Jasmine mengunci dirinya di kamar. Hancur sudah. Baik Perasaannya, dan juga masa depannya. Tujuh tahun. Tujuh tahun tanpa ada yang memberikan jawaban atas apa yang menimpanya selama itu. Mengapa sampai tujuh tahun ia di biarkan tertidur lagi ketika ia sempat terjaga.Jasmine menangis sekuat-kuatnya sambil berteriak, "Enggak, enggak mungkin. Kenapa bisa separah itu sakit yang aku alami,"."Mama, Mama, aku harus bagaimana, Ma," isaknya.Sementara dua orang tua tadi hanya terpekur diam. Menunduk pilu mendengar suara tangis dan jeritan hati putrinya."Bunda salah, ya, Yah. Maafkan bunda, yah," ujar Astrid pelan dan menyesal.Baru beberapa menit yang lalu, mereka melihat Jasmine dengan pembawaannya yang tenang, mendengarkan apa yang di ceritakan oleh Astrid. Astrid menjelaskan bagaimana Jasmine menjalani hidup di rumah sakit selama tujuh tahun dengan menggunakan alat demi menopang hidupnya. Walaupun semua itu adalah kebohongan yang di ucapkan olehnya atas persetujuan Alma sebelumya."Jika
"Kamu mau bawa Jasmine ke sini?"tanya Justin dan Satria bersamaan."Yupz. Karena Jasmine, kan udah mengetahui keadaan dirinya. Jasmine maunya, supaya aku menceritakan kisah hidupku selama ini. Jadi, ga ada salahnya, kan kalau aku membawanya ke rumah ini. Sekaligus memperkenalkan keluargaku yang baru. Gimana? Oke, ga?" jelas Retha bersemangat."Apa ga masalah, dek? udah nanya pendapat dari orang tuanya Jasmine?" termasuk tante Alma juga," tanya Satria ragu."It's, ok. Aku setuju," timpal Justin."Hah? serius bang? apa ga terlalu cepat kalian memberitahukan semuanya ke Jasmine. Tunggu lah, sabar lah dulu. Takutnya, kalau dia dengar kesuksesan dari teman-temannya sekarang. Nanti dia jadi minder, karena kuliahnya belum selesai- selesai. Mending ga usahlah, dia kan lagi skripsi, dek," ujar Satria keberatan."Jadi, tunggu selesai skripsi?" tanya Retha."Ya, bagusnya begitu, biar otaknya tetap fokus pada satu tujuan, dan dia pun ga berpikiran macam-macam yang membuatnya jadi pesimis untuk su
Semenjak Jasmine mengetahui tentang dirinya. Baik Justin dan Jason selalu memperhatikan keadaan wanita itu setiap saat. Untungnya tak ada hal yang membuat semua orang cemas terhadapnya.Jasmine melakukan aktivitas kampusnya seperti biasa.Sedangkan Jasmine sendiri mulai menerima keadaan dirinya dan bersyukur. Terutama terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya selama ini. Jasmine turut bahagia kala ia mengetahui kehidupan teman-teman perempuannya yang sudah berumah tangga. Khususnya kepada Retha yang bersuamikan Satria, seorang asisten dosen mereka dulu, yang pernah menyukai Retha secara diam-diam.Dari Retha lah semua kisah baik dari kehidupan teman-temannya di perdengarkan ke Jasmine. Jasmine ikut bahagia mendengar semua berita baik itu.Hingga akhirnya ia berkata, "Aku pingin ketemu sama mereka semua," ujar Jasmine setelah melihat seluruh album foto di rumahnya Retha.Senyum Retha melebar dan berjanji akan memenuhi keinginan karibnya itu. "Aku akan hubungi mereka semua, supaya
Suara tuas pintu membangunkan Jasmine dari tidurnya."Ups, maaf. Bunda berisik ya?" ujar Astrid dengan nada pelan. Namun terbaca jelas di mata Jasmine dikarenakan ia mampu membaca gerakan bibir wanita yang terlihat anggun itu.Mungkin bagi manusia normal apa yang dikatakan Astrid barusan, tidaklah tau. Dan juga buat sebagian orang yang tak mengenal Jasmine, yang dulunya pernah mengalami difabel, menilai Jasmine memiliki kelebihan.Jasmine menggeleng pelan dengan senyum kecilnya. Ia takut membangunkan kedua bocah ini jika ia terlalu berisik."Pagi ini kamu ada janji ketemu dosping, kan? Makanya bunda ke sini. Cuma ngingetin kamu. Bunda juga udah masak, " bisik Astrid."Iya, makasih, Bun," sahut Jasmine pelan. Lalu beranjak perlahan dari tempat tidur di mana ia di apit oleh dua bocah itu. Semalam mereka minta di temani tidur sampai-sampai Jasmine pun tertidur, lantaran dua tangannya di jadikan bantal oleh dua bocah itu hingga terasa kebas."Dasar bocah, maunya tidur di kelonin dulu baru
Langkah kaki Jasmine berhenti di depan sebuah gedung mewah. Netranya menatap ke gedung yang menjulang tinggi tersebut, dan membaca nama perusahaan yang akan ia mintai data-datanya."Kok aku jadi pesimis, ya. Padahal aku udah megang memo dari pak Satria,". Ia berdecak.Jasmine memberanikan diri masuk ke tempat yang di tuju, dan memberitahukan ke resepsionis mengenai maksud dari kedatangannya ke sini."Mbak, Jasmine, ya? kebetulan sudah di tunggu oleh bapak di atas. Mari silahkan". Salah satu resepsionis tersebut menunjuk ke sebuah lift dan menjelaskan lantai dan ruang apa Jasmine harus ke sana. Jasmine pun mengikuti petunjuk yang di katakan oleh resepsionis itu.Namun langkahnya terhenti ketika berada di depan lift. Seketika memorinya mengajaknya kembali di kenangan yang menyakitkan. Ia teringat bagaimana semuanya terjadi dari sebuah lift. Jasmine menutup matanya dan menggeleng pelan demi menepiskan bayangan buruk itu."Stop. Aku mohon jangan di ingatkan lagi tentang itu. Aku mohon ya,
Sebuah nada dering pengingat terdengar dari ponselnya. Yang mengingatkan tentang acara yang harus Justin hadiri malam ini. Yang memungkinkan dirinya untuk pulang larut malam dikarenakan acara tersebut berada di luar kota.Justin bergegas pulang ke rumah untuk mempersiapkan setelan pestanya. Namun baru juga beberapa langkah keluar dari ruangannya. Ia terhenyak mendapati Jasmine masih berdiri di depan lift.Justin mendekat dan memperhatikan gelagat Jasmine yang tampak aneh. Justin menahan lift yang akan menutup dan bertanya pada Jasmine," kenapa belum masuk?".Wanita itu terlihat ragu-ragu. Justin mempersilahkan Jasmine untuk masuk. Namun Jasmine masih terpaku di situ."kamu ga pulang? Ayok masuk. Ngapain kamu di situ,". Jasmine akhirnya memutuskan masuk. Pintu lift menutup."Kamu udah lama berdiri di situ?" tanya Justin penasaran. Seharusnya, jika Jasmine sudah tak berada di kantor ini lagi, jika saja istrinya ini pulang dari satu jam yang lalu. Namun yang ia lihat Jasmine masih berada
Cahaya matahari menyeruak masuk dan menerpa wajah manis milik perempuan yang kini di panggil De Jasmine oleh Justin. Wanita itu membuka kelopak matanya perlahan tatkala merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kulit wajahnya.Netranya menelisik ke segala arah ruangan itu setelah mengerjapkan matanya sesaat.Kembali ia di kejutkan pada keadaan yang berbeda. tak seperti biasanya terjadi di pagi hari. Ia segera bangkit dari tidurnya dan duduk menepi di ranjang yang berukuran besar itu.Ia mengecek kondisi tubuhnya dan juga pakaiannya yang kini berganti menjadi sebuah dress tidur yang lembut."Akh, sialan. Brengsek," makinya. Berarti kemarin adalah puncak di mana ia akan di bawa ke tempat ini. Berarti ia tak salah jika bayangan hitam itu adalah seorang manusia laknat yang telah berbuat jahat padanya.Jasmine meradang. Segera ia mengganti dress tersebut dengan bajunya yang berada di atas sofa, yang terletak di sudut kamar ini. Jasmine keluar dari kamar dalam keadaan murka. Ia mengambil semb
Justin membuka lebar pintu kamar pribadinya yang ada di ruang kantornya. Menyilahkan Jasmine menggunakan kamar mandinya untuk mengganti pakaian yang sudah ia sediakan."Kamu pakai aja ruangan ini," titah Justin. Lalu pria itu menutup pintu kamar itu, agar Jasmine bisa leluasa berada di sana.Sepeninggalnya Justin. Jasmine tercengang melihat interior di kamar tersebut. Padahal hanya sebuah kamar di ruang kantor. Namun seperti kamar hotel. Ia memperhatikan setiap detail dari ruangan tersebut, sampai akhirnya, netranya berhenti pada sebuah bingkai foto di atas nakas.Jasmine mendekat hanya karena ingin tau siapa saja yang ada di dalam foto tersebut. Ia tersenyum saat melihat dua ponakannya ada di situ dengan senyum manisnya."Mereka memang menggemaskan," ucapnya di selingi senyum tipis. Lalu melirik sekilas ke iparnya yang menggunakan setelan jas pesta, seragam dengan Dean."Seperti pinang di belah dua. Benar-benar mirip. Cocok kali lah. kalian berdua sebagai ayah dan anak. Hehe," gumamn
Tak ada hal yang paling membahagiakan ketika seseorang yang di cintai, mau menerima keadaan kita yang sebenarnya, bukan?.Itulah yang dirasakan Jasmine sekarang. Wanita itu tersenyum sumringah saat usai di dandani dengan rapi dan cantik. Hari ini adalah hari pertunangannya dengan Justin. Ia memutuskan bertunangan dengan pria itu setelah mengungkapkan semua yang di pendamnya, dan Justin menerimanya tanpa syarat."Seperti yang udah aku katakan sebelumnya, aku mencintai kamu tanpa alasan dan juga syarat. Apa adanya. Bukan karena hal yang lain. Apapun kamu yang sekarang ini. Aku terima, Jasmine. I want you to forever. That's All,".Ucapan pria itu membuatnya luluh dan melupakan masa lalunya yang buruk, dengan menerima Justin sebagai pasangan hidupnya kelak."Duh, yang mau jadi calon pengantin. Selamat ya, akhirnya bisa sama abang Justin juga. Moga langgeng sampe kakek nenek, ya? Bahagia terus," ucap Retha senang lantaran usahanya selama ini membuahkan hasil."Makasih, Ta. Kamu juga, ya. M
Ketika berada diantara sadar dan tidak. Samar ia mendengar langkah kaki ringan mendekat kepadanya. Pria itu masih menutup matanya lantaran rasa lelah dan kantuk mendominasi dirinya. Bahkan hampir saja memasuki tahap mimpi. Namun sentuhan ringan di kakinya membuatnya berusaha untuk sadar dengan matanya yang dibiarkan terpejam.Ia cukup merasakan sentuhan lembut itu di kakinya. Lalu kembali ia rasakan di area lehernya. Ia merasakan jika dasinya tengah di tarik oleh seseorang yang tadi. Siapa lain jika bukan De Jasmine, istrinya.Hatinya tersenyum. Ternyata seorang De Jasmine tak akan setega itu padanya. Biarpun tadinya dalam keadaan mode cuek bebek. Wanita ini memang dikenal baik.Ia masih memejamkan matanya. Berharap ada sentuhan lain yang ia rasakan ataupun perhatian lain yang ia dapatkan dari wanita ini. Selimut. Ya, dia butuh selimut untuk menghangatkan tubuhnya yang kedinginan, dikarenakan sedari tadi berada di beranda rumah demi menunggu Jasmine.Namun Ia salah. Ia tak mendengar l
