"Pagi, Mbak Nilam?" sapa Ayuna sembari salah satu sudut bibirnya terangkat naik membentuk lengkungan senyum. Namun, tentu saja bukan senyum tulus."Oh ya, mungkin Mbak Nilam ke sini mau ambil barang-barang Mbak Nilam yang belum sempat Mbak bereskan. "Ayuna kembali melempar senyum. "itu saya sudah bereskan semua," lanjutnya sembari menunjuk pada sebuah dus di atas meja.Aku tersenyum sinis. "Apa hakmu membereskan barang-barang saya?" tanyaku."Ya aku pikir aku berhak karena semua harta adalah milik Mas Restu, dan aku istri sahnya. Jadi, wajar dong kalau aku mau mengelola restoran ini," jawab Ayuna santai.Dia pikir bisa melakukan itu? Meski sudah bercerai tetap saja aku masih berhak atas harta Gono gini, harta yang sudah kami kumpulkan bersama sekalipun atas nama Mas Restu."Ada apa ribut-ribut?" Tiba-tiba Mas Restu datang, entah ada angin apa? Sejak aku yang mengurusnya ia jarang sekali datang kemari. Tetapi, hari ini sengaja atau hanya kebetulan Mas Restu ada di sini."Mas Restu," s
Saat aku dan Ibu tengah sibuk memasak di dapur, terdengar suara deru mobil memasuki halaman, entah siapa yang datang. Aku dan Ibu seketika saling berpandangan."Siapa, Bu?" "Entah, tapi sepertinya Ibu gak ada janji kedatangan tamu," jawab Ibu. Ekpresinya sama sepertiku penasaran.Karena penasaran akhirnya aku menawarkan diri untuk melihat ke depan."Ya udah kalau gitu, aku lihat ke depan dulu ya, Bu," ucapku, yang dibalas Ibu dengan anggukan.Begitu sampai di depan aku termangu saat melihat mobil Mas Restu terparkir di halaman. Untuk apa lagi lelaki itu datang kemari? Belum puaskah dia menyakitiku?Aku berdiri menunggu Mas Restu ke luar dari mobilnya. Tidak lama kemudian lelaki itu keluar sembari melempar senyum, senyum yang sempat membuat hatiku berdebar kala melihatnya. Tapi, itu dulu. Semua rasa itu berubah sejak Mas Restu terang-terangan memilih selingkuhannya. Ia berjalan menghampiriku."Ada perlu apa lagi, Mas kemari?" tanyaku dingin. Sedingin hatiku yang membeku. Karena, perla
Begitu sampai ke rumah, dan akan masuk tiba-tiba ponselku berdering, aku pun segera mengambilnya di dalam tas, begitu melihat nama yang terpampang dilayar dahiku langsung berkerut."Mas Restu? Mau apa lagi dia?" batinku.Aku pun segera menggeser tombol warna hijaunya, hingga sambungan telpon pun terhubung."Sudahlah, Nilam kamu tidak akan menang melawan, Mas." Suara di ujung sana terdengar begitu membuat kesal."Aku tau kamu baru saja pulang minta bantuan seseorang, tapi sayangnya usahamu akan sia-sia." Sedetik kemudian terdengar suara tawa.Aku langsung waspada dan melihat sekeliling, mencari keberadaan Mas Restu dari mana dia tau kalau aku dari rumah Anya dan memang minta bantuan. Apa dia mengikutiku?"Dari mana kamu tau? Mas mengikutiku?"Mas Restu terdengar tertawa. "Itu tidak penting dari mana Mas bisa tau," Suara tawanya kembali terdengar begitu menyebalkan ditelinga."Sudahlah, Nilam kamu terima saja tawaran, Mas. Kita berdamai dan rujuk Mas akan memberi fasilitas lebih untukmu
"Auw ...," ucap perempuan itu. "Kalau jalan pake mata dong, Mbak," teriaknya. Padahal bisa dikatakan kami sama-sama bersalah.Sontak aku pun menoleh ke arah sumber suara sejenak mata kami bertemu, dan menimbulkan aura kaget diantara kami. Detik berikutnya ia tersenyum sinis."Pantes saja," ucapnya sinis sembari melipatkan tangan di depan dada. "rupanya mantan yang gagal move on, udah ditalak masih aja ngejar-ngejar Mas Restu," lanjut Ayuna.Mendengar ucapannya sebelah sudut bibirku terangkat, membentuk lengkung senyum. Apa aku tidak salah dengar? Dia bilang aku gagal move on?"Dengar ya, Mbak jauhi Mas Restu! Jangan ngejar-ngejar dia lagi, kayak gak ada lelaki lain saja," belum puas, Ayuna kembali memutar fakta.Rasanya aku ingin sekali tertawa mendengar tuduhannya, mengatakan aku mengejar Mas Restu dan gak punya lelaki lain, apa dia tidak sadar sedang mengatai dirinya sendiri?"Apa aku gak salah dengar?" tanyaku sembari melipatkan tangan di dada, dan menatap tajam ke arahnya. "Kamu b
"Nizam mau sama, Mama!" teriaknya saat dalam pelukan Bi Atun."Jangan, Den nanti Tuan marah," ucap Bi Atun yang terdengar olehku.Ya Allah teganya Mas Restu melarang anak-anak bertemu denganku, apa dia benar-benar sudah tidak waras?"Mama ...," Nizam terus berteriak membuat hatiku semakin perih."Bi Atun cepat bawa, Nizam masuk!" teriak Ayuna dengan nada tinggi"Baik, Nyonya!" Wajah Bi Atun terlihat begitu takut."Ayo, Den kita masuk nanti Papa Den Nizam marah.""Gak aku gak mau masuk aku mau Mama ... Nizam mau sama Mama! Mama ...." Bocah itu terus berteriak, dan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri.Namun, akhirnya Nizam berhasil lolos dan berlari ke arah pintu gerbang. Bisa kurasakan jemari kecilnya menyentuh tanganku dengan erat, matanya basah dengan air mata."Mama kenapa ninggalin, Nizam?" tanyanya disela Isak yang semakin jadi. Aku menggeleng sembari menahan sesak."Mama gak ninggalin kamu, Sayang," jawabku."Nizam cepat masuk!" bentak Ayuna sembari hendak menarik pundaknya."
"jangan melamun terus, gak baik buat kesehatan!" ucap Ibu sembari meletakkan nampan berisi satu gelas teh panas ke atas nakas. "Eh, Ibu." Aku yang tengah berdiri di depan jendela sontak menoleh mendengar ucapan beliau."Mau berapa lama kamu menyiksa diri? ingat meski kamu tidak mendapatkan hak asuh anak-anakmu, tapi kamu tetap harus berjuang untuk mereka. "Karena, suatu saat nanti. Ketika mereka sudah dewasa mereka akan mencarimu. Kamu sudah punya bekal, punya sesuatu untuk mereka," terang Ibu lemah lembut.Aku terdiam mendengar dan mencerna dari setiap kata yang keluar dari mulut, Ibu.Ucapan Ibu benar, aku tidak boleh larut dalam kesedihan seperti ini. Akan kubuktikan kalau aku bisa tanpa Mas Restu. Karena ada Tuhan yang akan membantuku pemilik kerajaan langit dan bumi. Bukankah siapa yang bersungguh-sungguh ia pasti akan dapat.Ah bodohnya aku, menyiksa diri seperti ini terpuruk dalam kesedihan yang kuciptakan sendiri. Padahal aku punya Tuhan Maha segala Maha, orang bilang jika t
"Mbak es kelapa mudanya dua, dibungkus ya!" ucap lelaki itu.Kok rasanya aku tidak asing mendengar suaranya? Karena penasaran aku pun melihat ke arah sumber suara begitu melihat."Kamu?" ucap kami hampir berbarengan, dengan ekpresi sama-sama terkejut. Sementara itu."Lho, Mbak Nilam?" ucap Ayuna tak kalah terkejut. Lalu, dengan segera ia kembali menguasai dirinya.Ah, kenapa harus mereka sih yang beli es kelapanya?"Oh jadi, Mbak Nilam sekarang jualan es kelapa muda? Kasian ya, setelah pisah dari Mas Restu, hidup Mbak Nilam pasti susah banget ya?" tanya Ayuna dengan ekpresi dibuat-buat sedih. "Eh, tapi kalau di pikir-pikir, Mbak memang cocok sih jualan kayak gini," lanjutnya dengan ekpresi tertawa mengejek.Tanganku terkepal kuat hingga menimbulkan buku-buku putih, geram tentu saja. Tapi, lebih baik memilih untuk tidak meladeni orang-orang seperti mereka."Maaf, kalau tidak berniat beli sebaiknya kalian pergi!" tegasku.Mendengar itu wajah Ayuna langsung terlihat memerah, tentu saja m
Niat mau pulang akhirnya tertunda karena pertemuan tak sengaja ini."Jadi, Bu Nilam sudah tidak bekerja di rumah makan itu lagi?" tanya Mike setelah kami duduk beberapa saat di salah satu resto."Iya," jawabku sembari menyeruput jus orangenya."Jadi bagaimana dengan kerja sama kita, sudah sebulan ini pesanan yang saya minta waktu itu tidak sesuai, rasanya beda," ucap Mike sembari kedua tangannya bertaut menopang dagu."Saya minta maaf, saya janji akan ganti uangnya. Tapi, nyicil ya!" ucapku tak enak.Mike terlihat menghela nafas dalam. Aku tau orang sepertinya uang bukan masalah. Tapi, ini masalah kepercayaan. Lalu, perlahan ia memijat pelipisnya."Bagaimana cara kamu mengganti uangnya?" tanyanya kemudian dengan wajah serius."Eum ... Saya memang belum dapat pekerjaan, tapi saya janji begitu dapat akan saya cicil," jawabku tak kalah serius."Hem ... Tapi, saya tidak yakin," ujar Mike dengan santai sambil menatapku dengan intens.Ah, bisa-bisanya lelaki ini merendahkanku, mentang-menta
"Eum ... Maaf ... Aku, a-aku tidak bi...," Kalimat kuterjeda saat melihat seseorang tiba-tiba hadir diacara ini, dan membuatku terkejut. Tidak menyangka dengan kehadiran mereka."Bapak, Ibu ... Kok bisa di sini?" Aku bertanya heran."Iya. Nak Mike yang undang Bapak sama Ibu kesini," jawab Bapak sembari tersenyum."Ibu dan Bapak tidak bisa memaksa, hanya bisa memberi restu," timpal Ibu."Jadi, Ibu dan Bapak sudah tahu kalau ...?" Ibu dan Bapak langsung kompak mengangguk sembari tersenyum. Aku melihat mereka begitu bahagia."Aku tahu apa yang membuatmu ragu, dan sekarang mereka sudah di sini. Jadi, jawaban kamu gimana?" tanya Mike memastikan.Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan, selain restu Ibu dan Bapak, aku juga butuh restu dari anak-anakku."Eum, maaf Mike. Tapi aku? Aku tidak bisa ... Karena ...?" Aku menjeda kalimatnya sembari memejamkan mata, takut kalau Mike tersinggung. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan kedua anakku.W
Menjelang pagi ...Aku sudah bersiap untuk berangkat ke rumah makan, beraktifitas seperti biasanya. Pukul 06 lebih 30 biasanya jam segini, Dela dan yang lainnya sudah hampir selesai memasak. Aku memang lebih sering datang menjelang pagi, karena bumbu khususnya sudah kusiapkan, mereka juga sudah paham apa yang harus dilakukan.Hari ini aku sengaja memesan taksi online karena mobilku lagi di bengkel. Begitu selesai memesan taksi online, ponselku bergetar sejenak menghentikan langkahku. Ternyata ada pesan whatsApp dari Mike.[Nanti sore jangan lupa siap-siap ya!] Usai membaca pesannya aku hanya tersenyum dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangan tanpa berniat untuk membalasnya. Tidak lama kemudian taksi online yang kupesan pun datang.Tiba di rumah makan pukul 07 lebih lima, Dela dan teman-temannya mulai sibuk membersihkan dan menata ruangan."Eh, Bu Nilam udah dateng. Selamat pagi Bu," sapa Dela dan Diah."Iya pagi, juga! Semangat ya!" jawabku tersenyum. Lalu, melangkah menuju ruangan
"Eum ... Ta-tapi ....""Besok saya jemput, kamu harus sudah siap-siap. Saya mau ke kasir dulu Assalamualaikum," ucap Mike tanpa mau mendengar penjelasanku. Lalu, beranjak pergi."Waalaikumsalam ...," jawabku setelah Mike sudah menjauh.Dentingan jam bergerak ke kanan membawa waktu bergerak maju, tanpa terasa hari sudah sore. Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan pukul 16 lebih lima. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak, ada perasaan kangen."Del, saya mau pulang duluan kamu urus semuanya ya!" ucapku saat keluar dari ruangan melewati dapur."Oh siap, Bu," jawab Dela."Ya udah kalau gitu, nanti kalau makanannya gak habis bagi-bagi aja sama teman-teman ya, atau bagi-bagi aja sama siapa gitu. Assalamualaikum.""Baik, Bu. Waalaikumsalam."Aku pun melangkah ke luar menuju parkiran di mana mobilku berada, dan meluncur membelah jalan. Saat dijalan entah kenapa tiba-tiba aku sangat ingin sekali makan bakso.Setelah mencari-cari akhirnya dapat. 'sepertinya kedai
Saat memori tengah memutar kenangan masa lalu. Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk, dan itu membuatku sedikit terlonjak kaget."Assalamualaikum, Bu. Boleh aku masuk?" tanya Dela. Orang kepercayaanku."Ah iya, Waalaikumsalam. Masuk!" jawabku.Dela pun masuk. "Ada apa?" tanyaku langsung, karena biasanya Dela kesini ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Di depan ada tamu, nyariin Ibu," jelasnya."Siapa?" tanyaku."Biar gak penasaran Ibu lihat saja sendiri." Bukannya menjawab, Dela malah membuatku semakin penasaran.Ya begitulah sikap Dela, menganggap aku sudah seperti kakaknya sendiri. Karena, sejak masih bersama Mas Restu dulu ia sudah ikut bekerja denganku, dan menjadi orang kepercayaan. Namun, setelah Ayuna yang pegang rumah makannya Dela berhenti karena tak tahan dengan sikap Ayuna yang semena-mena, itu katanya. Ia sempat cari kerja kesana kemari. Pernah juga kerja di laundry. Hingga akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kami saat aku mulai menjalankan bisnis rumah makan baru, dan Del
"Iya benar, dengan saya sendiri. Siapa ya?" tanyaku penasaran."Perkenalkan saya Dela. Apa benar rumah makan Bapak yang terletak di simpang lima mau di jual?" tanyanya.Mendengar nama itu rasanya tak asing, ah mana mungkin Dela yang dulu kerja di rumah makan kami, waktu bersama Nilam dulu. Ya setelah Ayuna yang memegang rumah makannya banyak karyawan ngeluh, terutama Dela dia memilih untuk mengundurkan diri.Tidak mungkin Dela itu, ada banyak Dela di dunia ini. Jika benar, apa sekarang dia sudah jadi orang kaya? Ah terserah sajalah yang penting ada yang minat dengan rumah makannya."Ah iya benar, apa Anda berminat untuk membelinya?" tanyaku langsung tanpa banyak basa-basi."Siapa, Mas?" tanya Ayuna berbisik."Yang mau beli rumah makan," bisikku tak kalah pelan.Wajah Ayuna langsung terlihat senang, binar bahagia diwajahnya begitu kentara."Iya Pak, bos saya yang berminat membeli rumah makan, Bapak," ucapnya.Dahiku mengernyit mendengarnya ucapannya, kalau ternyata bosnya yang berminat
"Apa, Mas dipecat?" tanya Ayuna dengan nada tak percaya saat kuberi tahu keputusan Pak Samsul. Aku hanya bisa mengangguk lemah membuat Ayuna langsung terduduk lemas di atas kursi."Ini uang pesangonnya!" Aku menyerahkan amplop putih yang tadi diberi Pak Samsul.Dengan lemas Ayuna pun membuka amplopnya. "Segini gak bakalan cukup buat bayar semua tagihan, gimana kita bayar cicilan mobil dan yang lainnya, Mas?" tanyanya dengan suara bergetar."Lama-lama aku bisa gila kalau kayak gini terus," sambungnya lagi sembari memijit pelipis.Aku pun tak tahu harus bagaimana, aku juga tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Beberapa tahun terakhir ini keadaan ekonomi benar-benar terasa sulit membuatku pusing, ditambah gaya hidup Ayuna yang tinggi. Sementara rumah makan, sudah tutup otomatis tidak ada penghasilan yang masuk, bahkan sebelum tutup sembilan bulan yang lalu gaji karyawan terpaksa kami bayar dengan uang pribadi.Semenjak dipegang Ayuna bukannya untung malah buntung, awal-awal ma
"Ah i-iya anak-anak ... Sebentar lagi ujian sekolah," ucapku cepat.Alis Nilam langsung nampak bertaut, mungkin mendengar ceritaku yang terkesan biasa saja."Bukankah memang sebentar lagi ujian semester, Mas?" tanyanya nampak heran."I-iya, gak terasa mereka sudah semakin besar," ucapku yang semakin kehilangan kata-kata.Mendengar itu wajah Nilam semakin terlihat heran, terlihat ia mendesah pelan. Mungkin jengah dengan ceritaku yang terkesan mencari kesempatan agar bisa berdua dengannya."Eum ... Sebenarnya, boleh gak kalau pulang nanti, Mas an ..." ucapanku terjeda saat tiba-tiba ponsel Nilam berdering."Eum, sebentar ya, Mas aku angkat telpon dulu!" ucapnya."Ah iya, silahkan!" jawabku.Nilam pun bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh. Setelah beberapa menit kemudian ia kembali."Maaf, Mas aku harus pulang duluan, Mike udah nungguin di depan. Oh iya tadi Mas mau ngomong apa?" tanyanya yang seketika membuat hatiku terasa kecewa.Bagaiman tidak harapan untuk mengantarnya pulang
POV Restu "Jadi gimana, Mas udah dapat pinjamannya?" tanya Ayuna.Aku menggeleng lemah, pasalnya akhir-akhir ini pengeluaran begitu banyak. Bahkan gaji yang biasanya berlebih saat bersama Nilam dulu kini jadi terasa kurang karena harus membayar banyaknya cicilan."Terus gimana, Mas? Udah dua kali lho aku gak hadir di acara arisan, debt kolektor juga udah bolak balik sampai pusing aku tu, mana Kayla bentar lagi ulang tahun," keluh Ayuna sembari duduk menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya terlihat cemberut."Kartu kreditkan kamu yang pake, jadi terima aja konsekuensinya. Ulang tahunnya Kayla gak usah dirayain, yang penting doa aja," ucapku mendengar Ayuna mengeluh."Ya maka dari itu kamu cari solusi dong, Mas. Ya gak bisalah gak dirayain kasianlah sama Kayla teman-temannya pada dirayain.""Ya terus gimana? Udah kamu jual saja dulu perhiasanmu, nanti kalau ada uang beli lagi," jawabku memberi solusi."Apa jual perhiasan? Gak, gak aku gak mau enak aja," protes Ayuna tak terima."Ya te
Niat mau pulang akhirnya tertunda karena pertemuan tak sengaja ini."Jadi, Bu Nilam sudah tidak bekerja di rumah makan itu lagi?" tanya Mike setelah kami duduk beberapa saat di salah satu resto."Iya," jawabku sembari menyeruput jus orangenya."Jadi bagaimana dengan kerja sama kita, sudah sebulan ini pesanan yang saya minta waktu itu tidak sesuai, rasanya beda," ucap Mike sembari kedua tangannya bertaut menopang dagu."Saya minta maaf, saya janji akan ganti uangnya. Tapi, nyicil ya!" ucapku tak enak.Mike terlihat menghela nafas dalam. Aku tau orang sepertinya uang bukan masalah. Tapi, ini masalah kepercayaan. Lalu, perlahan ia memijat pelipisnya."Bagaimana cara kamu mengganti uangnya?" tanyanya kemudian dengan wajah serius."Eum ... Saya memang belum dapat pekerjaan, tapi saya janji begitu dapat akan saya cicil," jawabku tak kalah serius."Hem ... Tapi, saya tidak yakin," ujar Mike dengan santai sambil menatapku dengan intens.Ah, bisa-bisanya lelaki ini merendahkanku, mentang-menta