"Kapan dia akan datang?"Lisa melemaskan jari-jarinya seolah sudah siap untuk berperang dengan Nayna. Dua puluh menit sudah berlalu, tapi wanita itu belum jua datang. Lisa sudah tidak sabar melihat pakaian udik macam apa yang akan dipakai Nayna kali ini.Rama melirik arlojinya dan ikut heran. "Kita tunggu sebentar lagi."Lisa mengangguk sambil membaca pesan yang dikirimkan orang-orang suruhannya 15 menit yang lalu.'Kami sudah ada di depan restoran. Kami akan menangkap orang yang ada di foto itu.'Lisa mendapatkan foto Nayna dari Bagus. Foto tanpa make up serta foto pernikahannya yang full make up. Untuk berjaga-jaga barangkali Naya datang dengan riasan ala ondel-ondel agar orang suruhannya bisa mengenali wanita itu.Lisa turut membaca pesan balasannya. 'Bagus. Amati baik-baik. Kalau kalian melihat dia, langsung singkirkan.'Mungkin saja sekarang Nayna sedang diatasi oleh orang-orang suruhannya. Barangkali perempuan itu sedang mengemis untuk diampuni. Yang jelas, dia tidak akan sampai
Nayna tidak pernah berniat menjerumuskan dirinya dan Rama ke dalam lubang yang akan menenggelamkannya. Malam itu tidak seinchi pun dia menyentuh kulit Rama. Ketika dua pegawai hotel berseragam kombinasi merah dan hitam sudah membaringkan tubuh Rama di atas ranjang, Nayna meminta mereka menggantikan pakaian Rama sementara dia masuk ke kamar mandi untuk menghindar. Setelah keluar dari kamar mandi, Rama sudah memakai bathrobe hotel. Meski begitu, bagian dadanya tetap terekspos. Sesaat setelah dada yang bidang itu terlihat olehnya, Nayna langsung memalingkan wajah. “Kami sudah menggantikannya, ada yang Ibu butuhkan lagi?” Nayna mengangguk kemudian mengeluarkan lipstik dari dalam tasnya. “Kalian bisa menambahkannya di dadanya?” Dua pegawai hotel itu terdiam heran melihat lipstik yang diulurkan Nayna. Ketika Nayna memberikan tatapan tegas, barulah mereka mengambilnya. “Usapkan di kulit dadanya sedikit demi sedikit, seperti bekas—“ Nayna sedikit ragu untuk menyebutkan kata selanjutnya.
Dia bukan Nayna yang Lisa temui di rumah wanita itu, bukan pula Nayna yang datang ke hotel bersama sahabatnya untuk melabrak dirinya. Sama sekali bukan.Nayna yang ini berbahaya. Dengan mata memerah dan melotot tajam padanya, raut dingin dan mata yang dipenuhi ancaman serta dendam yang membara. Lisa merinding. Ada rasa aneh seperti perasaan takut yang menjalar ke dadanya.“Kamu nggak bisa menyentuh saya lagi.” Lisa mematung. Sekujur tubuhnya membeku kendati rasa sakit di kaki dan punggungnya masih menyengat.“Kamu mengira saya nggak bisa menghancurkan kamu? Jangan salah paham. Suami kamu sudah ada dalam genggaman saya. Malam ini juga saya bisa membocorkan semua kelakukan bejat kamu ke dia.”Napas Lisa tertahan ketika bibir Nayna semakin menipis, bergetar seolah menahan diri untuk tidak mengeluarkan semua cacian yang ada dalam kepalanya.“Jangan mempercayai cerita saya. Siapa bilang saya nggak tidur dengan suami kamu?” Raut wajah yang mengeras itu berubah menjadi sangat dingin, kemudi
Nayna menuruni tangga, menengok sebentar pada lantai dua, tempat dia duduk sejak tadi. Dia sengaja datang lebih awal—tiga puluh menit lebih dulu dari waktu perjanjiannya bersama Rama. Untuk berjaga-jaga barangkali ada rencana jahat yang sudah Lisa persiapkan untuknya.Dia sudah sangat mengerti alur pikiran Lisa. Wanita itu akan mencari celah untuk menyingkirkannya dengan cara apa pun, dan Nayna harus waspada setiap saat.Seperti saat ini, sesaat setelah ia membuka pintu kaca itu, pemandangan di luar restoran membuatnya berhenti melangkah. Ada tiga laki-laki berbadan besar dan berpenampilan berantakan sedang mondar-mandir di sekeliling restoran sambil memegang selembar foto dan mengamati orang-orang yang keluar dan masuk di restoran.Salah seorang preman berambut panjang berantakan melihatnya. Dalam waktu lima detik, pria dengan celana jeans robek-robek di bagian lutut itu melotot seolah mengenalinya, lalu memanggil tiga temannya kemudian menunjuk Nayna.
Lisa terperangah, sementara Nayna tetap tenang di tempatnya. Lisa mengerjap, tahu bahwa Rama tidak sedang bercanda. Mulutnya terbuka, tapi Nayna mendahuluinya. “Tinggal di rumah Anda? Saya tidak bermaksud begitu. Rumah Anda adalah satu-satunya tempat yang saya pikirkan tadi, makanya saya spontan ke sini. Jangan salah paham." “Tidak masalah. Saya sangat ingin membantu Anda. Saya dan Lisa juga jarang di rumah.” “Apa maksud kamu, Mas? Kenapa kamu suruh dia tinggal di sini?” Lisa maju mendekat ke hadapan Rama. Tidak menyembunyikan rasa protesnya. Pandangan serius Rama beralih ke Lisa. “Dia nggak punya keluarga dan kerabat lagi, Sayang. Sebagai sesama, kita berkewajiban untuk membantu.” “Dia bisa ke kantor polisi!” “Ya, Lisa benar. Saya bisa ke kantor polisi dan melaporkan suami dan selingkuhan saya. Anda tidak perlu repot-repot.” Saat itulah Lisa sadar, bahwa ucapan itu dipenuhi sindiran sekaligus ancaman. Ia menghentikan deru napasnya yang menggila, pun kalimat-kalimat protesnya ya
Nayna masih mengingat rasa dari pukulan-pukulan di kepalanya yang seolah tidak akan pernah berhenti. Tamparan-tamparan terus mengenai wajahnya saat ia diseret oleh ketiga preman itu.Mobil van besar sudah terparkir di gang sempit dan gelap. Ia diseret masuk, tapi Nayna tetap memberontak.“Gue udah bilang jangan melawan!”Lagi, tamparan itu mendarat sampai melukai sudut bibir Nayna. Ia dipaksa naik, satu kakinya diangkat ke mobil. Nayna tetap berusaha sekuat tenaga, ia keraskan tubuhnya sampai gaunnya robek, ia tak peduli lagi.Sebab ia tahu, kalau dia sudah naik ke mobil itu, maka dia akan betul-betul tersingkir. Game over.“Naik! Gue bilang naik!”Nayna menggeleng keras. Mengumpulkan tenaga yang masih tersisa untuk melawan. Dalam satu entakan, preman-preman itu akhirnya berhasil membuatnya masuk ke mobil.Mereka memutari mobil dan ikut naik, sementara Nayna menunggu celah yang tepat. Kendati tangan
Pagi ini adalah pagi terburuk Lisa. Saat ia masuk ke dapur bersama Rama untuk sarapan, Nayna sudah berdiri di balik meja konter dengan celemek putih yang kotor. Suasana hatinya semakin memburuk ketika Rama berjalan cepat melewatinya dan menghampiri wanita itu.“Kenapa Anda memasak? Nggak perlu begitu, Ayna. Anda sedang terluka.”Tidak ada raut dingin pada wajah Nayna yang babak belur. Justru senyum manislah yang menghiasi bibir pink mengkilapnya. “Pembantu kamu sedang sakit. Saya lihat kakinya diperban.”Lisa mendesis marah di tempatnya. Sekarang Nayna sudah melancarkan godaannya secara terang-terangan? Dia mulai mengganti sapaan di antara mereka menjadi kamu.“Kita bisa cari sarapan di luar. Nggak perlu masak. Luka-luka Anda pasti masih sakit, Anda juga pasti masih merasa syok karena semalam. Istirahat di kamar saja.”Rama yang pagi itu mengenakan kemeja abu-abu basah tampak segar dengan senyum tipis yang ramah tertuju kepada Nayna. Keberadaan Lisa ia abaikan.“Saya bakal merasa sema
"Apa kamu bilang?!” Nayna tak lagi menanggapi, ia menunduk sambil menertawakan Lisa. Sedang yang ditertawakan tak lagi bisa menahan gejolak emosi yang memberondong dadanya. Diambilnya gelas kosong di atas meja, diayunkannya tinggi-tinggi hendak melempar kepala Nayna. Tapi, ia kalah cepat. Nayna sudah lebih dulu menyambar piring Lisa dan melempar semua isinya ke badan wanita itu. Lisa terperangah ketika sekujur tubuhnya dipenuhi butiran nasi goreng. Ujung-ujung rambutnya ikut ditempeli nasi. “Jangan bertindak gegabah. Kalau saya mati di rumah ini, kamu yang bakal jadi tersangka. Sekadar informasi, saya punya teman di luar sana yang akan mengirim semua bukti ke suami kamu meskipun saya sudah mati.” Lisa menggenggam erat gelas itu dengan kekuatan penuh. Tubuhnya bergetar hebat karena gejolak amarah, terlebih ia tidak bisa berkutik pada ancaman murahan Nayna. “Kalau kamu nggak mau membantu saya membersihkan semua kekacauan ini, mending bersihkan saja diri kamu di kamar mandi, sekali