Nayna membawa Rama ke sebuah restoran yang lebih kecil dari milik Rama. suasananya tidak seromantis tadi dan tampak biasa saja. Alih-alih remang-remang dan misterius, pencahayannya malah sangat terang dengan dekorasi serba putih yang terlihat sangat higienis.Mereka tak perlu reservasi. Cukup memilih tempat duduk di dekat jendela dengan pemandangan suasana malam yang ramai.Penampilan Nayna sangat mencolok untuk ukuran restoran yang biasa saja. Begitu pun dengan Rama yang mengenakan setelan lengkap yang licin berwarna cokelat gelap. Dia tampak seperti eksekutif muda yang memilih restoran random untuk makan malam karena sudah terlalu letih.Namun, wajahnya masih segar. Tak ada gurat kelelahan dan keberatan meski Nayna mengajaknya ke tempat yang lebih jauh sampai memakan waktu lima belas menit perjalanan."Ada makanan lokal juga di sini." Nayna bersuara untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki restoranRama mengangguk paham sambil menatap lekat buku menu. Menyebutkan menu pilihannya
Nayna menatap fokus ke samping, pada Rama yang sudah jatuh tertidur. Napas lelaki itu berembus teratur. Nayna mengambil ponsel di dalam tas jinjingnya.“Halo, saya akan kirimkan sisa uangnya. Terima kasih sudah membantu.”“Sama-sama, Mbak.” Nada suara itu terdengar senang. Waitress yang sejak tadi melayani mereka di dalam restoran itu mau bekerja sama tanpa bertanya macam-macam.Nayna memutus telepon dan kembali mengamati Rama. Malam ini dia harus bekerja keras sebab tenaganya akan terkuras habis.Pertama-tama Nayna turun dari mobil dan membuka pintu kemudi, kemudian mulai menurunkan Rama setelah membuka sepatu tingginya terlebih dulu.Tubuh besar lelaki itu lebih berat dari perkiraan Nayna. Untungnya dia tidak perlu ke hotel yang jauh, sebab puluhan langkah dari restoran lokal itu, ada hotel yang juga tidak begitu mewah.Nayna cuma perlu memapah Rama menuju hotel bintang empat itu. Tak butuh waktu lama, N
Lisa sampai di hotel Bellina dua puluh menit kemudian. Ia langsung berlari melewati meja resepsionis dan memberondong masuk ke lift. Dadanya naik turun dengan tempo yang tidak teratur. Di dalam lift, setengah mati ia mencoba tetap tenang meski kedua kakinya gemetar menahan amarah. Kedua tangannya sudah terkepal bersiap untuk memberikan pelajaran kepada perempuan tidak tahu malu itu!“Beraninya dia menggoda Mas Rama!” Lisa menggeram dengan sorot mata lurus penuh dendam.Ketika pintu lift yang hanya diisi olehnya itu terbuka, Lisa tidak membuang waktu sedetik pun untuk langsung berlari dan mencari-cari kamar 303 di lantai tiga.Dia bahkan membawa Mas Rama ke hotel murahan seperti ini!Kamar 303 sudah ada di depan matanya. Lisa merasa tak perlu mengetuk atau meminta izin. Digedornya pintu cokelat itu dengan amarah membabi buta. Tak ada reaksi apa pun dari dalam. Dia akhirnya memutar handle-nya dan tahu-tahu pintu itu terbuka.Ternyata tidak terkunci.Lisa menerobos masuk. Menemukan Rama
Lisa tidak ingin lagi membaca rentetan pesan yang mempermainkan akal sehatnya itu. Genggamannya pada ponsel semakin menguat. Dengan napas yang memburu penuh amarah, ia lempar benda elektronik itu ke dinding lift, melampiaskan seluruh api yang bercokol di dadanya.Dia tidak pernah dipermainkan seperti ini. Lisa bersumpah akan melenyapkan Nayna secepatnya!Ponsel dengan logo apel yang tergigit itu akhirnya hancur. Cukup sudah teror itu menghancurkan kendali dirinya. Kali ini dia tidak akan tinggal diam lagi.“Aku akan menghancurkan kamu untuk kedua kalinya, Nayna!”Sedang nama yang menjadi objek sumpah itu bersandar di balik dinding yang tidak terlihat di lantai tiga. Mengamati Rama yang masih berdiri kaku di tengah lorong dengan sorot mata yang kelewat bingung. Ada kecemasan dan ketakutan dalam bola matanya yang selalu menatap ramah itu.“Maaf, kamu harus menderita dulu, Rama.”Nayna memaku kakinya di atas lantai, semata untuk menghentikan dirinya agar tak menghampiri lelaki itu. Kedua
Meskipun ide itu terdengar cemerlang, tapi Rama masih memegang prinsipnya bahwa kesalahpahaman Lisa akan semakin menjadi-jadi jika dia malah mengundang Ayna ke rumah mereka secara pribadi. Lisa akan mengira jika mereka memang dekat.“Saya menghargai niat Anda, Ayna, tapi saya akan menyelesaikannya sendiri.”“Baiklah. Kapan pun Anda berubah pikiran, saya siap bertemu dengan istri Anda kapan saja.”Rama mengangguk, masih sibuk dengan pikirannya ketika Nayna berdiri.“Ini adalah hari terakhir saya bertemu dengan Anda, karena Anda akan pergi besok.”“Tidak, saya akan tetap di sini menyelesaikan semuanya.”Nayna memberikan anggukan setuju. “Anda juga masih punya utang tiga hari melayani saya.”“Saya akan mengingatnya.”Rama tidak lagi memberikan respons. Segala keramahannya berganti dengan kekalutan. Mata hangatnya berubah penuh kecemasan. Ia tidak m
Malam ini Rama berusaha pulang lagi. Berharap Lisa akan melunak dan mau mendengarkan penjelasannya.Diketuknya pintu rumah untuk kesekian kalinya. Bel bahkan sudah ia pencet puluhan kali. Sampai akhirnya Bik Sumi membuka pintu dengan ekspresi menyesal dan tidak enak.Bahu Bik Sumi melemas dengan kedua tangan yang saling meremas. “Maaf, Pak. Ibu bilang saya nggak boleh bukain pintu untuk Bapak. Tapi, saya nggak enak biarin Bapak terus ngetuk dan mencet bel begini.”Rama menarik napas dalam-dalam. “Nggak papa, Bik. Ini bukan kemauan Bibik.” Ia mengintip ke dalam. “Mana Lisa?”“Ibu belum pulang.”Rama melirik arlojinya. “Sudah jam sepuluh. Kenapa Lisa belum pulang?”“Saya juga nggak tahu, Pak. Ibu nggak bilang apa-apa.” Perempuan paruh baya berdaster merah jambu dengan motif kembang mawar itu masih menunduk takut-takut.“Ya sudah. Bibik boleh balik ke kamar.&rd
Rama termenung sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Bik Sumi yang duduk di sampingnya merasa khawatir. Seharusnya Rama tidak perlu membelanya sampai membuat Lisa marah.“Saya nggak papa, Pak. Kita putar balik saja ya, takutnya Ibu bener-bener marah.”Rama melirik Bik Sumi sekilas, memberikan senyum yang menandakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. “Ini bukan salah Bibik. Lisa memang sudah marah sama saya sebelum ini.”Bik Sumi merasa tidak enak terkait dirinya yang menyembunyikan paket untuk Rama tempo hari, tapi ada daya, dia tidak punya pilihan lain selain menuruti kata-kata Lisa.“Luka saya nggak papa kok, Pak. Benar kata Ibu, tinggal dioles salep. Besok bakal sembuh.”“Nggak bisa. Bibik celaka karena Lisa. Saya nggak bisa membiarkan luka Bibik begitu saja.”Bik Sumi langsung meremas tangan gugup. “Bu-bukan Ibu kok yang mencelakai saya.”Kening Rama mengernyit tidak suka. “Saya lihat sendiri. Dia melempar gelas berisi teh panas itu ke kaki Bibik. Saya nggak habis pikir kenapa
Dan di sinilah Lisa berada. Di restoran bergaya Eropa dengan nuansa yang damai dan menenangkan. Jauh berbeda dengan tujuan pertemuan ini. Dalam gandengan lengan Rama, ia berjalan menuju meja yang arahnya berseberangan dengan jendela, sehingga ia bisa melihat pemandangan gedung-gedung pencakar langit serta lampu kerlap-kerlip yang menerangi kota dari lantai tiga. Tidak main-main, Rama bahkan membawanya ke restoran bertingkat lima dan sudah mereservasi satu meja dengan posisi strategis untuk membahas hal-hal penting. Rama menarik kursi untuk Lisa dan memegang kedua bahunya ketika Lisa menjatuhkan diri pada kursinya, kemudian berbisik lembut di telinga wanita itu. “Dia akan datang 20 menit lagi, jadi kita bisa menikmati waktu kita dulu.” Ah, hampir saja Lisa menyemprot Rama karena membawanya ke tempat yang sangat mewah dan romantis ini hanya untuk pertemuan dengan perempuan kampungan macam Nayna. Kemarin malam, Lisa nyaris menolak ajakan gila Rama. Bertemu dengan Nayna? Kenapa dia h
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad