Bab 47[Selamat hari ibu, wanita yang hebat!Teriring doa, semoga tetap menjadi seperti ini, memberikan cinta yang besar kepada putramu.Alifa, bolehkah saya minta sesuatu? Saya ingin agar kamu menjadi Ibu yang sebenarnya untuk cucu saya, Gibran dan calon adik-adiknya nanti. Menikahlah dengan Aariz. Saya mohon....]Tubuhku lemas seketika. Bahkan secarik kertas itu terlepas dari peganganku, jatuh ke lantai.Isi kotak itu memang benar sebuah boneka beruang yang cantik dan berukuran mungil. Namun bukan itu saja. Ada sebuah kotak yang ternyata isinya adalah satu set perhiasan bertahtakan berlian. Sepertinya satu set perhiasan ini dipesan khusus, karena kotak perhiasannya tertera logo merek perhiasan itu."Mbak dilamar?" cicit Naira."Aku tidak mengerti, Naira. Ini membingungkan. Aku nggak tahu." Menggunakan tanganku yang gemetar, aku segera membungkus kembali barang-barang itu, berikut dengan kertas yang berisi tulisan tangan bu Wardah. Aku membungkusnya seperti semula, lengkap dengan p
Bab 48"Ke rumah utama?" Aku sangat terkejut. Ini memang sudah lewat seminggu dari momen hari ibu, dan ini adalah hari terakhir tugas dokter Aariz sebelum menjalani masa cuti tahun baru.Di benakku langsung terbayang sosok ibu Wardah. Wanita baik hati itu pasti kini tengah menunggu jawabanku. Tapi apa yang harus kujawab? Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan, termasuk ketidaktahuan dokter Aariz kalau ibunya sudah melamarku untuknya.Aku tidak bisa memprediksi bagaimana sikap dokter Aariz selanjutnya. Apakah ia memarahi ibunya, atau justru memarahiku yang tidak tahu apa-apa?Heran, kenapa bu Wardah bersikap begini? Wanita itu terlihat bijaksana, tapi kenapa malah memperlakukan putranya seperti anak kecil yang harus dipilihkan mainan?Aku benar-benar tidak habis pikir.Aku tidak bisa membayangkan bagaimana terkejutnya dokter Aariz ketika mengetahui jika ibunya sudah menjodohkannya dengan seorang perempuan."Iya, Alifa. Mama meminta kita semua untuk makan malam bersama. Kangen cu
Bab 49"Menikah?" Pria itu spontan mendekatkan telinganya ke mulut sang bunda. "Mama bilang apa tadi?""Jangan pura-pura tuli, Aaariz!" Wardah yang merasa jengah langsung mendorong wajah putranya dengan keras "Mama melihat hubunganmu dengan Alifa sudah cukup dekat. Kalian pun tampaknya merasa nyaman satu sama lain. Jadi kapan Mama bisa mendapatkan kabar baik itu?""Aku dan Alifa hanya berteman, karena Alifa itu ibu susu Gibran. Mama sendiri tahu, kan? Aku menerima keberadaan Alifa sebagai ibu susu yang Mama pilihkan untuk anakku." Aariz menatap ibunya dalam-dalam, berupaya menjelaskan, namun wajah itu terlihat sangat serius, bahkan mata tajamnya tak lepas memandangi mereka berdua. Sementara Atta duduk sedikit agak menjauh. Pria itu tengah fokus dengan ponselnya, seolah tak peduli jika di dekatnya ada perdebatan serius.Demi Tuhan, Atta hanya berpura-pura. Dia hanya sekedar memainkan game offline yang tak memerlukan fokus. Telinganya sudah tegak, ingin tahu bagaimana hasil pembicaraa
Bab 50"Siapa yang bilang kalian sudah dewasa?! Bagi Mama, kamu dan Atta adalah anak-anak kecil yang tetap butuh bimbingan. Mama wajib mengarahkan kalian, memastikan agar jalan hidup kalian lurus, tidak bengkok. Asal kamu tahu, Winda itu tidak sebaik yang kamu kira, dan kamu akan rugi besar, karena sudah memperjuangkannya. Lagi pula, keluarga Subrata tidak merestui kalian. Apalagi yang kamu harapkan, Aariz?" Rasanya Wardah ingin meledak saja. Memberi pengertian pada putranya di tengah keinginannya untuk menjaga sebuah rahasia, ternyata amatlah sulit."Ada Gibran di antara kami, Ma.""Mereka sudah menyerahkan Gibran sama kamu. Dan itu berarti Gibran adalah anak kamu, bukan anak Winda!""Tetap saja Gibran lahir dari rahimnya, Ma!""Aariz, menjadi seorang ibu bukan hanya sekedar hamil dan melahirkan, tetapi juga mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Kamu tentu ingat, jika seorang ibu itu adalah pendidik yang paling utama, dan semua peran itu diambil oleh Alifa, kecuali hamil dan melahirkan
