Alvin menatap perempuan cantik dalam balutan kebaya pengantin nan mahal yang tengah duduk di tepian ranjang empuk bertabur bunga nan harum semerbak di atasnya dengan senyum terkembang.Kamar mewah dan indah dengan hiasan dekorasi nan menawan itu, tak mampu menenggelamkan pesona wanita yang duduk di hadapannya meski usianya sudah tidak lagi muda, 47 tahun. Dua puluh tahun lebih tua dari usianya.Meisya, wanita yang baru beberapa jam lalu ia halalkan menjadi istri, tampak sudah menunggunya. Wanita itu mendongak saat Alvin membuka pintu kamar pengantin mereka untuk pertama kalinya lalu masuk dengan langkah tenang."Alvin ...." sapa Meisya halus. Perempuan yang masih terlihat cantik dan muda di usia yang sudah lewat kepala empat itu menyapanya, lalu memberi isyarat pada Alvin untuk duduk di sampingnya."Ya ...?" sahut Alvin canggung. Dadanya berdebar cukup keras. Setelah dua tahun lebih berlalu, ini kali kedua ia akan melewati malam pengantin dengan seorang wanita. Wanita yang baru saja
Laki-laki itu memaklumi, setelah dua tahun lamanya tak mendapatkan belaian kasih sayang dari laki-laki tentunya sang istri sudah sangat merindukan hal itu. Jadi tak cukup sekali untuk menuntaskan kerinduan itu.Alvin pun kembali melaksanakan kewajibannya, lagi dan lagi hingga akhirnya setelah kesekian kalinya ia menunaikan tugasnya, ia pun menyerah juga. Mengibarkan bendera putih sebagai lambang kekalahan.Tubuhnya sudah terasa remuk. Luluh lantak. Ingin rasanya menyudahi kebersamaan itu tetapi Meisya seolah masih ingin lagi dan lagi."Mey, sudah ya. Aku sudah nggak sanggup lagi," ucap Alvin akhirnya menyerah.Jarum jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Itu berarti sudah empat jam mereka memadu kasih, tetapi sorot mata Meisya masih juga seperti orang yang kehausan. Alvin sampai bingung dibuatnya."Kenapa? Kamu sudah capek ya? Ya udahlah, kalau udah capek, istirahat lah. Tapi besok pagi, janji dilanjutin lagi ya?"Meisya mengedipkan matanya lalu mencium kening Alvin dan membantu lelak
Menjelang sore, Alvin masih berada di kamar, meredakan rasa letih, lesu dan lunglai setelah barusan kembali digempur oleh serangan membabi-buta dari Meisya.Wanita itu seolah tak pernah kehabisan tenaga meminta supaya pertandingan mereka kembali diulang dan diulang lagi membuat Alvin akhirnya kelimpungan sendiri. Apa sebenarnya yang membuat istrinya itu bak kuda besi yang tidak pernah ada rasa capeknya? Kalau begini terus-terusan bisa hancur badan ini sebelum tua, keluh Alvin di dalam hati."Sayang, udah bangun? Makan siang dulu yuk ... kamu habis kerja keras pasti udah lapar, iya 'kan?" sapa Meisya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan senyum merekah di bibirnya yang sensual.Mendengar ucapan istrinya, Alvin hanya mengangguk lemah.Lelaki itu mencoba bangun dari tempat tidur. Namun, belum sempat duduk dengan sempurna, tubuhnya kembali limbung ke pembaringan. Keluh kesakitan pun tak sengaja keluar dari bibirnya. "Aduuuuh ....'"Kenapa, Vin?" Meisya memburu dan memeluknya denga
