"Nizam sama Ghazi sudah tidur?" tanya Mas Restu begitu dirinya sudah duduk di atas ranjang. Wajahnya begitu terlihat letih setelah pergi keluar kota selama satu Minggu kemarin untuk urusan pekerjaan."Iya, mereka sudah tidur. Mas pasti capek, aku pijitin ya!" tawarku sembari ikut duduk di atas ranjang.Mas Restu nampak mengangguk setuju. Aku pun mulai memijat tubuh Mas Restu dengan pelan, sesekali bertanya tentang pekerjaannya selama ia dinas."Gimana, Mas pekerjaannya?" tanyaku di sela-sela memijit tubuhnya."Ya Alhamdulillah, Lam lancar," jawab Mas Restu terlihat lesu. Nampaknya pekerjaannya kali ini begitu banyak menguras tenaga. "Kamu sendiri gimana pekerjaannya?" Mas Restu balik bertanya perihal rumah makan yang ku kelola."Alhamdulillah lancar juga, Mas. Bahkan setiap hari pengunjung bertambah ramai," jawabku antusias."Syukurlah kalau begitu," balas Mas Restu. Lalu, setelahnya Mas Restu terdengar bersendawa. Sepertinya ia masuk angin."Mas, masuk angin?" tanyaku khawatir."Enta
Hari masih pagi aku tidak ingin dirusak oleh prasangka-prasangka. Meski feelingku sebagai istri mengatakan itu bukanlah hadiah untukku, karena jelas sekali kalau lipstik itu bekas pakai.Aku memaksa tersenyum demi mencairkan suasana. Mas Restu yang tadi nampak begitu gugup seketika ikut tersenyum, ada perasaan lega di wajahnya. "Oh terima kasih ya, Mas. Mungkin perasaanku saja melihat lipstiknya seperti bekas pakai," sindirku masih dengan tersenyum."Mu-mungkin, Mbaknya terlalu bersemangat pas nunjukin hasil warnanya sampai di garis-garisin gitu ditangannya," terang Mas Restu sembari mempraktekan dengan tangannya, dan malah terdengar mengada-ngada."Oh mungkin juga, Mas," jawabku."Kamu suka gak warna lipstiknya?" tanya Mas Restu."Eum ... Suka kok, Mas."Tidak lama kemudian terdengar ponsel Mas Restu berdering. Mas Restu yang hendak memakai baju yang sudah kusiapkan di atas ranjang pun, menghentikan kegiatannya dan melihat ke arah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa, Mas?"
"Jadi kapan, Mas akan jujur sama istrinya, Mas soal ...." Kalimat itu terjeda."Kenapa kamu taroh lipstik di koper, Mas?" Itu suara Mas Restu, entah siapa lawan bicaranya.Tidak terdengar ada jawaban, namun setelahnya terdengar derap langkah menuju ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, Mas Restu begitu nampak terkejut dengan kedatanganku."Ni-nilam? Sudah berapa lama kamu di situ?" tanya Mas Restu terdengar gugup.Aku tersenyum, lebih baik aku pura-pura tidak tau apa-apa saja, karena aku juga tidak mendengar dengan jelas, jika aku langsung bertanya tentunya aku tidak aka menerima jawaban yang kuinginkan."Baru kok, Mas. Mau nganter bekal Mas yang ketinggalan." Aku menyerahkan bekalnya ke tangan Mas Restu. "Kenapa, Mas kayak takut dan panik gitu?" tanyaku pura-pura tidak tau apa-apa."Eum ... Gak apa-apa, ayo kita ke sana!" ajak Mas Restu sembari merangkul pundakku, sepertinya ia sengaja mengajakku menjauh dari ruangannya."Kenapa sih, Mas?" tanyaku masih dengan pura-pura tidak paham, d
