Lisa akhirnya sudah berada di hotel bersama Rama. Dia membawa Rama ke tempat yang jauh dari kota mereka. Tempat di mana sang suami tidak akan menerima bukti-bukti dari Nayna untuk sementara.
Selama tiga hari ke depan, dia harus menyingkirkan Nayna. Entah bagaimana pun caranya, perempuan kampungan itu harus enyah jika masih berani melawannya.
Lisa mengintip ke arah pintu kamar yang tertutup rapat. Tak ada tanda-tanda Rama akan kembali. Laki-laki itu masih berada di luar entah mengurus apa, ia sedang sibuk dengan teleponnya.
Lisa berdiri di tengah kamar sambil memegang ponsel, menelepon Bik Sumi—pembantunya.
“Halo, Bik. Gimana? Sudah diterima 'kan paketnya?”
“Sudah, Bu. Yang warna pink terus ada pita-pitanya, 'kan?”
Lisa mengerutkan kening, sama sekali tidak punya gambaran bagaimana bentuk dan warna paket yang dikirimkan Nayna. Yang dia tahu, isinya pasti adalah bukti-bukti tentang dirinya dan Bagus.
Sepuluh menit yang lalu.Nayna duduk dengan senyum tipis yang samar. Hampir-hampir tidak terlihat jika pramusaji yang berdiri di depan mejanya tidak memperhatikan lekat ekspresi wanita itu.Di layar ponselnya sudah ada nomor kontak Rama yang baru saja dia dapatkan dari waiter di hadapannya. Pada tanda nama yang tersemat di dada kirinya, tertulis nama Anton. Laki-laki yang seumuran dengan Nayna itu berdiri menjulang di depan Nayna menggantikan tugas Rama.Mari kita lihat seberapa gelisahnya Lisa saat ini.Nayna memencet tombol dengan ikon telepon, lalu menunggu dengan sabar. Meski sedang tersenyum, Anton sama sekali tidak menemukan ekspresi genit atau licik di wajah cantik yang selalu dingin itu.Telepon akhirnya tersambung setelah sekian lama, dan senyum Nayna memudar begitu saja.“Halo?” Suara Rama tidak lagi terdengar kelewat ramah, tapi nadanya masih sangat percaya diri.Bagusnya sebagai siapa Nayna memperke
Lisa menyembunyikan ponsel Rama dalam koper, di bawah tumpukan pakaiannya dengan keyakinan Rama tidak akan menemukan benda itu.Makanan mewah di hadapan mereka tidak membuatnya berselera sedikit pun. Dalam kepalanya hanya ada tiga kata: Nayna, bukti, dan ponsel.Ia melirik ke sekeliling restoran, mencari-cari barangkali ada orang aneh yang membuntutinya atau mungkin perempuan kumal yang memakai kaos gombrong dengan celana kain yang sangat jadul sedang mengamati dirinya dan Rama di suatu tempat.Nayna bilang dia tahu di mana tempat hotel mereka menginap. Berarti wanita itu mengawasi kehidupannya setiap saat. Dari mana dia mendapatkan kekuatan sebesar itu?Dari mana Nayna belajar mempermainkannya seperti ini?Wanita itu tidak mungkin datang ke sini untuk menyusulnya, 'kan?"Mau aku pesankan menu lain?" Pertanyaan dengan nada perhatian milik Rama memutus lamunan overthinking Lisa.Lisa menggeleng. "Nggak perlu."
Selama tiga hari, Lisa sama sekali tidak bisa menikmati waktu berdua dengan Rama. Tak pernah sedikit pun dia lengah dalam menjaga Rama terus berada di dekatnya.Malam ini adalah malam terakhirnya—besok mereka akan pulang—sekaligus menjadi malam terakhir pencarian Nayna. Diliriknya Rama yang tertidur pulas di sampingnya.Dalam tiga hari, dia sama sekali tidak mengaktifkan ponselnya. Menghindari teror dari Nayna, tapi tetap saja dia selalu merasa waspada.Lisa mengibaskan tangan di depan mata Rama yang terpejam rapat, memastikan lelaki itu benar-benar tertidur dan tidak akan bangun dalam waktu dekat.Diambilnya ponselnya di atas nakas. Dia hidupkan dan mencari-cari nama Bagus. Tak peduli jika ini sudah tengah malam dan Bagus sudah tertidur pulas di rumahnya.Ia menjauh dari ranjang, memepet pada sudut kamar. Saat ia yakin suaranya tidak akan membangunkan Rama, dia menelepon Bagus. Menunggu Bagus mengangkat te
Vina menghela napas lega di kamar kos barunya yang sudah dia tempati selama tiga hari bersama Nayna. “Mereka sudah pulang dari bulan madu.”Namun, berbeda dengan ekspresi lega Vina, Nayna masih datar saja. “Untung aja aku berhasil merayu asisten Rama untuk jadi pelanggan setia aku, jadi kita bisa menggali informasi sebanyak mungkin tentang Rama dan istrinya si pelakor itu.”Nayna menoleh serius kepada Vina yang tengah bersandar pada kepala ranjang. Kali ini kos baru mereka lebih mahal dan lebih berfasilitas. Ada ranjang luas dengan spring bed—bukan lagi kasur lapuk yang tidak empuk—serta lemari kayu yang cukup untuk menampung pakaian mereka berdua.“Apa imbalan yang dia minta?” Mata Nayna memicing ketika Vina tahu-tahu memalingkan wajah dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.Bosan ditatap penuh curiga terus-terusan oleh Nayna, Vina akhirnya meloloskan napas berat dari bibirnya yang tidak terpoles lipstik. “Servis gratis. Dia akan berikan semua informasi yang aku minta dan aku bakal k
Nayna datang lagi untuk keempat kalinya. Pada suasana ramai restoran yang masih sama. Hangat, ramah, dan mewah seolah menggambarkan kepribadian pemiliknya.Kali ini dia tidak datang di siang hari. Lampu-lampu remang yang berpadu dengan nuansa emas serta lilin-lilin yang ditata dengan gaya klasik membuat suasana di malam itu terlalu romantis untuk Nayna yang datang sendiri dengan gaun malamnya yang pendek dan melekat pas di tubuh curvy-nya.Potongan kain berwarna ungu gelap berkerah bulan sabit dan ditaburi dengan butiran–butiran putih kecil yang tampak seperti berlian. Rambutnya dia biarkan tergerai sampai pinggang, jatuh bergelombang dan menutupi punggungnya. Riasan wajahnya misterius dan sebisa mungkin dia tipiskan sebab penampilannya sudah sangat mencolok. Hanya di bagian mata yang dibuat tajam.Pada seorang waiter yang berdiri di samping pintu masuk dengan buku catatan besar di tangannya untuk memastikan para tamu yang masuk sudah melakukan reservasi karena setiap malam adalah wa
Nayna membawa Rama ke sebuah restoran yang lebih kecil dari milik Rama. suasananya tidak seromantis tadi dan tampak biasa saja. Alih-alih remang-remang dan misterius, pencahayannya malah sangat terang dengan dekorasi serba putih yang terlihat sangat higienis.Mereka tak perlu reservasi. Cukup memilih tempat duduk di dekat jendela dengan pemandangan suasana malam yang ramai.Penampilan Nayna sangat mencolok untuk ukuran restoran yang biasa saja. Begitu pun dengan Rama yang mengenakan setelan lengkap yang licin berwarna cokelat gelap. Dia tampak seperti eksekutif muda yang memilih restoran random untuk makan malam karena sudah terlalu letih.Namun, wajahnya masih segar. Tak ada gurat kelelahan dan keberatan meski Nayna mengajaknya ke tempat yang lebih jauh sampai memakan waktu lima belas menit perjalanan."Ada makanan lokal juga di sini." Nayna bersuara untuk pertama kalinya sejak mereka memasuki restoranRama mengangguk paham sambil menatap lekat buku menu. Menyebutkan menu pilihannya
Nayna menatap fokus ke samping, pada Rama yang sudah jatuh tertidur. Napas lelaki itu berembus teratur. Nayna mengambil ponsel di dalam tas jinjingnya.“Halo, saya akan kirimkan sisa uangnya. Terima kasih sudah membantu.”“Sama-sama, Mbak.” Nada suara itu terdengar senang. Waitress yang sejak tadi melayani mereka di dalam restoran itu mau bekerja sama tanpa bertanya macam-macam.Nayna memutus telepon dan kembali mengamati Rama. Malam ini dia harus bekerja keras sebab tenaganya akan terkuras habis.Pertama-tama Nayna turun dari mobil dan membuka pintu kemudi, kemudian mulai menurunkan Rama setelah membuka sepatu tingginya terlebih dulu.Tubuh besar lelaki itu lebih berat dari perkiraan Nayna. Untungnya dia tidak perlu ke hotel yang jauh, sebab puluhan langkah dari restoran lokal itu, ada hotel yang juga tidak begitu mewah.Nayna cuma perlu memapah Rama menuju hotel bintang empat itu. Tak butuh waktu lama, N
Lisa sampai di hotel Bellina dua puluh menit kemudian. Ia langsung berlari melewati meja resepsionis dan memberondong masuk ke lift. Dadanya naik turun dengan tempo yang tidak teratur. Di dalam lift, setengah mati ia mencoba tetap tenang meski kedua kakinya gemetar menahan amarah. Kedua tangannya sudah terkepal bersiap untuk memberikan pelajaran kepada perempuan tidak tahu malu itu!“Beraninya dia menggoda Mas Rama!” Lisa menggeram dengan sorot mata lurus penuh dendam.Ketika pintu lift yang hanya diisi olehnya itu terbuka, Lisa tidak membuang waktu sedetik pun untuk langsung berlari dan mencari-cari kamar 303 di lantai tiga.Dia bahkan membawa Mas Rama ke hotel murahan seperti ini!Kamar 303 sudah ada di depan matanya. Lisa merasa tak perlu mengetuk atau meminta izin. Digedornya pintu cokelat itu dengan amarah membabi buta. Tak ada reaksi apa pun dari dalam. Dia akhirnya memutar handle-nya dan tahu-tahu pintu itu terbuka.Ternyata tidak terkunci.Lisa menerobos masuk. Menemukan Rama