Bab 51 "Apa itu syaratnya, Ma?" tanya Aariz. "Kamu dan Gibran harus melakukan tes DNA!" Apa??! Bukan cuma dokter Aariz, tetapi aku pun menganga. Bukankah Gibran adalah anaknya dokter Aariz dengan istrinya yang bernama Winda? Kenapa harus tes DNA segala? Apakah Atta tidak bisa dipercaya sehingga ada kemungkinan bayi mereka tertukar saat di rumah sakit? Saat itu hanya Atta yang menunggui Winda di rumah sakit menjelang proses persalinannya. Dokter Aaariz tidak bisa menunggui istrinya, karena ada pasien yang harus ia tangani, terlebih dia tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan jika harus kehilangan Winda. Bisa saja kan saat itu Atta kehilangan kewaspadaan, sehingga tidak sadar jika pihak rumah sakit menukar bayi yang merupakan keponakannya itu dengan bayi yang lain? Tapi bagaimana mungkin? Winda melahirkan di sebuah rumah sakit yang bahkan jauh lebih baik daripada RSIA Hermina karena perintah dari orang tuanya yang menginginkan pelayanan eksklusif. Tidak mungkin pihak rumah s
Bab 52"Kalian tidak salah sampel, kan? Yang kalian teliti itu sampel yang saya kasih kepada kalian tadi malam, kan?!""Betul sekali, Dok. Sama sekali tidak ada kesalahan sampel. Dan itu adalah hasil real, bukan rekayasa. Kami tidak berani melakukan kejahatan, Dok. Anda, Aariz El Fata dan ananda Gibran Adirama El Fata bukanlah ayah dan anak kandung," jawab petugas laboratorium itu dengan takut-takut. Tentu saja dia takut, karena ini merupakan kejutan untuk mereka. Tidak mungkin kan, pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja ini sampai kecolongan sehingga tanpa sadar memiliki anak yang ternyata bukan anak biologisnya?Pria itu menggeram. Rahang yang mengetat, dengan tangan yang mengepal sehingga kertas berisi hasil tes DNA itu menggumpal menjadi satu. Namun dia tidak bisa mengucap sumpah serapahnya di sini.Semarah apapun dirinya, dan masalah apapun yang menimpanya, tetap saja dia adalah seorang dokter yang harus menjaga reputasinya sebaik mungkin."Baiklah, hasil ini saya terima. Tapi
Bab 53Biasanya pria itu selalu nempel pada putranya di setiap ada kesempatan. Bahkan dia sampai bela-belain membawaku dan Gibran ke RSIA Hermina hanya demi supaya bisa selalu bersama putranya.Namun sampai hari ini, pria itu tidak kunjung muncul, padahal Gibran selalu menanyakan papanya. Bertanya kepada ibu Wardah tentunya aku merasa sungkan, sebab ini pasti ada kaitannya dengan tes DNA.Bagaimana dengan hasil tes itu? Kenapa dokter Aariz maupun ibu Wardah tidak memberitahukan hasilnya kepadaku?Padahal ini sangat penting, karena aku adalah ibu susunya. Sekecil apapun informasi tentang putraku, aku harus tahu."Pa pa." Mulut mungil itu kembali bergerak-gerak."Papa lagi kerja, Sayang. Jangan dicariin terus. Nanti Papa pasti pulang kok dan bisa bermain lagi sama Adek," bujukku. Gibran merangkak ke sana kemari berusaha menggapai mobil-mobilan yang biasa dimainkan oleh papanya. Aku mencoba memainkan mobil itu dan selalu bertepuk tangan ketika Gibran berhasil mengejar mobil-mobilannya.
Bab 54Tubuhku langsung berkeringat dingin, tak menyangka jika mantan ibu mertuaku hadir di acara ini. Aku tidak takut dengan hinaan yang mungkin akan terlontar dari mulut pedas wanita itu, tetapi yang aku takutkan jika ibu Wardah merasa dipermalukan."Kamu Alifa?""Oh... jadi Bu Yunita kenal sama anak angkatnya Bu Wardah ini?" tanya salah seorang ibu yang mengenakan kerudung berwarna putih."Sangat kenal malah, Bu," jawab mama Yunita dengan tatapannya yang penuh arti kepadaku. "Dia ini adalah mantan menantu yang pernah saya ceritakan dulu. Anak saya menceraikannya karena dia berselingkuh.""Oh... ternyata dia janda. Kirain masih gadis toh." Mata wanita-wanita itu diarahkan kepadaku, kecuali mata sang punya rumah yang sudah tahu identitasku, karena diperkenalkan oleh ibu Wardah saat berada di teras rumah ini."Dia memang janda, ibu-ibu. Kalau nggak janda, mana mungkin mau menjadi ibu susu cucu saya. Jadi, Alifa ini ditalak suaminya saat dalam keadaan hamil. Nah... kemudian dia melahir
Bab 65"Memang udah jalannya, Mak. Tapi saya bersyukur, kehidupan saya sekarang sudah jauh lebih baik. Emak bisa lihat keadaan saya, kan?" "Iya, Emak juga bersyukur, Bu Alifa terlihat baik-baik saja. Padahal kemarin Emak sempat khawatir, karena Ibu pergi hanya dengan mengenakan pakaian di badan, nggak bawa apa-apa. Padahal semua orang tahu jika Ibu sangat berjasa bagi perusahaan Bapak. Seharusnya Ibu dapat harta gono gini....""Saya udah nggak peduli soal itu. Udah lama berlalu, Mak. Sekarang saya udah menemukan keluarga yang baru....""Bu Alifa sudah menikah lagi?" Perempuan tua itu membulatkan matanya, tampak terkejut."Enggak, Mak." Spontan menggigit bibirku sendiri lantaran menyadari jika Mak Darmi pasti sudah salah paham. "Enggak semudah itu bagi saya untuk memutuskan membuka lembaran baru, tapi sekarang saya tinggal bersama keluarga angkat saya. Ceritanya panjang, Mak.""Bu Alifa orang baik dan pasti akan selalu mendapatkan kebaikan," tukas perempuan tua itu. Dia memberi isyara
Bab 64Dia sudah tak sabar menunggu momen itu. Meski Keenan yakin, jalannya akan sulit karena sudah pasti dokter Aariz tidak akan tinggal diam, tapi ia berharap akan ada sebuah keajaiban. Bukankah Alifa pernah hidup bersamanya dengan segala kenyamanan yang ia miliki?Bukankah dia pernah memanjakan Alifa sedemikian rupa, meratukannya tanpa peduli jika apa yang ia lakukan membuat iri ibu dan kedua kakak perempuannya?Koleksi tas dan perhiasan itu menjadi bukti jika dia pernah memperlakukan Alifa laksana seorang ratu. Alifa pula yang mengelola keuangannya, mengendalikan setiap keputusan di perusahaan. Dia sangat mempercayai Alifa, karena perempuan itu punya track record sebagai seorang akuntan.Seharusnya ia tak mempercayai ibu, Eliana, dan kakak perempuannya begitu saja. Namun mereka benar-benar menekan, bahkan ibunya mengancam akan bunuh diri jika ia tak mau menceraikan Alifa.Posisinya terjepit. Dia kalah, dan Alifa menjadi korban keegoisannya. Seharusnya sebelum ia menjatuhkan talak