Tiba di parkiran aku segera masuk ke mobil, dan bersiap untuk segera pergi. Namun, tanpa sengaja aku melihat sesuatu yang membuat kecurigaanku semakin bertambah."Mas Restu? Mau kemana dia, lalu siapa perempuan itu?" Aku bertanya pada diri sendiri dengan begitu penasaran karena melihat mereka terlihat begitu akrab.Mas Restu berjalan ke arah mobilnya, sepertinya ia tidak menyadari jika aku masih ada di sini karena teralalu asyik mengobrol. Bahkan Mas Restu membukakan pintu mobil untuk perempuan itu."Mau kemana mereka? Bahkan ini belum jam makan siang, lagian aku juga sudah membawakannya bekal tadi?" Hati dan pikiranku begitu tak tenang. Lebih baik aku ikuti saja mereka.Begitu mobil Mas Restu keluar dari area parkiran, perlahan aku pun mengikuti mereka.Aku sengaja menjaga jarak beberapa meter dari mobil Mas Restu agar tidak ketahuan. Aku terlalu fokus memperhatikan mobil mereka hingga tanpa sadar lampu merah, dan aku terjebak di antara mobil lainnya, sementara mobil Mas Restu berb
Saat tengah sibuk melihat buku laporan bulannya tiba-tiba pintu di ketuk."Ya masuk!" ucapku.Ternyata Dela. "Permisi, Bu di depan ada yang mau ketemu, Ibu!" "Siapa?" tanyaku penasaran sembari menaikkan alis, karena jarang-jarang yang mau ketemu, kalau pun mau beli cukup dengan karyawan lainnya."Katanya Mike, Bu," jawab Dela."Mike?" tanyaku heran, siapa ya sepertinya aku tidak punya kenalan bernama Mike. "Ya sudah bilang tunggu sebentar," ucapku."Baik, Bu." Dela pun segera ke luar dari ruangan. Sementara aku membereskan berkas-berkasnya secara asal-asalan.Aku keluar, kulihat di pojok ruangan seorang lelaki yang tengah duduk, begitu melihatku ia langsung bangkit. Aku melangkah, mendekat pada lelaki tersebut."Saya Mike," ucapnya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangan."Oh iya, saya Nilam," jawabku sembari menangkupkan kedua tangan depan dada, yang membuatnya menarik tangannya dengan canggung. "Maaf sebelumnya apa kita saling kenal?" Aku bertanya sopan, juga penasaran. Taku
"Ni-nilam?" ucap Mas Restu gugup. Ia menatapku dengan wajah pucat seolah tengah kepergok maling."Su-sudah berapa lama kamu di situ?" tanyanya memastikan."Baru kok, Mas aku keluar mau ambil minum. Gak sengaja lihat, Mas di situ," jawabku santai sambil tersenyum.Mas Restu tersenyum lega, ketegangan di wajahnya sedikit hilang mendengar jawabanku."Oh gitu, mau Mas ambilin?" tawarnya yang menurutku terdengar tak biasa, karena aku merasa Mas Restu tengah mengalihkan kegugupannya."Gak usah, Mas," tolakku.Mas Restu tersenyum kikuk dan menggaruk-garuk tengkuknya yang kuyakin tak gatal, ia malah terlihat salah tingkah yang membuatku geli sendiri."Ya sudah kalau gitu, Mas ke kamar ya!" Mas Restu berjalan melewatiku."Mas!" panggilku.Mas Restu menoleh saat langkahnya sudah hampir mencapai pintu."Tadi aku gak sengaja denger soal transfer, siapa?" tanyaku masih dengan ekpresi santai."Ah i-iya, i-itu te-temannya, Mas mau pinjam uang," terbata Mas Restu menjawab, wajahnya nampak pias."Siap
[Nilam lagi, Nilam lagi kapan sih, Mas jujurnya aku capek kucing-kucingan kayak gini!]Apa maksud dari pesan ini? Bukankah, Mas Restu bilang kalau teman yang mau pinjam uangnya itu laki-laki? Terus apa maksudnya kucing-kucingan atau jangan-jangan ...?Astaga!Tungkai kakiku terasa lemas membayangkan jika apa yang menjadi kecurigaanku ternyata benar, bagaimana? Pesan kembali masuk dari, Mas Restu.[Sabar dong! Sebagai gantinya nanti Mas lebihin transfernya ya] [Bener ya, Mas dua kali lipat, soalnya aku juga butuh buat arisan] emotion merajuk.[Iya, jangan ngambek ya! Ntar Mas berangkat kerja Mas transfer ya!][Ah shiaap, bosqu] emotion k*s.Seketika tubuhku benar-benar merasa limbung, jadi selama ini kecurigaanku benar? Sudah sejauh mana hubungan mereka?Tidak lama kemudian, Mas Restu datang, tidak ada yang aneh dari sikapnya lelaki itu masih terlihat sama seperti hari-hari biasanya. Pintar sekali ia menyembunyikan kebohongannya, sekarang aku yakin kalau Mas Restu memiliki simpanan.T
Sudah dua jam lebih aku di sini, seperti orang b*doh. Menunggu Mas Restu keluar untuk bertemu teman chatnya yang belum kuketahui jenis kelam*nanya itu.Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda lelaki itu akan keluar, barangkali jam makan siang nanti. Rasa haus mendera, membuatku terpaksa untuk turun, beruntung ada pedagang keliling yang menjual air minum. Saat akan membayar minum yang memang tidak jauh dari lokasi kantor aku melihat Mobil Mas Restu keluar dari parkiran. Aku gegas melangkah ke mobil, jangan sampai aku kehilangan jejak, sia-sia sudah penantian ku beberapa jam yang lalu."Mbak kembaliannya!" teriak yang jual minuman."Ambil saja!" ucapku tanpa menoleh sembari mempercepat langkah.Aku segera masuk ke mobil, dan mengikuti mobilnya Mas Restu. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, masih pukul setengah sebelas. Kenapa, Mas Restu keluar apa pekerjaannya sudah selesai? dan juga apa bosnya tidak marah?Aku bertanya-tanya pada diri sendiri sembari tetap fokus
"Eum ... Maaf ... Aku, a-aku tidak bi...," Kalimat kuterjeda saat melihat seseorang tiba-tiba hadir diacara ini, dan membuatku terkejut. Tidak menyangka dengan kehadiran mereka."Bapak, Ibu ... Kok bisa di sini?" Aku bertanya heran."Iya. Nak Mike yang undang Bapak sama Ibu kesini," jawab Bapak sembari tersenyum."Ibu dan Bapak tidak bisa memaksa, hanya bisa memberi restu," timpal Ibu."Jadi, Ibu dan Bapak sudah tahu kalau ...?" Ibu dan Bapak langsung kompak mengangguk sembari tersenyum. Aku melihat mereka begitu bahagia."Aku tahu apa yang membuatmu ragu, dan sekarang mereka sudah di sini. Jadi, jawaban kamu gimana?" tanya Mike memastikan.Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan, selain restu Ibu dan Bapak, aku juga butuh restu dari anak-anakku."Eum, maaf Mike. Tapi aku? Aku tidak bisa ... Karena ...?" Aku menjeda kalimatnya sembari memejamkan mata, takut kalau Mike tersinggung. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan kedua anakku.W
Menjelang pagi ...Aku sudah bersiap untuk berangkat ke rumah makan, beraktifitas seperti biasanya. Pukul 06 lebih 30 biasanya jam segini, Dela dan yang lainnya sudah hampir selesai memasak. Aku memang lebih sering datang menjelang pagi, karena bumbu khususnya sudah kusiapkan, mereka juga sudah paham apa yang harus dilakukan.Hari ini aku sengaja memesan taksi online karena mobilku lagi di bengkel. Begitu selesai memesan taksi online, ponselku bergetar sejenak menghentikan langkahku. Ternyata ada pesan whatsApp dari Mike.[Nanti sore jangan lupa siap-siap ya!] Usai membaca pesannya aku hanya tersenyum dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangan tanpa berniat untuk membalasnya. Tidak lama kemudian taksi online yang kupesan pun datang.Tiba di rumah makan pukul 07 lebih lima, Dela dan teman-temannya mulai sibuk membersihkan dan menata ruangan."Eh, Bu Nilam udah dateng. Selamat pagi Bu," sapa Dela dan Diah."Iya pagi, juga! Semangat ya!" jawabku tersenyum. Lalu, melangkah menuju ruangan
"Eum ... Ta-tapi ....""Besok saya jemput, kamu harus sudah siap-siap. Saya mau ke kasir dulu Assalamualaikum," ucap Mike tanpa mau mendengar penjelasanku. Lalu, beranjak pergi."Waalaikumsalam ...," jawabku setelah Mike sudah menjauh.Dentingan jam bergerak ke kanan membawa waktu bergerak maju, tanpa terasa hari sudah sore. Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan pukul 16 lebih lima. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak, ada perasaan kangen."Del, saya mau pulang duluan kamu urus semuanya ya!" ucapku saat keluar dari ruangan melewati dapur."Oh siap, Bu," jawab Dela."Ya udah kalau gitu, nanti kalau makanannya gak habis bagi-bagi aja sama teman-teman ya, atau bagi-bagi aja sama siapa gitu. Assalamualaikum.""Baik, Bu. Waalaikumsalam."Aku pun melangkah ke luar menuju parkiran di mana mobilku berada, dan meluncur membelah jalan. Saat dijalan entah kenapa tiba-tiba aku sangat ingin sekali makan bakso.Setelah mencari-cari akhirnya dapat. 'sepertinya kedai
Saat memori tengah memutar kenangan masa lalu. Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk, dan itu membuatku sedikit terlonjak kaget."Assalamualaikum, Bu. Boleh aku masuk?" tanya Dela. Orang kepercayaanku."Ah iya, Waalaikumsalam. Masuk!" jawabku.Dela pun masuk. "Ada apa?" tanyaku langsung, karena biasanya Dela kesini ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Di depan ada tamu, nyariin Ibu," jelasnya."Siapa?" tanyaku."Biar gak penasaran Ibu lihat saja sendiri." Bukannya menjawab, Dela malah membuatku semakin penasaran.Ya begitulah sikap Dela, menganggap aku sudah seperti kakaknya sendiri. Karena, sejak masih bersama Mas Restu dulu ia sudah ikut bekerja denganku, dan menjadi orang kepercayaan. Namun, setelah Ayuna yang pegang rumah makannya Dela berhenti karena tak tahan dengan sikap Ayuna yang semena-mena, itu katanya. Ia sempat cari kerja kesana kemari. Pernah juga kerja di laundry. Hingga akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kami saat aku mulai menjalankan bisnis rumah makan baru, dan Del
"Iya benar, dengan saya sendiri. Siapa ya?" tanyaku penasaran."Perkenalkan saya Dela. Apa benar rumah makan Bapak yang terletak di simpang lima mau di jual?" tanyanya.Mendengar nama itu rasanya tak asing, ah mana mungkin Dela yang dulu kerja di rumah makan kami, waktu bersama Nilam dulu. Ya setelah Ayuna yang memegang rumah makannya banyak karyawan ngeluh, terutama Dela dia memilih untuk mengundurkan diri.Tidak mungkin Dela itu, ada banyak Dela di dunia ini. Jika benar, apa sekarang dia sudah jadi orang kaya? Ah terserah sajalah yang penting ada yang minat dengan rumah makannya."Ah iya benar, apa Anda berminat untuk membelinya?" tanyaku langsung tanpa banyak basa-basi."Siapa, Mas?" tanya Ayuna berbisik."Yang mau beli rumah makan," bisikku tak kalah pelan.Wajah Ayuna langsung terlihat senang, binar bahagia diwajahnya begitu kentara."Iya Pak, bos saya yang berminat membeli rumah makan, Bapak," ucapnya.Dahiku mengernyit mendengarnya ucapannya, kalau ternyata bosnya yang berminat
"Apa, Mas dipecat?" tanya Ayuna dengan nada tak percaya saat kuberi tahu keputusan Pak Samsul. Aku hanya bisa mengangguk lemah membuat Ayuna langsung terduduk lemas di atas kursi."Ini uang pesangonnya!" Aku menyerahkan amplop putih yang tadi diberi Pak Samsul.Dengan lemas Ayuna pun membuka amplopnya. "Segini gak bakalan cukup buat bayar semua tagihan, gimana kita bayar cicilan mobil dan yang lainnya, Mas?" tanyanya dengan suara bergetar."Lama-lama aku bisa gila kalau kayak gini terus," sambungnya lagi sembari memijit pelipis.Aku pun tak tahu harus bagaimana, aku juga tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Beberapa tahun terakhir ini keadaan ekonomi benar-benar terasa sulit membuatku pusing, ditambah gaya hidup Ayuna yang tinggi. Sementara rumah makan, sudah tutup otomatis tidak ada penghasilan yang masuk, bahkan sebelum tutup sembilan bulan yang lalu gaji karyawan terpaksa kami bayar dengan uang pribadi.Semenjak dipegang Ayuna bukannya untung malah buntung, awal-awal ma
"Ah i-iya anak-anak ... Sebentar lagi ujian sekolah," ucapku cepat.Alis Nilam langsung nampak bertaut, mungkin mendengar ceritaku yang terkesan biasa saja."Bukankah memang sebentar lagi ujian semester, Mas?" tanyanya nampak heran."I-iya, gak terasa mereka sudah semakin besar," ucapku yang semakin kehilangan kata-kata.Mendengar itu wajah Nilam semakin terlihat heran, terlihat ia mendesah pelan. Mungkin jengah dengan ceritaku yang terkesan mencari kesempatan agar bisa berdua dengannya."Eum ... Sebenarnya, boleh gak kalau pulang nanti, Mas an ..." ucapanku terjeda saat tiba-tiba ponsel Nilam berdering."Eum, sebentar ya, Mas aku angkat telpon dulu!" ucapnya."Ah iya, silahkan!" jawabku.Nilam pun bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh. Setelah beberapa menit kemudian ia kembali."Maaf, Mas aku harus pulang duluan, Mike udah nungguin di depan. Oh iya tadi Mas mau ngomong apa?" tanyanya yang seketika membuat hatiku terasa kecewa.Bagaiman tidak harapan untuk mengantarnya pulang
POV Restu "Jadi gimana, Mas udah dapat pinjamannya?" tanya Ayuna.Aku menggeleng lemah, pasalnya akhir-akhir ini pengeluaran begitu banyak. Bahkan gaji yang biasanya berlebih saat bersama Nilam dulu kini jadi terasa kurang karena harus membayar banyaknya cicilan."Terus gimana, Mas? Udah dua kali lho aku gak hadir di acara arisan, debt kolektor juga udah bolak balik sampai pusing aku tu, mana Kayla bentar lagi ulang tahun," keluh Ayuna sembari duduk menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya terlihat cemberut."Kartu kreditkan kamu yang pake, jadi terima aja konsekuensinya. Ulang tahunnya Kayla gak usah dirayain, yang penting doa aja," ucapku mendengar Ayuna mengeluh."Ya maka dari itu kamu cari solusi dong, Mas. Ya gak bisalah gak dirayain kasianlah sama Kayla teman-temannya pada dirayain.""Ya terus gimana? Udah kamu jual saja dulu perhiasanmu, nanti kalau ada uang beli lagi," jawabku memberi solusi."Apa jual perhiasan? Gak, gak aku gak mau enak aja," protes Ayuna tak terima."Ya te
Niat mau pulang akhirnya tertunda karena pertemuan tak sengaja ini."Jadi, Bu Nilam sudah tidak bekerja di rumah makan itu lagi?" tanya Mike setelah kami duduk beberapa saat di salah satu resto."Iya," jawabku sembari menyeruput jus orangenya."Jadi bagaimana dengan kerja sama kita, sudah sebulan ini pesanan yang saya minta waktu itu tidak sesuai, rasanya beda," ucap Mike sembari kedua tangannya bertaut menopang dagu."Saya minta maaf, saya janji akan ganti uangnya. Tapi, nyicil ya!" ucapku tak enak.Mike terlihat menghela nafas dalam. Aku tau orang sepertinya uang bukan masalah. Tapi, ini masalah kepercayaan. Lalu, perlahan ia memijat pelipisnya."Bagaimana cara kamu mengganti uangnya?" tanyanya kemudian dengan wajah serius."Eum ... Saya memang belum dapat pekerjaan, tapi saya janji begitu dapat akan saya cicil," jawabku tak kalah serius."Hem ... Tapi, saya tidak yakin," ujar Mike dengan santai sambil menatapku dengan intens.Ah, bisa-bisanya lelaki ini merendahkanku, mentang-menta