Alvin menghentakkan tangannya hingga terlepas dari pegangan Mas Ferdy dan sekuriti.Setelah bebas, lelaki itu menyeka peluh yang membasahi pelipisnya lalu membuang ludah dengan kasar. Saat itulah matanya melihat ke arah Mas Ferdy yang sedari tadi berusaha memisahkan perkelahiannya dengan Rudi. Mas Alvin kemudian memicingkan matanya."Tunggu, kamu ... kamu kekasih Vira, kan? Orang yang sudah membuat Vira mengajukan cerai padaku? Ada hubungan apa kamu sama Rudi sampai-sampai kamu mati-matian menghalangi aku menghajar laki-laki sialan yang sudah mengambil istriku itu dari tanganku? Jangan-jangan kalian sekongkol ya, mau membuat hidupku kacau dan menderita? Kurang ajar! Rasakan ini!" Mas Alvin tiba-tiba gelap mata dan merangsek maju mendekati sosok Mas Ferdy, hendak menyarangkan tinju ke perut calon suamiku itu, tetapi dengan mudah dan sigap, Mas Ferdy mengelak.Melihat Mas Ferdy mengelak,
"Kami nikahkan Vira Pramesti binti Hasan Basri dengan mas kawin emas murni sebesar dua puluh empat gram dan seperangkat alat salat dibayar tunai," ucap Mas Ferdy melafazkan ijab kabul dengan tenang."Bagaimana para saksi? Sah?" tanya penghulu di depan kami pada para saksi."Sah," serentak mereka menjawab.Aku menghela nafas lega. Akhirnya setelah penantian lumayan panjang dan letihnya mengurus persiapan pesta kemarin, hari ini aku dan Mas Ferdy pun resmi menjadi suami istri.Kupandangi lelaki tampan di sampingku yang sekarang telah resmi menjadi suami halalku itu. Kuambil jemarinya yang kokoh dan membawanya ke hidungku, menciumnya dengan penuh khidmat sebagai tanda aku akan mengabdikan hidup kepadanya.Kurasakan debaran indah saat telapak tangan ini bersentuhan dengan telapak tangannya. Ini kali pertama aku bersentuhan fisik dengan Mas Ferdy, itu sebabnya aku baru tahu jika tubuhku bisa terasa begitu ringan saat kulit kami saling bersentuhan. Sungguh menyenangkan.Mas Ferdy sungkem pa
Alvin menatap perempuan cantik dalam balutan kebaya pengantin nan mahal yang tengah duduk di tepian ranjang empuk bertabur bunga nan harum semerbak di atasnya dengan senyum terkembang.Kamar mewah dan indah dengan hiasan dekorasi nan menawan itu, tak mampu menenggelamkan pesona wanita yang duduk di hadapannya meski usianya sudah tidak lagi muda, 47 tahun. Dua puluh tahun lebih tua dari usianya.Meisya, wanita yang baru beberapa jam lalu ia halalkan menjadi istri, tampak sudah menunggunya. Wanita itu mendongak saat Alvin membuka pintu kamar pengantin mereka untuk pertama kalinya lalu masuk dengan langkah tenang."Alvin ...." sapa Meisya halus. Perempuan yang masih terlihat cantik dan muda di usia yang sudah lewat kepala empat itu menyapanya, lalu memberi isyarat pada Alvin untuk duduk di sampingnya."Ya ...?" sahut Alvin canggung. Dadanya berdebar cukup keras. Setelah dua tahun lebih berlalu, ini kali kedua ia akan melewati malam pengantin dengan seorang wanita. Wanita yang baru saja
Laki-laki itu memaklumi, setelah dua tahun lamanya tak mendapatkan belaian kasih sayang dari laki-laki tentunya sang istri sudah sangat merindukan hal itu. Jadi tak cukup sekali untuk menuntaskan kerinduan itu.Alvin pun kembali melaksanakan kewajibannya, lagi dan lagi hingga akhirnya setelah kesekian kalinya ia menunaikan tugasnya, ia pun menyerah juga. Mengibarkan bendera putih sebagai lambang kekalahan.Tubuhnya sudah terasa remuk. Luluh lantak. Ingin rasanya menyudahi kebersamaan itu tetapi Meisya seolah masih ingin lagi dan lagi."Mey, sudah ya. Aku sudah nggak sanggup lagi," ucap Alvin akhirnya menyerah.Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Itu berarti sudah empat jam mereka memadu kasih, tetapi sorot mata Meisya masih juga seperti orang yang kehausan. Alvin sampai bingung dibuatnya."Kenapa? Kamu sudah capek ya? Ya udahlah, kalau udah capek, istirahat lah. Tapi besok pagi, janji dilanjutin lagi ya?"Meisya mengedipkan matanya lalu mencium kening Alvin dan membantu lelak
