Nayna masih mengingat rasa dari pukulan-pukulan di kepalanya yang seolah tidak akan pernah berhenti. Tamparan-tamparan terus mengenai wajahnya saat ia diseret oleh ketiga preman itu.Mobil van besar sudah terparkir di gang sempit dan gelap. Ia diseret masuk, tapi Nayna tetap memberontak.“Gue udah bilang jangan melawan!”Lagi, tamparan itu mendarat sampai melukai sudut bibir Nayna. Ia dipaksa naik, satu kakinya diangkat ke mobil. Nayna tetap berusaha sekuat tenaga, ia keraskan tubuhnya sampai gaunnya robek, ia tak peduli lagi.Sebab ia tahu, kalau dia sudah naik ke mobil itu, maka dia akan betul-betul tersingkir. Game over.“Naik! Gue bilang naik!”Nayna menggeleng keras. Mengumpulkan tenaga yang masih tersisa untuk melawan. Dalam satu entakan, preman-preman itu akhirnya berhasil membuatnya masuk ke mobil.Mereka memutari mobil dan ikut naik, sementara Nayna menunggu celah yang tepat. Kendati tangan
Pagi ini adalah pagi terburuk Lisa. Saat ia masuk ke dapur bersama Rama untuk sarapan, Nayna sudah berdiri di balik meja konter dengan celemek putih yang kotor. Suasana hatinya semakin memburuk ketika Rama berjalan cepat melewatinya dan menghampiri wanita itu.“Kenapa Anda memasak? Nggak perlu begitu, Ayna. Anda sedang terluka.”Tidak ada raut dingin pada wajah Nayna yang babak belur. Justru senyum manislah yang menghiasi bibir pink mengkilapnya. “Pembantu kamu sedang sakit. Saya lihat kakinya diperban.”Lisa mendesis marah di tempatnya. Sekarang Nayna sudah melancarkan godaannya secara terang-terangan? Dia mulai mengganti sapaan di antara mereka menjadi kamu.“Kita bisa cari sarapan di luar. Nggak perlu masak. Luka-luka Anda pasti masih sakit, Anda juga pasti masih merasa syok karena semalam. Istirahat di kamar saja.”Rama yang pagi itu mengenakan kemeja abu-abu basah tampak segar dengan senyum tipis yang ramah tertuju kepada Nayna. Keberadaan Lisa ia abaikan.“Saya bakal merasa sema
"Apa kamu bilang?!” Nayna tak lagi menanggapi, ia menunduk sambil menertawakan Lisa. Sedang yang ditertawakan tak lagi bisa menahan gejolak emosi yang memberondong dadanya. Diambilnya gelas kosong di atas meja, diayunkannya tinggi-tinggi hendak melempar kepala Nayna. Tapi, ia kalah cepat. Nayna sudah lebih dulu menyambar piring Lisa dan melempar semua isinya ke badan wanita itu. Lisa terperangah ketika sekujur tubuhnya dipenuhi butiran nasi goreng. Ujung-ujung rambutnya ikut ditempeli nasi. “Jangan bertindak gegabah. Kalau saya mati di rumah ini, kamu yang bakal jadi tersangka. Sekadar informasi, saya punya teman di luar sana yang akan mengirim semua bukti ke suami kamu meskipun saya sudah mati.” Lisa menggenggam erat gelas itu dengan kekuatan penuh. Tubuhnya bergetar hebat karena gejolak amarah, terlebih ia tidak bisa berkutik pada ancaman murahan Nayna. “Kalau kamu nggak mau membantu saya membersihkan semua kekacauan ini, mending bersihkan saja diri kamu di kamar mandi, sekali
"Kamu tahu di mana istri kamu sekarang?!”Lisa tak langsung pulang malam ini. Dia mengajak Bagus bertemu di hotel yang baru bukan untuk bermain-main atau melepaskan penat. Dia tidak ada waktu untuk itu.“Mana aku tahu.” Bagus seperti tidak peduli. Dipeluknya Lisa dari belakang.Lisa melontarkan napas pendek dan kasar. Ubun-ubunnya terasa panas. “Dia ada di rumah aku.”“Hah?!” Bagus melepaskan belitan tangannya secara tiba-tiba. Mulutnya menganga tidak menyangka.“Aku serius, Gus. Dia betul-betul ada di rumah aku dan sudah punya rencana yang sangat matang untuk merebut suami aku.”“Apa? Merebut suami kamu?”Raut wajah Bagus sama sekali tidak percaya, sorot matanya bertanya-tanya panik seperti, ‘Kok bisa?’“Kemarin malam aku mau menyingkirkan dia. Ada tiga preman terbaik yang aku sewa, tapi dia malah berhasil selamat dan tahu-tahu datang ke
Nayna mendengar langkah kaki yang berderap melewati kamarnya. Ia yakin Rama sudah pergi ke kamarnya sendiri, tapi tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dengan jelas.Kerutan kening Nayna mengikuti langkahnya membukakan pintu. Rama berdiri di hadapannya dengan senyum kelewat ramah. Matanya berbias hangat dengan kerutan yang tulus.“Sudah mau tidur?”Nayna sudah menghapus semua riasannya dan ia yakin parasnya yang pucat tidak begitu enak dilihat. Ia hanya mengangguk sebagai balasan.“Sudah makan malam?”Kali ini Nayna diam dan senyum Rama tertarik kian lebar.“Saya bawa makanan dari restoran. Mau makan bersama?”Nayna menarik napas tegang. Padahal inilah niatnya sejak tadi, tapi mengapa ia segugup ini? “Lisa belum pulang.”“Katanya dia sedikit terlambat. Saya bisa menunggu, tapi perut saya sepertinya nggak mampu.” Ia terkekeh seperti bercanda dengan s
Lisa membelalak mendengar ucapan penuh ketakutan itu. Diperhatikannya tangan Nayna yang gemetar dan seolah tidak ingin melepaskan lengan Rama.“Ada masalah apa?” Suara Rama juga terdengar cemas.“Ada ….” Mata Nayna berlarian ke sembarang arah sampai akhirnya mendongak menemukan mata Rama. Meminta pertolongan lewat tatapannya.“Ada apa? Bilang ke saya.”“Ada kecoak di kamar saya. Saya takut ….”Lisa mencebik diam-diam. Tangannya kembali ia lipat di bawah dada. Trik murahan yang selalu dipakai dalam sinetron picisan. CUIH!Namun, Rama tidak berpikir demikian. Tanpa melepas pegangan Nayna pada lengannya, ia dengan cepat berlari keluar menuju kamar Nayna seolah yang ada dalam ruangan perempuan itu adalah monster kecoak.Lisa mengentakkan kaki penuh kekesalan. Bisa-bisanya Rama termakan umpan murahan perempuan itu!Ia harus menyusul mereka.Ketika ia membuka
Lisa keluar dari kamar Nayna sambil mengentakkan kaki. Buru-buru ia kembali ke kamarnya hanya untuk mendapati Rama yang sedang bersenandung di dalam kamar mandi. Suaranya bahkan mengalahkan bunyi pancuran shower.Apa dia sesenang itu sudah bermesraan dengan Nayna di dalam kamar mandi?!Hati Lisa semakin dongkol. Napasnya terasa berat. Pikirannya berkecamuk sambil menunggu Rama. Ia merasa terbakar sampai tidak bisa mengendalikan diri. Hingga tiba saatnya Rama keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di bawah pinggang. Seperti biasa, tubuh lelaki itu selalu terawat, fit dan bersih. Perutnya berbentuk kotak dengan otot-otot yang pas, bisepnya menyembul, dada bidangnya basah dan mengkilat. Untuk sejenak Lisa menyetujui semua perkataan Nayna, bahwa Rama lebih segala-galanya ketimbang Bagus. Rama jauh di atas Bagus. Hanya saja dia butuh Bagus untuk melampiaskan hasratnya di saat Rama sibuk dan bolak-balik ke luar kota.Rama menghentikan gerakannya mengeringkan rambut. Dilihatnya
Lisa menelan ludah berkali-kali. Tatapan tajam Rama seolah sanggup menelanjangi semua rahasia yang dia sembunyikan rapat-rapat. “Aku ….” Ia menolehkan kepala ke sembarang arah untuk menghindari pandangan Rama.“Aku sudah bilang berkali-kali. Bik Sumi adalah orang tua yang harus dihormati di rumah ini. Kamu memperlakukan dia seburuk itu berarti sama saja kamu menghina aku.”Lisa menoleh cepat dengan kaget. “Apa? Aku nggak pernah menghina kamu.”“Kalau begitu—"“Jadi ini cara kamu memutarbalikkan keadaan? Kamu menyangkal dengan cara ini? Hebat banget ya kamu!” Meski nada itu meninggi, tapi jelas terlihat kewaspadaan pada bola matanya.Rama kembali pada tatapan menilainya.“Pembantu akan selalu jadi pembantu. Wanita murahan adalah wanita murahan. Melihat kamu menghormati pembantu itu dan sangat menghargai perempuan murahan itu sudah membuktikan bahwa selera kamu rendahan!”Jeda tercipta selama dua menit. Ruangan remang-remang itu menjadi senyap dan menyesakkan. Hening menguasai atmosfir