"Tugas dari Liam? Tugas apa?" tanya Ashton merasa tertarik mendengarnya.
Sebenarnya, jabatan junior sekretaris yang saat ini dipegang oleh Merry tidak selamanya kosong. Sebelumnya, pernah ada beberapa sekretaris junior lainnya, hanya saja selama ini Liam tidak pernah memberikan tugas secara langsung pada sekretaris juniornya, dia pasti hanya akan berbicara pada Susan.
"Gue harus membelikan makan siang untuk Pak Liam," jawab Merry apa adanya.
Untuk beberapa saat, Ashton tidak menjawab ucapan Merry. Dia masih menunggu Merry selesai berbicara. Namun, setelah Merry terdiam cukup lama, Ashton baru menyadari kalau perempuan itu sudah selesai berbicara.
"Makan siang? Oke, dia mau makan siang apa?" ucap Ashton kembali.
Merry menggelengkan kepalanya putus asa, "Itu masalahnya. Pak Liam nggak memberi tahu sedang selera makan apa. Bu Susan juga nggak mengatakan apa-apa, hanya memberikan petunjuk yang sangat sedikit. Pak Liam nggak suka ikan dan makanan manis, di mana jenis menu seperti itu kan, ada ratusan. Harusnya Bu Susan menambah sedikit petunjuk lagi. Misal, Pak Liam hanya mau makanan Jepang, atau western, atau menu lokal. Kan gue jadi gampang memutuskannya." Merry mencurahkan kesulitannya merasa seperti sedang bercerita pada kawan lama. Padahal sebelumnya dia sangat pemalu kalau sudah berhadapan dengan Ashton.
"Ya, lo benar. Petunjuk itu terlalu sedikit. Tapi lo bisa menarik napas lega sekarang, karena bantuan sudah datang," jawab Ashton menampilkan senyumannya yang sangat menawan.
"Kakak tahu makanan kesukaan Pak Liam?" tanya Merry langsung berwajah cerah. Di luar dugaan, pesona Ashton kali ini tidak membuatnya tersipu.
Ashton mengangguk, "Ya, kami bersahabat sejak kecil. Jadi tentu saja gue udah sangat mengetahui selera makanan Liam. Ayo, ikutin gue!" ajak Ashton memberikan isyarat agar Merry mengikuti dirinya.
Merry mengangguk dengan riang, dia pun mengikuti ke mana Ashton melangkah. Rupanya pria itu mengajaknya masuk ke restoran makanan Italia.
"Menu apapun yang lo pilih untuk Liam di restoran ini, sudah bisa dipastikan kalau dia pasti akan menyukainya."
Merry mengangguk dengan bahagia, "Makasih, Kak."
Setelah itu, dia bergegas menuju meja kasir untuk memesan menu pesan antar. Ashton pun menunggu dengan sabar di sebelahnya.
"Ng, saya pesan lasagna dan spageti saja, mbak. Take away ya," ucap Merry mengingat pesan Susan untuk membeli dua menu.
Petugas kasir pun mengangguk dan menghitung total belanja. Merry membayarnya dengan kartu hitam yang diberikan oleh Susan. Ashton yang melihat hal itu terheran-heran, karena Merry hanya memesan untuk Liam.
"Lo nggak pesan makanan sekalian?" tanya pria bertubuh tinggi 184 cm ini saat mereka sudah duduk di kursi selama menunggu pesanan siap.
Merry menggeleng, "Mana mungkin gue sekalian pesan, Kak. Makanan Pak Liam kan, belinya pakai kartu kantor."
"Ah ya, benar." Ashton mengangguk. "Kalau begitu, apa lo mau makan siang bareng gue?" ajaknya.
"Ng, lihat nanti ya, Kak, kalau masih ada waktu buat makan siang, kita bisa makan siang bareng. Kalau nggak, gue mungkin bakalan beli roti isi di minimarket aja."
"Apa makan itu aja udah cukup?"
Merry mengangguk. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu, "Ya ampun, Kakak jadi nggak bisa makan siang ya, karena nemenin gue sekarang." Merry merasa tak enak hati menyadari dia sudah menyulitkan orang lain.
"Tenang aja. Sekarang masih banyak waktu. Tadinya gue mau ngajak lo makan siang di restoran ini. Lagipula makanan Liam belum jadi. Gimana?"
Merry terdiam saat mendengar ajakan Ashton. Untuk beberapa saat mereka berdua hanya saling tatap. Tapi kemudian, dia mulai memahaminya.
"Kita makan siang sekarang? Di sini?" tanya Merry untuk meyakinkan.
Ashton mengangguk, "Ya, gimana?"
"Tapi ...."
"Kalau sudah sibuk bekerja, Liam nggak akan menyadari kalau makan siangnya belum tiba."
Merry tentu saja merasa tergoda dengan ajakan itu. Dia menggigit bibir bawahnya, berpikir dengan sangat serius. Bisa makan siang berdua saja dengan Ashton tentu saja merupakan impiannya. Saat kuliah, mereka memang pernah makan siang bersama, tapi tentu saja bersama pacar-pacar Ashton saat kuliah dulu.
Memang terdengar sepele, hanya membelikan makan siang. Tapi, itu merupakan tugas pertamanya di kantor ini. Lagipula, dia belum memahami seperti apa bosnya yang sekarang. Tapi, melihat dari sikapnya saat di ruang rapat, dia tidak boleh menganggap enteng tugas ini.
Dengan terpaksa Merry menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kak, bisa ditunda dulu makan siangnya? Rain check?" ucapnya dengan alis yang berkerut sedih.
Ashton tersenyum tipis, tentu saja dia bisa memahaminya. Dia pun mengangguk, "Tentu saja. Lagipula ini masih hari pertama lo bekerja. Kita masih bisa makan siang bersama di hari lainnya."
"Ibu Merry, ini pesanannya," teriak pelayan yang bertugas menyiapkan khusus menu pesan antar.
Merry langsung bangkit dan berjalan menuju konter. Kemudian dia dan Ashton kembali berjalan menuju lift. Tidak perlu waktu lama, lift sudah tiba, Merry pun masuk ke dalamnya. Namun rupanya Ashton tidak mengikutinya masuk ke dalam lift.
"Lho, Kakak nggak ikut naik?"
"Gue mau makan siang dulu di sini," jawab Ashton sambil senyum-senyum mendengar pertanyaan Merry.
Merry menutup mulutnya, "Ya ampun, maaf, Kak, gue benar-benar nggak peka. Lain kali ya, Kak! Gue janji!" ucap Merry.
Ashton tertawa mendengarnya, "Sure, no problem."
Pintu lift pun tertutup kembali. Merry berdiri di sana bersama beberapa orang karyawan lain yang belum dikenal olehnya karena berbeda divisi. Tidak butuh waktu lama, lift sudah tiba di lantai ruangan direktur.
Merry turun dari dalam lift dengan dada berdebar-debar. Dia berharap makan siang yang disiapkan untuk bosnya tidak akan mengecewakan. Ah, tapi, makanan ini atas rekomendasi Ashton, dan dia mempercayai pria itu.
Merry mengetuk pintu ruangan sebelum masuk ke dalamnya.
"Masuk." Terdengar jawaban dari Liam.
Setelah menarik napas dalam, Merry mendorong pintu kayu tersebut. Dia bisa melihat Liam yang masih berada di balik meja kerjanya, dengan kepala tertunduk dan sibuk memeriksa dokumen perjanjian.
"Permisi, Pak Liam, saya membawakan makan siang untuk bapak," ucap Merry.
Kali ini, kepala Liam terangkat. Mereka berdua pun saling pandang. Merry menahan napasnya, untuk sesaat dia terkejut dengan tatapan tajam pria itu. Kelihatannya suasana hati Pak Liam sedang buruk.
Apakah dia terlalu lama membeli makan siangnya?
Merry mengecek jam tangannya, tapi dia hanya pergi selama setengah jam. Apakah setengah jam terlalu lama untuk membeli makan siang?
"Simpan saja di atas meja," ucap Liam setelah beberapa saat mereka berdua hanya saling tatap dalam diam. Setelah itu, dia menundukkan kepalanya kembali.
Merry sedikit bingung dengan sikap yang baru ditunjukkan oleh bosnya ini. Liam jelas-jelas terlihat seperti sedang merasa kesal atau terganggu dengan sebuah masalah. Tapi, kenapa rasa kesalnya itu harus ditujukan pada Merry? Merry benar-benar tidak habis pikir.
Namun, Merry memutuskan untuk tidak mempermasalahkannya. Dia berjalan menuju meja yang ada di tengah ruangan dan meletakkan kotak makan siang itu di atasnya.
