“Aku mau kamu mencari teman Nayna.”“Vina maksud kamu?”“Siapa pun teman yang istri sialan kamu itu punya. Cari dia.”Lisa menutup telepon secara kasar. Napasnya menggebu marah. Dia akan melakukan apa pun untuk menyingkirkan semua bukti yang ada.“Aku akan singkirkan bukti itu bersama kamu dan teman kamu itu.”***Di balik ketenangan Rama, ada kerisauan yang bisa Nayna temukan. Dari sikap tegasnya, Nayna bisa melihat luka yang tersirat dalam mata lelaki itu.“Mau kopi?”Nayna tahu dalam situasi tegang yang belum reda ini, tidak seharusnya dia menawarkan kopi.“Atau teh?”Nayna berjinjit di depan wajah Rama, memiringkan kepala seolah mencari-cari sesuatu pada wajah pria itu. Rama akhirnya menghela napas, jenuh sekaligus tegang.“Kopi.”Nayna memasang senyum dengan anggukan. “Kopi yan
Rama terdiam, seolah perkataan Nayna barusan langsung menancap di hatinya. Keheningan yang senyap itu berlangsung selama dua menit sebelum Rama mengangkat mata untuk menatap Nayna dengan kedua alis bertautan bingung.“Suami saya juga begitu. Karena saya punya teman seorang wanita penghibur, dia selalu curiga saya akan mengikuti jejak teman saya. Setiap kali saya keluar malam, dia pasti akan menuduh saya. Terakhir kali dia menuduh saya sudah menjajakan diri pada banyak laki-laki, padahal dirinyalah yang sudah menjadi simpanan perempuan kaya.”Embusan napas Rama berhenti. Ketegangan melanda tubuhnya. “Saya tidak menyamakan Lisa dengan suami saya, hanya saja kemarahan dan tuduhan Lisa terlalu mirip dengan suami saya.” Nayna tertawa ringan. “Tapi kamu bilang kalian sudah saling mengenal sejak dulu. Lisa cuma takut pria sebaik kamu diambil oleh perempuan lain. Itu wajar.” Rama tidak mengatakan apa-apa. Nayna tidak mampu menebak apa yang dipikirkan oleh lelaki itu. Pun dia tidak menemukan
“Kamu menuduh aku juga selingkuh?”Kening Rama berkerut. “Aku nggak pernah menuduh kamu.”“Lalu maksud perkataan kamu tadi apa? Aku juga selingkuh, iya, kan?”Rama tidak sebodoh itu untuk tidak curiga pada Lisa saat ini. Sebenarnya sejauh mana kepercayaan di antara mereka sudah terkikis? Serusak apa rasa percaya di hati mereka?“Bukan—““Aku nggak pernah selingkuh!” Mata itu melotot, seolah berusaha menyangkal kesalahan yang sudah dia perbuat.Bolehkah Rama mengartikannya seperti itu?Tapi tidak, Lisa bukan perempuan yang seperti itu. Lisa adalah wanita cerdas yang tidak akan pernah mengkhianatinya. Rama bisa menerima tuduhan itu, tidak mengapa asal bukan berita bahwa Lisa selingkuh darinya.Dia sama sekali tidak mampu membayangkannya.“Iya, aku percaya. Kamu bukan perempuan seperti itu. Cinta kita nggak serusak itu untuk saling mengkhianati. Jadi tolong percaya juga padaku, Lisa.”Rama meraih tangan Lisa, tapi dengan cepat Lisa menepisnya. “Jangan merayu aku, Mas. Aku tahu kamu cuma
Pagi berganti dengan pagi lagi. Hari ini dapur sepi. Tak ada lagi yang memasak nasi goreng udang dan juga tidak ada yang mengamuk karena marah. Lisa merasa lega untuk sesaat. Setidaknya pagi ini dia tidak perlu stress memikirkan masalah sepanjang hari di kantor. Ia bisa berangkat kerja dengan tenang. Nayna juga tidak terlihat sejak tadi.Mungkin takut Lisa akan memberinya pelajaran lagi. Rama juga tidak marah lagi padanya. Semalam lelaki itu masuk kamar dan menatapnya cemas. Rama pasti khawatir dengan dirinya.Lisa tersenyum tipis, memegang pegangan pintu garasi untuk mengambil mobil. Namun, tahu-tahu ruangan itu terkunci. Lisa berusaha mendorongnya, tapi tetap tidak bisa.“Bik!! BIBIK!!” Ia kembali ke dalam rumah sambil mendecak dengan kening berkerut. Lisa melangkah cepat dengan kekesalan yang kian memuncak ketika Bik Sumi tidak juga mendengar panggilannya.“BIIIIIKK! MANA SIH! PUNYA TELINGA GAK?!”Alih-alih Bibik yang datang, malah Rama yang muncul dengan penampilan kasualnya. “Ad
“Ibu mengalami gangguan kecemasan yang cukup tinggi, itu mempengaruhi tingkat kepekaan dan kegiatan Ibu sehari-hari. Pastikan istirahat yang cukup dan tolong Bapak dukung istrinya semaksimal mungkin ya.” Rama mengangguk ramah pada sang psikiater wanita berumur akhir 30-an itu. “Saya berikan resepnya, silakan ditebus ya.” Lisa tidak mengatakan apa-apa. Ekspresinya datar dan tubuhnya kaku. Setelah basa-basi pamitan singkat itu berakhir, Rama membawa Lisa keluar. Berusaha untuk memeluk pinggang wanita itu dan menyalurkan kekuatan.“Semua orang merasakan kecemasan, jangan khawatir ya.” Senyum dan nada suara yang seringkali dia tujukan kepada Lisa masih sama, hanya saja reaksi Lisa-lah yang berbeda. Ia tak acuh dan sepenuhnya diam.Lalu ia mendecak, seolah sejak tadi ia sudah menahan semua kata yang sudah mendesak di lidah. “Tapi nggak semua orang yang cemas bakal datang ke psikiater, mereka biasa aja. Nggak semua orang cemas karena ada perempuan lain di rumahnya dan bertingkah sepert
Nayna mengintip Rama yang sedang memeriksa tabung gas, sesekali dia akan menyalakan kompor setelah memperbaiki posisi regulator.Namun, kompor tak kunjung menyala. Kening Rama berkerut memikirkan apa yang salah. “Gasnya belum habis ‘kan?” Ia menoleh sejenak pada Nayna.“Belum. Kata Bibik baru seminggu lalu diganti.”“Regulator dan selangnya juga masih bagus. Mungkin kompornya yang bermasalah. Saya akan panggil tukang servis."Nayna mengangguk sementara Rama meninggalkan kompor menuju wastafel untuk mencuci tangan. Samar-samar Nayna mendengar bunyi desisan dari kompor seolah ada api yang ingin memantik keluar, spontan ia bergerak untuk menyalakan kompor.Kompor itu akhirnya menyala. Nayna tersenyum antusias sambil menoleh pada Rama. “Kompornya sudah menyala.” Tangannya menunjuk api kompor.Rama berbalik. “Oh? Sudah nyala?” Namun, tiba-tiba kompor bermata dua itu mengeluarkan desisan keras dan lima detik kemudian sebelum Rama sempat berlari menuju tempat Nayna, kompor memuntahkan api k
Rama kembali memberinya usapan di kepala, betul-betul sama seperti usapan tangan Bapak. Hangat dan menenangkan. Lelaki itu tidak mengatakan apa-apa. Belaian tangannya yang terasa kasar membuat Nayna memejamkan mata dengan tenang. Itu lebih baik ketimbang kata-kata penghiburan yang akan membuat Nayna tersenyum miris, sebab perempuan yang sejak tadi ia bicarakan adalah istri yang sangat Rama cintai.“Kita ke klinik aja kalau begitu.” Bisikan itu membuai telinga Nayna, sarat akan kekhawatiran dan kepedulian yang tulus.Nayna mengangguk, keningnya berkerut ketika ia merasa belum ingin menjauh dari dada Rama. Rasanya begitu nyaman, kendati ia tahu bahwa ini tidaklah benar.Rama juga tidak menyuruhnya mengangkat kepala. Momen itu berlangsung cukup lama sampai Nayna akhirnya menarik napas dan menjauhkan kepalanya dari dada Rama.“Ayo kita pergi.” Ditatapnya Rama sendu, lalu dia temukan kilat yang berbeda dari mata pria itu, kilat yang sama saat Rama menatap Lisa.Lelaki itu kembali memeluk
Nayna menelusup masuk ke kamar Rama dan Lisa selagi mereka belum pulang. Ia tak perlu mencari obat-obat itu, karena sudah terletak begitu saja di atas nakas.Ia tak membuang waktu untuk sekedar mengulum senyum puas. Segera Nayna ganti obat-obat Lisa yang masih belum termakan satu butir pun dengan obat yang sudah dia siapkan.Nayna merapikan bungkusan obat itu kembali lalu keluar dari kamar. Memastikan Bibik tidak akan melihatnya dan sang pemilik kamar belum pulang. Bagus. Ia tinggal menunggu efek dari obat itu.***Lisa pulang lebih dulu daripada Rama. Ia langsung masuk kamar, tak ingin memperburuk mood-nya jika sampai dia berpapasan dengan Nayna.Tasnya ia lemparkan ke ranjang. Hari ini ia ditemani oleh Bagus sampai malam, cukup untuk membuat bahunya ringan kembali. Secara tak sengaja matanya menyapu kantong obat yang tadi dibeli Rama.Lisa menghela napas panjang. Ia ambil kantong itu dan ia buang ke tempat sampah di samping pintu kamar mandi. Dia tak perlu minum obat. Tak ada yang
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad