"Abang konfirmasi dulu sama temen Abang, kalau sudah fix, kita kasih tahu Papa tentang rencana kita, bilang aja sama Papa gak udah kasih tahu ibu atau bapak." Ungkap suamiku. "Kenapa kita harus melarikan diri, Bang?" tanyaku menatap wajahnya. "Karena kalau mereka tahu, semua itu percuma! Mereka bakal mencari kemana aja kita pergi. Malahan Abang pikir mau ganti nomor juga biar gak bisa dihubungi lagi." Kupikir suamiku sudah benar-benar ingin memberi keluarganya pelajaran. Sebenarnya aku setuju saja, tapi ada yang kukhawatirkan, yaitu Papa. "Aku setuju aja sama kamu, Bang! Tapi Papa?" aku mulai bimbang. "Papa sudah ada yang urus, ada Abi juga di rumah, Kak Lana gak bakal diem aja. Kamu gak usah khawatir." Tutur suamiku mengusap punggunggku. "Kalau begitu, kita gak usah bilang juga sama Papa, kita kasih tahu kalau kita udah ada disana aja, kalau aku bilang takutnya gak dikasih izin." Suamiku mengangguk, aku rasa kami sudah benar-benar positif untuk pergi. Karena jika sumber masala
"Bang! Aku kayak denger suara gerbang dibuka lalu ditutup lagi. Siapa ya? Kita bakal ketahuan gak ya?" tanyaku cemas."Sudahlah, gak usah dipikirkan. Kita harus fokus, lebih baik kita berdoa untuk kemudahan dan keselamatan kita. Abang janji akan hubungi Papa jalau sudah pas waktunya." Tutur suamiku memegang tanganku.Dalam perjalanan aku teringat Papa, raut wajahnya seolah mengikuti kemana pun aku pergi. Kurasa, perjalanan kali ini adalah perjalanan yang penuh resiko. Aku harus mengabaikan keluargaku sementara waktu. Demi kebaikan semua, aku pergi."Maafkan aku, Pa! Aku pamit ya. Semoga Papa sehat selalu, jangan khawatirkan aku dan Ishana, kami bertiga baik-baik saja. Suatu saat aku akan katakan semuanya sama Papa." Aku mengirim pesan pada Papa, agar beliau tidak terkejut saat aku tak kembali ke rumah."Aku kirim pesan sama Papa, Bang! Gak apa-apa ya, soalnya aku ngerasa gak tenang aja kalau gak bilang apa-apa." Aku menangis menyandarkan kepalaku ke bahunya."Iya, gak apa-apa, bilang
"I-ini, Papa! Aku lupà ganti nomor!" kataku berbisik tepat di rungu suamiku-Bagaskara. "Angkat aja, gak perlu takut, kita jelasin sama-sama." Jawab suamiku. "Nanti saja, kalau sudah sampai rumah, disini gak enak ada Mas Albert." Sahutku lagi. Akhirnya panggilang dari Papa aku lewatkan begitu saja, aku belum siap menghadapinya. Tapi aku berjanji akan menjelasjan semuanya padanya. "Kanaya! Jawab telepon Papa! Kenapa kamu gak mau angkat teleponnya?!" Bahkan pesan dari Papa masih dalam keadaan terbuka, selepas melihat histori panggilan darinya rupanya belum kututup. "Nanti malam Naya telepon Papa, tunggu Naya ya, Pa!" Azan Magrib berkumandang, suasana malam pun mulai terasa, waktu di awal malam ini memberitahu kami untuk rehat sejenak, melaporkan diri pada Yang Maha Kuasa atas kewajiban kami seperti biasanya. Nampaknya cukup sampai di sini saja acara berkeliling kami hari ini. Kami perlu mengistirahatkan tubuh kami setelah perjalanan kami seharian ini. "Gimana, Gas? Mau lanjut a
"Oalah! Disini rupanya, kenapa harus lari? Saya bukan orang jahat. Saya dititipi Om Albert untuk jagain Mbak dan Masnya. Tuh! Suami Mbak dan anak'e lagi di toko, beli jajanan untuk anaknya." Ujarnya menunjuk ke arah dimana Bang Bagas dan Ishana berada."Ya Tuhan, Mas! Bilang dong dari tadi, saya jadi takut, soalnya saya bukan orang sini, udah gitu ... maaf, wajah Mas serem juga!" kekehku mengusap dadaku pelan sambil menghela nafasku panjang."Oalah Mbak, maaf kalau saya bikin Mbaknya takut, ayo saya antar ke tempat parkir!" ajaknya menyerahkan tas milikku yang sedari tadi dipegangnya.Aku berjalan menuju halaman parkir, Bang Bagas meminta maaf padaku karena sudah meninggalkanku karena Ishana."Abang gimana sih! Malah tinggalin aku!" ketusku membuang muka."Maafin Abang ya, tadi Ishana nangis, karena takut mengganggu yang sedang solat, Abang ajak aja ke warung klontongan sana. Abang bilang sama Mas Albert, akhirnya dia titip sama penjaga keamanan daerah sini, disini Mas Albert dikenal.
"Kenapa, Bang? Kok langsung murung begitu?" tanyaku."Enggak apa-apa." Jawabnya meletakkan ponselnya di atas ranjang."Pasti kenapa-napa kalau jadi murung kayak gitu, bilang aja, kalau akunbisa bantu pasti bantu, Bang! Kita kan suami istri, kita janji gak akan saling menutupi, ya 'kan?" sahutku mendekati suamiku."Iya, maafin Abang. Itu tadi ibu yang telepon, sesudahnya Kak Hana kirim pesan." Jawabnya."Pesan apa?" tanyaku semakin penasaran."Dia tanya, aku kemana? Semua orang di Bandung pada sibuk cariin kita, dan Kak Hana bilang, sebentar lagi Arkan mau nikah, dia minta patungan untuk biaya nikahannya, katanya sih anak terakhir harus didukung." Ungkapnya tiba-tiba lemas."Ya sudah, gak usah dijawab aja, besok kamu pergi ke counter HP, ganti nomornya ya! Aku juga mau ganti nomor." Jawabku santai."Iya, aku ganti aja nomornya, harus buru-buru sih ini!" jawab suamiku setuju."Kali ini kita mesti bisa tegas, kan gak setiap hari. Kita abaikan dulu mereka sementara saja, kita gak akan mem
"Mbak Naya! Maaf ini Mas Bagas kecelakaan tadi sepulang dari kantor, kebetulan dia ada di depan saya, jadi daya memihat persis kejadiannya. Tapi menurut dokter tidak ada luka yang serius hanya perlu istirahat yang cukup daja sambil berobat jalan." Kata Mas Albert memapah suamiku yang berjalan sedikit pincang. "Ya Tuhan, Bang! Pantes aja dari tadi aku gak enak hati, rupanya ini yang terjadi." Aku segera ke dapur membuatkan dua cangkir teh manis hangat. "Mas Albert, makasoh banyak ya, sudah antar Bang Bagas ke dokter, pasti ngerepotin nih. Minum dulu, Mas!" "Sama-sama Mbak Naya, emggak ngerepotin kok, saya justru khawatir sama Bagas." sahut Mas Albert menoleh pada suamiku yang sedang meringis. "Bang, diminum dulu tehnya, jangan lupa istirahat dan minum obat!" titahku. "Mbak Nay! Aku pulang dulu ya, tolong jaga suaminya. Besok saya minta izin Bos biar Bagas bisa kerja di rumah untuk sementara." Kata Mas Albert penuh perhatian. "Baik, Mas! Terima kasih banyak, besok kesini lagi, k
"Mungkin itu cuma kelakuan orang iseng aja kali, gak sengaja, Yang! Sekarang yang lenting, Ishana selamatin dulu, tangan dia kena pecahan kaca. Cepetan, sayang!" titah suamiku khawatir.Aku buru-buru membawa putriku ke pangkuanku, lalu mengobati lukanya. Hati ini, aku benar-benar sibuk sekali, hampir tak bisa kuhendel sendirian, karena Bang Bagas juga sedang tak sehat. Kakinya masih memakai pembalut."Ishana, sayang! Maafkan ibu ya, Nak! Sekarang kamu sudah ibu obati, nangisnya sudah dulu ya." Kataku mengusap-usap punggungnya sambil kuayun agar ia tidur.Beberapa hari berlalu, Bang Bagas masih bekerja di rumah, dengan fokus ia menyelesaikan pekerjaannya, tanpa banyuan Mas Albert. Aku bersyukur, ilmu pengetahuan yang didaoatnya semasa kuliah akhirnya terpakai."Gimana kakinya sekarang, Bang?" tanyaku memeriksa kaki sebelah kanannya."Cukup membaik, dua hati lagi kayaknya Abang sudah pulih, dan bisa kerja di kantor lagi." Jawabnya tersenyum sambil fokus ke layar laptopnya."Abang! Bukan
"Hey, kenapa kamu nangis?" tanya suamiku yang tiba-tiba membuka matanya saat ia tak sengaja melihatku tengah berderai air mata. "Enggak apa-apa, apa sebaiknya kita pulang aja ke Bandung? Disini kamu sakit aneh terus kayak gini, udah cek dokter, gak tahu sakit apa?" "Disini aj, Abang gak apa-apa kok, kamu tenang aja, besok-besok juga sembuh." Katanya menenangkanku. Setelah itu kami tertidur, berharap esok hari keadaan akan jauh lebih baik. Kami coba memejamkan mata walau sulit, setiap malam, Bang Bagas selalu merasakan hal aneh. Sejak kejadian itu, Si Pelempar batu tidak diketahui kemana rimbanya, mereka sudah tidak mengganggu kami lagi, tapi suamiku malah menjadi semakin parah sakitnya. Entah apa yang harus kulakukan. "Benar kata Mama, selama kita masih bernafas, ujian itu akan selalu hadir dalam hidup kita, selesai masalqh yang satu datang masalah lainnya yang tenru saja berbeda di setiap episodenya. Maka aku harus kencangkan lagi ibdahku." Batinku seraya membentangkan sajadah.
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,