"Nay! Abang pengin makan nasi Padang aja deh. oleh gak? Di restoran yang kamu pilih itu, hidangannya Korea semua, Abang mah yang Indonesia aja deh!" ujarnya menoleh rumah makan Padang di samping restoran yang kupilih."Boleh juga, Bang! Aku sih terserah Abang aja, aku kan cuma follower, jadi gimana leader aja deh!" jawabku tersenyum."Kalau gitu, cap cus kesana, yuk!" ajaknya berjalan menggandeng tanganku.Setibanya di rumah makan Padang itu, Bang Bagas asyik scroll aplikasi jual rumah online. Dia nampak sambil membuka aplikasi yang lain. Kubiarkan saja dirinya yang sedang mencoba menghibur diri. Dia senyum-senyum sendiri saat itu. Lalu dia memberiku pesan pribadi melalui ponselku."I love you so much Kanaya Rahman, I don't know what life would be without you, Darling! So, please don't ever leave me.""I love you too, Bagaskara Aditya."Pesan yang sungguh romantis, pesan yang selama ini tak pernah kuduga datang dari suamiku yang datar itu. Dia memang penyayang, tapi dia cuek. Tidak pe
Papa berangkat sepagi ini, apa perlu aku selidiki siapa yang akan Papa kunjungi?"Bang! Sudah bangun?!""Kamu gak bangunin, Abang! Jadi kesiangan deh." Suamiku berdiri dari duduknya di atas ranjang kemudian berjalan menuju kamar mandi.Aku berjalan menuju dapur, hendak membuatkan sarapan dan secangkir kopi hangat untuk suamiku. Namun, rasa penasaran terus menggelayuti benakku. Tiba-tiba saja terbesit niat untuk menyelidiki Papa."Bikin kopi sambil ngelamun! Gimana kalau air panasnya kena tanganmu!" tegur Kak Lana menuangkan air ke dalam gelas."Eh, Kakak! Aku kepikiran Papa!" sahutku menyiapkan wajan di atas kompor."Memangnya Papa kenapa?""Katanya Papa mau ke Jakarta nengok seseorang yang sakit keras, Papa bilang sih saudaranya." Jawabku."Mungkin bener itu sodaranya, tapi iya juga ya, kok Papa gak mau bilang ya, siapa? Kalau itu om kita atau tante, kita pasti tahu kan! Adik Papa cuma dua Kakaknya cuma satu, mereka gak ada yang tinggal di Jakarta.""Nah, kan? Apa kubilang! Perginya
"Iya Ayah, aku ngerti kok! Yang penting Ayah selalu ingat sama aku!" katanya.Aku dan Kak Lana saling menoleh, tak tahan hanya menguntit dari dalam mobil, aku mengajak Kak Lana masuk ke dalam rumah itu untuk mencyduk Papa."Kak! Daripada diem terus di sini, mendingan kita ke dalam, kita pastikan semuanya biar jelas." Ajakku mengencangkan gendongan Ishana."Kamu serius? Papa gak bakal marah? Gimana nanti kalau Papa kaget lihat kita tiba-tiba ada di sini?!" "Gak apa-apa, aku udah kesel, pingin selesaikan masalah ini! Aku gak peduli apapun reaksi Papa nanti!" Aku terus mendesak Kak Lana untuk masuk ke rumah asing itu."Oke, kalau itu yang kamu mau, kita harus percaya diri, apapun yang terjadi, kamu dan aku harus tanggungjawab, deal!" Kak Lana menatapku tajam, memperingatkanku akan konsekuensi yang harus kuterima."Oke! Deal!" Suamiku hanya diam tidak berkomentar, ia merenung, khawatir Papa sakit atau sesuatu yang buruk terjadi tak terduga.Kami berdua berjalan menuju rumah yang ber
"Papa punya anak laki, dari perempuan lain!""Papa punya alasan, dan itu juga atas persetujuan Mama, Nay!" imbuh Kak Lana."Tapi, aku masih belum terima, Kak!""Mau nerima atau tidak, kenyataannya sudah terjadi. Mau diapakan lagi, sekarang yang kita lakukan hanya menerima adik se-ayah kita. Biar bagaimanapun Abi anaknya Papa." Jelas Kak Lana.Aku menangis kemudian merenung sejenak. Suamiku mengusap punggungku pelan, dia berkata, "Takdir itu, bukan penawaran. Kamu harus terima semuanya dengan ikhlas. Papa kamu orang baik, bahkan sampai saat Mama meninggal wanita itu tidak muncul di hadapan kita, Nay!""Tapi kenapa harus ditutupi?""Papa udah jelasin semua kan? Suatu saat Papa mah bicara hanya kita sudah mendahului. Gimana kalau sekarang kita nikahkan lagi saja Papa sama Tante Maya? Biar Papa ada yang urus." Kak Lana memberi ide yang aku belum sanggup menyetujuinya. Namun, suamiku justru setuju dengan pendapatnya. Menurut Bang Bagas itu yang terbaik untuk Papa."Oke, aku setuju dengan
"Pak! Kayaknya kalian gak pernah berubah ya, Bagas capek! Pinjaman Bagas ke kantor buat operasi Bapak gimana hitungannya? Mereka banyak ngomong, gak ada bukti!" kesal Bagaskara."Nanti bapak bicarakan dengan Hana dsn yang lainnya." Sahut Bapak."Uang Kakaknya Naya yang bekas operasi sesar lya juga apa kabar, Pak? Bagas malu, sudah ditanyain. Kok jadi Bagas yang repot sendiri ya, Pak?!" keluh suamiku melirik ibu mertuaku."Bu, tadi ibu kesini mau apa? Sekarang langsung aja ibu bicarakan, setelah itu bapak mau bicara soal pinjaman Lya dan biaya operasi bapak. Kasihan Bagas, Bu!" ungkap bapak mertuaku, raut wajah sedihnya jelas terlihat.Tak sedikitpun penyesalan dari wajah ibu, beban di pundak suamiku cukup berat, padahal pengorbanan yang dilakukannya hanya untuk kasih sayangnya pada saudara dan orang tuanya.Kami baru memiliki seorang putri, dan tanggungan kami di luar nalar, puluhan juta rupiah dalam setahun, cukup menyesakkan dada."Mulai saat ini, jangan pernah libatkan Bagas dalam
"Satria? Kenapa wanita ini memanggil dengan nama Satria? Nama itu ... hanya Mama saja yang biasa menyebutkannya."Kemudian wanita itu menghampiriku sambil tersenyum, sementara ibu dan bapak hanya berdiri saja saling menoleh tanpa mengatakan apapun."Maaf, maksud ibu Rendra Satria?" tanyaku menatap fokus netranya."Ah, iya! Maksud saya Rendra!" sahutnya meralat."Iya, ini rumahnya, maaf ibu siapa? Saya tidak bisa begitu saja menerima tamu tanpa tahu siapa tamunya!" tegasku."Saya Maya!" sahutnya."Maya?" Seketika itu, aku terperanjat, rupanya ini wanita bernama Maya, istri rahasia Papa? Tega sekali wanita ini memanfaatkan kebaikan Mama. Tapi, aku sudah janji untuk tidak membahas masa lalu Papa lagi, semoga wanita ini adalah wanita baik-baik." Ungkap batinku."Nay! Sayang! Kamu bengong? Itu, ajak tamunya masuk! Kok malah berdiri disitu?" suamiku menepuk pelan pundakku."Oh, iya! Silakan masuk, Tante! Saya panggilkan dulu Papa." Ujarku berjalan menuju kamar Papa.Kedua mertuaku masih b
"Itu mertua Naya." Jawabku.Wanita bernama Maya itu tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.Setelah percakapan kami, kami semua bersiap mengantarkan Papa ke kantor urusan agama, mereka akhirnya menikah. Kini tak ada lagi kekhawatiran berlebih jika aku pergi meninggalkan Papa sendirian. Tante Maya ternyata baik dan lembut, ia tak pernah kaku padaku walau bukan putri kandungnya. Ia tidak pernah menempatkan dirinya sebagai ibu pengganti, melainkan sebagai ibu yang menghargai mendiang istri suaminya.Sejak saat itu, Abimanyu-adik se-ayahku selalu menjadi teman baik bagi suamiku. Ia sudah mampu menjadi om yang hangat untuk cucu-cucu Papa. Beberapa bulan berlalu, hari demi hari kulalui, seiring berjalannya waktu, Ishana pun bertambah usia. Pekan depan, ia genap berusia setahun. Tante Maya berencana merayakan ulang tahun Ishana di salah satu restoran di Bandung. Namun Papa dan aku melarangnya, karena menurutku itu terlalu berlebihan. "Gak apa-apa dong Naya, sekali-kali kita rayain Ishana
Abi buru-buru menuruni anak tangga, berlari kecil membuka pintu."Kanaya ada?!" raut wajah Kak Hana nampak kesal dan marah."Ada, maaf dengan siapa?" tanya Abi ramah."Saya kakak ipar Kanaya dan ibi ibu mertuanya, kok gak tahu?" ketusnya."Baik, silakan masuk, tunggu sebentar saya panggilkan dulu."Abi melangkah menuju kamarku, ia mengetuk pintu pelan, khawatir memgganggu Ishana yang sedang tertidur.Tok ... tok ... tok,"Kak! Ada Ibu mertua kakak." Volume suara Abi sedikit naik."Iya, sebentar, Bi! Sudah kamu suruh masuk?!" teriakku sambil mengganti pakaian."Sudah, Kak!" teriak Abi berjalan menuju kamarnya.Saat aku keluar kamar lalu melangkahkan kakikh menuju ruang tamu, terdengar suara mereka sedang bergibah tentang Abi."Yang tadi pasti adik tiri Kanaya, ternyata Papanya masih doyan kawin. Gak nyangka, diam-diam Papa Kanaya selingkuh sama sahabatnya, yang tadi itu anak selingkuhannya." Ibu berkata seolah sok paling tahu tentang kehidupanku. Aku mengeraskan suaraku, mereka tiba-t
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,