Bab 53Biasanya pria itu selalu nempel pada putranya di setiap ada kesempatan. Bahkan dia sampai bela-belain membawaku dan Gibran ke RSIA Hermina hanya demi supaya bisa selalu bersama putranya.Namun sampai hari ini, pria itu tidak kunjung muncul, padahal Gibran selalu menanyakan papanya. Bertanya kepada ibu Wardah tentunya aku merasa sungkan, sebab ini pasti ada kaitannya dengan tes DNA.Bagaimana dengan hasil tes itu? Kenapa dokter Aariz maupun ibu Wardah tidak memberitahukan hasilnya kepadaku?Padahal ini sangat penting, karena aku adalah ibu susunya. Sekecil apapun informasi tentang putraku, aku harus tahu."Pa pa." Mulut mungil itu kembali bergerak-gerak."Papa lagi kerja, Sayang. Jangan dicariin terus. Nanti Papa pasti pulang kok dan bisa bermain lagi sama Adek," bujukku. Gibran merangkak ke sana kemari berusaha menggapai mobil-mobilan yang biasa dimainkan oleh papanya. Aku mencoba memainkan mobil itu dan selalu bertepuk tangan ketika Gibran berhasil mengejar mobil-mobilannya.
Bab 54Tubuhku langsung berkeringat dingin, tak menyangka jika mantan ibu mertuaku hadir di acara ini. Aku tidak takut dengan hinaan yang mungkin akan terlontar dari mulut pedas wanita itu, tetapi yang aku takutkan jika ibu Wardah merasa dipermalukan."Kamu Alifa?""Oh... jadi Bu Yunita kenal sama anak angkatnya Bu Wardah ini?" tanya salah seorang ibu yang mengenakan kerudung berwarna putih."Sangat kenal malah, Bu," jawab mama Yunita dengan tatapannya yang penuh arti kepadaku. "Dia ini adalah mantan menantu yang pernah saya ceritakan dulu. Anak saya menceraikannya karena dia berselingkuh.""Oh... ternyata dia janda. Kirain masih gadis toh." Mata wanita-wanita itu diarahkan kepadaku, kecuali mata sang punya rumah yang sudah tahu identitasku, karena diperkenalkan oleh ibu Wardah saat berada di teras rumah ini."Dia memang janda, ibu-ibu. Kalau nggak janda, mana mungkin mau menjadi ibu susu cucu saya. Jadi, Alifa ini ditalak suaminya saat dalam keadaan hamil. Nah... kemudian dia melahir
Bab 55"Maaf ya, In, Sherina selalu merepotkan kamu," ujar Keenan. Dia menyerahkan Sherina yang sudah tertidur ke dalam gendongan Ina. Ditatapnya wajah layu sang baby sister. Sebenarnya Keenan merasa iba, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.Enam bulan sudah berlalu. Tak ada perubahan yang berarti dari sikap istrinya. Keenan sudah menyerah, dan ia membiarkan Eliana bersikap sesuka hatinya. Hanya saja, ia masih mengawasi Eliana jika berada di luar rumah. Melihat dari sikap Eliana yang selalu menjelek-jelekkan Alifa di hadapannya, membuatnya berpikir jika sebenarnya Eliana pun juga punya skandal, meski sejauh ini, sejauh yang bisa diamatinya, wanita itu tidak terlibat hubungan dengan siapapun. Eliana hanya kumpul-kumpul dengan teman-teman perempuannya dan terkadang pulang ke rumah orang tuanya.Terlebih dia masih terngiang-ngiang ucapan Alifa tempo hari yang menyebut Eliana itu pelakor teriak pelakor. Apa itu berarti jika sebenarnya Alifa mengetahui soal Eliana?Apa Alifa dulu punya rah