Menjelang sore, Alvin masih berada di kamar, meredakan rasa letih, lesu dan lunglai setelah barusan kembali digempur oleh serangan membabi-buta dari Meisya.Wanita itu seolah tak pernah kehabisan tenaga meminta supaya pertandingan mereka kembali diulang dan diulang lagi membuat Alvin akhirnya kelimpungan sendiri. Apa sebenarnya yang membuat istrinya itu bak kuda besi yang tidak pernah ada rasa capeknya? Kalau begini terus-terusan bisa hancur badan ini sebelum tua, keluh Alvin di dalam hati."Sayang, udah bangun? Makan siang dulu yuk ... kamu habis kerja keras pasti udah lapar, iya 'kan?" sapa Meisya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan senyum merekah di bibirnya yang sensual.Mendengar ucapan istrinya, Alvin hanya mengangguk lemah.Lelaki itu mencoba bangun dari tempat tidur. Namun, belum sempat duduk dengan sempurna, tubuhnya kembali limbung ke pembaringan. Keluh kesakitan pun tak sengaja keluar dari bibirnya. "Aduuuuh ....'"Kenapa, Vin?" Meisya memburu dan memeluknya denga
Surti memandangi rumah megah bertingkat dua yang tampak menjulang kokoh di hadapannya itu dengan pandangan kagum.Begitu pun anak dan menantunya, Yuni dan Bowo serta dua cucunya yang tampak berteriak kegirangan sesaat setelah Alvin, putranya menurunkan satu keluarga itu di halaman depan rumah Meisya yang luas dan dipenuhi dengan berbagai ornamen dan tanaman hias yang mahal harganya.Ah, tidak sia sia rasanya seluruh usaha yang selama ini sudah Surti lakukan untuk bisa mengantarkan kehidupan keluarga mereka menuju kemewahan seperti ini. Akhirnya mereka bisa juga tinggal di rumah mewah ini, rumah menantu barunya, Meisya.Setelah dengan paksa akhirnya ia berhasil memisahkan putranya itu dari istri pertamanya, Vira yang berasal dari keluarga miskin, akhirnya sekarang ia berhasil juga menikahkan Alvin dengan seorang janda pengusaha kaya.Untung saja kemarin ia tak jadi menikahkan Alvin dengan Ayu yang ternyata keluarganya juga sudah bangkrut. Jika tidak, tentu saja saat ini mereka tak akan
"Kamu sudah gila, mertua disuruh tidur di kamar bekas pembantu? Dengar ya Meisya, ibu mengizinkan kamu menikah dengan Alvin itu dengan harapan bisa memperbaiki taraf kehidupan kami. Tapi kalau cuma mau disuruh tidur di kamar pembantu, buat apa? Mending kami tinggal di rumah kami sendiri kemarin daripada ngenes tidur di kamar babu!" bentak Bu Surti pada menantu barunya itu.Mendengar bentakan ibu mertuanya, Meisya terdiam beberapa saat. Namun, kemudian menyahut pelan."Bu, ini kan rumah saya. Saya berhak mengatur siapa yang boleh masuk atau tidak di rumah ini. Saya tidak mau privasi saya terganggu, karena ibu ke sini kan bawa cucu, makanya saya minta Alvin supaya menempatkan ibu, Yuni, Bowo dan anak-anak di belakang.""Nggak, ibu nggak mau! Ibu tetap maunya di ruang tengah. Terserah kamu mau setuju atau tidak, tapi ibu nggak mau tidur di kamar pembantu!" Surti bersikeras."Kalau ibu memaksa, ibu bisa janji nggak, nggak bikin saya nggak nyaman di rumah sendiri? Kalau ibu bisa janji, oke
Surti menyipitkan matanya saat mendapati Alvin berjalan terhuyung-huyung keluar dari kamarnya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi putranya itu baru saja bangun dari tidur. Kebiasaan baru yang menurut Surti sangat aneh.Dulu semasa masih tinggal bersama tak pernah anak lelakinya itu berperilaku aneh seperti ini. Tapi sejak menikah dengan Meisya, kebiasaan Alvin tampaknya mulai berubah.Sejak pertama kali memutuskan pindah ke rumah ini, Surti sendiri sudah dihinggapi perasaan bingung dan gundah. Semua kenyataan yang terjadi nyatanya tak sesuai impiannya selama ini.Surti kecewa. Namun, demi tetap terlihat sukses dan kaya, lebih-lebih ia sudah kadung pamer di hadapan mantan menantunya, Vira, maka Surti pun mencoba bertahan dalam penderitaannya karena perlakuan Meisya.Ia pura-pura senang karena hidupnya sekarang makmur dan sukses setelah bermenantukan Meisya yang kaya raya, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Ia tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya makan dan min