Surti memandangi rumah megah bertingkat dua yang tampak menjulang kokoh di hadapannya itu dengan pandangan kagum.Begitu pun anak dan menantunya, Yuni dan Bowo serta dua cucunya yang tampak berteriak kegirangan sesaat setelah Alvin, putranya menurunkan satu keluarga itu di halaman depan rumah Meisya yang luas dan dipenuhi dengan berbagai ornamen dan tanaman hias yang mahal harganya.Ah, tidak sia sia rasanya seluruh usaha yang selama ini sudah Surti lakukan untuk bisa mengantarkan kehidupan keluarga mereka menuju kemewahan seperti ini. Akhirnya mereka bisa juga tinggal di rumah mewah ini, rumah menantu barunya, Meisya.Setelah dengan paksa akhirnya ia berhasil memisahkan putranya itu dari istri pertamanya, Vira yang berasal dari keluarga miskin, akhirnya sekarang ia berhasil juga menikahkan Alvin dengan seorang janda pengusaha kaya.Untung saja kemarin ia tak jadi menikahkan Alvin dengan Ayu yang ternyata keluarganya juga sudah bangkrut. Jika tidak, tentu saja saat ini mereka tak akan
"Kamu sudah gila, mertua disuruh tidur di kamar bekas pembantu? Dengar ya Meisya, ibu mengizinkan kamu menikah dengan Alvin itu dengan harapan bisa memperbaiki taraf kehidupan kami. Tapi kalau cuma mau disuruh tidur di kamar pembantu, buat apa? Mending kami tinggal di rumah kami sendiri kemarin daripada ngenes tidur di kamar babu!" bentak Bu Surti pada menantu barunya itu.Mendengar bentakan ibu mertuanya, Meisya terdiam beberapa saat. Namun, kemudian menyahut pelan."Bu, ini kan rumah saya. Saya berhak mengatur siapa yang boleh masuk atau tidak di rumah ini. Saya tidak mau privasi saya terganggu, karena ibu ke sini kan bawa cucu, makanya saya minta Alvin supaya menempatkan ibu, Yuni, Bowo dan anak-anak di belakang.""Nggak, ibu nggak mau! Ibu tetap maunya di ruang tengah. Terserah kamu mau setuju atau tidak, tapi ibu nggak mau tidur di kamar pembantu!" Surti bersikeras."Kalau ibu memaksa, ibu bisa janji nggak, nggak bikin saya nggak nyaman di rumah sendiri? Kalau ibu bisa janji, oke
Surti menyipitkan matanya saat mendapati Alvin berjalan terhuyung-huyung keluar dari kamarnya.Jarum jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi putranya itu baru saja bangun dari tidur. Kebiasaan baru yang menurut Surti sangat aneh.Dulu semasa masih tinggal bersama tak pernah anak lelakinya itu berperilaku aneh seperti ini. Tapi sejak menikah dengan Meisya, kebiasaan Alvin tampaknya mulai berubah.Sejak pertama kali memutuskan pindah ke rumah ini, Surti sendiri sudah dihinggapi perasaan bingung dan gundah. Semua kenyataan yang terjadi nyatanya tak sesuai impiannya selama ini.Surti kecewa. Namun, demi tetap terlihat sukses dan kaya, lebih-lebih ia sudah kadung pamer di hadapan mantan menantunya, Vira, maka Surti pun mencoba bertahan dalam penderitaannya karena perlakuan Meisya.Ia pura-pura senang karena hidupnya sekarang makmur dan sukses setelah bermenantukan Meisya yang kaya raya, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Ia tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya makan dan min
Mobil Alphard yang ditumpangi Vira dan Ferdy kembali melaju saat lampu merah telah berganti menjadi hijau kembali.Dari balik kaca mobil yang gelap, Vira masih terus memandangi dua sosok perempuan yang makin lama makin jauh dari pandangannya dan makin tak terlihat saat mobil melaju dalam kecepatan lumayan meninggalkan persimpangan lampu merah di mana mereka terpaksa berhenti sejenak sesaat tadi.Sembari mengelus perutnya yang buncit, Vira beberapa kali menghela nafas."Kenapa, Vir? Kamu kok ngeliatin ke belakang terus? Lihatin siapa sih? Pengemis tadi?" tanya Ferdy sembari ikut memandang ke belakang lewat pantulan kaca spion.Vira diam sejenak lalu membuka mulutnya perlahan."Kamu benar, Mas. Mereka sepertinya memang Bu Surti dan Mbak Yuni. Apa yang sudah terjadi sama mereka ya? Kenapa mereka seperti ini sekarang?"Mendengar ucapannya, Ferdy ikut menghela nafas sejenak. Lelaki itu kemudian menimpali ucapan istrinya."Balasan dari Allah, Vir. Mereka dulu sering menghina kamu, kan? Seka
