"Aaargh ...!"Arsen memekik seraya memegangi kepalanya, pria itu langsung bangun dan berlari menuju kamar mandi. Menutup pintu kamar mandi dengan kencang dan meninggalkan Shaynala yang hanya mampu menatap datar dari ranjang.Gadis itu tersenyum kecut, hatinya memanjatkan rasa syukur saat Arsen tidak jadi menyentuhnya. Sementara di dalam kamar mandi, Arsen langsung berdiri di bawah shower dan menyalakan kerannya.Guyuran air dingin perlahan mulai meredakan rasa pusingnya, denyut ngilu di pelipisnya mulai hilang seiring seluruh tubuhnya yang sudah basah.'Kenapa aku tidak bisa menghapus bayangan Larissa di kamar hotel itu? Kenapa teriakannya masih sering menghantui pikiranku?!' makinya dalam hati.Arsen menghantam dinding marmer itu dengan kepalan tangannya, napasnya memburu naik-turun saat gendang telinganya berdenging seiring dengan suara Larissa yang tidak mau pergi dari kepalanya.'Apa aku sudah gila?!' batinnya.Yeah! Selama lima bulan ini ia tidak pernah bisa menghilangkan gangguan
Hari ini adalah acara pengembalian lamaran, keluarga Ilham sampai di pesantren tepat pada pukul sembilan pagi. Seperti biasa acara akan dibuka dengan doa dan beberapa sambutan, kemudian dilanjutkan penentuan tanggal pernikahan.Ilham memutuskan untuk menggelar pernikahan enam bulan dari hari ini, hal itu langsung disetujui oleh semua pihak. Semuanya yang hadir memanjatkan rasa syukur, senyum bahagia terukir jelas di bibir semua orang.Namun, tidak dengan Kaindra. Pria itu hanya diam seraya menundukkan kepala. Sesekali ia akan tersenyum saat ada yang mengajaknya berbicara, selebihnya ia kembali diam seakan tidak bersemangat."Enam bulan lagi, Kang. Bukan waktu yang lama, setelah itu kamu bisa selalu dekat dengan gadis pujaanmu itu," bisik Farraz — sahabat Kaindra sekaligus kang ndalem yang mengabdi di pesantren ini."Apa, sih, Kang." Kaindra menatap Farraz dengan sorot mata tidak suka."Lah itu, dari tadi kamu diam saja seperti orang murung. Pasti kamu sedih karena tidak bisa melihat R
"Eugh ...." Lenguhan tipis terdengar begitu lemah dari bibir Shaynala, membuat Arsen langsung berlari mendekat ke ranjang."Sayang? Bagaimana? Masih pusing rasanya?" tanya Arsen dengan suara lembut.Shaynala melihat wajah tampan itu, raut khawatir jelas sekali tergambar di sana dan itu membuat Shaynala tanpa sadar mengeluarkan air matanya."Kenapa menangis? Ada yang sakit, hmm ...." Arsen membawa tangannya untuk mengusap bulir air mata itu.Gadis itu menggeleng. Berusaha menyembunyikan hatinya yang masih terasa nyeri karena tahu suaminya sempat bermain gila dengan wanita lain.Arsen mendudukkan dirinya di ranjang, membaringkan tubuhnya di samping Shaynala kemudian memeluk hangat istrinya itu."Sudah, ya ...," ucap Arsen seraya mengelus lembut punggung sang istri.Shaynala terus terisak, ia menggigit bibir bagian dalamnya agar tidak terlalu terdengar. Demi apapun ini rasanya sangat sakit, ia bahkan bingung harus bagaimana sekarang. Toh, tidak mungkin akan jujur. Ini bukan waktu yang te
Hari demi hari terus berlalu dan tanpa terasa sudah berganti minggu, Shaynala menjalani semuanya dengan tenang, meskipun rasa sesak saat mengingat fakta menyakitkan itu membuatnya hampir limbung.Satu minggu setelah menerima kabar dari Karin, Shaynala tahu perasaannya kala itu adalah rasa syok karena tidak terima. Rasa kecewa lantaran kebohongan dan pengkhianatan yang dilakukan Arsen dalam ikatan pernikahan mereka, bukan perasaan cinta yang memberatkan jikalau harus berpisah.Pagi ini gadis itu datang ke kantor Karin, menceritakan semua kebingungannya selama beberapa bulan terakhir ini."Bagaimana kalau kamu pasang alat penyadap di ponsel suamimu? Itu bisa melacak keberadaannya, juga setiap pesan dan panggilan yang masuk. Jadi kamu tahu apa saja yang Arsen dan wanita itu bicarakan," ujar Karin seusai mendengarkan penjelasan panjang Shaynala."Kalau dia tahu bagaimana? Itu sejenis aplikasi begitu 'kan?"Karin menganggukkan kepalanya dengan antusias. "Kalau kamu mau, aku akan pasangkan y
Setelah mengantarkan Rashita ke butik, Kaindra langsung menancap gas mobilnya menuju kantor, hingga setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit akhirnya ia sampai di gedung pencakar langit bertuliskan Perusahaan Starlight itu.Kaindra membawa langkah masuk setelah memarkirkan mobil di parkiran khusus, ia berjalan cepat untuk sampai di ruangannya, tidak sabar ingin segera makan sambal cumi buatan Bibinya yang terkenal enak."Wah ... pas banget aku lagi lapar," ucapnya seraya membuka kotak makan berbahan stainless steel itu.Ia makan dengan nikmat, lidahnya bergoyang ketika merasakan perpaduan nasi dan sambal cumi pedas gurih yang terasa sangat pas. Sampai akhirnya makanannya tandas, bertepatan dengan pintu kaca ruangannya diketuk dari luar."Masuk!" teriaknya seraya menaruh kotak bekal ke laci meja.Pintu terbuka, Melati masuk dengan mengulas senyum lebar."Maaf, Pak. Saya ingin mengantarkan berkas laporan keuangan selama satu bulan kemarin," ucapnya."Iya."Gadis itu berjalan m
Mobil mewah yang dikendarai Alex berhenti di halaman luas kediaman Jamal tepat pada jam tiga pagi, ketiga orang itu keluar dari mobil dan langsung disambut oleh Jamal yang baru saja membuka pintu kediamannya."Kakek belum tidur?" tanya Melati, ia kini berdiri di hadapan Jamal, sementara Bruno dan Alex berdiri di belakang gadis itu."Belum, Mel. Sengaja, karena menunggu kalian."Melati menghela napas kasar. "Seharusnya jangan seperti ini, Kek. Nanti kalau perawat tahu jadwal tidur Kakek kurang, terus marah bagaimana?"Pria senja itu terkekeh saat Melati memperhatikannya. "Makanya jangan bilang-bilang." Lagi, Melati hanya mampu mendengus kesal saat sang Kakek tidak mau mendengarkan kata-katanya. Mungkin benar kata orang, sejahat apapun manusia, tetapi hatinya masih ada setitik kelembutan.Seperti interaksi Jamal dan Melati barusan, perhatian cucu pada Kakeknya membuat orang lain tersenyum saat melihat interaksi mereka."Sudah, nggak usah cemberut. Kakek janji malam ini terakhir kalinya
"Maaf, aku tidak bisa menjelaskan semuanya secara gamblang. Tapi, yang harus kau ingat adalah ... tetap lah percaya pada suamimu, Na. Apapun yang terjadi, jangan percaya pada orang lain kecuali suamimu sendiri," ucap Diego yang sontak mengundang seringai senyum di ujung bibir Shaynala.Shaynala tertawa sumbang mendengar perkataan Diego, tawa yang sebenarnya menjadi penutup luka kekecewaannya."Mana bisa aku percaya padanya, Kak. Sedangkan dia lah yang sedari awal dengan sengaja mempertahankan kebohongannya." Gadis itu bangkit, menatap ke arah Diego dengan pandangan tajam. "Terima kasih atas waktunya. Aku pamit dulu!" Tanpa menunggu jawaban dari Diego, Shaynala melenggang pergi keluar dari ruangan itu. Berjalan cepat menuju parkiran dan lekas masuk ke dalam mobil.Tangannya mencengkram erat setir bundar itu, kemudian menancap gas dengan kecepatan tinggi menuju rumah Karin. Ia berencana menemui Kakak temannya itu yang seorang pengacara, meminta tolong untuk mengurus berkas perceraian y
Kaindra segera kembali ke kantor dan membahas hal ini bersama Ryon, asisten pribadinya itu tidak kalah terkejutnya dengan Aaraf, bahkan beberapa kali tubuh kekar pria itu menegang."Aku akan segera menghubungi agen detektif, Ndra. Ini tidak bisa dibiarkan dan kita harus segera menemukannya, karena kalau tidak ... perusahaan ini bisa hancur," ucap Ryon dengan suara lirih.Kaindra membuang nafas kasar saat lagi-lagi mendengar hal itu, hal pahit yang juga dikatakan oleh Aaraf tadi."Iya, tolong segera carikan agen detektif terpercaya, Ryon. Saat ini aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Aku ... a-aku merasa tidak berguna!" Kaindra menghempaskan tubuhnya ke sofa, menjambak rambut dengan frustasi guna menyalurkan kekalutannya."Kamu jangan berpikir macam-macam, tenang dulu. Kalau kamu berpikir seperti itu, aku juga tidak bisa tenang!" teriak Ryon.Dua pria itu sama-sama diselimuti kebingungan, wajah keduanya menegang bahkan urat-uratnya nampak mencuat keluar. Ryon meraih ponsel dan la