"Sakit, Bang! Aku gak bisa berdiri." "Sini! Kamu tunggu dulu di sini, Abang pesan taksi dulu, kita harus ke rumah sakit. Kamu ada yang serempet barusan, takutnya kenapa-napa." Kata suamiku mengusap-usap perutku. Tak lama kemudian, taksi datang menghampiri kami. Tak menunggu lama, aku masuk dan duduk di taksi itu dengan bantuan suamiku. Kubaringkan tubuhku menyandar ke jok mobil. Suamiku nampak khawatir dengan keadaanku yang sudah menjelang melahirkan, tiba-tiba ditabrak seseorang hingga jatuh, takutnya beresiko pada calon bayiku. "Semoga gak kenapa-napa ya, sayang!" cemas suamiku. "Iya, makasih Abang udah peduli sama aku." "Itu kewajiban suami, Nay! Jangan khawatir dan gak boleh bilang begitu lagi!" ujar suamiku menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Setibanya di rumah sakit, suamiku buru-buru membawaku ke dokter yang biasa memeriksakan kehamilanku. Kami panik dan tegang. Setelah menunggu cukup lama, dokter memberiku hasil observasi. "Beruntung calon bayinya aman, kalau ada apa-a
"Aku merasa gak punya musuh, Bang! Kok ada orang yang tega pengin aku celaka? Aku gak mungkin nuduh kekuargaku, mereka baik banget sama aku, termasuk Tante Maya." Ungkapku. "Sementara ini, kita fokus sembuhin kamu dulu, abang mau cari tahu soal ini." "Sudahlah, Bang! Gak usah dipikirkan, kita lanjutin hidup kita seolah semua ini gak terjadi, mikirin masalah ini, cuma bikin kepalaku pusing." Kataku. "Oke," sahutnya. Hari pun berlalu, menunggu tiba waktunya untukku melahirkan jabang bayiku. Rasanya semakin tak karuan ketika semakin hari semakin dekat dengan tanggal yang ditentukan. Tidur tak enak, makan tak enak, apalagi hanya diam saja tanpa melakukan aktifitas apa pun. Menurut dokter, dua pekan lagi diperkirakan bayi ini akan lahir. Tentang drama seseorang yang ingin mencelakaiku waktu itu, belum mendapatkan titik terang. Namun dibalik keresahan itu, ada hal yang patut kusyukuri, yaitu semakin hari, usaha suamiku semakin tambah maju. "Sayang, gak perlu khawatir, karena Abang gak
"Ah, gak diangkat-angkat teleponnya! Nanti Abang coba lagi deh." Katanya kesal. "Bikin pusing saja, maksudnya apa coba! Kasih tahu tapi dianya gak mau diketahui, aku jadi penasaran, Bang!" jawabku. "Apalagi Abang!" sahut suamiku. Sejak saat itu, aku dan suamiku tak ingin ambil pusing lagi tentang drama kecelakaan tempo hari. Yang penting bagi kami, calon bayi kami selamat. Kehidupan rumah tanggaku bersama Bang Bagas sempat tidak baik-baik saja. Tapi aku memutuskan untuk memaafkannya. Sempat terpikir untuk melaporkan perbuatan suamiku pada orang tuanya, tapi kupikir semua itu percuma. Ibunya tentu tidak akan memberi pembelaan untukku. "Kenapa ya, kok Abang ngerasa kamu sedikit berbeda? Kamu gak perhatian kayak dulu, kamu juga agak cuek sekarang." Keluh suamiku. "Aku sebenarnya masih trauma sama kamu, Bang! Aku masih suka kepikiran kejadian waktu itu kalau kamu deket-deket aku. Jujur, aku langsung ilfil kalau inget semuanya." Ungkapku menundukkan kepalaku. "Maafkan Abang, Abang b
"Ya Tuhan, Bang! Barusan aku ngerasa mules lagi, tapi hilang lagi, tapi aku ngerasain kayak ada dorongan." Kataku. "Mungkin kepalanya udah mau turun, Yang! Terus beroa, semangat ya." Ia tersenyum menyemangatiku. Aku terus berdoa melangitkan permohonanku sambil meneteskan air mata, kuusap perutku kukatakan dalam hatiku, "Nak, keluarlah dengan selamat, sehat dan normal, Ibu menunggumu di sini, ayo Ibu tuntun kamu." Batinku sesak, rasa takut dan cemas terus bersamaku, tapi aku tak mau kalah dengan pikiran buruk itu, aku terus berdoa tanpa henti, puji-pujian, dzikir, dan ayat-ayat-Nya kubacakan di tengah kesakitanku. "Jangan takut, sayang! Abang bakal temenin kamu terus di sini, kamu hebat, meski sakit kamu masih bisa ngaji. Maafin Abang ya, janji gak bakalan sakitin kamu lagi, gak akan pernah." Suamiku memelukku erat sambil menangis. "Bang! Kayaknya ketubannya sudah pecah deh, barusan kedengeran suaranya, berasa banget, tolong panggil bidannya!" titahku meringis. "Ba-baik, Sayang!
Beberapa menit kemudian suamiku masuk ke dalam kamar, lalu ia menunjukan wajah masamnya padaku. Tak banyak berpikir lagi, aku langsung saja menduga bahwa ia baru saja menerima perkataan tidak enak dari keluarganya, yang entah apa? "Kenapa lagi, Bang?" tanyaku menatap wajahnya. "Biasa lah." jawabnya kecut. "Biasa kenapa? Biasanya kamu kan selalu bilang sama aku!" kataku sambil menyiapkan obat yang akan kuminum. "Kata Ibu, kenapa pas pulang baru kasih tahu, Ibu gak mau nemuin kita, katanya sakit hati waktu syukuran tujuh bukanan waktu itu, padahal kan Ibu yang udah bikin kamu gak enak, malah kamu gak ngelawan." Ungkapnya kesal. "Ya sudah, kan tadi kita udah ambil konsekuensinya, kalau Ibu bilang gak enak, kita mau nerima dan gak akam dipikirin. Sudah lah, Bang! Aku baik-baik aja, gak akan marah, gak akan juga overthinking." Jawabku santai. "Iya, tapi Ibu kok tiba-tiba ngebahas sepeda? Katanya Bapak pilih kasih, sepeda yang dikasih cuma Ishana, giliran Rania ulang tahun Bapak cuma k
"Bisa sih, Bu! Tapi Ibu baru aja datang, masa udah pulang lagi?" keluh suamiku."Ya sudah, kalau kamu gak bisa, biar Ibu pulang sendiri!" ketus Ibu berjalan menuju halaman."Bu! Tunggu, Bagas antar saja, Ibu mau ke rumah Kak Hana?" tanya suamiku bergegas mengambil kunci mobil yang digantung di gantungan khusus kunci."Ayo ikut, antar Ibu! Abang pengin ditemenin kamu, bawa Shana dan Malik!" titah suamiku menepuk pelan lenganku."Loh, aku ikut, Bang?" tanyaku menatap sepasang matanya."Iya, buruan! Biar Abang gak lama di rumah Kak Hana, jadi ada alasan untuk langsung pulang!" ungkap suamiku."Ya udah deh, ayo!" sahutku membawa gendongan Malik sambil menuntun Ishana.Seketika Ibu melihatku dengan raut keheranan. Ia bertanya, " "Kok kamu ikut, Nay?" "Iya, Bu! Sekalian jalan ada yang mau dibeli." Sahutku berdiri menunggu Ibu melangkahkan kakinya."Terserah lah, padahal kasihan bayi kamu, mana bawa Ishana segala, naik motor mana cukup." Ketus Ibu membuang muka."Ya kalau naik motor ngapai
"Lagi nunggu di mobil." Jawab suamiku."Kenapa gak turun? Gak mau injek rumahku? Ponakannya lagi sakit kok gak mau nengok. Sombong amat!" Sahut Kak Hana.Meskipun aku sedang berada di dalam mobil, aku masih mendengar mulut cabainya itu, Kakak iparku itu gak pernah pelan kalau bicara, sukanya menyindir, ceplas-ceplos gak karuan."Itu Bagas yang suruh, soalnya gak akan lama, kami juga punya acara di rumah, gak enak ninggalin tamu." Sanggah Bang Bagas."Ya udah, kamu pulang aja, kami gak keberatan kalau kamu mau pulang, silakan!" sindir Kak Hana.Aku membuka jendela mobil lalu aku pamit pada mereka, tapi mereka tidak mau melihatku sama sekali. Aku tak peduli akan apa yang mereka pikirkan tentangku, yang jelas saat ini, aku tidak ingin menyakiti diriku sendiri dan membebani oikiranku dengan memikirkan sikap mereka. Suatu saat mereka akan menyadari, itu pun seandainya mereka menyadari kesalahan-kesalahan mereka."Bang! Aku denger loh apa yang Kak Hana omongin tentang aku, tapi kamu tenang
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,
"Aku yang harus mengakhiri semuanya, dan mulai saat ini aku berjanji akan menutup lembaran lama itu, dia sudah ikhlas kehilanganku begitu juga aku, maka tak ada alasan bagiku untuk terus berada dalam bayang masa lalu." Ungkap batinku. Saat malam tiba, suamiku-Bagaskara, pulang membawakan oleh-oleh untuk kami. Raut bahagia nampak jelas di wajahnya, sementara hatiku masih diselimuti perasaan bersalah padanya, aku masih merasa berdosa. "Bang! Bikin kaget aja! Aku kira siapa tadi!" aku terkejut saat suamiku membuka pintu kamar. "Loh! Kok kamu kaget? Kan emang udah biasa Abang pulang ucap salam sambil buka pintu, gak ada yang aneh! Kamu pasti lagi ngelamun, ya!" ujarnya tersenyum melihat raut wajahku. "E-enggak, kok!" dan aku pun menyahutnya dengan senyuman tanpa dosa. "Ini Abang bawakan kamu kalung perak, tadi Abang nukar uang ke toko perak lalu lihat ada kalung yang cakep banget, Abang rasa cocok buat kamu!" ujarnya gembira. Seketika aku merasa terkejut dan kikuk, tak tahu apa yang
"Kanaya!" panggil seorang lelaki bersuara berat mirip Rizky.Aku menoleh ke belakangku, dan rupanya ... kekhawatiranku nyata. Dia, yang menepuk pundakku adalah Rizky, seseorang yang selama ini kuhindari."Mau apa kamu kesini!" ketusku."Gak boleh aku kesini?" tanyanya membalas."Jelas gak boleh! Kita sudah bukan siapa-siapa lagi, dan kamu terus saja datang menggangguku!" aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah sambil buru-buru menutup pintu ruang tamu."Tunggu!" Rizky menahan dorongan pintu yang kutekan semakin kuat.Rupanya lelaki itu bersikeras ingin menemuiku, apa hendak dikata, aku tak sanggup melawan bantahannya, hingga akhirnya aku menyerah dan memberinya ruang untuk berbincang denganku."Please Kanaya! Kasih aku waktu sebelum aku pergi!" Rizky berteriak sambil mendorong pintu."Ya sudah, masuk! Aku gak punya banyak waktu, to the point aja!" ketusku lagi."Oke," Akhirnya aku dan Rizky berbicara satu sama lain, saling menyalahkan. Ia menjelaskan bahwa saat ia meninggalkanku a
Suamiku segera ambil sikap, memantau dan memgambil ponselku yang tergeletak di atas ranjang. Aku ingin merebutnya dari tangannya, tapi aku tidak mau ia mencurigaiku. Aku tidak ingin menjadi orang bersalah dimatanya, karena jujur saja ... bukan aku yang memulai. "Mamin?" Suamiku mengernyitkan dahi sambil bertanya heran memantau layar ponselku. "Yang! Telepon dari Mamin!" teriak suamiku. "Iya! Sebentar, Bang!" sahutku seolah tak tahu apa-apa. "Sudah kuduga, itu pasti dia! Untung saja aku menamai dia Mamin!" batinku. Ya, Mamin. Itu adalah sebuah nama panggilan akrabku untuk Rizky ketika kami pacaran, nama itu kusematkan tanpa sengaja, mengalir begitu saja, dan aku beruntung, suamiku tidak sampai mencurigaiku karena nama itu. Apa yang akan terjadi jika aku sematkan nama Rizky yang sesungguhnya? Tentu saja ia akan murka. "Nay! Sayang! Biasanya jam segini gak ada yang telepon kamu, kecuali darurat. Lah, yang tadi siapa, Yang? Temen kamu?" tanyanya menoleh ke arahku. "Iya, teman kuliah
"E-enggak kok, Bang! Kami tuh sahabatan bertiga, waktu kita nikah aku gak undang dia karena gak tahu harus hubungin dia kemana, soalnya kontak dia hilang, dianya juga ngilang, gak ada yang tahu dia kemana." Ungkapku menoleh pada suamiku. "Oh, gitu ya!" jawabnya ragu. Suamiku nampak tak bahagia. Raut wajah yang biasanya ramah dan selalu tersenyum, tiba-tiba tanpa ekspresi, seolah ia memikirkan sesuatu, tentang aku dan Rizky. Mungkin sudah saatnya aku jujur padanya, tapi aku ragu apakah aku sanggup? "Yang! Rizky sekampus sama kamu gak?" tanyanya lagi. "Enggak, Sayang! Dia itu beda kampus, aku sama dia kenal karena sempat magang di kantor yang sama." Jawabku. "Kenapa soh, Bang! Tanya-tanya dia terus?" "Abang masih penasaran pengin tahu banyak tentang dia. Waktu dia natap wajah kamu, kok kayaknya ada yang beda, cara dia bicara dan memperlakukan kamu Abang rasa seperti bukan hanya teman." Katanya lagi. "Abang bakal sakit sendiri kalau mikirin dia terus, dan aku gak akan tanggung ja
"Abang gak tahu, Nay!" sahut suamiku. "Siapa malem-malem begini datang bertamu? Gak tahu apa? Kalo aku lagi capek banget pengin ngaso!" aku bergumam sambil berjalan menuju pintu utama. "Ri-rizky?" aku terkejut sambil menutup mulutku yang terbuka dengan telapak tangan kananku. "Hai, kamu masih inget aku, kan?" tanya dia. Aku mengangguk sambil berpikir, benarkah yang kulihat itu? Benarkah dia? Mantan kekasihku yang tiba-tiba pergi dan menghilang kala itu? Antara terkejut dan takut. Takut karena mengkhawatirkan perasaan suamiku dan takut berdosa pada Sang Khalik. "Hei, georgeous! Kamu kok bengong terus sih?" ia bertanya sambil menatap fokus mataku dan melambai-lambaikan tangannya memeriksa sepasang mataku yang tak fokus. "I-iya, silakan duduk! Maaf kita gak bisa ngobrol di dalam ya," aku menjawabnya pelan sambil menengok ke dalam, memastikan suamiku ada di sana atau tidak? "Ka-kamu hamil? This is realy you?" tanyanya. "Iya, aku lagi hamil anak kedua, dan aku bakalan panggil suami
"Maksud Bagas jangan terlalu sering kemari, Bu! Bagas gak enak, kan di sini Bagas jualan, bukan lagi pameran, Bu!" keluh suamiku lagi."Kamu berani bilang begitu sama Ibu? Gak boleh Ibu datang lihat usaha kamu, Gas? Ibu cuma gak mau kamu lupa diri, sudah sukses istrimu makin sombong!" sindir Ibu mertuaku."Bagas belum sesukses itu, Bu! Ini Bagas masih ngerintis, alhamdulillah ramai terus pelanggan, itu juga berkat doa Ibu, tapi Bagas juga kecewa sama Ibu, karena Ibu gak pernah ngertiin Bagas. Dan Bagas mohon sama Ibu, jangan pernah mengatakan Kanaya sombong, karena dia tidak seburuk yang Ibu pikirkan, Ibu sudah kena hasut Si Hana! Maaf kalau Bagas bicara begini sama Ibu." Ungkap suamiku.Sejak saat ibu mertuaku menyinggung namaku dalam perdebatan mereka, aku memilih pergi perlahan membawa Ishana dan Malik ke luar toko, mencari udara segar, daripada mendengar mereka, seakan aku ikut campur. Meski terkadang aku merasa wajib membela diri."Mungkin kamu yang kena hasut istri kamu, Gas! Ib
"Abang jamin semua itu, tolong jangan ragukan Abang lagi, Yang!" jelas suamiku."Aku cuma takut, Bang!" ketusku."Abang gak akan banyak bicara, pokoknya mau Abang buktikan aja sama kamu." Jawabnya.Suamiku terus memohon padaku untuk memercayainya. Ia tidak ingin aku meragukannya sedikit pun, tapi seharusnya ia memahami perasaanku, betapa aku trauma. Ada hal yang patut aku syukuri, yaitu dalang pelaku tabrak lari itu sudah diketahui, meski aku tak menyangka siapa dibalik layar drama kecelakaanku saat itu, aku tetap menyimpan sedikit curiga padanya, karena pernah satu ketika, Amy menerorku dengan panggilan selulernya yang tak kukenal, yang kukenal hanya suaranya. Aku sempat menepis semua dugaanku, tapi kali ini aku yakin bahwa penelepon gelap itu adalah Amy."Kanaya! Kamu dari tadi ngelamun terus, gak usah overthinking masalah Amy. Abang benar-benar sudah bertobat." Suamiku memelukku dengan mata yang berkaca-kaca seolah mengisyaratkan pengampunanku.Aku hanya mengangguk tanpa mengatak
Terima kasih, Pak! Saya ingin membuat sebuah pengakuan, saya yakin Bapak dan Ibu tahu siapa saya 'kan?" lelaki itu bertanya sambil menundukkan kepalanya seolah ia enggan mengangkat wajahnya. "Iya, saya masih ingat, anda yang melarikan diri saat saya kejar anda di rumah sakit sat itu!" jawab suamiku. "Uhm, Sa-saya ingin menyampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa yang memberi perintah pada saya untuk menabrak Ibu Kanaya adalah Bu Amy." Ungkapnya. "Amy?" gumamku terkejut. "Lalu yang mengirim pesan pribadi pada saya siapa? Yang memberitahu pada saya bahwa anda mendapat perintah untuk mencelakakan istri saya?" suamiku bertanya sambil menajamkan sorot matanya yang memerah menahan amarah. "Yang memberi pesan itu saya, Pak! Saya mohon maaf." Ujar Lelaki itu. "Sebenarnya saya ingin sekali melaporkan anda pada pihak yang berwajib, tapi saya belum punya cukup bukti." Jelas suamiku. "Tolong jangan laporkan saya, Pak! Saya punya anak yang masih bayi, saat itu saya bersedia menerima perintah Bu Am
"Mungkin mereka hanya mengira-ngira aja kalau itu mobil Bagas, Kak Hana bilang sama Ibu gak mungkin kalau itu mobil Kak Lana, soalnya di dalam mobilnya banyak barang Bagas dan Naya juga Ishana." "Jadi gitu? Mereka iri sama kamu, Gas! Bapak lihat sekarang kamu maju, jujur sama Bapak kamu kerja dimana sekarang?" tanya Bapak mertuaku. "Bagas buka refil parfum, Pak! Lumayan, sekarang penghasilannya melebihi gaji Bagas kemarin." Jawab suamiku. "Kenapa kamu rahasiakan kerjaan kamu, Gas?" tanya Bapak lagi. "Bagas gak mau, Ibu kak Hana, dan saudara Bagas yang lain, deket sama Bagas kalau ada keperluannya aja, Pak!" suamiku menundukkan kepalanya dengan raut merasa bersalahnya khawatir menyakiti perasaan Bapak. "Bapak tahu, kok! Bapak juga sering nasihatin Ibu sama saudara kamu, tapi mana mereka dengar, mereka malah balik memusuhi Bapak." Ungkap Bapak. "Iya, Pak! Gak apa-apa Bagas juga ngerti posisi Bapak." Jawab Bagaskara. Singkat cerita, acara aqiqah putra kami-Malik sudah dilaksanakan,