Seorang pria tua berjalan sembari membawa tas kerjanya, tetapi kemudian dia berkacak pinggang saat melihat kendaraan miliknya masih dalam keadaan kotor. Emosi pun mulai menguasai diri, membuatnya kini berteriak sekeras yang dia mampu.
"Reza!" Suaranya menggema, membuat semua orang langsung mengalihkan perhatian padanya, yang membuat Marsha istrinya ikut keluar. Termasuk pemilik nama itu, yang ternyata tengah menyiram tanaman di halaman. Dia mengangkat kepalanya, sikap biasa yang ditunjukkan Reza membuat sosok itu membulatkan matanya. "Kamu ini ngapain aja dari tadi, ha? Saya suruh kamu cuci mobil 'kan ini malah main air." Padahal semua ini adalah kesalahan Marsha yang lupa tidak memberi perintah kepada Reza. "Astaga, saya mau ada rapat pemegang saham dan mobilnya belum dicuci. Kamu sengaja mau mempermalukan saya, iya?" ucapnya lagi. Reza hanya diam saja, lagian apa yang harus dia katakan. Mertuanya itu sangat keras, tepatnya semua orang di sana sangat keras kepala dan tak pernah mau mendengar penjelasannya. Sebenarnya tidak begitu juga, hari ini Reza tak mendapatkan perintah untuk mencuci mobil. Dia hanya diminta menyiapkan sarapan, membersihkan rumah dan halaman. Itu saja. Jadi dia bukan lalai dari tugas, dia hanya tak mendapatkan tugas itu. Namun, apalah daya, membela diri pun seolah haram untuknya. Reza tetap akan disalahkan walau dia tidak salah. "Argh, dasar menantu tidak berguna. Apa-apa tidak becus. Kamu ini bisanya apa, sih. Merepotkan!" umpat Pak Abas yang merupakan mertuanya itu. Pak Abas kembali lagi ke rumah dengan marah, dia benar-benar dibuat marah dengan sikap Reza yang hanya diam. Tak ada perlawanan, tak ada pembelaan, laki-laki itu benar-benar hanya terdiam saja. Itu juga salah satu alasan kenapa Pak Abas muak dengan Reza, karena menantunya itu memang terlihat pasrah, seolah tak memiliki keinginan, seolah tak memiliki harga diri. Semua orang juga tahu, terlebih keluarga Raysa kalau Reza memang tak memiliki harga diri. "Menantumu itu membuat Papa kesal, Ma!" "Sudahlah, Pa?" "Dia lupa mencuci mobil, sudah tahu mau dipake pergi. Benar-benar tidak bisa diandalkan. Raysa suruh cerai saja dengan dia, Papa sudah muak dengan laki-laki yang tak memiliki potensi seperti dia. Apa-apa tidak becus!" ucapnya yang terdengar terus merendahkan Reza. Marsha sendiri tidak masalah dengan ocehan itu karena baginya pun sama. Hanya saja Marsha merasa tenaga Reza masih cukup bisa dia andalkan. Setidaknya mereka tidak harus menyewa asisten rumah, juru masak, bahkan tukang kebun karena semua itu sudah bisa Reza handel sendiri. "Panggil Raysa, Papa itu harus rapat pemegang saham. Papa mau berangkat sama Raysa?" "Kok, malah marah-marah sama Mama. Marahin aja itu menantu Papa, dia emang gak becus! Raysa sudah berangkat dari tadi, Pa," ucap Marsha, membuat Abas sekali lagi berkacak pinggang. Sementara Reza kini mulai membersihkan mobil, tepatnya mencuci mobil Pak Abas seperti yang diucapkan laki-laki tua itu tadi. Dia menggosok semua bagian mobil itu, tahu kalau mertuanya memang sosok yang cukup perfeksionis dan teliti. Jadi dia tak mau dikomentari lagi karena kurang bersih atau apa pun itu. Saat dia sibuk mencuci mobil, Pak Abas datang lagi dengan tas kerjanya dan malah dibuat marah kembali. "Ini kamu cuci mobilnya sekarang, Reza?" "Bu-bukannya bapak yang minta tadi, ya?" "Benar-benar gak ada otaknya. Saya udah terlambat dan kamu malah cuci mobilnya sekarang, itu artinya kamu mau saya menunggu berapa lama lagi di sini, hah?" "Astaga, benar-benar ini anak. Masih pagi udah bikin orang darah tinggi," gerutunya lagi. "Raysa juga! Anak satu ini juga sama aja. Kenapa pergi tanpa beritahu," protesnya lagi. Reza hanya diam saja dengan tangan yang masih memegang spons basah, bahkan tangannya dipenuhi busa-busa. Pak Abas membuang napasnya, dia harus memesan taksi online sekarang atau kalau tidak dia akan terlambat. Namun, Reza tiba-tiba menghampiri mertuanya dan menawarkan hal gila padanya. "Pak, biar gak terlambat mendingan naik motor saya aja. Kalau pesan taksi nanti terlambat da—" "Kamu gila ya, ini yang datang orang terpandang semua. Orang-orang yang punya saham di pabrik. Kamu mau bikin saya malu, ya?" Reza diam, dia sudah menawari mertuanya itu. Kalau beranggapan demikian, Reza tidak masalah. Dia pun berbalik kembali untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, Pak Abas diam sebentar memikirkan perkataan Reza yang sebenarnya ada benarnya juga. Kalau menunggu taksi online akan memakan waktu lama dan dia akan semakin terlambat. Pak Abas tak mau kalau koleganya menganggap dia tidak tepat waktu. "Oke, antar saya sekarang. Ngebut gak pake lama!" Reza kemudian mengangguk, dia mencuci tangannya dan langsung menghidupkan motor. Tak lupa dia memberikan helm satunya lagi pada Pak Abas. Dia pergi bersama mertuanya dengan penampilan yang sangat kucel, seperti tukang ojek, atau bahkan seperti tukang kebun. Intinya penampilannya sangat kontras dengan penampilan Pak Abas yang nyentrik dengan jas hitam dan barang mewah lainnya. "Kamu ini, modal motor butut kayak gini aja gak malu apa sama Raysa yang seorang pemilik perusahaan kecantikan. Dia bahkan punya banyak tabungan, mobil mewah, sementara kamu hanya pengangguran yang numpang hidup." "Jadi laki-laki itu harus bisa bertanggungjawab. Kamu itu kepala keluarga, tulang punggung, bukan malah numpang hidup sama anak saya. Gak punya malu," oceh Pak Abas. Reza seperti biasanya hanya diam, dia tidak tahu harus bagaimana membela dirinya karena apa yang dikatakan Pak Abas ada benarnya. Dia tidak bisa menjadi kepala keluarga, dia tidak bisa menjadi pemimpin keluarga. Raysa datang lebih awal di pabrik, seperti biasa dia mendapatkan banyak pujian dan sanjungan dari orang-orang. Dia cantik, muda, dan kini sukses. Pemilik perusahaan kecantikan, pemegang saham di beberapa perusahaan juga. Dia benar-benar tampak sempurna. Raysa tahu kalau semua orang begitu menyanjungnya. Namun, ekspresinya berubah saat dia melihat Pak Abas datang dengan motor butut milik suaminya. "Kenapa malah pake motor, kayak gak ada kendaraan lain aja," gumamnya menggerutu. Banyak wartawan yang berbisik-bisik, membuat Raysa malah tersenyum menganggap kalau mereka tengah membicarakannya. Tak ada berita buruk tentangnya, tepatnya tak pernah. Jadi Raysa berpikir kalau mereka pasti tengah memuji penampilannya. Namun, yang dia tidak tahu para wartawan justru bertanya-tanya soal kedatangan Pak Abas yang turun dari motor. "Siapa laki-laki itu? Tukang ojek?" "Astaga, dia salah satu pemegang saham di sini bukan? Kenapa turun dari ojek atau itu keluarga? Atau ...." Banyak sekali komentar dan Reza hanya bungkam walau mendengar ocehan tersebut. "Gak mungkin dia menantunya Pak Abas 'kan? Kalau iya, itu artinya laki-laki tersebut suaminya Bu Raysa?" "Tunggu dulu, apa itu laki-laki yang sama yang waktu itu bertemu dengan Bu Raysa di mall? Kalian ingat gak, sama foto yang kuambil?" tanya salah satu wartawan. Semua wartawan tersenyum, seolah mendapatkan berita besar yang akan menjadi tranding topik di dunia bisnis. "Ini akan jadi makanan yang bagus buat kita. Ayo, buat timeline dan pastikan ini jadi trending topik di mana pun juga!" Raysa memicingkan matanya, dia benar-benar dibuat kesal karena komentar para wartawan yang seolah menyudutkannya. Notifikasi di ponselnya berdering, membuatnya merogoh benda pipih dari dalam tas. Mata Raysa membulat saat melihat sebuah berita terkini yang baru saja ditayangkan di media. [Terungkap suami dari seorang bisnis women ternama ternyata hanya tukang kebun.]Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!""Ke-kenapa?""Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi.Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini.Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing."Aku sudah bangun re
Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat."Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati.Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata."Mas! Mbak! Tolong!" teria
Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah
Keesokan harinya Raysa langsung dibawa pulang tanpa sepengetahuan suaminya. Reza datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya lagi, tetapi ternyata sang istri sudah tidak ada di ruangannya. Setelah kemarin mereka berdebat yang berujung Reza diusir, Raysa kini memutuskan untuk pulang dan tak ingin menemui Reza. Raysa semakin membenci Reza setelah semalam berita tentang mereka muncul diberita. "Gimana? Ayolah Sa, Mama udah gak bisa tahan lagi sama semua kelakuan bodohnya dia. Apa yang kamu harapkan dari dia, dia cuma numpang hidup di sini, dia cuma laki-laki miskin yang pengen hidup enak tanpa harus bekerja. Dia menjadikanmu alat untuk dia bertahan hidup!" ucap Mama Marsya yang mana Raysa hanya diam saja.Tak ada tanggapan pasti, Raysa seolah mengabaikan ocehan ibunya. Namun, dia melemparkan ponselnya yang mana membuat Mama Marsya langsung menangkap benda pipih itu. Dia membulatkan mata, yang kemudian diikuti senyuman merekah di wajahnya. "Ini baru anak Mama. Kapan kamu mengajukan gu
Ini lebih sakit dari sekadar sebuah tamparan. Semua kalimat Raysa terasa menyayat hatinya. Sakit dan sesak. Reza mengangguk kecil dengan mata yang masih menatap Raysa, berharap masih ada setitik harapan pada hubungan mereka ini."Kasih aku waktu buat berkemas, aku akan pergi dari sini.""Baguslah, cepat pergi sana!" usirnya lagi yang mana Raysa kini pergi dari kamarnya.Reza masih duduk di tempat tidur, menatap setiap bagian ruangan itu. Tiba-tiba dia teringat dengan gelang Via yang dia tinggalkan beberapa hari lalu. Reza langsung mencarinya, menggeledah setiap bagian kamar. Namun, ternyata benda itu tidak dia temukan di mana pun juga.Reza belum mengemasi barangnya, dia berniat untuk mendapatkan gelang itu lebih dulu sebelum dia pergi. Dia keluar dari kamar, berniat menanyakannya langsung pada Raysa.Namun, kakinya berhenti melangkah saat melihat ada seorang laki-laki tengah duduk bersama Raysa. Dia terlihat rapi dengan jasnya, di atas meja terdapat banyak berkas yang Reza tidak tahu
Seharian Reza dikurung di sana, sebelum akhirnya ditempatkan ke bangunan di belakang. "Kamu dan yang lainnya untuk sementara waktu tinggal di sini dulu. Kamu bisa ikut aktivitas yang sudah dijadwalkan dan ya bantu-bantu aja di sini.""Ini rumah dinas sosial, tempat di mana orang-orang seperti kalian tinggal. Daripada tinggal di jalanan, mengganggu orang, lebih baik di sini. Kalian akan aman, terjamin juga, asalkan nurut aja sama semua petugas," jelasnya lagi yang mana Reza hanya bisa pasrah.Dia tersenyum hambar, menatap ruangan itu yang terdiri dari beberapa tempat tidur. Bukan merasa hina, Reza hanya merasa terluka dengan sikap Raysa yang dengan tega membuangnya. Kalau dia tidak dibuang, tidak mungkin istrinya itu menolak mengenalinya.Raysa secara terang-terangan menyebut kalau mereka tidak saling mengenal. Membuat dada Reza terasa sesak, tenggorokannya seperti dicekik, benar-benar sakit. Reza mengusap wajahnya, yang ternyata bulir bening melintas di pipi."Terimakasih Pak, sudah m
Senyum penuh kemenangan tampak jelas di wajah pria yang menutup wajahnya dengan masker, dia memberi isyarat pada semua preman suruhannya untuk membawa Reza pergi dari sana. Dia tak mau kalau ada saksi mata yang akan membuat namanya tercoreng di media masa.Reza diseret menuju mobil yang sudah disiapkan tak jauh dari sana, mereka tak sadar kalau tubuh Reza meninggalkan jejak di pasir pantai itu. Reza diangkat dan dilempar dengan kasar. Mobil hitam itu melaju meninggalkan area pantai dan berhenti di sebuah bangunan tua.Kepala Reza terasa pening, kesadarannya sudah kembali walau matanya masih belum bisa menatap sekitar dengan baik. Reza hanya menemukan ada beberapa orang laki-laki bertubuh tinggi besar mengelilinginya. Mereka menggunakan masker hitam dan topi, membuat Reza tak bisa mengenali mereka satu per satu.Reza kembali diseret ke kursi, dia didudukkan dengan paksa."Tanda tangani surat cerai ini atau kamu akan dihabisi!" ucap salah satunya.Saat mendengar ucapan itu, Reza baru sa
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men
Tanpa berlama-lama, Reza menuruti keinginan Via. Satu botol air mineral berukuran sedang, yang tutupnya sudah dibuka, dengan segera dia berikan pada sang istri. Setelahnya barulah Reza bergegas keluar untuk memanggil perawat. Tak perlu waktu lama, Reza sudah kembali bersama dua orang perawat. Mereka menyapa Via dengan ramah, kemudian memeriksa keadaannya. “Untuk trimester awal, memang normal terjadi seperti ini. Untuk kedepannya, mungkin bisa lebih diperhatikan soal makanan apa saja yang memang tidak bisa masuk, kemudian bisa diganti dengan makanan lain,” jelas salah satu perawat. “Tapi, ini tidak berbahaya bukan?” Dua perawat itu tersenyum, “Tidak, ini normal dan biasanya berhenti sendiri ketika usia kandungan memasuki trimester dua. Untuk membantu asupan nutrisi, Ibu mungkin bisa mulai mengkonsumsi susu khusus untuk ibu hamil.” “Baik. Terima kasih, sus,” ucap Reza. Kedua perawat itu mengangguk, kemudian pamit karena Via sudah baik-baik saja sekarang. Mualnya juga sudah hilang.
