Semenjak saat itu hubunganku dengan mertua semakin renggang saja. Bukannya aku tak mau memperbaiki hubungan antar mertua dan menantu menjadi lebih baik, sempat ada usaha tapi sepertinya mertua membatasi untuk berinteraksi denganku.
"Kamu ada masalah lagi dengan Ibu?" tegur suamiku.
"Tidak," jawabku singkat, karena memang aku merasa tak ada masalah.
"Hana tolong! Orang tuaku tinggal Ibu saja, jadi tolong mengerti dia! Jangan bikin dia emosi dengan sikap kamu. Ibu ada riwayah hipertensi kalau dia terlalu stres dan emosi tidak baik untuk kesehatannya. Kamu mengerti bukan?"
Kutautkan kedua alis ini, aku tidak mengerti mengapa suamiku bisa berbicara seperti itu kepadaku. Padahal aku tidak pernah melakukan apapun kepada mertuaku.
"Maksud Mas apa? Membuat Ibu emosi seperti apa maksudnya, Mas?" tanyaku.
"Ibu bilang kamu kamu selalu membangkang, aku bosan setiap hari Ibu mengadu tentang sikapmu!" jelas Mas Ardan kepadaku.
Oh ternyata mertuaku telah mengadu kepada putranya. Astaga aku pikir hanya ibu tiri yang jahat kepada anak tirinya. Ternyata fitnah mertua lebih menyakitkan. Ku hela nafas ini pelan dan kembali menghembuksannya berlahan.
"Kau percaya Mas?"
"Tentu! Ibu adalah orang tuaku, tidak mungkin seorang Ibu membohongi putranya. Aku tau betul bagaiman Ibu Hana!" Bela Mas Ardan.
"Terserah kau saja Mas, silahkan jika kamu ingin percaya dengan apa yang kamu dengar tanpa ingin aku menjelaskannya!" Kulangkahkan kaki ini ke kamar, jujur aku mulai bosan kala suamiku membela ibunya.
Tak ada pembelaan, aku hanya ingin diam dan termenung.
Tring ... tring ...
Terdengar notif pesan dari ponsel Mas Ardan, sebenarnya tidak bermaksud untuk mencampuri tentang urusannya. Hanya saja ponsel itu sedari tadi tak berhentinya berbunyi di atas nakas.
"Siapa ya, ini 'kan hari libur kerja?" Monologku.
Segera ku raih ponselnya, ku baca sekilas pesan yang masuk kedalam ponsel Mas Ardan.
[Besok seperti biasa ya! (Emoticon love)]
Deg
Siapa dia? Ku lihat kembali hanya ada nama Anto disana, tidak mungkin jika laki-laki mengirim pesan terus di bumbui emot love di belakang pesannya? Apalagi pesan itu untuk sesama lelaki.
"Kamu buka-buka ponselku!"
Aku terperanjat, hampir saja ponsel yang aku pegang terlempar ke lantai untung tanganku dengan gesit menangkapnya.
"Haduh, hampir saja kamu merusakkannya. Kesinikan ponselku!" pinta Mas Ardan.
"Maaf Mas tidak sengaja," lirihku pelan.
"Lain kali jangan suka sembarangan ambil ponsel dan membukanya. Banyak file kerjaan yang aku simpan disini. Kau tau sendiri laptopku rusak karena ulah Adnan."
Ya, laptop Mas Ardan memang rusak, tanpa sengaja saat bermain kejar-kejaran Adnan menyenggol laptop yang ada di atas meja dan menjatuhkannya. Jangan di tanya bagaimana reaksi Mas Ardan, tentu marah besar.
"Maaf, tadi ada pesan. Itu memang Anto siapa Mas?" Ku beranikan diri ini untuk bertanya.
"Kamu itu ya? Sejak kapan sih kamu buka-buka privasiku? Lagi pula ini hanya teman cowok, namanya saja sudah Anto!" sahut suamiku dengan ketus.
"Iya Mas aku minta maaf!" kataku pelan.
Aku tidak mau memperpanjang masalahku, aku juga tidak ingin membuat suamiku merasa terpojok hanya karena sebuah chat dari seorang teman lelakinya.
Kami segera beranjak tidur, sengaja aku memakai selimut dan memejamkan mataku meki sebenarnya aku belum benar-benar mengantuk. Aku tidak tahan berpura-pura tidur, namun yang membuat heran saat aku membuka mata, kenapa dengan Mas Ardan?
"Kamu belum tidur Mas?" tanyaku.Mas Ardan seolah terkejut saat tiba-tiba aku bertanya. Ia segera menyumputkan ponselnya."Eh, kok kamu belum tidur? Emm ... ini balas chat teman untuk meeting besok. Tau sendiri pekerjaan sekarang ini sangat banyak," kilahnya."Kenapa panik begitu? Kau tidak sedang berbohong bukan?""Panik? Ee ... enggak. Aku hanya terkejut, aku pikir kamu tidur. Jangan nuduh-nuduh yang tidak-tidaklah Han!""Aku tidak menuduh Mas, sebaiknya kamu istirahat Mas, ini sudah malam. Kau bisa bicarakan besok lagi bersama temannmu!" Aku mebalikkan tubuhku membelakanginya.Entah kenapa aku tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan suamiku, ada yang menganjal direlung hatiku. Astaga, semoga saja suamiku masih bisa menjaga kepercayaan dan keutuhan rumah tangga kami.Pagi harinya seperti biasa aku melakukan aktivitasku dengan berkutat di dapur, anak-anak lambat kaun mulai mandiri. Mereka dapat menyiapkan keperluan mereka sendiri untuk kesekolahan."Sayang sarapan dulu, baru nan
Mas Ardan dan Amara telah berangkat sekolah, butuh waktu untuk meyakinkan Amara agar mau pergi bersama Ayahnya. Bukan aku tidak mau mengantar, sekolah Amara berlawan arah dengan Adnan tentu butuh biaya lebih lagi untuk bensin. Sedangkan sekolah Amara searah dengan Ayahnya.Pagi ini aku baru pulang dari mengantar Adnan, sekalian aku mampir di tempat-tempat tetangga yang ingin menggunakan jasaku untuk menyuci baju mereka."Bu Hana, saya pikir Ibu sudah tidak mau menyuci baju lagi.""Lho kenapa Bu? Kan, lumayan untuk tambah-tambah bumbu dapur," ucapku dengan senyum."Iya, soalya kemarin saya lihat Ibu di Mall belanja banyak. Saya pikir Pak Ardan dapat bonus besar jadi bisa belanja sebanyak itu.""Belanja? Kemarin saya tidak kemana-mana Bu bahkan saya sedang tidak enak badan di rumah," jelasku heran."Lho, beneran Bu? Tapi saya lihat pak Ardan sama wanita saya pikir itu Ibu Hana belanja banyak baget. Saya mau negur tapi kalian jalan cepat sekali saya tak sanggup mengejar," jelas Bu Lili.
Akhir-akhir ini Mas Ardan sering sekali pulang malam, biasanya jam lima ia sudah pulang. Tapi lebih heranku hari ini ia membawa seseorang masuk ke dalam rumah.Aku tengah mengajari putra dan putriku belajar di kamar karena mendengar suara seseorang aku segera keluar dan mencari tahu siapa yang datang."Itu dia Hana, maklum lah Relia dia ini hanya Ibu rumah tanggal yang tidak punya kesibukan apa pun jadi jam segini sudah tidur!" ucap mertuaku saat melihatku keluar dari kamar.Relia tersenyum menatapku, sahabatku sewaktu aku bekerja di kantor ini tersenyum hangat kepadaku. Ada kerinduan kepadanya, sudah sangat lama aku tak bertemu dengannya."Hana!" serunya."Relia," balasku.Kami pun saling berpelukan, aku baru sadar jika Relia datang bersama Mas Ardan. Tumben biasanya ia datang selalu sendiri."Kok kalian bisa barengan begini?" tanyaku heran."Aneh sekali sih Han 'kan kita satu kantor. Tentu bisa kita barengan," celetuk suamiku.Aku hanya ber 'oh' panjang. Ada rasa aneh tapi ya sudahl
"Kalian, seru amat kayaknya?" sindirku.Kedua manusia di dapur itu terkejut menatap ke arahku."Ah, em ... Hana, aku pikir kamu sedang beristirahat." Relia terlihat gugup.Aku memutar bola mataku, kulihat Mas Ardan seakan salah tingkah. Memang mereka tidak melakukan apa pun, tapi aku melihat ada hal yang jangal di sini. Kulihat mereka bercanda bergurau seperti sepasang kekasih."Han, anak-anak sudah tidur?" Mas Ardan seolah mengalihkanku."Sudah Mas," jawabku."Ya sudah aku mau menengok anak-anak sebentar. Kalian kalau mau ngobrol silahkan aku tau kalian saling merindukan." Mas Ardan menatap aku dan Relia bergantian kemudian tersenyum kearah sahabatku.Astaga ada apa ini, mengapa hatiku mendadak gundah?"Han, kita sudah lama tidak bertemu apa kau tidak ingin bercerita sesuatu kepadaku?" "Bercerita apa Rel, mmm ... ayo sebaiknya kita kedepan di ruang tamu mungkin," ajakku.Relia mengikutiku dan duduk di ruang tamu."Relia, kamu betah sekali menyendiri kau tidak ingin menikah lagi?" uc
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.
Mas Ardan benar-benar berubah, dia tidak lagi seperti dulu. Semenjak pindah di rumah ibu sekarang menjadi suami pemarah dan uring-uringan. Saya mengira jika ini semua karena pekerjaan. Saya tahu bekerja di kantor tempat Relia dan Mas Ardan saat ini tengah banyak pekerjaan. "Hana aku mengirimkan makanan untukmu dan juga keluarga. Aku telah mengirimkan melalui ojek online," ucap Relia di balik telepon. "Kamu mengirim makanan, untuk apa? Bahkan aku sudah memasak Re.""Saya hanya berbagi rejeki saja Han, mumpung libur dan saya memasak banyak di apartemen. Saya meminta Anda untuk membantu menghabiskan. Oh ya, aku juga mengirim seafood kesukaan Mas Ardan. Kau berikan padanya ya," imbuh Relia kembali. Kesukaan? Bahkan aku tidak pernah mengatakan apa yang disuka suamiku kepada orang lain termasuk Relia, bagaimana dirinya bisa tahu? "Apa Re, kesukaan Mas Ardan? Kamu tahu makanan kesukaan Mas Ardan?" tanyaku lembut. "Ah emm iya." Aku dapat menangkap suaranya yang tampak mencolok. Seanda
"Bu, Ibu belum ngasih uang ke Hana jadi ya Hana tidak ngasih uang setoran arisan sama Bu Lilis." Aku berkata terus terang kepada ibu.Sekalian biar ia sadar jika tidak bisa menindasku begitu saja."Huh! Kamu itu memang menantu pelit! Menyesal aku mengambil kamu sebagai menantuku, kamu tidak bisa bersikap baik kepada mertuamu!""Bu, uang pemberian Mas Ardan hanya untuk kebutuhan dapur dan anak-anak. Tidak untuk bersenang-senang makan di restoran bareng temen-temen!""Kamu! Berani ya kamu menfitnahku makan di restoran!" Aku tidak menfitnah, justru ini adakah kenyataanya. Aku sudah tau kebiasaan mertuaku ini."Aku tidak menfitnah Bu,""Huh, tidak mengmfitnah tapi menuduh!" ceplosnya.Aku hanya menghela nafas ini, aku lirik putraku setelah Neneknya pergi dari hadapanku."Bun, Nenek kenapa tiap hari marah-marah?" tanya putraku yang masih memeluk kaki kiriku karena takut neneknya berbicara lantang."Tidak marah Sayang, Nenek hanya tanya sesuatu sama Bunda. Kebetulan ngomongnya Nenek agak k
Aku melihat mertuaku terjatuh di lantai, dia mengaduh kesakitan karena kakinya terantuk kursi. "Aduhh!" Terdengar ibu mengaduh. "Ibu tidak apa-apa?" tanyaku. "Gundulmu itu, udah tau sakit masih tanya gak apa-apa? Hayo bantu Ibu!" Perintah ibu agar aku segera membantu mengangkatnya. Saya menurut saja, lagi kasihan juga jika saya tinggalkan dia. "Ibu kenapa bisa jatuh?" Saya kembali bertanya setelah ibu berhasil berdiri. "Ini gara-gara kursi sialan itu!" Ibu menunjuk kursi yang masih di tempatnya. "Hati-hatilah Bu makanya, masa kursi disalahkan." "Kamu itu ya, ini pasti kamu yang menaruh kursi itu!" Lho... aneh sekali mertuaku ini, kursi sudah dari kapan tau di sana kenapa baru sekarang dipermasalahkan? "Ibu sepertinya kurang istirahat, sebaiknya istirahat dulu Bu! Kursi itu sudah dari kemarin-kemarin di sini." Aku berbicara sambil menahan tawa. "Huh, ini semua gara-gara kamu!" Aku menggeleng pelan, heran dengan mertuaku ini. Seperti biasanya aku menjemput Adnan pukul 12.00
Pov HanaMataku membulat saat Mas Ardan memberikan beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Aku tidak tahu jika ia memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa kemarin saat ibunya marah karena tidak ada lauk dia diam saja."Tapi ...." Aku berpikir dari mana Mas Ardan mendapatkan uang. "Katanya tidak ada uang Mas, lha ini apa?"Dia hanya membisu tak menjawab."Gajimu naik? tapi kenapa jika gajimu naik kamu selalu memberiku uang pas-pasan bahkan untuk makan saja aku harus mencuci baju ke tempat tetangga!" imbuhku lagi.Mas Ardan hanya menjawab jika ia menyisihkan uangnya itu saja. Rasanya ada yang aneh, aku telah menghitung-hitung gaji mas Ardan
"Kalian, seru amat kayaknya?"Aku dan Relia sama-sama terkejut tapi aku berusaha setenang mungkin agar terlihat biasa saja di hadapan Hana.Aku menanyakan anakku kemudian meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar anak-anak agar mereka dapat berbicara. Tapi setelah keluar ternyata Relia sudah mau pulang. Ibu menyuruhku untuk mengantarkannya. Tentu dengan senang hati aku mengantarkan Relia pulang."Mas kamu berhutang penjelasan kepadaku!" kata Relia saat di dalam mobil."Hah?""Kenapa seperti terkejut begitu?" tanya Relia."Maksudmu apa Sayang, apa yang harus ku jelaskan kepadamu?""Dengan siapa saja kau berhubungan Mas?""Maksudmu apa Sayang?""Kau tidak hanya menjalin hubungan kepadaku, tapi dengan tetanggamu saja! Iya 'kan?" Pertanyaan Relia mampu membuatku terkejut.Dari mana Relia tau apa ia sengaja memata-mataiku?"Mana mungkin aku seperti itu. Jika denganmu saja sudah lebih dari cukup. Aku
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku