Pov Hana
Mataku membulat saat Mas Ardan memberikan beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Aku tidak tahu jika ia memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa kemarin saat ibunya marah karena tidak ada lauk dia diam saja.
"Tapi ...." Aku berpikir dari mana Mas Ardan mendapatkan uang. "Katanya tidak ada uang Mas, lha ini apa?"
Dia hanya membisu tak menjawab.
"Gajimu naik? tapi kenapa jika gajimu naik kamu selalu memberiku uang pas-pasan bahkan untuk makan saja aku harus mencuci baju ke tempat tetangga!" imbuhku lagi.
Mas Ardan hanya menjawab jika ia menyisihkan uangnya itu saja. Rasanya ada yang aneh, aku telah menghitung-hitung gaji mas Ardan
Aku melihat mertuaku terjatuh di lantai, dia mengaduh kesakitan karena kakinya terantuk kursi. "Aduhh!" Terdengar ibu mengaduh. "Ibu tidak apa-apa?" tanyaku. "Gundulmu itu, udah tau sakit masih tanya gak apa-apa? Hayo bantu Ibu!" Perintah ibu agar aku segera membantu mengangkatnya. Saya menurut saja, lagi kasihan juga jika saya tinggalkan dia. "Ibu kenapa bisa jatuh?" Saya kembali bertanya setelah ibu berhasil berdiri. "Ini gara-gara kursi sialan itu!" Ibu menunjuk kursi yang masih di tempatnya. "Hati-hatilah Bu makanya, masa kursi disalahkan." "Kamu itu ya, ini pasti kamu yang menaruh kursi itu!" Lho... aneh sekali mertuaku ini, kursi sudah dari kapan tau di sana kenapa baru sekarang dipermasalahkan? "Ibu sepertinya kurang istirahat, sebaiknya istirahat dulu Bu! Kursi itu sudah dari kemarin-kemarin di sini." Aku berbicara sambil menahan tawa. "Huh, ini semua gara-gara kamu!" Aku menggeleng pelan, heran dengan mertuaku ini. Seperti biasanya aku menjemput Adnan pukul 12.00
"Bu, Ibu belum ngasih uang ke Hana jadi ya Hana tidak ngasih uang setoran arisan sama Bu Lilis." Aku berkata terus terang kepada ibu.Sekalian biar ia sadar jika tidak bisa menindasku begitu saja."Huh! Kamu itu memang menantu pelit! Menyesal aku mengambil kamu sebagai menantuku, kamu tidak bisa bersikap baik kepada mertuamu!""Bu, uang pemberian Mas Ardan hanya untuk kebutuhan dapur dan anak-anak. Tidak untuk bersenang-senang makan di restoran bareng temen-temen!""Kamu! Berani ya kamu menfitnahku makan di restoran!" Aku tidak menfitnah, justru ini adakah kenyataanya. Aku sudah tau kebiasaan mertuaku ini."Aku tidak menfitnah Bu,""Huh, tidak mengmfitnah tapi menuduh!" ceplosnya.Aku hanya menghela nafas ini, aku lirik putraku setelah Neneknya pergi dari hadapanku."Bun, Nenek kenapa tiap hari marah-marah?" tanya putraku yang masih memeluk kaki kiriku karena takut neneknya berbicara lantang."Tidak marah Sayang, Nenek hanya tanya sesuatu sama Bunda. Kebetulan ngomongnya Nenek agak k
Mas Ardan benar-benar berubah, dia tidak lagi seperti dulu. Semenjak pindah di rumah ibu sekarang menjadi suami pemarah dan uring-uringan. Saya mengira jika ini semua karena pekerjaan. Saya tahu bekerja di kantor tempat Relia dan Mas Ardan saat ini tengah banyak pekerjaan. "Hana aku mengirimkan makanan untukmu dan juga keluarga. Aku telah mengirimkan melalui ojek online," ucap Relia di balik telepon. "Kamu mengirim makanan, untuk apa? Bahkan aku sudah memasak Re.""Saya hanya berbagi rejeki saja Han, mumpung libur dan saya memasak banyak di apartemen. Saya meminta Anda untuk membantu menghabiskan. Oh ya, aku juga mengirim seafood kesukaan Mas Ardan. Kau berikan padanya ya," imbuh Relia kembali. Kesukaan? Bahkan aku tidak pernah mengatakan apa yang disuka suamiku kepada orang lain termasuk Relia, bagaimana dirinya bisa tahu? "Apa Re, kesukaan Mas Ardan? Kamu tahu makanan kesukaan Mas Ardan?" tanyaku lembut. "Ah emm iya." Aku dapat menangkap suaranya yang tampak mencolok. Seanda
Prang"Ini apa-apaan ini, tiap hari makannya seperti ini! Kamu kira aku ini kambing tiap hari makan daun-daunan terus?" Aku terkejut kala Bu Ratmi, ibu mertuaku membanting piring berisi sayur bayam tepat di depanku."Kamu memang nggak becus jadi istri, pantas saja cucuku dikit-dikit masuk angin, makan saja tiap hari seperti ini. Paling mentok tahu tempe sudah kau anggap makanan enak. Padahal tiap hari putraku selalu bekerja, kau kemanakan upah putraku selama ini?" teriak mertuaku sekali lagi.Sungguh aku sangat malu jika teriakannya di dengar oleh tetangga. Bukan karena aku pelit, tiap hari hanya mengolah makanan yang itu-itu saja. Ini lantaran ekonomi kita yang sulit. Mertuaku tidak mengetahui jika suamiku tengah di PHK dan kebutuhan semakin membengkak. Memang saat ini suami telah kembali bekerja. Itupun karena kebaikan dari sahabatku mau memasukan suamiku di kantor tempat kerjaku dulu.Relia telah berbaik hati mencarikan pekerjaan untuk suamiku meski hanya sebagai karyawan biasa,
Anak-anakku hanya menatap iba kepadaku setiap Neneknya mengomeliku. Aku memiliki dua orang anak berusia tujuh tahun dan lima tahun. Beruntung kedua anakku pengertian dan menyayangiku."Sabar ya Bun, apa Bunda punya uang biar aku saja yang belikan gula di warung Bu Las?" Aku tersenyum sembari berbisik. "Besok saja, biar Bunda yang belikan. Ajak adikkmu Adnan bermain di kamar ya!" Aku berkata lembut kepada putriku.Bukan aku tidak mau memberi uang dan membelikan gula, lagi-lagi karena aku harus mengirit biaya pengeluaran yang aku anggap tidak perlu. Uangku tinggal selembar biru, dan aku masih menunggu satu minggu lagi untuk Mas Ardan gajian. Ah rasanya aku benar-benar tidak tahan, rasanya ingin sekali aku mengulang masa mudaku bekerja tanpa mengenal lelah dan membelanjakan gajiku sesukaku. Sekarang aku hanya bergantung dengan hasil suamiku yang tidak seberapa. Itu pun harus mendengar ocehan mertuaku yang bawel."Bun, aku lupa memberitahu jika uang bulanan sekolah harus dibayar bulan i
Nah lagi-lagi mertuaku berdusta, tidak mungkin untuk uang listrik karena aku yakin benar belum lama ini aku telah membelinya, dan ia tahu itu."Sudah kalau ada uang bayar dulu!" perintahnya.Pak RT hanya menatapku tanpa banyak berbicara."Tapi Hana tak lagi pegang uang, Bu." "Hah, maaf ya Pak RT. Menantu saya ini memang suka begini. Dia memang perhitungan dan sangat pelit. Padahal baru tadi diberi uang suaminya. Ya sudah nanti saya mintakan sama Ardan dan antar ketempat Pak RT."DegLagi-lagi mertua menfitnahku, aku melotot tak percaya jika mertuaku menuduhku di depan tetangga."Baik kalau begitu Bu, saya permisi dulu!" Pak RT segera pergi meninggalkan pintu rumah kami.Dengan senyum mertuaku menyambut hangat kepergian Pak Rt tapi seketika tatapannya tertuju kepadaku dan berubah sengit."Heh, kenapa melotot begitu?""Kenapa Ibu berbohong?""Bohong apa?""Tentang uang itu? Tidak mungkin Ibu beli token karena baru beberapa hari aku beli dan tidak mungkin habis dalam sekejap Bu!" Aku mu
Semenjak saat itu hubunganku dengan mertua semakin renggang saja. Bukannya aku tak mau memperbaiki hubungan antar mertua dan menantu menjadi lebih baik, sempat ada usaha tapi sepertinya mertua membatasi untuk berinteraksi denganku."Kamu ada masalah lagi dengan Ibu?" tegur suamiku."Tidak," jawabku singkat, karena memang aku merasa tak ada masalah."Hana tolong! Orang tuaku tinggal Ibu saja, jadi tolong mengerti dia! Jangan bikin dia emosi dengan sikap kamu. Ibu ada riwayah hipertensi kalau dia terlalu stres dan emosi tidak baik untuk kesehatannya. Kamu mengerti bukan?" Kutautkan kedua alis ini, aku tidak mengerti mengapa suamiku bisa berbicara seperti itu kepadaku. Padahal aku tidak pernah melakukan apapun kepada mertuaku."Maksud Mas apa? Membuat Ibu emosi seperti apa maksudnya, Mas?" tanyaku."Ibu bilang kamu kamu selalu membangkang, aku bosan setiap hari Ibu mengadu tentang sikapmu!" jelas Mas Ardan kepadaku.Oh ternyata mertuaku telah mengadu kepada putranya. Astaga aku pikir ha
"Kamu belum tidur Mas?" tanyaku.Mas Ardan seolah terkejut saat tiba-tiba aku bertanya. Ia segera menyumputkan ponselnya."Eh, kok kamu belum tidur? Emm ... ini balas chat teman untuk meeting besok. Tau sendiri pekerjaan sekarang ini sangat banyak," kilahnya."Kenapa panik begitu? Kau tidak sedang berbohong bukan?""Panik? Ee ... enggak. Aku hanya terkejut, aku pikir kamu tidur. Jangan nuduh-nuduh yang tidak-tidaklah Han!""Aku tidak menuduh Mas, sebaiknya kamu istirahat Mas, ini sudah malam. Kau bisa bicarakan besok lagi bersama temannmu!" Aku mebalikkan tubuhku membelakanginya.Entah kenapa aku tidak bisa percaya begitu saja dengan ucapan suamiku, ada yang menganjal direlung hatiku. Astaga, semoga saja suamiku masih bisa menjaga kepercayaan dan keutuhan rumah tangga kami.Pagi harinya seperti biasa aku melakukan aktivitasku dengan berkutat di dapur, anak-anak lambat kaun mulai mandiri. Mereka dapat menyiapkan keperluan mereka sendiri untuk kesekolahan."Sayang sarapan dulu, baru nan
Mas Ardan benar-benar berubah, dia tidak lagi seperti dulu. Semenjak pindah di rumah ibu sekarang menjadi suami pemarah dan uring-uringan. Saya mengira jika ini semua karena pekerjaan. Saya tahu bekerja di kantor tempat Relia dan Mas Ardan saat ini tengah banyak pekerjaan. "Hana aku mengirimkan makanan untukmu dan juga keluarga. Aku telah mengirimkan melalui ojek online," ucap Relia di balik telepon. "Kamu mengirim makanan, untuk apa? Bahkan aku sudah memasak Re.""Saya hanya berbagi rejeki saja Han, mumpung libur dan saya memasak banyak di apartemen. Saya meminta Anda untuk membantu menghabiskan. Oh ya, aku juga mengirim seafood kesukaan Mas Ardan. Kau berikan padanya ya," imbuh Relia kembali. Kesukaan? Bahkan aku tidak pernah mengatakan apa yang disuka suamiku kepada orang lain termasuk Relia, bagaimana dirinya bisa tahu? "Apa Re, kesukaan Mas Ardan? Kamu tahu makanan kesukaan Mas Ardan?" tanyaku lembut. "Ah emm iya." Aku dapat menangkap suaranya yang tampak mencolok. Seanda
"Bu, Ibu belum ngasih uang ke Hana jadi ya Hana tidak ngasih uang setoran arisan sama Bu Lilis." Aku berkata terus terang kepada ibu.Sekalian biar ia sadar jika tidak bisa menindasku begitu saja."Huh! Kamu itu memang menantu pelit! Menyesal aku mengambil kamu sebagai menantuku, kamu tidak bisa bersikap baik kepada mertuamu!""Bu, uang pemberian Mas Ardan hanya untuk kebutuhan dapur dan anak-anak. Tidak untuk bersenang-senang makan di restoran bareng temen-temen!""Kamu! Berani ya kamu menfitnahku makan di restoran!" Aku tidak menfitnah, justru ini adakah kenyataanya. Aku sudah tau kebiasaan mertuaku ini."Aku tidak menfitnah Bu,""Huh, tidak mengmfitnah tapi menuduh!" ceplosnya.Aku hanya menghela nafas ini, aku lirik putraku setelah Neneknya pergi dari hadapanku."Bun, Nenek kenapa tiap hari marah-marah?" tanya putraku yang masih memeluk kaki kiriku karena takut neneknya berbicara lantang."Tidak marah Sayang, Nenek hanya tanya sesuatu sama Bunda. Kebetulan ngomongnya Nenek agak k
Aku melihat mertuaku terjatuh di lantai, dia mengaduh kesakitan karena kakinya terantuk kursi. "Aduhh!" Terdengar ibu mengaduh. "Ibu tidak apa-apa?" tanyaku. "Gundulmu itu, udah tau sakit masih tanya gak apa-apa? Hayo bantu Ibu!" Perintah ibu agar aku segera membantu mengangkatnya. Saya menurut saja, lagi kasihan juga jika saya tinggalkan dia. "Ibu kenapa bisa jatuh?" Saya kembali bertanya setelah ibu berhasil berdiri. "Ini gara-gara kursi sialan itu!" Ibu menunjuk kursi yang masih di tempatnya. "Hati-hatilah Bu makanya, masa kursi disalahkan." "Kamu itu ya, ini pasti kamu yang menaruh kursi itu!" Lho... aneh sekali mertuaku ini, kursi sudah dari kapan tau di sana kenapa baru sekarang dipermasalahkan? "Ibu sepertinya kurang istirahat, sebaiknya istirahat dulu Bu! Kursi itu sudah dari kemarin-kemarin di sini." Aku berbicara sambil menahan tawa. "Huh, ini semua gara-gara kamu!" Aku menggeleng pelan, heran dengan mertuaku ini. Seperti biasanya aku menjemput Adnan pukul 12.00
Pov HanaMataku membulat saat Mas Ardan memberikan beberapa lembar uang bergambar Soekarno-Hatta. Aku tidak tahu jika ia memiliki uang sebanyak itu, lalu kenapa kemarin saat ibunya marah karena tidak ada lauk dia diam saja."Tapi ...." Aku berpikir dari mana Mas Ardan mendapatkan uang. "Katanya tidak ada uang Mas, lha ini apa?"Dia hanya membisu tak menjawab."Gajimu naik? tapi kenapa jika gajimu naik kamu selalu memberiku uang pas-pasan bahkan untuk makan saja aku harus mencuci baju ke tempat tetangga!" imbuhku lagi.Mas Ardan hanya menjawab jika ia menyisihkan uangnya itu saja. Rasanya ada yang aneh, aku telah menghitung-hitung gaji mas Ardan
"Kalian, seru amat kayaknya?"Aku dan Relia sama-sama terkejut tapi aku berusaha setenang mungkin agar terlihat biasa saja di hadapan Hana.Aku menanyakan anakku kemudian meninggalkan mereka berdua masuk ke kamar anak-anak agar mereka dapat berbicara. Tapi setelah keluar ternyata Relia sudah mau pulang. Ibu menyuruhku untuk mengantarkannya. Tentu dengan senang hati aku mengantarkan Relia pulang."Mas kamu berhutang penjelasan kepadaku!" kata Relia saat di dalam mobil."Hah?""Kenapa seperti terkejut begitu?" tanya Relia."Maksudmu apa Sayang, apa yang harus ku jelaskan kepadamu?""Dengan siapa saja kau berhubungan Mas?""Maksudmu apa Sayang?""Kau tidak hanya menjalin hubungan kepadaku, tapi dengan tetanggamu saja! Iya 'kan?" Pertanyaan Relia mampu membuatku terkejut.Dari mana Relia tau apa ia sengaja memata-mataiku?"Mana mungkin aku seperti itu. Jika denganmu saja sudah lebih dari cukup. Aku
Kami pun segera melangkah keluar dari restoran setelah selesai membayar. Dengan bergandengan tangan layaknya abege yang tengah jatuh cinta kembali. Aku merasakan jatuh cinta kembali dengan Relia."Kau akan langsung pulang Mas?" tanya Relia tepat di depan pintu apartemennya."Maumu bagaimana?" Aku berbalik bertanya.Relia membenahi kemejaku yang masih rapi."Sebenarnya aku masih mau denganmu Mas, temani aku sebentar saja!" pintanya dengan manja.Entah angin apa tiba-tiba saja aku menurut dan ikut masuk ke apartemennya sedangkan Relia bergelayut manja di lenganku.
"Ada apa sih Mas? Memangnya siapa tadi?" Relia bertanya-tanya."Dia tetangga, aku takut jika dia tahu kamu bukan Hana. Nanti akan runyam, belum saatnya orang rumah tau hubungan kita," terangku.Relia hanya mengangguk, ada wajah kesedihan di sana. Aku tahu dia mencintaiku dan berharap hubungan kita lebih dari ini. Ternyata tidak sulit untukku menaklukkan hati seorang Relia."Maaf Sayang kita harus pulang lebih cepat rupanya," ujarku."Baiklah."Kami segera masuk ke dalam mobil, dan tanpa aba-aba kulajukan mobilku pelan.Relia bersandar di jok mobil samping kemudi. Kulihat sekilas wajahnya yang muram.
POV ArdanSebal rasanya setiap pulang kerumah mendengar ibu yang mengadu mengenai tingkah Hana. Memang Hana makin kesini makin berubah semenjak aku diberhentikan kerja dan pindah bekerja di kantor tempat Relia bekerja.Hana sering kali uring-uringan lagi-lagi karena uang penyebabnya. "Mas Ardan kenapa terlihat muram?" sapa Relia saat masuk ke ruanganku."Rel ..., nggak aku sedang pusing saja. Hana makin kesini makin berubah ditambah sekarang tidak akur dengan Ibu membuatku pusing.""Hana seperti itu Mas?" Ku anggukkan kepalaku pelan."Entah Rel, dia seperti ini semenjak aku diPHK dari kantorku sebelumnya. Uang sepertinya kurang terus padahal gaji dari sini sudah kuberikan untuknya. Memang tidak semua bisa kuberikan, namanya juga aku butuh uang bensin belum lagi jatah untuk Ibu. Tentu Hana tak mendapat sebanyak seperti dulu.""Sabar ya Mas!" Relia meraih tangannku dan mengusapnya.Ku rasakan aliran darahku mengalir sangat deras. Entah perasaan apa ini, aku merasa kehadiran Relia sang
Sudah malam dan Mas Ardan belum juga pulang. Aku lirik jam yang ada di ponselku sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Aku semakin khawatir takut terjadi sesuatu kepada suamiku."Ngapain sih mondar mandir di situ?" tanya mertuaku yang keluar dari kamarnya."Aku menunggu Mas Ardan Bu, suamiku belum pulang.""Kamu ada ponsel? Kamu tinggal telpon dia tanya keberadaanya apa susahnya? Ngapain harus mondar mandir kaya setlikaan, bikin sakit mata saja!" celetuk mertua.Aku hanya diam, kuraih ponselku dan mencoba menghubungi suamiku lagi. Masih sama tidak ada jawaban. "Sudah, mending kamu tidur saja. Nanti juga pulang sendiri kalau waktunya pulang!"Lagi-lagi aku diam, melihat aku tak meresponnya mertuaku langsung masuk kamarnya dengan bibir yang tersungut.BremmmKudengar mobil terparkir di halaman rumah segera ku intip memastikan apakah itu benar suamiku."Dari mana saja kau Mas? Apakah mengantar Relia sampai dini hari begini, seberapa jauh rumah Relia sampai kau baru pulang?" berondongku