Randi melepaskan tubuhnya dari pegangan dua orang karyawan yang tadi menahannya. “Ngapain masih di sini, Kerja!” bentaknya dengan tatapan tajam, menyiratkan ketidaksukaan. Beberapa karyawan yang semula berkerumun untuk membantu atau hanya sekadar ingin tahu, otomatis membubarkan diri. Memilih untuk tahu diri, daripada kehilangan pekerjaan. Pura-pura untuk tidak tahu dan tak membahas kejadian sebelumnya. Setidaknya, tidak di hadapan Randi. Setelah memberikan perintah, Randi bergegas ke ruang kerjanya. Di sana, dia mengaktifkan kamera ponsel untuk memeriksa keadaan wajah. Ada lebam yang cukup kentara di pipi kiri, sudut bibir juga sobek sehingga memperlihatkan cairan berwarna merah yang sedikit menggumpal di sana. Randi menyeka bagian itu dengan kasar. Kemudian, dia berteriak seraya menggenggam ponselnya. Beruntung tidak sampai hancur. Keadaannya benar-benar kacau sekarang. Bukan hanya penampilan, tetapi juga pikiran. Dia mulai merasa takut dan gelisah tentang respon Via. Apalagi se
“Sebenarnya apa saja yang kamu yang kerjakan?” Raysa langsung membentak Randi begitu panggilan teleponnya terjawab. “Pekerjaan apa?” Randi yang tidak tahu menahu soal kekesalan Raysa tentu saja merasa bingung dan terkejut. Raysa mengambil napas dalam, karena sebenarnya Randi tak tahu menahu tentang apa yang dia bicarakan dengan Reza semalam. Gengsi terlalu kuat, Raysa belum mau mengakui kekalahan. Setidaknya untuk sekarang. “Kamu sudah mengirim fotoku dengan Reza semalam? Sudah membuat Via cemburu?” Randi sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya me jawab pertanyaan Raysa. “Aku sudah melakukannya. Namun, belum ada balasan dari Via. Pesannya juga baru dilihat pagi ini dan dia belum datang. Ada apa, kenapa kamu terdengar sangat kesal?” Helaan napas kasar terdengar di telinga Randi. Pertanda bahwa lawan bicaranya memang sedang dalam kondisi yang tidak baik. “Rencanaku soal Reza tidak berjalan mulus. Bahkan dia mulai curiga kalau kecelakaan itu hanya sebuah sandiwara. Bagian dari renca
Reza kembali ke rumah sakit dengan hati bergejolak. Seakan di setiap langkah disertai oleh percikan api yang siap membakar habis siapa saja yang telah mengganggu ketenangan hidupnya. Namun, sesampainya di depan ruang rawat Via, dia berusaha menurunkan emosi. Walau ingin sekali mengatakan setiap kekesalan setelah membaca chat pribadi Randi dan Via. Pria itu sudah terlalu banyak menjelekkannya dan ikut campur terlalu jauh. “Ada apa dengan wajahmu?” tanya Via saat melihat Reza masuk ke ruangan yang hanya diisi oleh satu ranjang tempatnya beristirahat saat ini, dengan wajah masam dan tertekuk. “Ada sedikit masalah yang membuatku kesal. Tapi, tak apa, toh semuanya sudah selesai dan aku bisa memaklumi. Walaupun tidak semuanya.” “Ada masalah apa lagi?” Via mendadak jadi sangat khawatir. Apalagi saat mendengar nada bicara Reza yang jelas sekali jika sedang menahan marah. Reza menyerahkan ponsel Via, dia menghela napas dalam. “Maaf, aku tak sengaja membukanya karena penasaran.”Sambil meng