"Baiklah, kalau begitu saya akan permisi dulu, Pak Liam," pamit Merry.
"Ya, silakan," jawab Liam dingin.
Kali ini Merry merasa sedikit kesal dengan sikap bosnya. Sikap Liam sama sekali tidak menunjukkan kalau pekerjaan yang dilakukan oleh Merry merupakan pekerjaan penting. Pria itu hanya seperti sedang iseng saat memberikannya pekerjaan tersebut.
Setelah menutup pintu ruangan, Merry berdecak kesal. Dia sedikit menghentakkan langkah kakinya saat menuju meja kerjanya kembali. Dilihatnya meja kerjanya masih kosong, Bu Susan belum kembali dari makan siang.
Perut Merry bergemuruh nyaring saat memikirkan makan siang. Ah, dia sendiri sampai lupa untuk membeli roti isi atau nasi kepal di mini market. Mumpung jam istirahatnya belum selesai, sebaiknya dia lekas turun kembali ke lantai bawah.
Merry hendak melangkah kembali menuju lift saat telepon di mejanya berdering. Walau merasa kesal, Merry terpaksa mengangkatnya.
"Ya, Pak Liam?" jawabnya. Tentu saja dia bisa langsung mengetahui kalau panggilan itu berasal dari ruangan kerja direktur.
"Masuk kembali ke ruanganku!"[]
Halo, teman-teman. Sebelumnya saya mohon maaf karena absen lama banget untuk meneruskan novel ini, disebabkan beberapa kesibukan dan masalah kesehatan. Insyaallah saya akan mulai rutin meneruskan novel ini. Jadi, saya harap teman-teman terus mengikuti kisah Marianne aka Merry ya. Enjoy!
Merry mengetuk kembali pintu ruangan bosnya. Tapi kali ini tanpa menunggu jawaban, dia sudah mendorong pintunya terbuka. "Anda ada perlu dengan saya lagi, Pak?" tanya Merry. Dilihatnya saat ini Liam sudah duduk di sofa tengah yang biasa dipakai untuk menerima tamu atau rapat kecil. "Duduklah!" perintah Liam. Merry tidak menolak. Bagaimana mungkin dia menolak perintah dari bosnya? Dia pun duduk tepat berhadapan dengan Liam. "Ada apa, Pak?" tanya Merry benar-benar polos. "Kamu tahu apa yang salah dengan kotak makan yang ada di atas meja?" tanya Liam. Merry menatap menu tersebut dengan terheran-heran. Rupanya Liam sudah mengeluarkan dua kotak itu dari kantongnya. Merry menatap kedua kotak makan tersebut dan sama sekali tidak tahu di mana letak kesalahannya. "Ada dua kotak makanan, Pak. Yang satu isinya lasagna, yang satu spageti," jawab Merry dengan suara pelan karena tidak yakin dengan jawabannya. "Lasagna dan spageti? Jadi ada dua menu?" Merry mengangguk masih kebingungan.
"Apakah kamu sedang merayu saya?" Liam mengulang pertanyaannya kembali. Sesuai dugaan Liam, perempuan di depannya saat ini duduk dengan salah tingkah. Mudah sekali untuk menggoda perempuan itu. Entah kenapa Liam merasa penasaran untuk terus menggodanya. Dan sebenarnya, yang merasakan hal itu tidak hanya Merry. Sejak pagi saat Merry pertama kali muncul di ruangannya, Liam sudah merasa tidak asing dengan wajah perempuan itu. Tentu saja Liam teringat kejadian Sabtu malam sebelumnya, di mana dia sudah melewatkan malam yang panas dan penuh gairah, yang berhasil mengantarkannya pada kepuasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Namun pagi harinya, dia hanya mendapati kesendirian di dalam ruangan itu. Liam merasa sangat marah dan terhina. Bisa diduga sepanjang sisa akhir pekan dilaluinya dengan suasana hati yang sangat buruk dan ingin terus mengamuk. Siapa yang menyangka kalau wajah itu akan muncul kembali di hadapannya, tepat di dalam ruangan kantornya sebagai sekretarisnya. Ah, tak
Hari kedua bekerja, Merry sudah tiba di kantor pukul setengah delapan pagi. Malam sebelumnya, dia dan kedua sahabatnya menyudahi makan malam ketika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Merry sudah terbiasa tidur larut malam namun pagi harinya sudah harus berangkat bekerja. Untungnya dia tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi walau malam sebelumnya pulang larut. Merry menutup mulutnya saat menguap, dia berjalan menuju lift dan melihat ada banyak orang yang sudah menunggu. Untung saja dia tidak sedang terburu-buru jadi dia tidak perlu memaksakan diri untuk masuk ke dalam lift yang penuh. Dia membiarkan dua lift lewat karena malas berdesakan. "Kalau lo nunggu sampai lift kosong, lo mungkin bakalan telat sampao di ruangan lo," tegur seorang pria yang suaranya sudah sangat dihapalnya. Merry terkejut saat Ashton muncul di sebelahnya. "Oh, Kakak." "Atau lo lagi nunggu seseorang?" tanya Ashton. Merry menggelengkan kepalanya, "Nggak, kok! Gue pikir yang lain lebih sedang terb
Saat Susan masuk ke dalam ruangan, Liam masih sibuk memeriksa laptopnya. Bahkan kelihatannya pria itu sama sekali tidak menyadari cangkir kopi dan kukis di atas pisin. Susan sama sekali tidak merasa heran. Sebenarnya dia sangat mengetahui kalau kesalahan Merry bukan hal yang fatal. Namun Susan sengaja tidak memberitahukannya pada Merry. Susan berdiri di sebelah meja Liam dan menunggu sampai pria itu selesai memeriksa email. Tak lama, Liam sudah mengangkat wajahnya. "Batalkan janji dengan Pak Robert. Sebagai gantinya, buat janji dengan Pak Marco," ucap Liam menyebutkan dua nama calon partner bisnis. "Baik, Pak," jawab Susan dengan sigap. Setelah itu, Susan menjelaskan beberapa dokumen yang harus ditanda-tangani oleh Liam. "Berapa besar kontrak yang berhasil kita dapatkan?" tanya Liam. "Lima milyar, Pak." "Hmm, saya pikir lima belas milyar. Ternyata saya salah sebut ya. Jauh sekali dari target," gumam Liam mengerutkan alisnya, berpikir dalam mempertimbangkan surat kontrak tersebut
Seperti yang sudah kita ketahui, sejak masih sekolah, Merry sudah bisa mencari duit sendiri dengan menjadi seorang model. Wajahnya yang manis, tubuh yang tinggi, membuatnya cukup laris menjadi model catwalk, iklan, maupun katalog. Setelah lulus SMA, Merry berkuliah di jurusan ekonomi manajemen. Bahkan saat masih berkuliah, dia tetap bekerja sebagai model, dan akhirnya magang di sebuah agensi periklanan. Dua tahun setelah lulus kuliah, dia masih bekerja di agensi periklanan. Masa-masa itu merupakan saat-saat terberat karena beban pekerjaan yang besar dan tidak kenal waktu. Seringkali dia bekerja lembur dan kurang tidur. Namun tentu saja, gaji yang seimbang dengan beban pekerjaannya. Namun, bukan itu yang diinginkan oleh Merry. Merry dibesarkan oleh orang tua tunggal. Ayahnya meninggal saat dia duduk di bangku SMP. Dia memiliki seorang adik laki-laki yang berbeda usia tujuh tahun. Sejak ayahnya meninggal, ibunya yang tadinya hanya seorang ibu rumah tangga mulai bekerja membanting tul
Saat Merry tiba di rumah, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Didapatinya lampu di dalam apartemennya menyala semuanya. "Benny," panggilnya merasa kesal karena adiknya menghamburkan listrik. Namun tidak ada jawaban. Sebagai gantinya, dia mendengar suara air pancuran di dalam kamar mandi. Merry meletakkan kunci mobil di dalam mangkuk di atas meja pantry. Kemudian dia melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal rumah. "Benny, apa lo baru mandi?" panggilnya lagi sambil meletakkan tas di atas meja kerjanya. Namun lagi-lagi tidak ada jawaban. Akhirnya Merry memutuskan untuk mengetuk pintu kamar mandi, "Benny, lo merokok di dalam kamar mandi?" teriaknya kesal. "Kakak kan tahu kalau gue nggak merokok!" jawab Benny berteriak balik. "Sudah berapa lama lo di dalam? Lekas keluar! Gue juga mau mandi dan gue udah capek banget!" Hanya beberapa detik, pintu kamar mandi sudah terbuka. Terlihat wajah dan rambut adiknya yang basah, namun rupanya dia tidak habis mandi. "Lo ngapai
Hari Sabtu kantor sudah tidak masuk, namun jadwal bertemu kekasih hati sudah dijalankan sejak hari Jumat malam. Tadi malam Ashton sudah menginap di apartemen Brittany, tunangannya. Namun pagi-pagi sekali dia harus segera pulang karena ayah dan ibunya pulang dari Semarang. "Merry?" Ashton menggumam dalam hatinya saat bisa mengenali sosok juniornya di kampus dulu. Junior yang selalu menatap dirinya dengan malu-malu. Ashton selalu merasa gemas melihat Merry, karena perempuan itu terlalu polos dan mudah sekali untuk dijahili. Saat kuliah, Ashton sangat menyadari kalau Merry memiliki perasaan padanya. Entah kalau perasaan cinta, namun setidaknya Ashton tahu kalau Merry kagum pada dirinya. Namun, Ashton menghindari wanita tipe seperti Merry yang baik dan setia. Saat kuliah, Ashton sama sekali tidak mau berpacaran serius, dan dia tipe yang cepat bosan. Dan dia menduga kalau berpacaran dengan Merry, dia pasti akan sulit putus karena Merry pasti akan terus mengejarnya. Merry merupakan jun
Saat sedang mengantri bubur ayam, Merry melihat sebuah motor sport yang dikenali olehnya. Tentu saja Merry mengenali motor tersebut, karena dia sering melihatnya sejak bekerja di kantor yang sama dengan Ashton. Beberapa kali pria itu memakai motor saat cuaca cerah dan malas bermacet-macetan di jalan. "Ashton? Dia dari kompleks apartemen ini juga? Eh, dia masuk kembali ke kompleks ini. Apa dia tinggal di sini?" gumam Merry. Kedua matanya terus mengikuti kepergian motor tersebut. "Kakak, ngelihatin siapa?" tanya Benny mengikuti arah pandang Merry. "Nggak, kok. Kakak pikir kakak melihat teman kakak," balas Merry. Benny tersenyum. Merry mungkin saja pemarah dan galak, tapi Merry tidak pernah bersikap tidak ramah padanya. Kalau saudara yang lain mungkin sudah akan marah kalau mendapat pertanyaan semacam itu dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. "Gue pikir Kakak melihat pacar Kakak selingkuh," goda Benny. Merry menjitak kepala adiknya dan menggerutu, "Amit-amit gue diselingkuhi sam
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Wajah Merry masih terasa panas saat akhirnya dia sudah tiba di IGD rumah sakit terdekat. Kompleks apartemennya memang cukup dekat dengan rumah sakit, hanya perlu menyebrang, dan dia sudah sampai di halaman rumah sakit. Dan sepanjang jalan itu, sang Budi terus membopongnya. Benar-benar otot pria itu bukan kaleng-kaleng. "Apa yang sakit, mbak?" tanya perawat yang bertugas memeriksanya. "Ka-kaki saya, sus," jawab Merry. Sesekali matanya melirik ke tubuh sang Budi yang sedang berbicara dengan petugas administrasi di ruangan sebelah. Kebetulan lokasi tempat tidurnya bisa melihat ke ruangan itu. "Yang ini?" perawat itu memencet pergelengan kaki kanan Merry. "AAW!" Merry berteriak kaget karena dia sedang fokus mengintip. "Pelan-pelan, sus," ucap Merry meringis kesakitan. "Maaf, Mbak, lalu mana lagi yang sakit?" Mau tidak mau, Merry terpaksa berhenti mengintip dan fokus memberitahu perawat mana saja dirasa sakit olehnya. "Ada apa lagi lo ke sini, Bud?" Tiba-tiba Merry mendengar suara