Bab 63Rasanya letupan kerinduan ini sudah tak terbendung. Meski Alifa selalu bersikap ketus dan seolah tak peduli, tapi bagi Keenan, melihat wajah Alifa saja sudah membuat dia senang sekali. Apalagi jika sampai bisa membuat Alifa kembali ke dalam pelukannya."Apakah masih ada sisa cinta untukku, Alifa?" desah Keenan. Pikirannya seketika melayang pada sosok dokter pemilik RSIA Hermina yang tentu lebih segalanya daripadanya."Apa kamu lebih memilih dokter itu, dibandingkan aku? Apalagi sejak nggak ada kamu, perusahaan oleng dan nyaris tidak bisa diselamatkan, andai aku tidak memiliki orang-orang yang loyal pada perusahaan."Pria itu berjalan menuju kamar utama rumah ini. Kamar yang selama ini ditempati oleh Eliana. Sudah dua hari Eliana tidak pulang, dan kabar terakhir yang didapatnya jika Eliana tengah berada di rumah orang tuanya.Ada atau tidaknya Eliana sama sekali tidak berpengaruh. Tetap saja dia tidak menjalankan peran yang semestinya. Bahkan rumah ini malah semakin tenang jika
Bab 62"Apa Mas pikir hanya aku yang perlu berdamai dengan masa lalu? Apa barusan kamu lupa jika kamu pun tak tahu apa yang harus kamu lakukan, bahkan kamu sampai berpikir untuk membuang Gibran?! Kamu itu kekanak-kanakan, tahu!" Diam-diam aku mengepalkan tangan. Risih juga, karena seolah-olah hanya aku yang terluka dengan pasangan terdahulu.Seolah dia menggampangkan perasaanku.Obat luka hati akibat dikhianati itu bukan dengan jalan membuka lembaran baru dengan pasangan yang baru.Ini salah besar."Iya, aku tahu. Dan kita akan belajar bersama. Aku harap kamu juga bisa menungguku. Kita tidak perlu terburu-buru, oke?!" Pria itu mengusap kepalaku, kemudian memasangkan sabuk pengaman.Mobil perlahan meninggalkan lokasi pantai dan kembali melaju membelah kegelapan malam."Mau ke mana lagi setelah ini? Aku sudah berjanji untuk membawamu jalan-jalan semalaman untuk menghapus jejak Atta yang sudah beberapa kali membawamu jalan-jalan. Apa kamu mau dinner?" tawarnya.Namun tawaku justru meleda
Bab 61 (Menunggumu tanpa batas waktu)Kami bersandar di body mobil. Pandangan lurus ke depan menatap gulungan ombak yang terus saja menderu. Menyelami keindahan alam membuatku memejamkan mata sejenak. Sejak tadi dokter Aariz tidak melepaskan genggaman tanganku. Aku memilih membiarkan saja, memberi waktu kepada pria itu untuk menenangkan diri tanpa menjawab pertanyaannya.Ini permintaan atau lamaran sih? Aku berani menebak, jika dokter Aariz hanya ingin meredakan sakitnya sendiri. Setelah ia merasa tak ada harapan lagi untuk kembali dengan Winda, barulah ia memikirkan soal perjodohan ini."Apa jawabanmu, Alifa?" Akhirnya ia bertanya lagi setelah kami terdiam cukup lama dan merasakan udara dingin yang terus menyergap."Aku tidak akan menjawab ya atau tidak, karena aku pikir ini bukan saatnya.....""Inilah saatnya, Alifa. Ini saat yang tepat itu. Aku sudah menyadari dan memikirkan hal ini selama berminggu-minggu. Jadi jangan kamu pikir aku menghindar dari masalah. Sekali-sekali tidak..
Bab 60Aku menemukan pria itu tengah duduk di sebuah bangku panjang di sudut taman ini. Taman ini hanya dilengkapi dengan lampu yang tidak terlalu terang sehingga suasananya temaram."Duduklah, Alifa." Dia menepuk tempat duduk yang berada di sampingnya.Aku melangkah dengan sedikit ragu, karena terus terang saja tadi aku sedikit takut dengannya. Wajahnya yang menyeramkan, sorot matanya yang berkilat-kilat seolah ingin menelanku dan Atta hidup-hidup. Apalagi ketika menyatakan ketidaksukaannya terhadap keberadaan Anindita.Wajahnya kini sudah berubah. Ekspresi yang tampak menunjukkan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya di antara kami. Ah, bukankah pria yang satu ini memang pandai berakting? Dia sangat mudah merubah ekspresi wajahnya. Semenit yang lalu bisa dalam mode menyeramkan layaknya mafia, kemudian semenit kemudian kembali ke mode malaikatnya di saat bertemu dengan para pasien.Mudah-mudahan suatu saat pria ini bertemu dengan seorang sutradara yang bisa melibatkan
Bab 59"Nggak apa-apa, Bun. Saya senang dengan anak-anak. Entah kenapa saya merasa memiliki keterikatan dengan bayi ini. Tolonglah, Bun. Mohon kerelaan Bunda agar saya diizinkan mengadopsi Anindita."Terlihat jelas jika perempuan paruh baya itu merasa berat. Namun Atta terus membujuknya, bahkan mengiming-imingi dengan sejumlah uang yang janjinya akan ia kirim setiap bulan. Atta bahkan berjanji akan menggelontorkan dana lagi untuk merenovasi bangunan panti ini. Aku hanya diam, tapi tetap memperhatikan dengan cermat gestur tubuh perempuan paruh baya itu, terutama saat Atta membahas soal kesediaan untuk menjadi donatur tetap panti.Matanya berbinar-binar, meski di mulutnya ia mengucapkan keberatan melepas Anindita untuk kami karena ia terlanjur menyayanginya.Rasanya aku ingin tertawa saja.Fix, ini akting kayaknya. Malam ini juga kami membawa Anindita pulang. Bayi yang ku taksir berumur sekitar 5 bulanan itu tidur lelap dalam dekapanku."Kamu merasa ada yang aneh nggak?" usik Atta pel
Bab 58Semua terjadi begitu cepat.Aku sibuk menenangkan bayi yang semula berada di gendongan bunda Ramlah, tanpa menyadari jika perempuan itu seperti ingin bergerak menjauh. Namun, tangan Atta dengan tangkas menangkap tubuh perempuan setengah tua itu, dan menggiringnya ke mobil.Dengan menggendong bayi ini, aku pun turut masuk ke dalam mobil. Kali ini mengambil tempat duduk di jok belakang, berdampingan dengan bunda Ramlah. Bayi ini masih juga tidak mau diam, meski aku sudah mendekapnya. Akhirnya aku mencoba untuk menyusuinya. Dan benar saja, dia menyusu dengan sangat kuat.Aku menatap wajah ini. Bayi perempuan yang bernama Anindita ini sebenarnya sangat cantik. Namun pakaian yang dikenakannya sangat lusuh, bahkan dia tidak menggunakan kaos kaki dan penutup kepala, padahal diajak jalan pada malam hari. Baju dan celana yang dikenakan oleh Anindita pun adalah baju yang dulu pernah aku sumbangkan ke panti. Aku ingat benar, ini adalah baju milik Zaid yang selamanya tidak akan pernah bis
Bab 57"Mau jalan-jalan?" tawar Atta sembari menengok arlojinya. Dia memang baru saja keluar dari kamarnya setelah mandi dan berganti pakaian. Hari ini Atta pulang terlambat. Kami baru saja selesai makan malam saat pria itu pulang dari hotel Permata, miliknya.Sejak aku kembali ke rumah utama, ternyata Atta pun lebih sering menginap di rumah utama. Entah apa maksud pria itu. Apa mungkin dia merasa kesepian tinggal di apartemen sendirian?"Jalan-jalan?" Sejenak aku berpikir dan mengamati penampilanku sendiri. Aku baru saja keluar kamar setelah memastikan Gibran sudah tertidur. Tidak perlu khawatir kalau dia terbangun, karena ada Naira yang menungguinya.Di rumah ini Naira memiliki kamar sendiri, tapi dia lebih sering berada di kamar ibu Wardah, karena perempuan tua itu menginginkan berada dalam satu kamar dengan cucunya. Ada satu ranjang yang sengaja ditambahkan ke dalam kamar itu untuk tempat tidurku dan Naira. Namun lebih sering aku tertidur di ranjang bu Wardah.Aku benar-benar sal