"Yun, coba lihat jumlah uang yang berhasil kita kumpulkan selama dua tahun ini kita jadi pengemis? Sudah berapa puluh juta yang kita dapat, Yun?" tanya Bu Surti pada Yuni saat mereka sedang sarapan bersama.Meja bulat terbuat dari kayu yang sudah lapuk itu tak mampu menampung lima sosok manusia yang sedang mengerumuni sarapan pagi hari ini hingga Alvin akhirnya mengalah, pindah ke kursi plastik di sudut ruangan."Tumben, ibu nanyain? Kenapa?" sahut Yuni sembari memandang ibunya dengan pandangan ingin tahu."Ingin tahu aja, Yun. Ibu pengen kita berhenti mengemis kalau sudah bisa mengumpulkan banyak uang. Ibu ingin kita bangun usaha, biar Alvin yang mengelola. Vin, kira-kira bisnis apa yang bisa kita bangun dengan dana seratus juta ya?" tanya Bu Surti sembari mengalihkan pandangan pada sosok Alvin. "Seratus juta? Ibu punya duit sebanyak itu? Duit darimana?" tanya Alvin diikuti Yuni yang berbarengan terkejut. Ibu mereka mendapat uang sebanyak itu? Darimana?"Lho, gimana sih kamu, Yun. B
Dina mendelik kaku dan membulatkan bola matanya saat melihat kertas undangan berwarna krem yang barusan diberikan oleh Bu Hadi ke padanya.Perempuan itu seolah tak percaya hingga memandang Bu Hadi dengan tatapan tak mengerti dan sebentar sebentar berubah ubah ekspresi wajahnya."Tante nggak bohong ini? Akhirnya Tante setuju juga Anita menikah dengan Alvin? Apa Tante nggak salah? Tante sudah pikirkan masak masak semua ini, Tan?" tanya Dina pada Bu Hadi dengan nada sangsi yang datang mengunjunginya siang itu demi mengabarkan berita bahagia Anita dan Alvin pada gadis itu.Bu Hadi mengulum senyum lalu menganggukkan kepalanya."Ya, Tante berusaha untuk percaya aja, Din. Anita bilang masa lalu seseorang itu tidak akan bisa dirubah, tapi masa depan semua orang berhak merubahnya. Jadi Tante merasa Tante harus memberikan kesempatan pada Alvin untuk berubah dan membuktikan semuanya itu, Din.""Bukan Tante tidak berpikir panjang lagi, tapi justru karena Tante berpikir panjang lah makanya Tante d
[Sudah ada pengganti Mas? Maksudnya?] tanya Anita dari seberang lagi.[Hmm ... iya. Mas dengar begitu. Tapi kamu yang paling tahu bukan? Kalau memang iya, ya nggak apa apa juga, Nit. Mas ikhlas kok. Mungkin kita nggak jodoh. Mas sadar Mas ini siapa, kamu siapa. Kita beda jauh, Nit. Nggak mungkin bisa bersatu ... .] tulis Alvin merendah.Di seberang sana terlihat Anita dengan cepat mengetik balasan.[Kok Mas ngomongnya gitu? Apa Mas juga sudah ada yang lain? Dengar Mas ... aku juga bukan siapa siapa lagi sekarang ini. Mama dan Papa sudah jatuh. Sementara karir kamu di dunia maya sekarang justru sedang bersinar terang. Jadi mungkin sebaliknya. Aku yang nggak pantas mungkin bersanding sama kamu, Mas.] balas Anita lagi.[Nggak pantas bersanding sama Mas gimana? Siapa bilang? Bukan kamu yang nggak pantas buat Mas, tapi Mas yang nggak pantas buat kamu, Nit. Dan Mas harus tahu itu. Jujur saja andai Mas diberi kesempatan, ingin sekali Mas melamar kamu. Tapi Mama dan Papa kamu juga kakak kamu
[Halo? Hadi?] sapa Wibisana tanpa embel embel Pak atau Mas lagi seperti yang selama ini tak pernah lupa lelaki itu sematkan sebagai panggilan pada rekan bisnisnya itu.Meski tak enak mendengar panggilan itu, tapi Pak Hadi menjawab juga salam dari rekannya tersebut dengan nada biasa. Rekan yang seharian ini sudah coba di hubungi tapi tak bisa sebab tiba tiba semua panggilan dan pesan WhatsApp yang dia kirimkan tak dibalas oleh laki laki itu.[Ya, Bi. Ada apa?] tanya Pak Hadi dengan menekan perasaan tak enak sekuat mungkin saat Wibisana memanggilnya seperti itu.[Gini, Hadi ... masalah perjodohan anak anak kita dan lamaran Rio kemarin itu, kami sekeluarga mohon maaf ya. Kami berniat membatalkannya, karena barusan Rio bilang dia tak jadi melamar Anita sebab dia sudah ada calon yang baru yang suka sama suka dengan dia. Tidak seperti Anita yang kemarin sempat menolak tegas bukan? Jadi fix ya, Di. Lamaran keluarga kami ke putri kamu, kami batalkan sekarang juga.] Ucap Wibisana tanpa ingin m
"Gimana, Pa? Bisa dihubungi Wibi sama Henti?" tanya Bu Hadi pada suaminya. Pak Hadi Widjaya menggelengkan kepalanya lalu mendesah lirih."Nggak bisa, Ma. Padahal wa-nya aktif dari tadi tapi telepon Papa kok nggak diangkat ya? Pesan Papa juga nggak dibalas. Kenapa ya?" sahut Pak Hadi dengan wajah ditekuk gundah."Nggak tahu, Pa. Jadi gimana lagi ini, Pa? Apa kita minta bantuan Vira dan Dina aja? Nggak mungkin mereka nggak bantu kan di saat kita sedang kemalangan begini?" jawab Bu Hadi.Pak Hadi menghembuskan nafasnya."Mereka kan sudah dua kali bantu keuangan kita, Ma. Masak sih kita mau minta bantuan lagi? Pinjaman kita yang kemarin saja belum bisa kita bayar. Masa sudah mau pinjam lagi. Walau pun pasti diberi, tapi Papa rasanya kok nggak enak dan nggak tega ya, Ma, memberatkan kolega bisnis kita terus.""Ini juga Papa berani minjam ke Wibi karena dia kan calon besan kita. Tapi sejak tahu pabrik kita terbakar, Wibi seperti menghindar. Kenapa ya? Apa ... Wibi sudah nggak mau lagi besa
Malam itu di kediaman pak Hadi Widjaya, tampak Rudy, dan kedua orang tuanya tengah makan bersama di meja makan. Sementara Anita tak ikut bergabung sebab masih harus menjalani shif malam sebagai seorang dokter jaga.Di sela sela makan malam, Pak Hadi membuka suaranya."Dy, gimana? Kemarin jadi kamu menemui Alvin dan menyampaikan amanat papa dan mama sama dia?" tanya Pak Hadi pada putranya.Rudy menganggukkan kepalanya lalu menjawab."Jadi dong, Pa. Rudy ancam kalau dia berani dekati Anita lagi, Rudy mau bikin perhitungan sama dia. Kayaknya Alvin ketakutan dan sepertinya nggak berani lagi dekatin Anita 'kan, Pa? Ma? Nggak ada lagi kan laki laki itu dekat dekat Nita lagi?" tanya Rudy balik.Pak Hadi mengedikkan bahunya."Nggak tahu juga, Dy. Tapi semoga ajalah laki laki itu sadar kalau dia nggak pantas buat adik kamu," jawab Pak Hadi singkat."Iya! Apa kata orang orang nanti kalau kita punya besan keluarga aneh seperti mereka? Mau ditaruh di mana muka kita besanan dengan keluarga nggak j
"Nita, kenapa kamu ninggalin Om Wibi, Tante Henti dan Rio tadi? Apa kamu nggak suka mereka datang melamar kamu, Sayang?""Nit, Rio itu lelaki yang baik. Di usia muda dia sudah sukses menjalankan perusahaan orang tuanya. Dia lulusan universitas ternama di luar negeri. Tampan, cerdas, kaya. Apalagi yang kamu cari, Nit? Rio itu sudah paket lengkap. Nggak ada lagi tandingannya. Nyesel kamu nanti kalau nolak cowok sesempurna dia, Nit," ucap Bu Hadi pada putrinya saat tamu mereka sudah pulang.Anita yang tengah duduk di pinggiran tempat tidur tak bersuara. Hanya menundukkan wajahnya tanpa ingin menatap wajah sang mama."Pokoknya kali ini kamu harus dengar omongan mama ya, Nit, kamu harus mau menerima kehadiran Rio menjadi suami kamu ya. Kalau enggak ... mama akan sangat kecewa sama kamu, Nit. Mama nggak tahu lagi gimana caranya membuat kamu mau menikah karena semua pilihan mama dan papa sudah kamu tolak semuanya. Mama nggak ngerti lagi kriteria seperti apa yang kamu inginkan untuk menjadi s
Pria itu seolah hendak menelanjanginya tanpa ampun. Tatapan yang membuat dia dari dulu merasa ilfil dan tak suka pada pria itu.Selama ini beberapa kali dia telah bertemu Rio. Tapi dia tak cukup menyukai pria itu sebab menurut nya pria itu bukanlah pria yang baik. Dia terlihat begitu liar saat melihat seorang perempuan. Dan itu membuat Anita merasa tak menyukai Rio."Ma ... maksud Om?" Anita membuka tanya dengan nada terkejut yang sangat. Seolah tak percaya kalau kedatangan Om Wibi dan Tante Henti serta putranya ke rumahnya ini adalah demi untuk melamar dirinya menjadi istri Rio.Melihat itu, Bu Hadi pun buru buru membuka suaranya."Begini, Nita. Om Wibi dan Tante Henti ini datang ke sini hendak melamar kamu untuk menjadi istrinya Rio, menjadi menantu di keluarga mereka. Kamu bersedia kan, Sayang? Rio ini sekarang sudah jadi pengusaha besar lho. Cocok dong sama kamu yang seorang dokter terkenal.""Jadi kamu jangan menolak ya, Sayang. Percayalah, Rio ini pasti bisa jadi suami yang baik
"Vin, kamu kenapa? Kok wajah kamu murung gitu?" tanya Yuni saat Alvin baru saja pulang.Dilihatnya adiknya itu berjalan gontai menuju sofa hingga membuat keningnya berkerut."Ada apa, Vin? Ada masalah ya?" tanya perempuan itu dengan nada penasaran pada adiknya itu.Alvin menghembuskan nafasnya dengan gundah."Iya, Mbak ... tapi sudahlah. Mungkin sudah nasib Alvin begini. Tadi kakaknya Anita datang menemui Alvin dan minta supaya hubungan kami nggak usah dilanjutkan dan diputuskan saja karena mereka nggak mau Alvin menikah sama Anita. Katanya kita nggak sepadan. Alvin laki laki nggak jelas. Datang dari keluarga nggak jelas juga. Nggak sepadan dengan keluarga mereka yang terhormat.""Hmm ... ya sudahlah. Alvin sudah berusaha selama ini supaya bisa mensejajarkan diri dengan dia, tapi ternyata semua itu nggak cukup juga Mbak, jadi ... mungkin Alvin harus mengubur semua ini rapat rapat. Alvin harus bisa segera melupakan Anita dan mimpi mimpi kami," tutur laki laki itu dengan nada sendu.Men
"Maksud Mas Rudy?" Alvin tergagap.Mendengar Alvin menyebut namanya, Rudy tersenyum lebar.Hmm ... jadi rupanya Alvin masih ingat kalau dia adalah kakak kandung Anita? Syukurlah kalau begitu! Batinnya."Gini ya, Vin. To the point aja kita ... Nggak usah kamu dekati Anita lagi! Karena saya sebagai kakak kandungnya, nggak sudi punya calon adik ipar seperti kamu!" Hardik Rudy untuk kedua kalinya dengan suara keras dan nada tak bersahabat. "Tapi Mas ... Saya dan Anita saling mencintai, Mas. Kenapa kami tak boleh bersama? Kalau masalah materi, mungkin saya belum bisa memberikan yang cukup buat dia, seperti yang Om dan Tante inginkan. Tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Anita, Mas. Saya janji akan kerja lebih keras lagi supaya bisa lebih sukses dari sekarang, Mas. Tolong ... beri saya kesempatan sekali lagi, Mas. Please .....!" Alvin memohon dengan sungguh sungguh.Namun, Rudy menggelengkan kepalanya."Tidak! Sebagai kakak kandung Anita, saya nggak bisa memberi kamu