Bab 56"Iya, tapi setelahnya Mama jadi menyesal. Sebenarnya Mama hanya kaget, karena tidak menyangka Alifa akan datang ke acara arisan itu. Kamu tahu sendiri, kan, teman-teman arisan Mama semuanya wanita kaya, istri pengusaha atau ada anak-anaknya yang menjadi pengusaha kayak kamu?!" ujar Yunita mengingatkan. Ada rasa bangga di hati, karena berkat Keenan yang menjadi seorang pengusaha, maka ia bisa masuk ke dalam komunitas wanita sosialita di kota ini."Terus, Mama ngomong apa sama Alifa?" selidik Keenan. Selama ini dia sudah mencoba untuk berdamai, melupakan apapun yang telah dilakukan Alifa di masa lalu, terlepas apakah itu benar dilakukan Alifa atau hanya merupakan fitnah saja. Dia sudah lagi tidak mempersoalkan. Sudah beberapa minggu ini Keenan juga menghentikan penyelidikan soal Alifa, karena rasanya sia-sia saja. Aryan tidak pernah memberi kabar di mana tempat tinggal Alifa sekarang. Dia bahkan terkesan menghindar saat dihubungi oleh Keenan.Fokusnya sekarang, bagaimana caranya
Bab 57"Mau jalan-jalan?" tawar Atta sembari menengok arlojinya. Dia memang baru saja keluar dari kamarnya setelah mandi dan berganti pakaian. Hari ini Atta pulang terlambat. Kami baru saja selesai makan malam saat pria itu pulang dari hotel Permata, miliknya.Sejak aku kembali ke rumah utama, ternyata Atta pun lebih sering menginap di rumah utama. Entah apa maksud pria itu. Apa mungkin dia merasa kesepian tinggal di apartemen sendirian?"Jalan-jalan?" Sejenak aku berpikir dan mengamati penampilanku sendiri. Aku baru saja keluar kamar setelah memastikan Gibran sudah tertidur. Tidak perlu khawatir kalau dia terbangun, karena ada Naira yang menungguinya.Di rumah ini Naira memiliki kamar sendiri, tapi dia lebih sering berada di kamar ibu Wardah, karena perempuan tua itu menginginkan berada dalam satu kamar dengan cucunya. Ada satu ranjang yang sengaja ditambahkan ke dalam kamar itu untuk tempat tidurku dan Naira. Namun lebih sering aku tertidur di ranjang bu Wardah.Aku benar-benar sal
Bab 58Semua terjadi begitu cepat.Aku sibuk menenangkan bayi yang semula berada di gendongan bunda Ramlah, tanpa menyadari jika perempuan itu seperti ingin bergerak menjauh. Namun, tangan Atta dengan tangkas menangkap tubuh perempuan setengah tua itu, dan menggiringnya ke mobil.Dengan menggendong bayi ini, aku pun turut masuk ke dalam mobil. Kali ini mengambil tempat duduk di jok belakang, berdampingan dengan bunda Ramlah. Bayi ini masih juga tidak mau diam, meski aku sudah mendekapnya. Akhirnya aku mencoba untuk menyusuinya. Dan benar saja, dia menyusu dengan sangat kuat.Aku menatap wajah ini. Bayi perempuan yang bernama Anindita ini sebenarnya sangat cantik. Namun pakaian yang dikenakannya sangat lusuh, bahkan dia tidak menggunakan kaos kaki dan penutup kepala, padahal diajak jalan pada malam hari. Baju dan celana yang dikenakan oleh Anindita pun adalah baju yang dulu pernah aku sumbangkan ke panti. Aku ingat benar, ini adalah baju milik Zaid yang selamanya tidak akan pernah bis
Bab 59"Nggak apa-apa, Bun. Saya senang dengan anak-anak. Entah kenapa saya merasa memiliki keterikatan dengan bayi ini. Tolonglah, Bun. Mohon kerelaan Bunda agar saya diizinkan mengadopsi Anindita."Terlihat jelas jika perempuan paruh baya itu merasa berat. Namun Atta terus membujuknya, bahkan mengiming-imingi dengan sejumlah uang yang janjinya akan ia kirim setiap bulan. Atta bahkan berjanji akan menggelontorkan dana lagi untuk merenovasi bangunan panti ini. Aku hanya diam, tapi tetap memperhatikan dengan cermat gestur tubuh perempuan paruh baya itu, terutama saat Atta membahas soal kesediaan untuk menjadi donatur tetap panti.Matanya berbinar-binar, meski di mulutnya ia mengucapkan keberatan melepas Anindita untuk kami karena ia terlanjur menyayanginya.Rasanya aku ingin tertawa saja.Fix, ini akting kayaknya. Malam ini juga kami membawa Anindita pulang. Bayi yang ku taksir berumur sekitar 5 bulanan itu tidur lelap dalam dekapanku."Kamu merasa ada yang aneh nggak?" usik Atta pel
Bab 60Aku menemukan pria itu tengah duduk di sebuah bangku panjang di sudut taman ini. Taman ini hanya dilengkapi dengan lampu yang tidak terlalu terang sehingga suasananya temaram."Duduklah, Alifa." Dia menepuk tempat duduk yang berada di sampingnya.Aku melangkah dengan sedikit ragu, karena terus terang saja tadi aku sedikit takut dengannya. Wajahnya yang menyeramkan, sorot matanya yang berkilat-kilat seolah ingin menelanku dan Atta hidup-hidup. Apalagi ketika menyatakan ketidaksukaannya terhadap keberadaan Anindita.Wajahnya kini sudah berubah. Ekspresi yang tampak menunjukkan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya di antara kami. Ah, bukankah pria yang satu ini memang pandai berakting? Dia sangat mudah merubah ekspresi wajahnya. Semenit yang lalu bisa dalam mode menyeramkan layaknya mafia, kemudian semenit kemudian kembali ke mode malaikatnya di saat bertemu dengan para pasien.Mudah-mudahan suatu saat pria ini bertemu dengan seorang sutradara yang bisa melibatkan
Bab 169Atta memang sungguh tidak terduga. Dia cerdik melebihi ekspektasi, walaupun terkadang sikapnya rada menyebalkan. Tapi Aariz tidak menampik, Atta memang memiliki kepekaan tinggi jika ada bahaya disekitar mereka.Dia dan Atta memang jarang akur, jarang satu pemikiran dan pendapat, tapi mereka tetaplah saudara. Di dalam diri mereka mengalir darah yang sama, darah El Fata.Di sela-sela kesibukannya yang berkali-kali lipat meningkat sejak Hotel Permata bekerjasama dengan perusahaan milik Keenan, Atta tetap meluangkan waktunya untuk mengamati perkembangan yang terjadi di rumah utama, terutama Alifa dan orang-orang yang berada di sekitar perempuan itu. Bahkan Naira dan Maya pun tidak luput dari perhatian Atta, walaupun sebenarnya kedua gadis itu bisa dipercaya.Aariz dan Alifa bahkan tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Meski Alifa selalu berusaha menutupi kehamilan dengan pakaian longgar, tetapi memakai pakaian yang sangat longgar bukan merupakan style Alifa. Alifa memang menyuk
Bab 168"Sudah berapa bulan, Mbak?" tunjuk Atta pada perut Alifa."Berapa bulan?!" Perempuan itu sangat terkejut. Selama ini tidak ada yang tahu tentang kehamilannya selain mereka berdua."Mbak bisa menyembunyikan kehamilan pada semua orang, tetapi tidak padaku." Pria itu tersenyum, tapi senyumnya terasa amat misterius."Berapa bulan apanya? Kamu jangan macam-macam deh!" sergah Aariz. Tentu saja ia panik. Dia tidak menyangka ternyata ada orang yang mengetahui kehamilan Alifa, padahal mereka sudah berusaha maksimal untuk menutupi fakta itu."Aku hanya menginginkan kejujuran kalian. Mbak Alifa sudah hamil berapa bulan?" tegas pria itu. "Jangan coba-coba mengelak. Aku sudah tahu semuanya. Aku hanya ingin menguji kejujuran kalian."Alifa terlihat menghela nafas, sebelum akhirnya mendesah. "Sudah hampir 5 bulan, Ta. Dari mana kamu tahu jika aku hamil?""Akhir-akhir ini Mbak Alifa terlalu tertutup sama aku. Di awal aku malah berpikir jika Mbak ingin menghindariku setelah menikah dengan Mas
Bab 167"Masa Mas bohong sih?"Setelah memberikan penjelasan panjang lebar kepada keluarga pasien, termasuk menahan kekesalannya terhadap keluarga pasien yang terlihat sama sekali tidak khawatir dengan keadaan anggota keluarganya, bahkan malah lebih khawatir kehilangan sawah ketimbang nyawa istri sendiri, Aariz langsung kembali ke ruangan pribadinya di rumah sakit umum ini. Tentu dia mencemaskan Alifa yang harus ia tinggalkan sendirian di ruangan ini, apalagi proses operasi pengangkatan rahim itu memakan waktu berjam-jam karena penuh dengan pendarahan dan prosedurnya jauh dari kata mudah.Sebagai seorang dokter kandungan, satu hal yang paling ia hindari adalah operasi pengangkatan rahim, karena ini yang paling krusial. Bukan cuma tingkat kesulitannya yang tinggi, tapi juga tingkat emosional, karena diangkatnya rahim dari tubuh seorang perempuan, berarti mematikan harapan perempuan itu beserta keluarganya untuk mendapatkan keturunan.Terbukti, dia harus berjuang mati-matian untuk meya
Bab 166 "Mana suaminya? Panggil kemari ya." perintah Aariz kepada Nia, yang dengan segera dituruti gadis itu. Dia beranjak meninggalkan ruangan. Hanya berselang 5 menit, Nia sudah datang diiringi dengan dua orang laki-laki. Seorang laki-laki separuh baya, dan satu lagi merupakan laki-laki yang sudah tua renta. "Silahkan duduk." Pria itu mendengus kasar sebelum akhirnya ia berhasil menguasai dirinya. Sebenarnya dia ingin sekali marah, tapi dia tetap harus menjaga sikap. Ini adalah kedua kalinya dia bertemu dengan suami dari pasien yang mengalami pendarahan pasca operasi caesar ini. Dua tahun yang lalu dia juga menangani kasus yang sama. Jejak rekam medik pasien bernama Rusmina ini membuat Aariz rasanya ingin angkat tangan saja. "Mohon maaf, dua tahun yang lalu saya lah yang menangani persalinan ibu Rusmina, persalinan anak ketiga yang waktu itu pun juga mengalami kasus yang sama. Persalinan lewat operasi caesar dengan kasus plasenta akreta dan obesitas. Saat itu saya sudah m
Bab 165"Aku ikut, Mas!" Perempuan itu mengambil tasnya, lalu memegang tangan sang suami, membuat Aariz menghela nafas berat. Dia tentu paham maksud sang istri."Kamu yakin? Mas tidak tahu kapan kita bisa pulang. Mungkin malam....""Tidak apa-apa. Aku bisa menunggu di ruang pribadi Mas seperti biasa.""Baiklah." Pria itu berjongkok, lalu mencium pipi anak sambungnya sekilas. "Papa dan Mama berangkat dulu ya. Gibran baik-baik sama tante Naira."Beruntungnya tidak ada drama yang menghambat kepergian mereka. Gibran anak yang anteng dan jarang rewel. Dia sudah biasa hanya bersama pengasuhnya. Aariz mengendarai mobilnya dengan terburu-buru, meski tidak ugal-ugalan. Dia tetap memperhatikan keselamatan berlalu lintas, apalagi ada istri di sampingnya.Alifa hanya terdiam. Dia tidak berminat untuk berbicara dengan sang suami, dan justru tenggelam dalam pikirannya sendiri. Frasatnya sudah tidak enak saat dokter Halimah menelpon. Alifa tahu dokter Halimah adalah orang yang loyal kepada suaminy
Bab 164 "Program masih berjalan, walaupun tidak terlalu efektif. Ada orang yang dikhususkan untuk mengurusi itu," jelas Aariz. "Kok bisa? Bukannya kemarin banyak yang menyambut antusias program itu? Terutama para ibu hamil atau pasangan suami istri yang merencanakan kehamilan dan punya anak." Alifa menyerngitkan kening. Dia baru ingat, karena terlibat secara langsung saat launching program itu. Dan dia melihat sendiri bagaimana antusiasme para undangan yang memenuhi tempat acara itu, terutama ibu-ibu hamil yang memang pernah memeriksakan kandungan ke RSIA Hermina, atau yang sedang menjalani promil. "Mas juga kurang tahu apa sebabnya, tetapi Mas bersyukur masih banyak juga orang yang percaya dengan RSIA Hermina, dan masih banyak orang yang mau menitipkan uangnya agar nantinya mereka bisa merencanakan persalinan yang aman dan selamat." "Itu tujuan kita, bukan?" tukas Alifa. "Itu tujuan utama, di samping pihak rumah sakit pastinya akan mendapatkan dana segar yang bisa digunakan
