Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka.
"Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry.
Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil.
"Duduklah!" perintah Liam.
Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam.
"Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos.
"Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam.
Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya.
"Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya.
"Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?"
Merry mengangguk masih kebingungan.
"Kamu pikir saya bisa memakan kedua menu tersebut sekaligus?"
Merry mengangguk, namun demi melihat tatapan tajam dari bosnya, dia langsung menggelengkan kepalanya. "Nggak bisa, Pak?"
"Sekarang putuskan. Mau saya atau kamu yang memilih sendiri?"
"Maksudnya, Pak?"
"Ada dua kotak di sini, kamu mau lasagna atau spageti?"
"Hah?" Merry melongo seperti orang bodoh.
Liam berdecak kesal, "Saya benar-benar tidak punya waktu untuk main-main seperti ini. Spagetinya untukmu saja!" putusnya.
Setelah itu, Liam meraih kotak lasagna dan membuka tutupnya. Uap hangat menguar dari dalamnya. Liam meraih garpu yang memang disediakan oleh pihak restoran dan menyuap makan siangnya.
Merry terpana mendengarnya. Bosnya baru saja menawarkan makanan untuknya?
"Kenapa malah bengong? Cepat makan! Waktu makan siang sebentar lagi habis," perintah Liam judes.
"I-iya, Pak!" Merry lekas meraih kotak yang satunya. "Makasih, Pak. Saya makan di meja saya saja ya, Pak," ucapnya.
"Makan di sini!" perintah Liam.
"Eh?" Lagi-lagi Merry terkejut dengan ucapan Liam.
Dia menatap wajah bosnya untuk memastikan, tapi tentu saja Liam tidak menatap dirinya. Sehingga untuk menghindari kemarahan bosnya, Merry melakukan apa yang diperintahkan Liam padanya. Dia pun duduk kembali di sofa yang berhadapan dengan Liam dan mulai membuka kotak makan tersebut.
"Selamat makan, Pak," ucap Merry.
Liam tidak membalas, dia hanya sibuk mengunyah makanannya. Suasana berlangsung dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara, hanya terdengar suara kunyahan dari mereka berdua. Merry merasa gelisah. Dia tidak terbiasa berada dalam situasi canggung seperti ini.
"Ng, makan siangnya bagaimana, Pak?" tanya Merry memecah keheningan.
"Saat ini saya sedang makan lasagna yang kamu beli dari lantai bawah. Bagaimana rasanya menurutmu?" balas Liam malah memberinya pertanyaan kembali.
"Ng, menurut saya restoran italia di bawah cukup enak, Pak."
"Nah, kamu sudah tahu jawabannya. Jadi untuk apa bertanya?"
Merry meringis, menahan dirinya dari mencubit lengan bosnya. Jawaban Liam tentu saja sangat mengesalkan bukan? Dia kan, hanya berusaha untuk berbasa-basi, mencairkan suasana. Tapi balasan Liam malah menyebalkan. Kalau dia tidak ingat Liam merupakan bosnya, Merry pasti sudah menjitak kepala pria itu.
"Maksud saya selera orang kan, berbeda-beda, Pak! Menurut saya enak belum tentu menurut bapak juga enak. Jadi, saya menginginkan adanya feedback dari bapak. Kalau memang bapak kurang suka dengan makan siang yang saya pilihkan, lain kali saya tidak akan membelinya kembali. Tapi kalau bapak menyukainya, di lain waktu mungkin saya akan memesannya kembali untuk bapak." Tapi tentu saja Merry tidak akan menyerah begitu saja.
Liam menghentikan kunyahannya. Untuk pertama kalinya sejak dia makan, matanya menatap wajah Merry. Ekspresinya dingin dan datar, seolah tanpa emosi. Atau sebenarnya saat ini ada emosi yang sedang ditahan olehnya?
"Kamu menginginkan feedback? Apa kamu tahu feedback itu diberikan pada saat apa?" tanya Liam meletakkan kotak makannya di atas meja dan menatap Merry dengan tajam seolah menantang perempuan itu untuk memberikan jawaban yang bisa memuaskan dirinya.
"Ehm," Merry berdeham dan menegakkan punggungnya sebelum menjawab pertanyaan itu. "Sepemahaman saya, sebuah feedback selalu diberikan pada saat sebuah pekerjaan selesai dikerjakan. Di mana dalam hal ini, saya sudah mengerjakan tugas pertama saya di perusahaan ini. Sehingga hal yang wajar kalau saya mengharapkan sebuah feedback mengenai pekerjaan saya tersebut."
"Hhhmm," Liam bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Salah satu sudut bibirnya tertarik ke atas mirip seperti sebuah seringai, tatapannya sama sekali tidak pernah beralih dari wajah Merry.
Merry menelan ludahnya, berharap kalau dia tidak mengucapkan hal yang lancang. Tapi dia yakin kalau dia sudah menyampaikan sesuatu yang wajar.
"Apa kamu yakin mau mendengarkan feedback dari tugas kamu saat ini? Apa kamu yakin sudah melakukan pekerjaan dengan baik?"
Merry terdiam, dia hanya bisa menelan ludahnya. Liam tersenyum mengejek, kemudian dia lanjut berkata, "Bagaimana kalau saya menolak memberikan feedback pada pekerjaanmu? Kalau saya melakukan itu, apakah itu berarti saya sudah lalai dengan tanggung jawab saya sebagai atasan kamu?"
"I-itu," Merry tentu saja mengetahui kalau menolak menjawab merupakan hak pria itu. Ah, padahal dia hanya ingin mencairkan suasana dengan sedikit berbasa-basi. Kenapa malah berujung pada situasi yang lebih canggung? "I-itu hak Anda, Pak."
Kedua sudut bibir Liam terangkat ke atas. Dia mengangguk merasa puas dengan jawaban Merry. Sementara itu, Merry yang sudah putus asa, memutuskan untuk diam saja selama sisa waktu. Dia mengunyah spageti miliknya dalam diam, tentu saja dengan pikiran yang berkelana kemana-mana.
Sesekali kedua matanya melirik ke wajah atasannya. Rambut yang tersisir rapi, badan tinggi dan tegap, bahunya lebar dan terlihat sangat bisa diandalkan. Merry sempat tergoda untuk merebahkan kepalanya di atas bahu tersebut.
Mendadak pikirannya terbang pada kejadian malam itu. Saat dirinya dan pria itu saling berpagutan dengan penuh gairah dan kedua mulut mereka saling menerkam seperti kelaparan.
Merry menggelengkan kepalanya cepat. Apa yang barusan dipikirkan olehnya? Kenapa pikiran mesum begitu bisa tiba-tiba muncul? Ah, ini pasti karena dia sedang berduaan saja dengan bosnya.
Tapi, apakah benar pria di depannya saat ini benar-benar tidak mengenali dirinya?
Entah kenapa, walau dia merasa lega, tetap saja dia merasakan sedikit kekecewaan. Apakah itu berarti dia hanyalah wanita yang mudah dilupakan dan hanya sekedar lewat untuk memuaskan nafsunya? Apalagi saat itu mereka berdua sedang sama-sama mabuk. Pasti pria itu tidak akan bisa mengingatnya.
Merry mengenali wajah pria itu tentu saja karena dia terbangun terlebih dahulu dan sempat melihat wajahnya dengan jelas.
Tapi tunggu ... kenapa dia bisa begitu yakin kalau Liam merupakan pria cinta satu malamnya? Tidak ada sesuatu pun yang bisa membuktikan kalau mereka berdua pernah bersama. Mungkin saja dia hanya terlihat mirip. Ah, Merry terlalu cepat menyimpulkan.
"Hahaha," Merry tertawa pelan. Dia menertawakan pikirannya sendiri. Dia sungguh bodoh. Tentu saja pria seperti Liam tidak mungkin sembarangan berada di sebuah klub. Apalagi bercinta dengan sembarangan wanita.
"Kenapa kamu tertawa sendiri?" tanya Liam tajam.
Merry terkejut mendengar nada suara itu. "Ma-maaf, saya hanya sedang memikirkan sesuatu yang bodoh."
"Oh ya? Bodoh yang seperti apa?" tanya Liam di luar dugaan membalas ucapan Merry.
"Ng," Merry merasa bingung, haruskah dia menjawabnya atau menolaknya? Toh, kalau dia bilang dia menolak menjawab, Liam tidak bisa memaksanya. Pria itu baru saja melakukan hal yang sama sebelumnya. Dan sepertinya kalau dia membalas seperti itu akan sangat memuaskan karena bisa membalas.
Tapi ... ah, bagaimana kalau Merry menolak menjawab, atasannya akan tersinggung lalu langsung memecat dirinya? Apakah dia bisa melakukannya? Ah, tidak, mereka terikat kontrak. Kalau perusahaan memecat dirinya sebelum habis masa kontrak, perusahaan harus memberinya pesangon yang besar. Semua perusahaan tentu saja sebisa mungkin menghindari resiko itu. Paling dia hanya akan dipindahkan ke divisi yang berbeda. Atau, paling sial, Liam akan membebaninya dengan banyak sekali pekerjaan, sampai dia muak dan lelah sehingga memutuskan untuk berhenti bekerja. Dengan begitu perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk memberinya uang pesangon.
'Pesangon dari Hongkong! Lo cuma karyawan kontrak, Mer!'
"Kenapa kamu diam saja?" tanya Liam lagi.
"Maaf, saya hanya sedang bingung, haruskah saya menyampaikan ini, karena saya takut menyinggung Anda, Pak."
"Katakan saja. Saya tidak mudah tersinggung."
"Ng, baiklah. Saya hanya mengira kalau bapak mirip dengan seseorang yang pernah saya temui belum lama ini."
Merry menggigit bibirnya setelah mengatakan hal itu. Dia berharap kalau dia tidak terlalu lancang. Bukankah ucapannya bisa berarti kalau wajah pimpinannya ternyata pasaran? Semoga saja bosnya tidak tersinggung.
Untuk beberapa saat, Liam hanya terdiam. Menatap wajah Merry dengan binar yang sulit diartikan. Tiba-tiba Liam memajukan tubuhnya dengan satu tangan menutup mulutnya yang tersenyum miring. Untuk pertama kalinya pada hari itu Merry melihat sisi periang dari atasannya. Namun, yang lebih membuatnya terkejut adalah kalimat berikutnya yang meluncur dari mulutnya.
"Apakah kamu sedang merayu saya?"[]
Halo, teman-teman. Sebelumnya saya mohon maaf karena absen lama banget untuk meneruskan novel ini, disebabkan beberapa kesibukan dan masalah kesehatan. Insyaallah saya akan mulai rutin meneruskan novel ini. Jadi, saya harap teman-teman terus mengikuti kisah Marianne aka Merry ya. Enjoy!
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul
Saat Merry tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Didapatinya lampu di dalam apartemennya menyala semuanya. "Benny," panggilnya merasa kesal karena adiknya menghamburkan listrik. Namun tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dia mendengar suara air pancuran di dalam kamar mandi. Merry meletakkan kunci mobil di dalam mangkuk di atas meja pantry. Kemudian dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. "Benny, apa lo baru mandi?" panggilnya lagi sambil meletakkan tas di atas meja kerjanya. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Akhirnya Merry memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi, "Benny, lo merokok di dalam kamar mandi?" teriaknya kesal. "Kakak kan tahu kalau gue nggak merokok!" jawab Benny berteriak balik. "Sudah berapa lama lo di dalam? Lekas keluar! Gue juga mau mandi dan gue udah capek banget!" Hanya beberapa detik, pintu kamar mandi sudah terbuka. Terlihat wajah dan rambut adiknya yang basah, namun rupanya dia tidak habis mandi. "Lo ngapai
Hari Sabtu kantor sudah tidak masuk, namun jadwal bertemu kekasih hati sudah dijalankan sejak hari Jumat malam. Tadi malam Ashton sudah menginap di apartemen Brittany, tunangannya. Namun pagi-pagi sekali dia harus segera pulang karena ayah dan ibunya pulang dari Semarang. "Merry?" Ashton menggumam dalam hatinya saat bisa mengenali sosok juniornya di kampus dulu. Junior yang selalu menatap dirinya dengan malu-malu. Ashton selalu merasa gemas melihat Merry, karena perempuan itu terlalu polos dan mudah sekali untuk dijahili. Saat kuliah, Ashton sangat menyadari kalau Merry memiliki perasaan padanya. Entah kalau perasaan cinta, namun setidaknya Ashton tahu kalau Merry kagum pada dirinya. Namun, Ashton menghindari wanita tipe seperti Merry yang baik dan setia. Saat kuliah, Ashton sama sekali tidak mau berpacaran serius, dan dia tipe yang cepat bosan. Dan dia menduga kalau berpacaran dengan Merry, dia pasti akan sulit putus karena Merry pasti akan terus mengejarnya. Merry merupakan jun
Saat sedang mengantri bubur ayam, Merry melihat sebuah motor sport yang dikenali olehnya. Tentu saja Merry mengenali motor tersebut, karena dia sering melihatnya sejak bekerja di kantor yang sama dengan Ashton. Beberapa kali pria itu memakai motor saat cuaca cerah dan malas bermacet-macetan di jalan. "Ashton? Dia dari kompleks apartemen ini juga? Eh, dia masuk kembali ke kompleks ini. Apa dia tinggal di sini?" gumam Merry. Kedua matanya terus mengikuti kepergian motor tersebut. "Kakak, ngelihatin siapa?" tanya Benny mengikuti arah pandang Merry. "Nggak, kok. Kakak pikir kakak melihat teman kakak," balas Merry. Benny tersenyum. Merry mungkin saja pemarah dan galak, tapi Merry tidak pernah bersikap tidak ramah padanya. Kalau saudara yang lain mungkin sudah akan marah kalau mendapat pertanyaan semacam itu dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. "Gue pikir Kakak melihat pacar Kakak selingkuh," goda Benny. Merry menjitak kepala adiknya dan menggerutu, "Amit-amit gue diselingkuhi sam
Merry berjalan dengan tergesa-gesa sambil menarik tubuh adiknya. Ah, siapa sih yang akan mengira kalau dia akan bertemu dengan dua bos dari kantornya. Ashton mungkin saja bukan atasannya langsung, tapi tetap saja pertemuan malam minggu ini membuatnya gugup. Dia tidak tahu apakah penampilannya cukup layak di depan kedua pria itu. Karena tadi saat hendak berangkat, dia mengambil dengan asal baju yang ada di dalam lemari. Dia pikir hanya akan berjalan-jalan bersama adiknya, jadi tidak perlu terlalu berdandan. Saat melewati sebuah kaca etalase besar yang memantulkan penampilannya secara keseluruhan, Merry menghentikan langkahnya. Dia melihat seorang perempuan memakai kaos oblong polos yang terlalu besar, berbahan tipis, lengan pendek yang dia gulung sedikit, dan celana jeans biru tua yang membalut kaki jenjangnya. Dia juga hanya memakai sepatu kets yang nyaman untuk berjalan-jalan. Rambutnya dikuncir kuda, dan wajahnya hanya terpoles bedak tipis. Untung saja dia memakai liptint warna mera
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d