Mereka bertiga berjalan bersama ke mall setelah mandi dan berganti pakaian. Mereka memutuskan untuk makan di foodcourt sehingga mereka bergantian membeli makanan. Saat Merry sedang berkeliling membeli makanan, Cathy dan Dawn duduk berdua saja sambil sesekali sibuk memeriksa ponsel mereka.Cathy tertawa membaca pesan dari Jason, cowok yang baru dikenalnya beberapa saat yang lalu. Tentu saja Jason mengajaknya untuk jalan hanya berdua di lain waktu, dan Cathy membalasnya dengan senang hati. Lumayan buat mengisi rasa bosan.Namun kemudian dia menyadari kalau Dawn diam saja sejak mereka berada di kolam renang. Padahal Dawn biasanya tidak berbeda jauh darinya kalau sedang berkenalan dengan cowok, agak centil dan banyak melempar candaan. "Oke, ada apa, Dawn?" tanya Cathy meletakkan ponsel di atas meja.Dawn terkejut karena Cathy tiba-tiba bertanya padanya, padahal perempuan itu sedetik sebelumnya terlihat asyik menatap layar ponselnya."Hah, oh ... gue ... nggak apa-apa, kok!" jawab Dawn se
Sesuai dengan janji pada Nyonya Sophie, hari ini Ashton akan memberikan Brittany kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka. Minggu ini mereka janjian untuk makan siang bersama di sebuah restoran.Ashton masih mengendarai mobilnya saat dia mendapatkan telepon dari Liam.“Yes, Bro?” jawab Ashton.“Lo di rumah?”“Nope, gue udah di jalan. Hari ini Brittany ngajak gue ketemuan.”“Oh, jadi sudah dimulai?”“Yep! Nyonya Sophie memang tidak pernah menunda waktu.”“Nyonya Sophie bukan nyokap lo, tapi lo nurut?”Ashton tertawa mendengar ucapan Liam yang penuh dengan nada sindiran.“Njirr, Nyonya Sophie juga bos gue keleus. Gue kerja di perusahaannya.”“Nyonya Sophie bukan satu-satunya pemilik. Masih ada gue dan bokap.”Ashton mendesah, memang sangat menyebalkan kalau dia harus selalu diingatkan masalah pada siapa dia sedang bekerja saat ini. Sebenarnya setelah menikahi Brittany, hal pertama yang akan dia lakukan adalah membuka perusahaan sendiri. Tentu saja dengan meminjam uang mertua. Tapi ka
"Ah, maafkan saya tidak sengaja menyenggol piring dan mengganggu perbincangan kalian," ucap Liam dingin walau masih terdengar sopan. Nyonya Sophie tersenyum, "Tidak masalah, Nak. Parmi, tolong bereskan piring yang pecah dan ganti yang baru," perintah beliau. Tanpa perlu diperintah dua kali, seorang pelayan sudah sigap membersihkan pecahan piring itu. Kemudian satu orang pelayan lainnya sudah membawakan piring yang baru di hadapan Liam. "Terima kasih karena sudah memakluminya, Nyonya Sophie," ucap Liam dengan sengaja mengubah panggilan ke ibunya dengan menggunakan nama. Nyonya Sophie menyadari perubahan intonasi suara dan panggilan yang diberikan Liam padanya. Beliau tidak terlalu terkejut, Liam pasti akan merasa keberatan, namun Nyonya Sophie sudah mempersiapkan rencananya dengan matang. "Tidak masalah, Liam. Piring yang pecah masih bisa digantikan. Namun, hati seorang ibu yang pecah dan terluka akan sulit untuk diobati. Bukan begitu?" balas Nyonya Sophie dengan nada bercanda na
Merry duduk dengan gelisah di kursi sambil sarapan. Berkali-kali matanya menatap ke arah jam dinding yang baru menunjukkan pukul sebelas siang. Benny tidak pulang dari malam, anak lelaki itu bahkan tidak menjawab pesan dan telepon darinya.“Berani-beraninya dia tidak acuh saat aku telepon,” Merry menggeram kesal. Namun, kekesalannya cepat berubah menjadi rasa khawatir. Merry tentu saja khawatir di mana adiknya tidur tadi malam, dan makan apa dia pagi ini. Merry meraih ponsel dan mengusap layar untuk membuka kunci. Ada banyak telepon tidak terjawab dan pesan yang belum dibacanya, salah satunya dari kekasihnya, Liam. Dia sedang tidak bersemangat mengecek pesan dari siapa pun. Namun, untuk mengalihkan pikirannya, dia mulai membuka semua pesan-pesan yang masuk. [Merry, kenapa kamu belum membaca pesan dariku? Kamu nggak apa-apa?] Begitu isi pesan dari Liam. Merry terus menelusuri pesan yang masuk dari Liam. Dan akhirnya dia sampai pada bagian saat Liam membicarakan Benny. [Benny tidur d