Bagus mendatangi rumah kontrakan lamanya. Mengetuk pintu berulang kali, tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan membukakan pintu untuknya.
Ia menunggu cukup lama sampai kakinya terasa pegal. Bagus mendecak sambil berkacak pinggang. “Mana sih! Nggak ada di rumah kali ya?”
Bagus mengintip pada celah gorden, tapi yang didapatnya hanya kegelapan di dalam rumah. Lampu tidak dinyalakan sama sekali.
“Jangan bilang dia keluyuran nggak jelas lagi sama Vina? Jadi nggak bener dia. Apa dia juga sering keluar malam kalau aku nginap di luar?”
Bagus mengeluarkan ponsel baru yang dibelikan Lisa, menghubungi nomor Nayna lalu mendengus kasar. “Aku diblokir!” Ia entakkan kakinya marah.
Di mana dia bisa mencari Nayna?
“Loh, Bagus?”
Bagus menoleh dan mendapati Bu Sri, pemilik kontrakan yang baru saja pulang dari masjid menunaikan salat Isya.
“Oh, kebetulan ada Ibu. Tahu
Lisa akhirnya sudah berada di hotel bersama Rama. Dia membawa Rama ke tempat yang jauh dari kota mereka. Tempat di mana sang suami tidak akan menerima bukti-bukti dari Nayna untuk sementara.Selama tiga hari ke depan, dia harus menyingkirkan Nayna. Entah bagaimana pun caranya, perempuan kampungan itu harus enyah jika masih berani melawannya.Lisa mengintip ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda Rama akan kembali. Laki-laki itu masih berada di luar entah mengurus apa, ia sedang sibuk dengan teleponnya.Lisa berdiri di tengah kamar sambil memegang ponsel, menelepon Bik Sumi—pembantunya.“Halo, Bik. Gimana? Sudah diterima 'kan paketnya?”“Sudah, Bu. Yang warna pink terus ada pita-pitanya, 'kan?”Lisa mengerutkan kening, sama sekali tidak punya gambaran bagaimana bentuk dan warna paket yang dikirimkan Nayna. Yang dia tahu, isinya pasti adalah bukti-bukti tentang dirinya dan Bagus.
Sepuluh menit yang lalu.Nayna duduk dengan senyum tipis yang samar. Hampir-hampir tidak terlihat jika pramusaji yang berdiri di depan mejanya tidak memperhatikan lekat ekspresi wanita itu.Di layar ponselnya sudah ada nomor kontak Rama yang baru saja dia dapatkan dari waiter di hadapannya. Pada tanda nama yang tersemat di dada kirinya, tertulis nama Anton. Laki-laki yang seumuran dengan Nayna itu berdiri menjulang di depan Nayna menggantikan tugas Rama.Mari kita lihat seberapa gelisahnya Lisa saat ini.Nayna memencet tombol dengan ikon telepon, lalu menunggu dengan sabar. Meski sedang tersenyum, Anton sama sekali tidak menemukan ekspresi genit atau licik di wajah cantik yang selalu dingin itu.Telepon akhirnya tersambung setelah sekian lama, dan senyum Nayna memudar begitu saja.“Halo?” Suara Rama tidak lagi terdengar kelewat ramah, tapi nadanya masih sangat percaya diri.Bagusnya sebagai siapa Nayna memperke
Lisa menyembunyikan ponsel Rama dalam koper, di bawah tumpukan pakaiannya dengan keyakinan Rama tidak akan menemukan benda itu.Makanan mewah di hadapan mereka tidak membuatnya berselera sedikit pun. Dalam kepalanya hanya ada tiga kata: Nayna, bukti, dan ponsel.Ia melirik ke sekeliling restoran, mencari-cari barangkali ada orang aneh yang membuntutinya atau mungkin perempuan kumal yang memakai kaos gombrong dengan celana kain yang sangat jadul sedang mengamati dirinya dan Rama di suatu tempat.Nayna bilang dia tahu di mana tempat hotel mereka menginap. Berarti wanita itu mengawasi kehidupannya setiap saat. Dari mana dia mendapatkan kekuatan sebesar itu?Dari mana Nayna belajar mempermainkannya seperti ini?Wanita itu tidak mungkin datang ke sini untuk menyusulnya, 'kan?"Mau aku pesankan menu lain?" Pertanyaan dengan nada perhatian milik Rama memutus lamunan overthinking Lisa.Lisa menggeleng. "Nggak perlu."
Selama tiga hari, Lisa sama sekali tidak bisa menikmati waktu berdua dengan Rama. Tak pernah sedikit pun dia lengah dalam menjaga Rama terus berada di dekatnya.Malam ini adalah malam terakhirnya—besok mereka akan pulang—sekaligus menjadi malam terakhir pencarian Nayna. Diliriknya Rama yang tertidur pulas di sampingnya.Dalam tiga hari, dia sama sekali tidak mengaktifkan ponselnya. Menghindari teror dari Nayna, tapi tetap saja dia selalu merasa waspada.Lisa mengibaskan tangan di depan mata Rama yang terpejam rapat, memastikan lelaki itu benar-benar tertidur dan tidak akan bangun dalam waktu dekat.Diambilnya ponselnya di atas nakas. Dia hidupkan dan mencari-cari nama Bagus. Tak peduli jika ini sudah tengah malam dan Bagus sudah tertidur pulas di rumahnya.Ia menjauh dari ranjang, memepet pada sudut kamar. Saat ia yakin suaranya tidak akan membangunkan Rama, dia menelepon Bagus. Menunggu Bagus mengangkat te
Vina menghela napas lega di kamar kos barunya yang sudah dia tempati selama tiga hari bersama Nayna. “Mereka sudah pulang dari bulan madu.”Namun, berbeda dengan ekspresi lega Vina, Nayna masih datar saja. “Untung aja aku berhasil merayu asisten Rama untuk jadi pelanggan setia aku, jadi kita bisa menggali informasi sebanyak mungkin tentang Rama dan istrinya si pelakor itu.”Nayna menoleh serius kepada Vina yang tengah bersandar pada kepala ranjang. Kali ini kos baru mereka lebih mahal dan lebih berfasilitas. Ada ranjang luas dengan spring bed—bukan lagi kasur lapuk yang tidak empuk—serta lemari kayu yang cukup untuk menampung pakaian mereka berdua.“Apa imbalan yang dia minta?” Mata Nayna memicing ketika Vina tahu-tahu memalingkan wajah dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.Bosan ditatap penuh curiga terus-terusan oleh Nayna, Vina akhirnya meloloskan napas berat dari bibirnya yang tidak terpoles lipstik. “Servis gratis. Dia akan berikan semua informasi yang aku minta dan aku bakal k
Nayna datang lagi untuk keempat kalinya. Pada suasana ramai restoran yang masih sama. Hangat, ramah, dan mewah seolah menggambarkan kepribadian pemiliknya.Kali ini dia tidak datang di siang hari. Lampu-lampu remang yang berpadu dengan nuansa emas serta lilin-lilin yang ditata dengan gaya klasik membuat suasana di malam itu terlalu romantis untuk Nayna yang datang sendiri dengan gaun malamnya yang pendek dan melekat pas di tubuh curvy-nya.Potongan kain berwarna ungu gelap berkerah bulan sabit dan ditaburi dengan butiran–butiran putih kecil yang tampak seperti berlian. Rambutnya dia biarkan tergerai sampai pinggang, jatuh bergelombang dan menutupi punggungnya. Riasan wajahnya misterius dan sebisa mungkin dia tipiskan sebab penampilannya sudah sangat mencolok. Hanya di bagian mata yang dibuat tajam.Pada seorang waiter yang berdiri di samping pintu masuk dengan buku catatan besar di tangannya untuk memastikan para tamu yang masuk sudah melakukan reservasi karena setiap malam adalah wa
Nayna membawa Rama ke sebuah restoran yang lebih kecil dari milik Rama. suasananya tidak seromantis tadi dan tampak biasa saja. Alih-alih remang-remang dan misterius, pencahayannya malah sangat terang dengan dekorasi serba putih yang terlihat sangat higienis.Mereka tak perlu reservasi. Cukup memilih tempat duduk di dekat jendela dengan pemandangan suasana malam yang ramai.Penampilan Nayna sangat mencolok untuk ukuran restoran yang biasa saja. Begitu pun dengan Rama yang mengenakan setelan lengkap yang licin berwarna cokelat gelap. Dia tampak seperti eksekutif muda yang memilih restoran random untuk makan malam karena sudah terlalu letih.Namun, wajahnya masih segar. Tak ada gurat kelelahan dan keberatan meski Nayna mengajaknya ke tempat yang lebih jauh sampai memakan waktu lima belas menit perjalanan."Ada makanan lokal juga di sini." Nayna bersuara untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki restoranRama mengangguk paham sambil menatap lekat buku menu. Menyebutkan menu pilihannya
Nayna menatap fokus ke samping, pada Rama yang sudah jatuh tertidur. Napas lelaki itu berembus teratur. Nayna mengambil ponsel di dalam tas jinjingnya.“Halo, saya akan kirimkan sisa uangnya. Terima kasih sudah membantu.”“Sama-sama, Mbak.” Nada suara itu terdengar senang. Waitress yang sejak tadi melayani mereka di dalam restoran itu mau bekerja sama tanpa bertanya macam-macam.Nayna memutus telepon dan kembali mengamati Rama. Malam ini dia harus bekerja keras sebab tenaganya akan terkuras habis.Pertama-tama Nayna turun dari mobil dan membuka pintu kemudi, kemudian mulai menurunkan Rama setelah membuka sepatu tingginya terlebih dulu.Tubuh besar lelaki itu lebih berat dari perkiraan Nayna. Untungnya dia tidak perlu ke hotel yang jauh, sebab puluhan langkah dari restoran lokal itu, ada hotel yang juga tidak begitu mewah.Nayna cuma perlu memapah Rama menuju hotel bintang empat itu. Tak butuh waktu lama, N
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
Sekujur tubuh Nayna terasa remuk redam. Kelopak matanya berat untuk terbuka. Tenggorokan yang terbakar dan kepala yang pening, tapi ia tetap berusaha membuka mata.Langit-langit yang temaram menyambutnya beserta suara dengkuran halus di samping. Ia menemukan Vina yang meringkuk menghadap ke arahnya. Ah, sepertinya dia jatuh sakit dan merepotkan Vina. Padahal Vina-lah yang mesti dirawat. Samar-samar Nayna mencium aroma parfum yang tertinggal, yang akhir-akhir ini sering kali dia cium. Terendus seperti wangi Rama. Apa hanya perasaannya?Nayna memaksakan diri untuk bangun. Sepertinya dia sudah lama berbaring sebab punggungnya terasa kebas. Ia hanya ingat Vina yang menyuapinya bubur beberapa kali. Mendongak, Nayna melihat jarum pendek pada jam dinding mengarah pada angka empat. Berarti sudah Subuh. Berapa lama ia terbaring sakit?Napasnya masih sedikit berat, tak sengaja ketika ia mengembuskan napas, Nayna menemukan kakinya yang dibalut dengan perban baru dan lebih tebal. “Nay? Kamu ba
Semalaman penuh Rama hampir-hampir tidak tidur karena sibuk mengompres Nayna, memastikan handuk yang melekat di dahinya tetap terasa hangat. Nayna sangat gelisah. Ia sering merintih dan berdeham sambil memegang lehernya. Sepertinya tenggorokan wanita itu terasa sakit. Karena itu, Rama terus menyuapkan air secara berkala, sedangkan Vina dia suruh istirahat. Tidak lucu jika Nayna sembuh nanti, malah giliran Vina yang sakit. Nayna akan cemas dan merasa bersalah lagi. Rama masih berjaga di kamar Nayna, mengamati bagaimana mata yang terpejam itu sering kali mengerjap sayu. Wajah Nayna masih pucat dan bibirnya bergetar kedinginan padahal ia sudah memakai dua lapis selimut. Rama terdorong untuk menggenggam tangan wanita itu dan meniupnya. Mungkin tidak sopan, tapi rasa-rasanya ia ingin berbaring di samping Nayna dan mendekap wanita itu, menyalurkan rasa hangat dan berbagi kesakitan yang sama. Entah sejak kapan ia begitu ingin melindungi perempuan mungil yang selalu terlihat sok kuat ini.
ASeolah semua tenaga Lisa berangsur-angsur kembali. Rasa lapar dan kelelahan yang menyerangnya tergantikan dengan amarah membabi buta. “Kamu nggak lebih baik daripada aku, Mas.”Serangan telak itu menembus hati Rama. Kepalanya mendadak blank. Niatnya untuk membiarkan Lisa masuk dan berganti pakaian lenyap sudah. Rasa-rasanya ia tak sanggup melihat Lisa masuk dan mengingatkan lelaki itu pada kegagalan dan ketidakbecusannya menjadi seorang suami. “Jangan bergerak! Anda kami kepung.” Suara berat dengan nada yang tegas itu memecah suasana sunyi yang menyesakkan di antara mereka. Lisa membelalak saat melihat dua orang polisi tengah mengacungkan pistol ke arah dirinya dan Rama. Ia mundur ketakutan dan bersembunyi di balik punggung Rama.“Kamu menelepon polisi? Sialan. Harusnya aku nggak ke sini,” bisik Lisa. Sedang Rama mengernyit. Dia tidak pernah menelepon polisi.“Maaf, Pak. Saya tidak pernah melapor.” “Katanya di sini ada pencurian. Kami datang atas laporan dari penghuni rumah.” P
Waktu tiga hari ini adalah waktu yang sangat panjang dan melelahkan bagi Lisa, benar-benar seperti neraka. Setiap detik ia merasa hendak mati. Tak ada harapan dan bantuan yang datang, yang ada hanya ketakutan. Tak ada makanan, tempat tinggal, dan air. Ia mesti berjuang mati-matian untuk mendapatkan semua itu, meski dengan cara mencuri sekalipun. Di malam pertama, ia berbaring kelelahan di batang pohon pinggir jalan. Namun, tiba-tiba ia dibangunkan paksa oleh orang gila yang hendak melecehkannya. Tertawa menjijikkan sambil mengejarnya dengan penampilan kotor. “Heh, mau apa kamu! Jangan sentuh saya!” Orang gila berambut gimbal dengan gigi ompong dan wajah yang kotor itu terkekeh aneh sambil mencoba menyentuh lengan Lisa. “Pergi kamu, Gembel Sialan!”Sial! Orang gila ini tidak mau pergi. Lisa terpaksa melarikan diri, tapi orang itu tetap mengejar dengan baju compang-camping yang warnanya tidak jelas lagi. “Siapa pun tolong singkirkan orang sinting itu!” Lisa menjerit, tapi tidak ad