Mas Ardan dan Amara telah berangkat sekolah, butuh waktu untuk meyakinkan Amara agar mau pergi bersama Ayahnya. Bukan aku tidak mau mengantar, sekolah Amara berlawan arah dengan Adnan tentu butuh biaya lebih lagi untuk bensin. Sedangkan sekolah Amara searah dengan Ayahnya.
Pagi ini aku baru pulang dari mengantar Adnan, sekalian aku mampir di tempat-tempat tetangga yang ingin menggunakan jasaku untuk menyuci baju mereka.
"Bu Hana, saya pikir Ibu sudah tidak mau menyuci baju lagi."
"Lho kenapa Bu? Kan, lumayan untuk tambah-tambah bumbu dapur," ucapku dengan senyum.
"Iya, soalya kemarin saya lihat Ibu di Mall belanja banyak. Saya pikir Pak Ardan dapat bonus besar jadi bisa belanja sebanyak itu."
"Belanja? Kemarin saya tidak kemana-mana Bu bahkan saya sedang tidak enak badan di rumah," jelasku heran.
"Lho, beneran Bu? Tapi saya lihat pak Ardan sama wanita saya pikir itu Ibu Hana belanja banyak baget. Saya mau negur tapi kalian jalan cepat sekali saya tak sanggup mengejar," jelas Bu Lili.
Duar
Rasanya hatiku bergemuruh. Apa benar yang di ucapkan Bu Lili tetanggaku? Lagi-lagi aku butuh penjelasan dari Mas Ardan mengenai ini tapi ....
'Ah, mungkin Bu Lili salah lihat,' batinku mencoba berfikir positif.
"Bu, Bu Hana tidak apa-apa? Maaf ya Bu kalau saya salah berucap, mungkin kemarin itu saya salah lihat." Bu Lili mengusap lenganku.
"Iya Bu, mungkin Bu Lili salah lihat. Tidak mungkin juga Mas Ardan karena seharian kemarin bekerja dan pulang agak malam karena lembur."
"Iya ya Bu maaf ya," ucapnya dengan wajah bersalah.
Segera pulang kerumah karena cucian sudah menumpuk banyak dan ingin cepat menyelesaikannya.
Semampainya di rumah ku lihat mertuaku telah berkacak pinggang menunggu kepulanganku di ddpan pintu.
"Assalamualaikum," salamku.
"Walaikumsalam," sahut ibu mertua ketus. "Ini kerjaanmu bukan?"
Mertua melemparkan sepotong baju ke arahku.
"Apa ini Bu?"
"Masih banyak tanya, itu kamu yang nyuci bukan? Bagaimana bisa kena luntur seperti itu? Kamu tahu, itu baju kesayanganku yang beliin Ardan, anakku!" seru ibu tepat di depanku.
"Maaf Bu, aku tidak tahu. Sepertinya kemarin belum kelunturan. Pasti aku pisah Bu mana baju yang mudah luntur mana yang tidak," timpalku.
"Alasan saja kamu! Bilang saja kamu itu iri karena bulan lalu Ardan membelikan baju untukku. Sedang kamu tidak, jelas saja Ardan tidak membelikan apapun untukmu, kamunya sekarang pandai melawan seperti ini. Ardan pasti sebal kepadamu lama-lama!"
Aku sendiri hanya bisa mengelus dada saat mertua terus berbicara tidak ada ujung . Setelah puas mengomel ibu segera berlalu ke kamarnya entah apa yang akan di lakukannya, aku tidak perduli saat ini hanya mau mencuci pakaian agar aku bisa segera menjemurnya.
"Iya Bu memang Hana ini sekarang pelit sekali, baru bisa kerja jadi tukang cuci saja sudah belagu sekali. Saya itu sampai kasian sama Ardan tiap hari banting tulang cari uang tapi apa, uangnya tidak pernah ngumpul. Dikemanakan coba Bu sama istrinya? Makan saja cuma itu-itu saja padahal. Saya sampai binggung bagaimana harus menasehatinya."
Aku mendengar suara itu saat tengah menjemur di samping rumah jelas itu suara ibu lalu dengan siapa dia berbicara?
"Astaghfirullah, tega sekali ibu mertuaku menjelek-jelekkanku di depan para tetangga," gumanku saat tau di sana ada Bu Lasmi dan Bu Rini.
"Ah, masa sih Bu, Hana seperti itu? Bukannya dia itu menantu yang baik ya Bu?" sahut Bu Lasmi.
"Mungkin ada benarnya Bu, kadang apa yang kita lihat belum tentu itu yang benar. Contohnya seperti Hana ini," sanggah Bu Rini.
"Tuh, Bu Lasmi. Bu Rini saja tahu, tidak yang semua kita lihat ini benar. Memang menantu saya ini kelihatanya aja baik tapi di rumah berdua dengan saya jadi pembangkang. Kalau ada suaminya baiknya minta ampun giliran suaminya pergi hmmm ...."
"Ya ampun Bu, kasihan sekali jadi Ibu kalau itu benar terjadi," celetuk Bu Lasmi.
"Ya benarlah Bu, masa iya saya berbohong," kilah ibu.
Huh, sebal rasanya difitnah seperti ini. Apalagi yang menfitnah kita adalah mertua kita sendiri. Lihatlah Bu kau akan menyesal telah menghina dan menfitnah menantumu sendiri!
Akhir-akhir ini Mas Ardan sering sekali pulang malam, biasanya jam lima ia sudah pulang. Tapi lebih heranku hari ini ia membawa seseorang masuk ke dalam rumah.Aku tengah mengajari putra dan putriku belajar di kamar karena mendengar suara seseorang aku segera keluar dan mencari tahu siapa yang datang."Itu dia Hana, maklum lah Relia dia ini hanya Ibu rumah tanggal yang tidak punya kesibukan apa pun jadi jam segini sudah tidur!" ucap mertuaku saat melihatku keluar dari kamar.Relia tersenyum menatapku, sahabatku sewaktu aku bekerja di kantor ini tersenyum hangat kepadaku. Ada kerinduan kepadanya, sudah sangat lama aku tak bertemu dengannya."Hana!" serunya."Relia," balasku.Kami pun saling berpelukan, aku baru sadar jika Relia datang bersama Mas Ardan. Tumben biasanya ia datang selalu sendiri."Kok kalian bisa barengan begini?" tanyaku heran."Aneh sekali sih Han 'kan kita satu kantor. Tentu bisa kita barengan," celetuk suamiku.Aku hanya ber 'oh' panjang. Ada rasa aneh tapi ya sudahl
"Kalian, seru amat kayaknya?" sindirku.Kedua manusia di dapur itu terkejut menatap ke arahku."Ah, em ... Hana, aku pikir kamu sedang beristirahat." Relia terlihat gugup.Aku memutar bola mataku, kulihat Mas Ardan seakan salah tingkah. Memang mereka tidak melakukan apa pun, tapi aku melihat ada hal yang jangal di sini. Kulihat mereka bercanda bergurau seperti sepasang kekasih."Han, anak-anak sudah tidur?" Mas Ardan seolah mengalihkanku."Sudah Mas," jawabku."Ya sudah aku mau menengok anak-anak sebentar. Kalian kalau mau ngobrol silahkan aku tau kalian saling merindukan." Mas Ardan menatap aku dan Relia bergantian kemudian tersenyum kearah sahabatku.Astaga ada apa ini, mengapa hatiku mendadak gundah?"Han, kita sudah lama tidak bertemu apa kau tidak ingin bercerita sesuatu kepadaku?" "Bercerita apa Rel, mmm ... ayo sebaiknya kita kedepan di ruang tamu mungkin," ajakku.Relia mengikutiku dan duduk di ruang tamu."Relia, kamu betah sekali menyendiri kau tidak ingin menikah lagi?" uc
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.
"Kalian, seru amat kayaknya?"Aku dan Relia sama-sama terkejut tapi aku berusaha setenang mungkin agar terlihat biasa saja di hadapan Hana.Aku menanyakan anakku kemudian meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar anak-anak agar mereka dapat berbicara. Tapi setelah keluar ternyata Relia sudah mau pulang. Ibu menyuruhku untuk mengantarkannya. Tentu dengan senang hati aku mengantarkan Relia pulang."Mas kamu berhutang penjelasan kepadaku!" kata Relia saat di dalam mobil."Hah?""Kenapa seperti terkejut begitu?" tanya Relia."Maksudmu apa Sayang, apa yang harus ku jelaskan kepadamu?""Dengan siapa saja kau berhubungan Mas?""Maksudmu apa Sayang?""Kau tidak hanya menjalin hubungan kepadaku, tapi dengan tetanggamu saja! Iya 'kan?" Pertanyaan Relia mampu membuatku terkejut.Dari mana Relia tau apa ia sengaja memata-mataiku?"Mana mungkin aku seperti itu. Jika denganmu saja sudah lebih dari cukup. Aku
Pov HanaMataku membulat saat Mas Ardan memberikan beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Aku tidak tahu jika ia memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa kemarin saat ibunya marah karena tidak ada lauk dia diam saja."Tapi ...." Aku berpikir dari mana Mas Ardan mendapatkan uang. "Katanya tidak ada uang Mas, lha ini apa?"Dia hanya membisu tak menjawab."Gajimu naik? tapi kenapa jika gajimu naik kamu selalu memberiku uang pas-pasan bahkan untuk makan saja aku harus mencuci baju ke tempat tetangga!" imbuhku lagi.Mas Ardan hanya menjawab jika ia menyisihkan uangnya itu saja. Rasanya ada yang aneh, aku telah menghitung-hitung gaji mas Ardan
Mas Ardan benar-benar berubah, dia tidak lagi seperti dulu. Semenjak pindah di rumah ibu sekarang menjadi suami pemarah dan uring-uringan. Saya mengira jika ini semua karena pekerjaan. Saya tahu bekerja di kantor tempat Relia dan Mas Ardan saat ini tengah banyak pekerjaan. "Hana aku mengirimkan makanan untukmu dan juga keluarga. Aku telah mengirimkan melalui ojek online," ucap Relia di balik telepon. "Kamu mengirim makanan, untuk apa? Bahkan aku sudah memasak Re.""Saya hanya berbagi rejeki saja Han, mumpung libur dan saya memasak banyak di apartemen. Saya meminta Anda untuk membantu menghabiskan. Oh ya, aku juga mengirim seafood kesukaan Mas Ardan. Kau berikan padanya ya," imbuh Relia kembali. Kesukaan? Bahkan aku tidak pernah mengatakan apa yang disuka suamiku kepada orang lain termasuk Relia, bagaimana dirinya bisa tahu? "Apa Re, kesukaan Mas Ardan? Kamu tahu makanan kesukaan Mas Ardan?" tanyaku lembut. "Ah emm iya." Aku dapat menangkap suaranya yang tampak mencolok. Seanda
"Bu, Ibu belum ngasih uang ke Hana jadi ya Hana tidak ngasih uang setoran arisan sama Bu Lilis." Aku berkata terus terang kepada ibu.Sekalian biar ia sadar jika tidak bisa menindasku begitu saja."Huh! Kamu itu memang menantu pelit! Menyesal aku mengambil kamu sebagai menantuku, kamu tidak bisa bersikap baik kepada mertuamu!""Bu, uang pemberian Mas Ardan hanya untuk kebutuhan dapur dan anak-anak. Tidak untuk bersenang-senang makan di restoran bareng temen-temen!""Kamu! Berani ya kamu menfitnahku makan di restoran!" Aku tidak menfitnah, justru ini adakah kenyataanya. Aku sudah tau kebiasaan mertuaku ini."Aku tidak menfitnah Bu,""Huh, tidak mengmfitnah tapi menuduh!" ceplosnya.Aku hanya menghela nafas ini, aku lirik putraku setelah Neneknya pergi dari hadapanku."Bun, Nenek kenapa tiap hari marah-marah?" tanya putraku yang masih memeluk kaki kiriku karena takut neneknya berbicara lantang."Tidak marah Sayang, Nenek hanya tanya sesuatu sama Bunda. Kebetulan ngomongnya Nenek agak k
Aku melihat mertuaku terjatuh di lantai, dia mengaduh kesakitan karena kakinya terantuk kursi. "Aduhh!" Terdengar ibu mengaduh. "Ibu tidak apa-apa?" tanyaku. "Gundulmu itu, udah tau sakit masih tanya gak apa-apa? Hayo bantu Ibu!" Perintah ibu agar aku segera membantu mengangkatnya. Saya menurut saja, lagi kasihan juga jika saya tinggalkan dia. "Ibu kenapa bisa jatuh?" Saya kembali bertanya setelah ibu berhasil berdiri. "Ini gara-gara kursi sialan itu!" Ibu menunjuk kursi yang masih di tempatnya. "Hati-hatilah Bu makanya, masa kursi disalahkan." "Kamu itu ya, ini pasti kamu yang menaruh kursi itu!" Lho... aneh sekali mertuaku ini, kursi sudah dari kapan tau di sana kenapa baru sekarang dipermasalahkan? "Ibu sepertinya kurang istirahat, sebaiknya istirahat dulu Bu! Kursi itu sudah dari kemarin-kemarin di sini." Aku berbicara sambil menahan tawa. "Huh, ini semua gara-gara kamu!" Aku menggeleng pelan, heran dengan mertuaku ini. Seperti biasanya aku menjemput Adnan pukul 12.00
Pov HanaMataku membulat saat Mas Ardan memberikan beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Aku tidak tahu jika ia memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa kemarin saat ibunya marah karena tidak ada lauk dia diam saja."Tapi ...." Aku berpikir dari mana Mas Ardan mendapatkan uang. "Katanya tidak ada uang Mas, lha ini apa?"Dia hanya membisu tak menjawab."Gajimu naik? tapi kenapa jika gajimu naik kamu selalu memberiku uang pas-pasan bahkan untuk makan saja aku harus mencuci baju ke tempat tetangga!" imbuhku lagi.Mas Ardan hanya menjawab jika ia menyisihkan uangnya itu saja. Rasanya ada yang aneh, aku telah menghitung-hitung gaji mas Ardan
"Kalian, seru amat kayaknya?"Aku dan Relia sama-sama terkejut tapi aku berusaha setenang mungkin agar terlihat biasa saja di hadapan Hana.Aku menanyakan anakku kemudian meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar anak-anak agar mereka dapat berbicara. Tapi setelah keluar ternyata Relia sudah mau pulang. Ibu menyuruhku untuk mengantarkannya. Tentu dengan senang hati aku mengantarkan Relia pulang."Mas kamu berhutang penjelasan kepadaku!" kata Relia saat di dalam mobil."Hah?""Kenapa seperti terkejut begitu?" tanya Relia."Maksudmu apa Sayang, apa yang harus ku jelaskan kepadamu?""Dengan siapa saja kau berhubungan Mas?""Maksudmu apa Sayang?""Kau tidak hanya menjalin hubungan kepadaku, tapi dengan tetanggamu saja! Iya 'kan?" Pertanyaan Relia mampu membuatku terkejut.Dari mana Relia tau apa ia sengaja memata-mataiku?"Mana mungkin aku seperti itu. Jika denganmu saja sudah lebih dari cukup. Aku
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku