Merry berjalan dengan tergesa-gesa sambil menarik tubuh adiknya. Ah, siapa sih yang akan mengira kalau dia akan bertemu dengan dua bos dari kantornya. Ashton mungkin saja bukan atasannya langsung, tapi tetap saja pertemuan malam minggu ini membuatnya gugup. Dia tidak tahu apakah penampilannya cukup layak di depan kedua pria itu. Karena tadi saat hendak berangkat, dia mengambil dengan asal baju yang ada di dalam lemari. Dia pikir hanya akan berjalan-jalan bersama adiknya, jadi tidak perlu terlalu berdandan. Saat melewati sebuah kaca etalase besar yang memantulkan penampilannya secara keseluruhan, Merry menghentikan langkahnya. Dia melihat seorang perempuan memakai kaos oblong polos yang terlalu besar, berbahan tipis, lengan pendek yang dia gulung sedikit, dan celana jeans biru tua yang membalut kaki jenjangnya. Dia juga hanya memakai sepatu kets yang nyaman untuk berjalan-jalan. Rambutnya dikuncir kuda, dan wajahnya hanya terpoles bedak tipis. Untung saja dia memakai liptint warna mera
Suasana di meja makan sebenarnya tidak secanggung yang dipikirkan oleh Merry. Ashton, Cathy dan Dawn asyik berbincang-bincang. Tentu saja mereka membicarakan masalah kampus. "Kamu kuliah di Aussie? Di mana?" tanya Ashton dengan antusias. "Di Monash. Oh iya, kalau Kak Liam kuliah di mana?" tanya Dawn balik. Tentu saja dia merasa antusias karena akhirnya bertemu dengan pria yang selama ini hanya diceritakan oleh Merry. Matanya bahkan tidak lepas dari meneliti wajah Liam. "Liam lulusan Stanford," balas Ashton entah kenapa malah dia yang menjawab. Ah, tentu saja itu karena Liam paling malas yang namanya berbasa-basi dan Ashton memahami hal itu. "Wah, keren banget lulusan Stanford," puji Cathy dengan tulus. Untuk membuat Cathy kagum memang bukan dari ketampanan wajah, melainkan dari pendidikan dan karir yang cemerlang. Walaupun dipuji oleh Cathy, wajah Liam tetap saja datar tanpa ekspresi. Namun dengan sopan, dia membalas pujian itu. "Terima kasih," ucapnya singkat tanpa senyum
Merry duduk dengan canggung di dalam bioskop. Ternyata hukuman yang diberikan Liam mengharuskan Merry duduk di sebelah pria itu. Sehingga Ashton duduk bersama Cathy, Dawn dan Benny sebagai gantinya. Posisi kursi yang mereka dapat memang tidak di depan, melainkan empat baris dari belakang namun benar-benar di area pojok kiri studio. Merry tidak pernah ada masalah duduk di manapun di dalam bioskop, tapi tidak kali ini. Rasanya Merry ingin pindah tempat duduk atau keluar studio saja sekalian. Masalahnya, mau berpura-pura seperti apapun, dia tidak bisa menghilangkan rasa jengah seperti sedang diperhatikan dari sebelah kirinya. Karena posisi mereka di bagian kiri studio, Merry harus sedikit serong ke kanan untuk melihat layar, dan posisi itu membuatnya sedikit memunggungi orang yang duduk di sebelah kirinya, yaitu Liam. Entah bagaimana, dia mendapat firasat kalau bosnya itu pasti sedang menatap dirinya. Ah, mungkin dia terlalu percaya diri mengenai hal itu. Namun dia tidak bisa menepis pe
Pukul sebelas, mereka semua berjalan keluar dari bioskop. Benny sibuk berceloteh membahas film yang baru saja mereka tonton. Dawn dan Cathy pun berbaik hati menyimak antusiasme anak lelaki itu. Sedangkan Ashton sibuk memperhatikan dua orang berwajah muram yang berjalan di sebelah mereka.“Oke, sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kalian bertengkar di dalam bioskop?” tanya Ashton kesal tidak bisa menahan lagi rasa penasarannya.“Kami tidak mungkin bertengkar,” jawab Merry cepat menggelengkan kepalanya. Ya, mana mungkin dia berantem sama bos di kantornya? Dia masih memerlukan pekerjaan itu.Benny, Cathy dan Dawn pun langsung tertarik dan ikut menoleh ke arah mereka bertiga.“Lalu kenapa wajah kalian berdua seperti itu?” tanya Ashton lagi.Benny, Cathy dan Dawn menatap wajah Merry lalu Liam. Merry terlihat jelas sedang panik, sedangkan Liam tidak merasa perlu bersusah payah menjelaskan apapun, wajahnya datar tanpa ekspresi sama sekali.“Apakah kalian berdua tertidur di dalam sana?” tanya
Wanita itu terkejut mendengar bentakan Liam, dia langsung bangkit dari kursi dan berjalan mendekat. "Stop!" teriak Liam. "Keluar dari kamarku!" "Liam, papamu menelepon dan ingin berbicara denganmu. Mas Landon bilang kau selalu menolak telepon darinya," ucapnya. "Hanya itu? Kau menerobos masuk kamarku dengan lancang hanya untuk menyampaikan hal itu? Apa bukan karena ada hal lain yang kau inginkan?" "Tidak ada hal lainnya." "Kalau begitu lekas keluar! Kau sangat bau alkohol!" "Kenapa kau sombong sekali sih? Kenapa kau nggak pernah bersikap baik padaku? Apa salahku padamu?" "Kau masih perlu bertanya apa kesalahanmu? Apa kau akan tetap berada di dalam kamar ini sebelum kau mendapatkan apa yang kau inginkan?" "Aku hanya ingin dekat denganmu!" teriak perempuan itu sempoyongan berjalan semakin mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh tubuh Liam. Liam merasa jijik dan tidak sudi disentuh olehnya, dia pun langsung menepisnya dan beranjak menuju telepon di meja nakas. Dia menelepon
"Lo deket sama bos lo?" tanya Bianca. Merry terbatuk karena tersedak makanannya. Dia lekas meneguk minuman teh hijau dingin untuk menghentikan batuknya. Merry sama sekali tidak menyangka kalau Bianca akan mengucapkan kalimat itu. "Bagaimana mungkin gue dekat sama Pak Liam," jawab Merry akhirnya. Bianca manggut-manggut, terlihat bisa menerima jawaban Merry. "Iya, sih, Liam emang sulit buat dideketin. Ah, gue pikir bakalan bisa mendapatkan kelemahan dia!" gumamnya. "Apa, Bi?" tanya Merry seolah ingin memastikan kalau dia tidak salah dengar, "Lo kenal sama Pak Liam?" Bianca mengangguk, "Bisa dibilang kami sebenarnya punya story. Tapi dia memang sulit untuk dideketin kan?" "Ng, gue nggak paham sih, arah pembicaraan lo apa, karena ya ... gue nggak ada niat buat ngedetin Pak Liam juga. Cuma yang pasti, Pak Liam itu ... super nyebelin dan bossy!" Bianca tertawa mendengar keluhan Merry. "Dia di kantor memangnya bos yang seperti apa?" koreknya. "Nggak pernah tersenyum, tukang nyuruh, n
Selesai membuat kopi, Merry lekas kembali ke mejanya. Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja. Dia menarik napas panjang saat duduk di kursinya. Kemudian dia mulai menyalakan komputer untuk mulai bekerja. Tiba-tiba, konsentrasinya kembali dipecahkan oleh bunyi telepon genggamnya. Saat Merry melirik, ternyata telepon dari Pak Liam. Merry pun lekas mengangkatnya. "Ya, Pak?" sahut Merry. "Kenapa kau baru mengangkat telepon?" tanya suara di seberang telepon terdengar marah. "A ... maaf, tadi saya sedang ke pantry dan tidak membawa handphone, Pak. Kenapa, Pak?" tanya Merry merasa khawatir karena dia sudah melakukan kesalahan dan entah hukuman apa yang akan diberikan Liam padanya. "Ke ruangan saya sekarang!" "Sekarang? Sekarang, Pak?" "Iya, sekarang, masa besok!" "Ba-baik, Pak!" Merry menutup teleponnya. Dia merapikan rambut dan pakaiannya sebelum masuk ke dalam ruangan Liam. Tidak lupa dia membawa tablet untuk mencatat semua pekerjaan yang mungkin diberikan Liam padanya. Merry
Merry memakai kesempatan pergi ke toilet untuk memeriksa ponselnya dan membalas pesan-pesan yang masuk. Ada banyak pesan yang masuk, terutama dari Benny yang berisik meminta makan siang. Merry memang tidak memberikannya uang sebelum dia berangkat tadi pagi. Dia sama sekali lupa kalau ada Benny di apartemennya. Lagipula anak laki-laki itu belum bangun saat dia hendak berangkat. Merry akhirnya membelikannya makanan secara daring. Selain Benny, Dawn mengirimkannya beberapa pesan yang tidak penting, hanya mengeluh kalau dia merasa bosan tidak memiliki pekerjaan tetap. Merry : Cari kerja lah! Dawn : Sudah! Tapi nggak ada yang cocok jam kerjanya. Merry : Emangnya lo mau yang kayak gimana jam kerjanya sih? Jam kerja sama semua bukan? Dawn : Gue cuma mau kerja dari jam 10 sampai jam tiga sore. Merry : Nggak ada kerjaan semacam itu, Markonah -___- Dah lah, lo nggak usah cari kerja. Warisan lo kan banyak. Dawn : Ya, bosen gilak kali nggak ada yang bisa gue kerjain. Merry : Bikin konten
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d