"Papa punya anak laki, dari perempuan lain!""Papa punya alasan, dan itu juga atas persetujuan Mama, Nay!" imbuh Kak Lana."Tapi, aku masih belum terima, Kak!""Mau nerima atau tidak, kenyataannya sudah terjadi. Mau diapakan lagi, sekarang yang kita lakukan hanya menerima adik se-ayah kita. Biar bagaimanapun Abi anaknya Papa." Jelas Kak Lana.Aku menangis kemudian merenung sejenak. Suamiku mengusap punggungku pelan, dia berkata, "Takdir itu, bukan penawaran. Kamu harus terima semuanya dengan ikhlas. Papa kamu orang baik, bahkan sampai saat Mama meninggal wanita itu tidak muncul di hadapan kita, Nay!""Tapi kenapa harus ditutupi?""Papa udah jelasin semua kan? Suatu saat Papa mah bicara hanya kita sudah mendahului. Gimana kalau sekarang kita nikahkan lagi saja Papa sama Tante Maya? Biar Papa ada yang urus." Kak Lana memberi ide yang aku belum sanggup menyetujuinya. Namun, suamiku justru setuju dengan pendapatnya. Menurut Bang Bagas itu yang terbaik untuk Papa."Oke, aku setuju dengan
"Pak! Kayaknya kalian gak pernah berubah ya, Bagas capek! Pinjaman Bagas ke kantor buat operasi Bapak gimana hitungannya? Mereka banyak ngomong, gak ada bukti!" kesal Bagaskara."Nanti bapak bicarakan dengan Hana dsn yang lainnya." Sahut Bapak."Uang Kakaknya Naya yang bekas operasi sesar lya juga apa kabar, Pak? Bagas malu, sudah ditanyain. Kok jadi Bagas yang repot sendiri ya, Pak?!" keluh suamiku melirik ibu mertuaku."Bu, tadi ibu kesini mau apa? Sekarang langsung aja ibu bicarakan, setelah itu bapak mau bicara soal pinjaman Lya dan biaya operasi bapak. Kasihan Bagas, Bu!" ungkap bapak mertuaku, raut wajah sedihnya jelas terlihat.Tak sedikitpun penyesalan dari wajah ibu, beban di pundak suamiku cukup berat, padahal pengorbanan yang dilakukannya hanya untuk kasih sayangnya pada saudara dan orang tuanya.Kami baru memiliki seorang putri, dan tanggungan kami di luar nalar, puluhan juta rupiah dalam setahun, cukup menyesakkan dada."Mulai saat ini, jangan pernah libatkan Bagas dalam
"Satria? Kenapa wanita ini memanggil dengan nama Satria? Nama itu ... hanya Mama saja yang biasa menyebutkannya."Kemudian wanita itu menghampiriku sambil tersenyum, sementara ibu dan bapak hanya berdiri saja saling menoleh tanpa mengatakan apapun."Maaf, maksud ibu Rendra Satria?" tanyaku menatap fokus netranya."Ah, iya! Maksud saya Rendra!" sahutnya meralat."Iya, ini rumahnya, maaf ibu siapa? Saya tidak bisa begitu saja menerima tamu tanpa tahu siapa tamunya!" tegasku."Saya Maya!" sahutnya."Maya?" Seketika itu, aku terperanjat, rupanya ini wanita bernama Maya, istri rahasia Papa? Tega sekali wanita ini memanfaatkan kebaikan Mama. Tapi, aku sudah janji untuk tidak membahas masa lalu Papa lagi, semoga wanita ini adalah wanita baik-baik." Ungkap batinku."Nay! Sayang! Kamu bengong? Itu, ajak tamunya masuk! Kok malah berdiri disitu?" suamiku menepuk pelan pundakku."Oh, iya! Silakan masuk, Tante! Saya panggilkan dulu Papa." Ujarku berjalan menuju kamar Papa.Kedua mertuaku masih b
"Itu mertua Naya." Jawabku.Wanita bernama Maya itu tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.Setelah percakapan kami, kami semua bersiap mengantarkan Papa ke kantor urusan agama, mereka akhirnya menikah. Kini tak ada lagi kekhawatiran berlebih jika aku pergi meninggalkan Papa sendirian. Tante Maya ternyata baik dan lembut, ia tak pernah kaku padaku walau bukan putri kandungnya. Ia tidak pernah menempatkan dirinya sebagai ibu pengganti, melainkan sebagai ibu yang menghargai mendiang istri suaminya.Sejak saat itu, Abimanyu-adik se-ayahku selalu menjadi teman baik bagi suamiku. Ia sudah mampu menjadi om yang hangat untuk cucu-cucu Papa. Beberapa bulan berlalu, hari demi hari kulalui, seiring berjalannya waktu, Ishana pun bertambah usia. Pekan depan, ia genap berusia setahun. Tante Maya berencana merayakan ulang tahun Ishana di salah satu restoran di Bandung. Namun Papa dan aku melarangnya, karena menurutku itu terlalu berlebihan. "Gak apa-apa dong Naya, sekali-kali kita rayain Ishana
Abi buru-buru menuruni anak tangga, berlari kecil membuka pintu."Kanaya ada?!" raut wajah Kak Hana nampak kesal dan marah."Ada, maaf dengan siapa?" tanya Abi ramah."Saya kakak ipar Kanaya dan ibi ibu mertuanya, kok gak tahu?" ketusnya."Baik, silakan masuk, tunggu sebentar saya panggilkan dulu."Abi melangkah menuju kamarku, ia mengetuk pintu pelan, khawatir memgganggu Ishana yang sedang tertidur.Tok ... tok ... tok,"Kak! Ada Ibu mertua kakak." Volume suara Abi sedikit naik."Iya, sebentar, Bi! Sudah kamu suruh masuk?!" teriakku sambil mengganti pakaian."Sudah, Kak!" teriak Abi berjalan menuju kamarnya.Saat aku keluar kamar lalu melangkahkan kakikh menuju ruang tamu, terdengar suara mereka sedang bergibah tentang Abi."Yang tadi pasti adik tiri Kanaya, ternyata Papanya masih doyan kawin. Gak nyangka, diam-diam Papa Kanaya selingkuh sama sahabatnya, yang tadi itu anak selingkuhannya." Ibu berkata seolah sok paling tahu tentang kehidupanku. Aku mengeraskan suaraku, mereka tiba-t
"Gak usah, Bi! Biarkan saja mereka, kakak sudsh biasa mendapat perlakuan buruk dari mereka. Masalah ini gak usah diperpanjang." Aku pergi meninggalkan Abi, tak pernah aku sekesal ini padanya. Aku tahu ia membela harga diriku, akan tetapi aku tersinggung ketika ia menyarankanku untuk bercerai."Kak! Abi minta maaf ya, kata-kata Abi tadi, gak lerku diingat-ingat, Abi nyesel." Katanya mengetuk pintu kamarku pelan. Aku membiarkan Abi berbicara sendiri tanpa kutanggapi. Lama-lama dia bosan menunggu jawabanku. Akhirnya ia pergi menuju kamarnya."Maafin aku, Bi! Kamu terlalu jauh ikut campur dalam rumah tanggaku, biar kuurus mertua dan iparku sendiri." Tutur batinku sambil mengusap air mataku yang terus jatuh membasahi pipiku.Masalah utang yang akhirnya menjadi pelik, dan berbelit-belit seperti benang kusut, membuatku muak dengan semua tingkah keluarga suamiku. Aku ingin membebaskan utang itu, akan tetapi uang sebesar itu mana sanggup kutanggung sendiri? Uang itu bukan milikku, melainkan
"Cuma temen!" katanya singkat. Aku sama sekali tidak merasa aneh, lalu aku masuk ke kamar lebih dulu daripadanya. Aku menidurkan Ishana lalu merapikan tempat tidur kami. "Sayang! Ibu sama Kak Hana tadi kesini?" tanya suamiku sambil berganti pakaian. "I-iya!" "Kenapa kamu gak bilang?" tanyanya lagi. "Karena mereka datang kesini cuma mau menghina aku dan memarahi aku, mereka minta aku ikhlasin utang Lya sama Kak Lana, mereka juga menghujat Abi." Ungkapku memasamkan wajahku sambil melipat pakaian Ishana. "Kamu juga gak bilang sama abang kalo kamu nanyain utang sama Lya." Suamiku bertanya seperti menginterogasi. "Iya, aku diam-diam kirim pesan sama dia, tanyain sudah ada apa belum untuk bayar bekas melahirkan? Apa aku salah, Bang?!" ketusku. "Kamu mau belain keluarga kamu 'kan? Wajar aja, aku gak akan keberatan, kok!" sahutku lagi membelakanginya. "Abang cuma mau kroscek, apa bener yang dibilang ibu dengan keterangan dari kamu, abang gak marah, abang cuma kecewa kenapa kamu jadi
"Abang konfirmasi dulu sama temen Abang, kalau sudah fix, kita kasih tahu Papa tentang rencana kita, bilang aja sama Papa gak udah kasih tahu ibu atau bapak." Ungkap suamiku. "Kenapa kita harus melarikan diri, Bang?" tanyaku menatap wajahnya. "Karena kalau mereka tahu, semua itu percuma! Mereka bakal mencari kemana aja kita pergi. Malahan Abang pikir mau ganti nomor juga biar gak bisa dihubungi lagi." Kupikir suamiku sudah benar-benar ingin memberi keluarganya pelajaran. Sebenarnya aku setuju saja, tapi ada yang kukhawatirkan, yaitu Papa. "Aku setuju aja sama kamu, Bang! Tapi Papa?" aku mulai bimbang. "Papa sudah ada yang urus, ada Abi juga di rumah, Kak Lana gak bakal diem aja. Kamu gak usah khawatir." Tutur suamiku mengusap punggunggku. "Kalau begitu, kita gak usah bilang juga sama Papa, kita kasih tahu kalau kita udah ada disana aja, kalau aku bilang takutnya gak dikasih izin." Suamiku mengangguk, aku rasa kami sudah benar-benar positif untuk pergi. Karena jika sumber masala
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,