Bab 163Membayangkannya saja sudah membuat Alifa merasa ngilu, apalagi jika ia sendiri yang mengalaminya. Jangankan riwayat SC 3 kali, riwayat SC 1 kali pun pasien tidak boleh melahirkan di rumah, apalagi tanpa ada bantuan dari tenaga medis. Seharusnya ketika pasien akan melahirkan, harus dirujuk ke rumah sakit yang lengkap peralatan dan tenaga medisnya, karena melahirkan normal dengan riwayat SC sebelumnya rentan terjadi robekan rahim yang bisa mengancam jiwa, baik ibu maupun bayi.VBAC ( Vaginal Birth After Cesarean) atau persalinan normal setelah operasi caesar tidak bisa dilakukan sembarangan, harus di awasi ketat oleh dokter kandungan. Bukan cuma itu. Fasilitas operasi harus disiapkan untuk berjaga-jaga bila terjadi komplikasi di dalam persalinan, semisal robekan di rahim.Aariz benar-benar mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sangat tinggi. Dia bahkan memijat pelipisnya berkali-kali dengan keringat dingin yang membasahi dahi. Bukan sekedar nyawa pasien yang menjadi taruhan
Bab 162Keenan benar-benar membawa Naira keluar dari apartemen pagi ini setelah mereka selesai sarapan. Namun ternyata dia tidak membawanya langsung pulang ke rumah utama keluarga El Fata, tetapi justru jalan-jalan keliling kota dan berakhir dengan mampir di sebuah mall yang memiliki wahana permainan anak."Santai saja, Nai. Aariz dan Alifa tidak akan pulang pagi-pagi. Mereka itu pergi ke villa dan kamu tahu tempatnya di mana, bukan?" bujuk Keenan sembari mengingatkan. Dia menyadari ekspresi Naira yang muram. Dia berusaha menjelaskan bahwa tidak mungkin Aariz dan Alifa akan pulang cepat, mengingat lokasi villa keluarga yang terletak di desa, suatu daerah di luar kota."Aku cuma ingin cepat sampai di rumah, Mas. Aku capek.""Capek dengan tingkah Mas?" Pria itu tersenyum kecut. "Maaf ya." Namun lagi-lagi tangannya lancang mengacak rambut gadis itu. "Percayalah, Mas tidak pernah bermaksud macam-macam, melainkan hanya menuruti keinginan hati saja.""Bermain drama, ngaku-ngaku aku adalah
Bab 161"Mas akui, Mas bukan pria yang baik, tetapi tidak seberengsek seperti yang kamu duga. Hubungan Mas dengan Donita tidak seperti yang kamu pikirkan. Mas sekamar dengan Donita, karena ingin menjaga perempuan itu. Dia adalah karyawan terbaik Mas. Dia itu aset perusahaan yang harus Mas jaga. Dia adalah pahlawan bagi Mas. Disaat perusahaan mengalami krisis, Donita berdiri dengan tegar bersama dengan tim kami menyelamatkan perusahaan. Menurutmu apa yang harus Mas lakukan untuk membalas jasanya?" Keenan berkata dengan suara perlahan memberi pengertian pada gadis itu. Cara bicaranya sudah seperti seorang lelaki yang memberi pengertian pada pacar yang tengah cemburu karena dia dekat dengan wanita lain."Aku nggak ada kaitannya sama hubungan Mas dengan Mbak Donita. Apa urusannya denganku?" rajuk gadis itu seraya melengos ke samping."Jelas ada urusannya dengan kamu, karena kamu mengira Mas itu kumpul kebo dengan Donita. Kamu pasti mengira Mas sedang menjalin hubungan tanpa status! Kamu s