Gerimis senja yang tadinya turun dengan begitu lembutnya. Kini mulai mengguyur deras di sore itu. Seolah-olah meminta kepada manusia yang ada di kota ini untuk menghentikan, dan rehat sejenak dari segala macam aktivitasnya.Semua berhenti dan menunggu hujan mereda di tempat perlindungan. Namun bukannya mereda. Bahkan petir, kilat serta guntur beradu padu menjadi satu, mengiringi suara adzan yang berkumandang di senja itu. Cuaca tak bersahabat bagi mereka yang masih berada di luar ruangan. Sebab angin pun mulai turut menunjukkan perannya dengan berhembus perlahan ke mana saja ia suka.Hal inilah membuat pria berusia 34 tahun itu menjadi resah akan istrinya yang kini entah berada di mana. Jika merujuk pada waktu, harusnya Jasmine telah kembali pulang ke rumah di beberapa menit yang lalu.Akan tetapi, Maghrib telah terlewati begitu saja. Tanda-tanda Jasmine akan kembali pun tidak. Ia berusaha menghubungi istrinya itu melalui ponselnya. Namun nomor yang di tuju tak jua mendapat respon la
"kita break aja, ya?".Suara itu cukup pelan dan lembut terdengar. Seperti kalimat memohon. Namun entah mengapa Kalimat yang barusan muncul dari bibir yang ia kecup dengan penuh gairah kemarin. Bagaikan sebuah alat kejut listrik yang dialiri ribuan volt mendarat di dadanya. Ia seperti mendapatkan serangan jantung mendadak. Yang menyebabkan Dadanya berdebar tak tentu."Apa maksudnya ini, De?" tanya Justin tak mengerti, saat istrinya ini mengembalikan cincin yang baru juga satu hari ia sematkan di jari manis itu."Aku belum bisa menerima ini, karena Aku belum bisa memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini seperti apa. Selama ini aku sudah cukup nyaman kalau hubungan kita adalah sebatas ipar," ucap Jasmine di selingi senyumnya yang tipis."De Jasmine," pekiknya."Selama ini kita sudah saling mengenal bukan? Bahkan kemaren kita sudah...,""Ya, aku tau. Tapi bisa tidak? hal itu jangan di ungkit lagi. Anggap saja kita lagi khilaf," jawab Wanita itu memotong perkataannya Justin."Apa! Khilaf
Pagutan lembut yang dilakukan Justin membuat keduanya terlena untuk melakukan sesuatu yang lebih. Mereka terlena untuk sesaat sebelum akhirnya disadari oleh dering ponselnya Justin.Pria itu baru menghentikan aksinya setelah Jasmine menolak tubuh pria itu agar menjauh dikarenakan suara ponsel tersebut sangat mengganggu situasi saat ini."De Jasmine," desis pria itu kecewa.Jasmine menundukkan pandangannya dan berkata,"angkat dulu telponnya. Mana tau itu penting,". Lalu memunggungi pria itu. Kembali berkutat pada pekerjaannya yang tadi.Ia sempat melirik Justin yang menatapnya kecewa sambil menggigit bibir bawahnya. Namun ia harus berbuat apa. Dering ponsel itu mungkin saja sesuatu yang lebih penting ketimbang yang mereka lakukan tadi. Walaupun ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bahwa ia juga menikmatinya.Sedangkan Justin terpaksa mengangkat ponselnya yang semakin berisik. Ia menerima panggilan tersebut. Sesekali netranya melirik ke arah Jasmine.Panggilan itu selesai dalam hit
"Dia...,"Tatapannya tak lepas dari wajah Jasmine yang tengah ia cari-cari kesamaannya dengan si bocah rese itu.Justin tersentak saat Jasmine memanggilnya kembali. Ia tersenyum kikuk."Ngelamun aja. Mau, ga?"tanya perempuan itu lagi."Oh, oke. Aku coba," sahut pria itu. lalu mengambil cetakan kecil dengan segala macam bentuk hewan."Kamu sering buat ini ke mereka?" tanyanya seraya mencetak adonan yang terbuat dari campuran tepung dan gula, yang tadinya sudah di pipihkan oleh Jasmine."Mm, ga juga. Biasanya bunda Astrid yang sering buat. Aku jarang ke dapur. Hari ini karena ga ada bunda aja. Makanya iseng ke sini, sambilan ada resep baru yang pingin aku coba," Jawab Jasmine santai sambil melihat ponselnya.Ia memperhatikan bahan-bahan lain yang akan ia olah untuk membuat resep baru. Kali ini ia mencoba memasak masakan yang gurih."Udah full tu. Sini loyangnya biar aku yang panggang," pinta Jasmine saat melihat satu loyang yang telah penuh dengan adonan yang di cetak oleh Justin.Justi
Siang itu ketika Justin berkunjung ke salah satu rumah kontrakan milik sahabatnya, Nadira. Ia melihat seorang gadis berusia sekitar 15 tahun ada di rumahnya Nadira. Nadira adalah teman masa kecilnya yang selalu saja mereka habiskan waktunya bersama."Siapa?" tanyanya pada sahabatnya itu."Anak tetanggaku," sahut Nadira."Oh. Ni, aku bawain belanjaan yang kamu minta," ujar Justin sambil menyerahkan plastik kresek tersebut ke Nadira.Nadira membawa barang belanjaan tersebut ke dalam dapur diikuti bocah yang terlihat akrab dengan sahabatnya itu."Mo masak apa, kak?" tanya gadis itu sambil membuka dan memperhatikan isi di dalam plastik kresek tersebut.Justin yang melihat sikap bocah itu kurang sopan, seketika itu ia menegurnya secara tak langsung," kok di buka-buka gitu, dek""emang kenapa?" tanya gadis itu santai dan terlihat acuh tak acuh."Ya, ga sopan aja. kan kamu ga ada ijin sama yang punya untuk buka-buka tu bungkusan,"."Orang aku udah biasa kok. Ya, kan kak?" sahut gadis itu cue
Tak ada perdebatan lagi siang itu. Dean pamit pada Jasmine ke rumah Justin."Pergi duyu, Bunda. Hati-hati di umah," ucap bocah itu riang sambil melambaikan tangannya pada Jasmine.Jasmine tersenyum sambil membalas lambaian tangan Dean. Seketika wanita itu mengernyitkan dahinya dikarenakan seperti pernah mengalami hal ini. Bayangan antara dirinya dengan seorang bocah sebaya Dean tiba-tiba muncul mengganggu pikirannya."Ini, seperti..., ," Jasmine segera menggeleng pelan untuk menafikan hal yang mengganggu pikirannya sekarang."Mungkin itu hanya Dejavu," gumamnya di hati.Jasmine kembali ke dalam. Hari ini hanya dirinya sendiri yang ada di rumahnya. Wanita itu berniat menghabiskan waktunya di dapur. Sebab bukan tidak mungkin jika Dean dan Keyra kembali mendadak dan meminta menginap di rumah ini. Meskipun ada Oma nya di rumah Justin. Biasanya mereka ingin cemilan sebelum tidur.Sementara Justin membiarkan dua buah hatinya bermain bersama dengan mamanya di rumah. Ia memilih kembali ke ru
Bukan Mona namanya jika membiarkan kesempatan terbuka di depan mata. Ia mulai mendekati Jasmine perlahan dengan dalih cucu. Mona sengaja memaksa Justin untuk menjemput dua cucunya agar kembali ke rumah selama dirinya ada di rumah putranya itu.Justin datang menghampiri rumah Arfan, sang mertua. Di mana ia berharap bertemu seseorang selain dua darah dagingnya."Daddy," panggilan senang dari dua bocah tersebut terdengar kencang."Hallo my girl, my boy," siapanya yang ikutan senang. Ia berlutut lalu merangkul tubuh dua bocah itu."Daddy kapan nyampe-nya?" tanya Keyra."Baru aja sayang," sahut Justin sambil memeluk erat tubuh putrinya."Mana bunda?" tanyanya dengan netranya menelisik ke segala arah."Hmm, kayaknya di kamar, deh. Mau Keyra panggil?"tawar gadis itu."Apa baru pulang kerja, ya?" tanyanya pria ituP lagi."Iya, unda Balu aja puyang kelja," timpal Dean lalu berteriak memanggil, Undaaaaaa, Daddy udah Puyang,"."Eits, udah jangan di panggil, sayang. Biar aja bunda istirahat," te