"Kamu tahu di mana istri kamu sekarang?!”Lisa tak langsung pulang malam ini. Dia mengajak Bagus bertemu di hotel yang baru bukan untuk bermain-main atau melepaskan penat. Dia tidak ada waktu untuk itu.“Mana aku tahu.” Bagus seperti tidak peduli. Dipeluknya Lisa dari belakang.Lisa melontarkan napas pendek dan kasar. Ubun-ubunnya terasa panas. “Dia ada di rumah aku.”“Hah?!” Bagus melepaskan belitan tangannya secara tiba-tiba. Mulutnya menganga tidak menyangka.“Aku serius, Gus. Dia betul-betul ada di rumah aku dan sudah punya rencana yang sangat matang untuk merebut suami aku.”“Apa? Merebut suami kamu?”Raut wajah Bagus sama sekali tidak percaya, sorot matanya bertanya-tanya panik seperti, ‘Kok bisa?’“Kemarin malam aku mau menyingkirkan dia. Ada tiga preman terbaik yang aku sewa, tapi dia malah berhasil selamat dan tahu-tahu datang ke
Nayna mendengar langkah kaki yang berderap melewati kamarnya. Ia yakin Rama sudah pergi ke kamarnya sendiri, tapi tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dengan jelas.Kerutan kening Nayna mengikuti langkahnya membukakan pintu. Rama berdiri di hadapannya dengan senyum kelewat ramah. Matanya berbias hangat dengan kerutan yang tulus.“Sudah mau tidur?”Nayna sudah menghapus semua riasannya dan ia yakin parasnya yang pucat tidak begitu enak dilihat. Ia hanya mengangguk sebagai balasan.“Sudah makan malam?”Kali ini Nayna diam dan senyum Rama tertarik kian lebar.“Saya bawa makanan dari restoran. Mau makan bersama?”Nayna menarik napas tegang. Padahal inilah niatnya sejak tadi, tapi mengapa ia segugup ini? “Lisa belum pulang.”“Katanya dia sedikit terlambat. Saya bisa menunggu, tapi perut saya sepertinya nggak mampu.” Ia terkekeh seperti bercanda dengan s
Lisa membelalak mendengar ucapan penuh ketakutan itu. Diperhatikannya tangan Nayna yang gemetar dan seolah tidak ingin melepaskan lengan Rama.“Ada masalah apa?” Suara Rama juga terdengar cemas.“Ada ….” Mata Nayna berlarian ke sembarang arah sampai akhirnya mendongak menemukan mata Rama. Meminta pertolongan lewat tatapannya.“Ada apa? Bilang ke saya.”“Ada kecoak di kamar saya. Saya takut ….”Lisa mencebik diam-diam. Tangannya kembali ia lipat di bawah dada. Trik murahan yang selalu dipakai dalam sinetron picisan. CUIH!Namun, Rama tidak berpikir demikian. Tanpa melepas pegangan Nayna pada lengannya, ia dengan cepat berlari keluar menuju kamar Nayna seolah yang ada dalam ruangan perempuan itu adalah monster kecoak.Lisa mengentakkan kaki penuh kekesalan. Bisa-bisanya Rama termakan umpan murahan perempuan itu!Ia harus menyusul mereka.Ketika ia membuka
Lisa keluar dari kamar Nayna sambil mengentakkan kaki. Buru-buru ia kembali ke kamarnya hanya untuk mendapati Rama yang sedang bersenandung di dalam kamar mandi. Suaranya bahkan mengalahkan bunyi pancuran shower.Apa dia sesenang itu sudah bermesraan dengan Nayna di dalam kamar mandi?!Hati Lisa semakin dongkol. Napasnya terasa berat. Pikirannya berkecamuk sambil menunggu Rama. Ia merasa terbakar sampai tidak bisa mengendalikan diri. Hingga tiba saatnya Rama keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di bawah pinggang. Seperti biasa, tubuh lelaki itu selalu terawat, fit dan bersih. Perutnya berbentuk kotak dengan otot-otot yang pas, bisepnya menyembul, dada bidangnya basah dan mengkilat. Untuk sejenak Lisa menyetujui semua perkataan Nayna, bahwa Rama lebih segala-galanya ketimbang Bagus. Rama jauh di atas Bagus. Hanya saja dia butuh Bagus untuk melampiaskan hasratnya di saat Rama sibuk dan bolak-balik ke luar kota.Rama menghentikan gerakannya mengeringkan rambut. Dilihatnya
Lisa menelan ludah berkali-kali. Tatapan tajam Rama seolah sanggup menelanjangi semua rahasia yang dia sembunyikan rapat-rapat. “Aku ….” Ia menolehkan kepala ke sembarang arah untuk menghindari pandangan Rama.“Aku sudah bilang berkali-kali. Bik Sumi adalah orang tua yang harus dihormati di rumah ini. Kamu memperlakukan dia seburuk itu berarti sama saja kamu menghina aku.”Lisa menoleh cepat dengan kaget. “Apa? Aku nggak pernah menghina kamu.”“Kalau begitu—"“Jadi ini cara kamu memutarbalikkan keadaan? Kamu menyangkal dengan cara ini? Hebat banget ya kamu!” Meski nada itu meninggi, tapi jelas terlihat kewaspadaan pada bola matanya.Rama kembali pada tatapan menilainya.“Pembantu akan selalu jadi pembantu. Wanita murahan adalah wanita murahan. Melihat kamu menghormati pembantu itu dan sangat menghargai perempuan murahan itu sudah membuktikan bahwa selera kamu rendahan!”Jeda tercipta selama dua menit. Ruangan remang-remang itu menjadi senyap dan menyesakkan. Hening menguasai atmosfir
Lisa tidak melihat siapa-siapa di dapur pagi ini. Meja makan kosong, Bik Sumi pun tidak terlihat di mana-mana. Apa Rama belum bangun? Atau sudah berangkat?Dengan kesal Lisa bergerak untuk membuka kulkas, lalu membeku. Kaleng bir maupun soda tiba-tiba hilang dari tempatnya. Kedua minuman yang selalu wajib berada di lemari pendingin itu sekarang entah menghilang ke mana.“Kemarin masih banyak.” Keningnya berkerut kasar. “Apa Mas Rama yang minum semuanya?”Tidak bisa. Lisa tidak bisa pergi bekerja dalam keadaan hati yang panas tanpa minum bir. Ia bisa meledak. Maka, perempuan yang hari ini memakai setelan jas berwarna biru muda yang pas di badan itu mengetukkan heels-nya menuju kamar Bik Sumi.Diketuknya pintu kamar Bik Sumi. Terdengar suara berisik dari dalam sebelum Bik Sumi membukakan pintu dengan wajah mengantuk.“Ohhh, baru bangun ternyata? Bagus ya?” Lisa berkacak pinggang.Bik Sumi menunduk takut-takut. “Ma-maaf, Buk. Bapak nyuruh saya istirahat dan gak usah kerja.”“Memangnya di
Rama tidak menyangka bahwa salah satu fantasinya lagi-lagi diwujudkan oleh Ayna. Siang ini, tepat saat dia baru saja ingin membuka pintu ruangannya untuk turun makan siang, pintu itu terketuk.Ayna berdiri di hadapannya ketika ia membuka pintu. Dengan rantang makanan yang terbungkus kain putih. Ayna mengangkatnya sedikit. “Makan siang?” Dengan senyum penuh perhatian.Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Lisa, yang juga diam-diam dia harapkan akan dilakukan oleh sang istri. “Kamu nggak perlu melakukan ini.” Debaran yang aneh tiba-tiba menyerang dadanya. “Ini masakan rumah sederhana yang nggak ada dalam menu restoran kamu.”Rama membuka pintu lebar-lebar ketika diam-diam matanya tertuju pada penampilan Ayna yang sederhana. Sangat berbeda dengan dulu saat ia datang sebagai pelanggan VIP. Rok lipit sebatas lutut, kaos putih dan blazer panjang. Rambut cokelat bergelombang itu masih terurai, membingkai wajahnya yang dihiasi dengan riasan tipis namun manis.Apa Ayna aslinya memang seperti
Jambakan Lisa pada rambutnya terlalu kuat sampai Nayna tidak mampu menepis tangan wanita itu. Kepalanya disentakkan ke atas sampai membuatnya mendongak. “Dia penipu! Dia membohongi kamu!” “Lepaskan dia, Lisa.” Rahang Rama mengeras, jelas tidak suka dengan tindakan Lisa yang sangat kasar. “Kamu harus baca surat-surat itu dulu!” Lisa mengambil amplop cokelat yang dia lemparkan ke aspal. Rama menarik napas sembari menutup mata. Berusaha keras untuk menahan emosi yang menggulung naik ke dadanya “Aku bilang lepaskan Ayna.” “Nggak akan!” Rama membuka mata dan saat itu juga Lisa terdiam. Mata yang selalu berkilat hangat itu menegas dan menajam. “Lepaskan dia!” Nada suaranya meninggi, tapi tetap terkendali. Lisa tertegun. Perlahan cengkeramannya pada rambut Nayna mengendur sampai akhirnya Nayna yang melepaskannya sendiri. “Kamu membentak aku?” Lisa membeku tidak percaya. “Aku nggak pernah mendidik kamu untuk kasar seperti itu pada orang lain, Lisa. Kamu sudah keterlaluan.” “Tapi d
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad