"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku izin ke kamar Nizam, dan Ghazi," pamitku."Iya," jawab Mas Restu.Aku pun bangkit dari tempat duduk, mengayunkan langkah menuju kamar untuk memindahkan barang-barang ke kamar yang nantinya akan kutempati, kamar anak-anak. Baru saja mencapai pintu, aku mendengar perempuan yang berhasil menggantikan posisiku bersuara riang."Aku senang, akhirnya Mas memilih keputusan yang tepat," ucapnya. Lalu, kepalanya sengaja ia sandarkan di pundaknya Mas Restu. Melihat pemandangan itu membuat hatiku berdesir perih, apa aku akan sanggup tinggal di sini selama tiga bulan ke depan?Tak ada jawaban dari lelaki itu, juga aku tak bisa melihat ekspresinya karena posisi mereka yang memang membelakangiku. Kulanjutkan langkah untuk mengambil barang-barang di kamar.Begitu masuk, aku menatap setiap sudut kamar dengan perasaan perih. Kamar yang menjadi tempat saksi bisu kebersamaan kami selama beberapa kurun waktu. Aku tak menyangka bila akhirnya posisiku
"Sepertinya kalian memang harus segera menikah. Nanti keburu aku berubah pikiran," ucapku sengaja memanasinya. "Ingat kalian itu belum menikah, jangan dekat-dekat nanti ada orang ketiga lho, serem," sindirku yang langsung membuat Ayuna kesal."Jangan kelamaan menunda, Mas. Kasian Ayunanya, sepertinya udah ngempet. Nanti kalian malah khilaf, belum nikah itu dosa lho," lanjutku yang semakin membuat wajah Ayuna memerah, entah menahan marah atau malu. Ah, kalau malu tidak mungkin ia bisa datang kesini dan mengambil Mas Restu dariku.Sementara Mas Restu langsung nampak salah tingkah dan melepas tangan Ayuna yang sudah dari tadi nempel-nempel. Membuatku geli sendiri melihatnya."Ya sudah, Mas aku izin berangkat dulu!" Aku pun mulai melangkahkan kaki menemui Nizam yang sudah menungguku."Mas kok diam aja, bukannya belain aku?" tanya Ayuna suaranya terdengar dibua-buat khas anak kecil merajuk yang samar tertangkap indera pendengaranku. Aku menggeleng pelan, dan terus melangkah menemui Nizam d
"Lagi makan apa?" tanya Mas Restu begitu melihat kami tengah makan."Papa," teriak Nizam girang saat melihat Mas Restu datang. "Ayo, Pa makan, Mama masak sup enak," jawab Nizam sembari menyendokkan sayur supnya ke mulut.Mas Restu pun duduk di dekat Nizam dengan kikuk. Sebenarnya aku enggan. Tetapi, mau bagaimana lagi aku masih masa iddah, dan tinggal serumah. (pisah ranjang).Aku sengaja tidak menawarinya, biar saja kalau lapar dia bisa makan sendiri toh fisiknya masih sehat walafiat. Bahkan aku sengaja melebarkan suapanku, biar dia ngiler sekalian."Papa, mau?" tanya Nizam melihat Mas Restu dari tadi melihati kami yang tengah makan.Mas Restu mengangguk pelan, sembari tersenyum kecil. Membuatku geli sendiri."Ma, Papa mau supnya," ucap Nizam."Mas, mau?" Aku sengaja mengulang kalimat tanya, sembari kupasang wajah prihatin.Mas Restu mengangguk, biasanya pulang kerja ia kusambut dengan secangkir kopi, juga tak lupa menanyainya mau makan atau mandi terlebih dulu, berbeda setelah dia
Entah sudah berapa kali aku bolak balik ke kamar mandi pasca makan nasi goreng kambing tadi, niatnya mau ngerjain malah balik ke diri sendiri. Tapi, aku yakin dua pengantin baru itu sama halnya denganku.Aku meringis, keluar dari kamar mandi sembari memegangi perut, tubuhku gemetar.Beruntung Nizam dan Ghazi mereka sudah tidur. Aku duduk di sisi ranjang, tidak lama kemudian ponselku berdering panggilan masuk dari, Ibu.Aku pun segera menggeser tombol hijaunya."Assalamualaikum, Bu. Ibu apa kabar?" sapaku begitu sambungan telpon terhubung."Waalaikumsalam, Ibu baik, kamu apa kabar? kamu yang sabar ya Nduk, Ibu sudah tau semuanya," tutur beliau di ujung ponsel.Entah siapa yang memberitahu, Ibu.Perihal masalah rumah tangga yang kini tengah menimpaku. Padahal selama ini, aku tidak pernah menceritakannya, bahkan aku selalu mengatakan kalau hubungan kami baik-baik saja.Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi, Ibu tau kalau Mas Restu menikah lagi. Padahal aku tidak ingin beliau tahu dulu, tak
Pagi ...Usai sarapan aku sudah bersiap untuk mengantarkan Nizam ke sekolah dan berangkat ke restoran. "Lam ...." Panggilan Mas Restu menghentikan langkahku.Aku menoleh pada sosok lelaki yang kini sudah merasa jauh dariku tersebut."Mulai sekarang kamu tidak perlu berangkat ke restoran lagi," ucapnya dingin, yang seketika membuat dahiku berkerut, dan tak mengerti apa maksudnya."Maksudnya?" tanyaku penasaran."Ya maksudnya kamu berhenti kerja," Tiba-tiba Ayuna datang menyela percakapan kami. Tetapi, aku belum mengerti."Karena mulai sekarang aku yang akan mengurus restorannya," ucap Ayuna dengan santai.Rasanya aku ingin tertawa mendengar kepercayaan dirinya. "Sebaiknya kamu tidur, sebelum bermimpi, Ayuna!" ucapku."Kalimat itu lebih cocok untuk, Mbak Nilam," ucap Ayuna sembari melipatkan tangan di dada."Restoran itu aku yang susah payah mengelolahnya hingga bisa berkembang seperti saat ini. Jadi, apa hakmu ingin memiliki restorannya? Dengar ya kamu tidak punya hak sama sekali, it
Aku pun segera membukakan pintu sembari mengucap salam. Namun, belum sempat aku melanjutkan salamku hingga akhir aku dikejutkan dengan sesuatu yang benar-benar di luar dugaanku."Sekarang, Mbak boleh pergi dari sini!" Ayuna mendorong koper ke arahku dengan tatapan sinis."Apa-apaan ini?" tanyaku geram, melihat tingkah songongnya."Memangnya kurang jelas?" tanya Ayuna lagi. "Silahkan, Mbak angkat kaki dari sini!" Aku berdecak kesal, bisa-bisanya perempuan ini mengusirku dari rumah, apa dia lupa kalau aku sama Mas Restu belum resmi bercerai, dan baru talak satu."Siapa kamu beraninya mengusirku dari sini? Ingat ya semua harta benda yang ada di sini hasil kerja keras aku dan Mas Restu, dan kamu hanya menumpang!" tegasku.Bukannya merasa tersinggung, Ayuna malah tersenyum sinis seolah mengejek."Apa, Mbak lupa kalau semua harta kekayaan ini atas nama milik Mas Restu, dan aku, aku adalah istrinya Mas Restu yang dinikahinya sah secara agama ataupun negara. Sementara Mbak perempuan malang y
"Mama ...," teriak Nizam dan Gahzi di balik pintu.Aku yang tak sanggup mendengar teriakan mereka berusaha menggedor pintu sekeras mungkin agar segera dibukakan."Mas ... Tolong buka pintunya, biarkan aku bertemu dan bersama anak-anak," teriakku di balik pintu."Mama ... Jangan pergi!" Aku mendengar Nizam berlari ke arah pintu."Nizam, Ghazi ayo masuk ke kamar!" Terdengar Mas Restu memerintah Nizam dan Ghazi."Aku mau ikut Mama ...." Suara teriakan Nizam membuat hatiku terasa pilu."Nizam, kamu dengar kata Papa sekarang masuk ke kamar!" Suara Mas Restu terdengar nyaring, membuat hatiku semakin terasa panas bisa-bisanya Mas Restu membentak mereka begitu."Gak mau, aku mau ikut Mama!" teriak Nizam."Mas ... Buka pintunya!" Aku kembali menggedor pintunya dengan keras sembari berteriak."Yuna cepat bawa anak-anak masuk ke kamar!" titah Mas Restu ke Ayuna."Baik, Mas."Aku begitu merasa sedih karena tidak bisa mengajak mereka ikut bersamaku. Tak mau menyerah aku terus berteriak dan mengged
"Pagi, Mbak Nilam?" sapa Ayuna sembari salah satu sudut bibirnya terangkat naik membentuk lengkungan senyum. Namun, tentu saja bukan senyum tulus."Oh ya, mungkin Mbak Nilam ke sini mau ambil barang-barang Mbak Nilam yang belum sempat Mbak bereskan. "Ayuna kembali melempar senyum. "itu saya sudah bereskan semua," lanjutnya sembari menunjuk pada sebuah dus di atas meja.Aku tersenyum sinis. "Apa hakmu membereskan barang-barang saya?" tanyaku."Ya aku pikir aku berhak karena semua harta adalah milik Mas Restu, dan aku istri sahnya. Jadi, wajar dong kalau aku mau mengelola restoran ini," jawab Ayuna santai.Dia pikir bisa melakukan itu? Meski sudah bercerai tetap saja aku masih berhak atas harta Gono gini, harta yang sudah kami kumpulkan bersama sekalipun atas nama Mas Restu."Ada apa ribut-ribut?" Tiba-tiba Mas Restu datang, entah ada angin apa? Sejak aku yang mengurusnya ia jarang sekali datang kemari. Tetapi, hari ini sengaja atau hanya kebetulan Mas Restu ada di sini."Mas Restu," s
"Eum ... Maaf ... Aku, a-aku tidak bi...," Kalimat kuterjeda saat melihat seseorang tiba-tiba hadir diacara ini, dan membuatku terkejut. Tidak menyangka dengan kehadiran mereka."Bapak, Ibu ... Kok bisa di sini?" Aku bertanya heran."Iya. Nak Mike yang undang Bapak sama Ibu kesini," jawab Bapak sembari tersenyum."Ibu dan Bapak tidak bisa memaksa, hanya bisa memberi restu," timpal Ibu."Jadi, Ibu dan Bapak sudah tahu kalau ...?" Ibu dan Bapak langsung kompak mengangguk sembari tersenyum. Aku melihat mereka begitu bahagia."Aku tahu apa yang membuatmu ragu, dan sekarang mereka sudah di sini. Jadi, jawaban kamu gimana?" tanya Mike memastikan.Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan, selain restu Ibu dan Bapak, aku juga butuh restu dari anak-anakku."Eum, maaf Mike. Tapi aku? Aku tidak bisa ... Karena ...?" Aku menjeda kalimatnya sembari memejamkan mata, takut kalau Mike tersinggung. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuan kedua anakku.W
Menjelang pagi ...Aku sudah bersiap untuk berangkat ke rumah makan, beraktifitas seperti biasanya. Pukul 06 lebih 30 biasanya jam segini, Dela dan yang lainnya sudah hampir selesai memasak. Aku memang lebih sering datang menjelang pagi, karena bumbu khususnya sudah kusiapkan, mereka juga sudah paham apa yang harus dilakukan.Hari ini aku sengaja memesan taksi online karena mobilku lagi di bengkel. Begitu selesai memesan taksi online, ponselku bergetar sejenak menghentikan langkahku. Ternyata ada pesan whatsApp dari Mike.[Nanti sore jangan lupa siap-siap ya!] Usai membaca pesannya aku hanya tersenyum dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangan tanpa berniat untuk membalasnya. Tidak lama kemudian taksi online yang kupesan pun datang.Tiba di rumah makan pukul 07 lebih lima, Dela dan teman-temannya mulai sibuk membersihkan dan menata ruangan."Eh, Bu Nilam udah dateng. Selamat pagi Bu," sapa Dela dan Diah."Iya pagi, juga! Semangat ya!" jawabku tersenyum. Lalu, melangkah menuju ruangan
"Eum ... Ta-tapi ....""Besok saya jemput, kamu harus sudah siap-siap. Saya mau ke kasir dulu Assalamualaikum," ucap Mike tanpa mau mendengar penjelasanku. Lalu, beranjak pergi."Waalaikumsalam ...," jawabku setelah Mike sudah menjauh.Dentingan jam bergerak ke kanan membawa waktu bergerak maju, tanpa terasa hari sudah sore. Aku melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan pukul 16 lebih lima. Sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak, ada perasaan kangen."Del, saya mau pulang duluan kamu urus semuanya ya!" ucapku saat keluar dari ruangan melewati dapur."Oh siap, Bu," jawab Dela."Ya udah kalau gitu, nanti kalau makanannya gak habis bagi-bagi aja sama teman-teman ya, atau bagi-bagi aja sama siapa gitu. Assalamualaikum.""Baik, Bu. Waalaikumsalam."Aku pun melangkah ke luar menuju parkiran di mana mobilku berada, dan meluncur membelah jalan. Saat dijalan entah kenapa tiba-tiba aku sangat ingin sekali makan bakso.Setelah mencari-cari akhirnya dapat. 'sepertinya kedai
Saat memori tengah memutar kenangan masa lalu. Tiba-tiba pintu ruanganku diketuk, dan itu membuatku sedikit terlonjak kaget."Assalamualaikum, Bu. Boleh aku masuk?" tanya Dela. Orang kepercayaanku."Ah iya, Waalaikumsalam. Masuk!" jawabku.Dela pun masuk. "Ada apa?" tanyaku langsung, karena biasanya Dela kesini ada sesuatu yang ingin ia sampaikan."Di depan ada tamu, nyariin Ibu," jelasnya."Siapa?" tanyaku."Biar gak penasaran Ibu lihat saja sendiri." Bukannya menjawab, Dela malah membuatku semakin penasaran.Ya begitulah sikap Dela, menganggap aku sudah seperti kakaknya sendiri. Karena, sejak masih bersama Mas Restu dulu ia sudah ikut bekerja denganku, dan menjadi orang kepercayaan. Namun, setelah Ayuna yang pegang rumah makannya Dela berhenti karena tak tahan dengan sikap Ayuna yang semena-mena, itu katanya. Ia sempat cari kerja kesana kemari. Pernah juga kerja di laundry. Hingga akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kami saat aku mulai menjalankan bisnis rumah makan baru, dan Del
"Iya benar, dengan saya sendiri. Siapa ya?" tanyaku penasaran."Perkenalkan saya Dela. Apa benar rumah makan Bapak yang terletak di simpang lima mau di jual?" tanyanya.Mendengar nama itu rasanya tak asing, ah mana mungkin Dela yang dulu kerja di rumah makan kami, waktu bersama Nilam dulu. Ya setelah Ayuna yang memegang rumah makannya banyak karyawan ngeluh, terutama Dela dia memilih untuk mengundurkan diri.Tidak mungkin Dela itu, ada banyak Dela di dunia ini. Jika benar, apa sekarang dia sudah jadi orang kaya? Ah terserah sajalah yang penting ada yang minat dengan rumah makannya."Ah iya benar, apa Anda berminat untuk membelinya?" tanyaku langsung tanpa banyak basa-basi."Siapa, Mas?" tanya Ayuna berbisik."Yang mau beli rumah makan," bisikku tak kalah pelan.Wajah Ayuna langsung terlihat senang, binar bahagia diwajahnya begitu kentara."Iya Pak, bos saya yang berminat membeli rumah makan, Bapak," ucapnya.Dahiku mengernyit mendengarnya ucapannya, kalau ternyata bosnya yang berminat
"Apa, Mas dipecat?" tanya Ayuna dengan nada tak percaya saat kuberi tahu keputusan Pak Samsul. Aku hanya bisa mengangguk lemah membuat Ayuna langsung terduduk lemas di atas kursi."Ini uang pesangonnya!" Aku menyerahkan amplop putih yang tadi diberi Pak Samsul.Dengan lemas Ayuna pun membuka amplopnya. "Segini gak bakalan cukup buat bayar semua tagihan, gimana kita bayar cicilan mobil dan yang lainnya, Mas?" tanyanya dengan suara bergetar."Lama-lama aku bisa gila kalau kayak gini terus," sambungnya lagi sembari memijit pelipis.Aku pun tak tahu harus bagaimana, aku juga tidak menyangka jika akhirnya akan seperti ini. Beberapa tahun terakhir ini keadaan ekonomi benar-benar terasa sulit membuatku pusing, ditambah gaya hidup Ayuna yang tinggi. Sementara rumah makan, sudah tutup otomatis tidak ada penghasilan yang masuk, bahkan sebelum tutup sembilan bulan yang lalu gaji karyawan terpaksa kami bayar dengan uang pribadi.Semenjak dipegang Ayuna bukannya untung malah buntung, awal-awal ma
"Ah i-iya anak-anak ... Sebentar lagi ujian sekolah," ucapku cepat.Alis Nilam langsung nampak bertaut, mungkin mendengar ceritaku yang terkesan biasa saja."Bukankah memang sebentar lagi ujian semester, Mas?" tanyanya nampak heran."I-iya, gak terasa mereka sudah semakin besar," ucapku yang semakin kehilangan kata-kata.Mendengar itu wajah Nilam semakin terlihat heran, terlihat ia mendesah pelan. Mungkin jengah dengan ceritaku yang terkesan mencari kesempatan agar bisa berdua dengannya."Eum ... Sebenarnya, boleh gak kalau pulang nanti, Mas an ..." ucapanku terjeda saat tiba-tiba ponsel Nilam berdering."Eum, sebentar ya, Mas aku angkat telpon dulu!" ucapnya."Ah iya, silahkan!" jawabku.Nilam pun bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh. Setelah beberapa menit kemudian ia kembali."Maaf, Mas aku harus pulang duluan, Mike udah nungguin di depan. Oh iya tadi Mas mau ngomong apa?" tanyanya yang seketika membuat hatiku terasa kecewa.Bagaiman tidak harapan untuk mengantarnya pulang
POV Restu "Jadi gimana, Mas udah dapat pinjamannya?" tanya Ayuna.Aku menggeleng lemah, pasalnya akhir-akhir ini pengeluaran begitu banyak. Bahkan gaji yang biasanya berlebih saat bersama Nilam dulu kini jadi terasa kurang karena harus membayar banyaknya cicilan."Terus gimana, Mas? Udah dua kali lho aku gak hadir di acara arisan, debt kolektor juga udah bolak balik sampai pusing aku tu, mana Kayla bentar lagi ulang tahun," keluh Ayuna sembari duduk menyandarkan tubuhnya ke kursi, wajahnya terlihat cemberut."Kartu kreditkan kamu yang pake, jadi terima aja konsekuensinya. Ulang tahunnya Kayla gak usah dirayain, yang penting doa aja," ucapku mendengar Ayuna mengeluh."Ya maka dari itu kamu cari solusi dong, Mas. Ya gak bisalah gak dirayain kasianlah sama Kayla teman-temannya pada dirayain.""Ya terus gimana? Udah kamu jual saja dulu perhiasanmu, nanti kalau ada uang beli lagi," jawabku memberi solusi."Apa jual perhiasan? Gak, gak aku gak mau enak aja," protes Ayuna tak terima."Ya te
Niat mau pulang akhirnya tertunda karena pertemuan tak sengaja ini."Jadi, Bu Nilam sudah tidak bekerja di rumah makan itu lagi?" tanya Mike setelah kami duduk beberapa saat di salah satu resto."Iya," jawabku sembari menyeruput jus orangenya."Jadi bagaimana dengan kerja sama kita, sudah sebulan ini pesanan yang saya minta waktu itu tidak sesuai, rasanya beda," ucap Mike sembari kedua tangannya bertaut menopang dagu."Saya minta maaf, saya janji akan ganti uangnya. Tapi, nyicil ya!" ucapku tak enak.Mike terlihat menghela nafas dalam. Aku tau orang sepertinya uang bukan masalah. Tapi, ini masalah kepercayaan. Lalu, perlahan ia memijat pelipisnya."Bagaimana cara kamu mengganti uangnya?" tanyanya kemudian dengan wajah serius."Eum ... Saya memang belum dapat pekerjaan, tapi saya janji begitu dapat akan saya cicil," jawabku tak kalah serius."Hem ... Tapi, saya tidak yakin," ujar Mike dengan santai sambil menatapku dengan intens.Ah, bisa-bisanya lelaki ini merendahkanku, mentang-menta