Dia bukan Nayna yang Lisa temui di rumah wanita itu, bukan pula Nayna yang datang ke hotel bersama sahabatnya untuk melabrak dirinya. Sama sekali bukan.Nayna yang ini berbahaya. Dengan mata memerah dan melotot tajam padanya, raut dingin dan mata yang dipenuhi ancaman serta dendam yang membara. Lisa merinding. Ada rasa aneh seperti perasaan takut yang menjalar ke dadanya.“Kamu nggak bisa menyentuh saya lagi.” Lisa mematung. Sekujur tubuhnya membeku kendati rasa sakit di kaki dan punggungnya masih menyengat.“Kamu mengira saya nggak bisa menghancurkan kamu? Jangan salah paham. Suami kamu sudah ada dalam genggaman saya. Malam ini juga saya bisa membocorkan semua kelakukan bejat kamu ke dia.”Napas Lisa tertahan ketika bibir Nayna semakin menipis, bergetar seolah menahan diri untuk tidak mengeluarkan semua cacian yang ada dalam kepalanya.“Jangan mempercayai cerita saya. Siapa bilang saya nggak tidur dengan suami kamu?” Raut wajah yang mengeras itu berubah menjadi sangat dingin, kemudi
Nayna menuruni tangga, menengok sebentar pada lantai dua, tempat dia duduk sejak tadi. Dia sengaja datang lebih awal—tiga puluh menit lebih dulu dari waktu perjanjiannya bersama Rama. Untuk berjaga-jaga barangkali ada rencana jahat yang sudah Lisa persiapkan untuknya.Dia sudah sangat mengerti alur pikiran Lisa. Wanita itu akan mencari celah untuk menyingkirkannya dengan cara apa pun, dan Nayna harus waspada setiap saat.Seperti saat ini, sesaat setelah ia membuka pintu kaca itu, pemandangan di luar restoran membuatnya berhenti melangkah. Ada tiga laki-laki berbadan besar dan berpenampilan berantakan sedang mondar-mandir di sekeliling restoran sambil memegang selembar foto dan mengamati orang-orang yang keluar dan masuk di restoran.Salah seorang preman berambut panjang berantakan melihatnya. Dalam waktu lima detik, pria dengan celana jeans robek-robek di bagian lutut itu melotot seolah mengenalinya, lalu memanggil tiga temannya kemudian menunjuk Nayna.
Lisa terperangah, sementara Nayna tetap tenang di tempatnya. Lisa mengerjap, tahu bahwa Rama tidak sedang bercanda. Mulutnya terbuka, tapi Nayna mendahuluinya. “Tinggal di rumah Anda? Saya tidak bermaksud begitu. Rumah Anda adalah satu-satunya tempat yang saya pikirkan tadi, makanya saya spontan ke sini. Jangan salah paham." “Tidak masalah. Saya sangat ingin membantu Anda. Saya dan Lisa juga jarang di rumah.” “Apa maksud kamu, Mas? Kenapa kamu suruh dia tinggal di sini?” Lisa maju mendekat ke hadapan Rama. Tidak menyembunyikan rasa protesnya. Pandangan serius Rama beralih ke Lisa. “Dia nggak punya keluarga dan kerabat lagi, Sayang. Sebagai sesama, kita berkewajiban untuk membantu.” “Dia bisa ke kantor polisi!” “Ya, Lisa benar. Saya bisa ke kantor polisi dan melaporkan suami dan selingkuhan saya. Anda tidak perlu repot-repot.” Saat itulah Lisa sadar, bahwa ucapan itu dipenuhi sindiran sekaligus ancaman. Ia menghentikan deru napasnya yang menggila, pun kalimat-kalimat protesnya ya
Nayna masih mengingat rasa dari pukulan-pukulan di kepalanya yang seolah tidak akan pernah berhenti. Tamparan-tamparan terus mengenai wajahnya saat ia diseret oleh ketiga preman itu.Mobil van besar sudah terparkir di gang sempit dan gelap. Ia diseret masuk, tapi Nayna tetap memberontak.“Gue udah bilang jangan melawan!”Lagi, tamparan itu mendarat sampai melukai sudut bibir Nayna. Ia dipaksa naik, satu kakinya diangkat ke mobil. Nayna tetap berusaha sekuat tenaga, ia keraskan tubuhnya sampai gaunnya robek, ia tak peduli lagi.Sebab ia tahu, kalau dia sudah naik ke mobil itu, maka dia akan betul-betul tersingkir. Game over.“Naik! Gue bilang naik!”Nayna menggeleng keras. Mengumpulkan tenaga yang masih tersisa untuk melawan. Dalam satu entakan, preman-preman itu akhirnya berhasil membuatnya masuk ke mobil.Mereka memutari mobil dan ikut naik, sementara Nayna menunggu celah yang tepat. Kendati tangan
Pagi ini adalah pagi terburuk Lisa. Saat ia masuk ke dapur bersama Rama untuk sarapan, Nayna sudah berdiri di balik meja konter dengan celemek putih yang kotor. Suasana hatinya semakin memburuk ketika Rama berjalan cepat melewatinya dan menghampiri wanita itu.“Kenapa Anda memasak? Nggak perlu begitu, Ayna. Anda sedang terluka.”Tidak ada raut dingin pada wajah Nayna yang babak belur. Justru senyum manislah yang menghiasi bibir pink mengkilapnya. “Pembantu kamu sedang sakit. Saya lihat kakinya diperban.”Lisa mendesis marah di tempatnya. Sekarang Nayna sudah melancarkan godaannya secara terang-terangan? Dia mulai mengganti sapaan di antara mereka menjadi kamu.“Kita bisa cari sarapan di luar. Nggak perlu masak. Luka-luka Anda pasti masih sakit, Anda juga pasti masih merasa syok karena semalam. Istirahat di kamar saja.”Rama yang pagi itu mengenakan kemeja abu-abu basah tampak segar dengan senyum tipis yang ramah tertuju kepada Nayna. Keberadaan Lisa ia abaikan.“Saya bakal merasa sema
"Apa kamu bilang?!” Nayna tak lagi menanggapi, ia menunduk sambil menertawakan Lisa. Sedang yang ditertawakan tak lagi bisa menahan gejolak emosi yang memberondong dadanya. Diambilnya gelas kosong di atas meja, diayunkannya tinggi-tinggi hendak melempar kepala Nayna. Tapi, ia kalah cepat. Nayna sudah lebih dulu menyambar piring Lisa dan melempar semua isinya ke badan wanita itu. Lisa terperangah ketika sekujur tubuhnya dipenuhi butiran nasi goreng. Ujung-ujung rambutnya ikut ditempeli nasi. “Jangan bertindak gegabah. Kalau saya mati di rumah ini, kamu yang bakal jadi tersangka. Sekadar informasi, saya punya teman di luar sana yang akan mengirim semua bukti ke suami kamu meskipun saya sudah mati.” Lisa menggenggam erat gelas itu dengan kekuatan penuh. Tubuhnya bergetar hebat karena gejolak amarah, terlebih ia tidak bisa berkutik pada ancaman murahan Nayna. “Kalau kamu nggak mau membantu saya membersihkan semua kekacauan ini, mending bersihkan saja diri kamu di kamar mandi, sekali
"Kamu tahu di mana istri kamu sekarang?!”Lisa tak langsung pulang malam ini. Dia mengajak Bagus bertemu di hotel yang baru bukan untuk bermain-main atau melepaskan penat. Dia tidak ada waktu untuk itu.“Mana aku tahu.” Bagus seperti tidak peduli. Dipeluknya Lisa dari belakang.Lisa melontarkan napas pendek dan kasar. Ubun-ubunnya terasa panas. “Dia ada di rumah aku.”“Hah?!” Bagus melepaskan belitan tangannya secara tiba-tiba. Mulutnya menganga tidak menyangka.“Aku serius, Gus. Dia betul-betul ada di rumah aku dan sudah punya rencana yang sangat matang untuk merebut suami aku.”“Apa? Merebut suami kamu?”Raut wajah Bagus sama sekali tidak percaya, sorot matanya bertanya-tanya panik seperti, ‘Kok bisa?’“Kemarin malam aku mau menyingkirkan dia. Ada tiga preman terbaik yang aku sewa, tapi dia malah berhasil selamat dan tahu-tahu datang ke
Nayna mendengar langkah kaki yang berderap melewati kamarnya. Ia yakin Rama sudah pergi ke kamarnya sendiri, tapi tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dengan jelas.Kerutan kening Nayna mengikuti langkahnya membukakan pintu. Rama berdiri di hadapannya dengan senyum kelewat ramah. Matanya berbias hangat dengan kerutan yang tulus.“Sudah mau tidur?”Nayna sudah menghapus semua riasannya dan ia yakin parasnya yang pucat tidak begitu enak dilihat. Ia hanya mengangguk sebagai balasan.“Sudah makan malam?”Kali ini Nayna diam dan senyum Rama tertarik kian lebar.“Saya bawa makanan dari restoran. Mau makan bersama?”Nayna menarik napas tegang. Padahal inilah niatnya sejak tadi, tapi mengapa ia segugup ini? “Lisa belum pulang.”“Katanya dia sedikit terlambat. Saya bisa menunggu, tapi perut saya sepertinya nggak mampu.” Ia terkekeh seperti bercanda dengan s
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad