Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.
Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!" "Ke-kenapa?" "Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi. Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini. Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing. "Aku sudah bangun reputasi ini dengan susah payah, membangun perusahaan dengan citra yang baik di publik, terus dengan mudahnya kamu hancurkan semua ini?" "Aku gak ngelakuin apa-apa, Sayang!" bantah Reza hingga membuat Raysa melempar ponselnya. Reza tidak bisa apa-apa karena memang itu bukan murni kesalahannya, dia hanya membantu Pak Abas, tak bermaksud merusak citra perusahaan Raysa. Reza membaca semua komentar di laman berita dan dia tidak menemukan sesuatu yang salah. "Jangan so polos deh, udah tahu kamu itu salah. Kamu buat aku malu, Reza!" teriak Raysa. "Aku gak mau tahu, pokoknya gimana pun caranya kamu harus bersihkan nama baik aku lagi. Kalau perlu jangan pernah bilang sama siapa pun juga kalau kamu itu suamiku, sangkal aja, aku gak peduli," ucapnya lagi. Reza menolak dengan alasan kalau dia tak bisa berbohong. Dia tak mau kalau Raysa membohongi publik. "Kenapa harus berbohong Sayang, faktanya aku memang suami kamu." "Gak! Kamu bisa gak sih, nurut aja. Gak usah banyak omong!" Keduanya beradu mulut, membuat keadaan di dalam mobil menjadi panas. Mereka sama-sama tak mau kalah, Reza tak ingin berbohong, sementara Raysa tak ingin mengakui suaminya. "Sa, awas!" teriak Reza saat melihat mobil yang dikendarai istrinya itu tidak stabil. Raysa membawa kendaraan dengan tidak teratur, membuatnya nyaris saja menabrak pembatas jalan. Untungnya dia bisa menghindar dengan membelokkan setirnya ke sisi kiri. Namun, sialnya itu membuat kendaraan mewahnya menabrak pal listrik. Raysa memegang kepalanya yang terasa pening, dalam keadaan setengah sadar, dengan cepat dia segera menghubungi seseorang. "Tolong ke lokasiku sekarang juga. Aku mengalami kecelakaan!" ucapnya. Raysa menyentuh tubuh Reza, memastikan keadaan suaminya, apakah baik-baik saja atau tidak. Rupanya tidak, Reza tidak bergerak sama sekali. Kepalanya, wajahnya, tampak dipenuhi darah. "Dia masih hidup gak, ya?" tanyanya sembari menyentuh bagian hidung Reza. Beruntung masih ada embusan napas di sana, Raysa pun keluar dari mobil dengan gelisah. Takut jika saja ada orang yang lewat atau mungkin ada media yang tahu, dia tidak mau jika ada pemberitaan tentang kecelakaan yang dialaminya dengan Reza karena itu akan semakin memperkuat dugaan wartawan, kalau dia dan Reza memang sepasang suami—istri. "Lama banget, sih!" ucap Raysa pada sosok yang kini datang dengan mobil hitam. "Kenapa bisa kecelakaan, terus bagaimana keadaan dia?" Raysa menggelengkan kepalanya, dia memasang wajah malas. Ya, Raysa seolah enggan untuk berurusan dengan suaminya yang bahkan saat ini membutuhkan pertolongan. "Ayo, kita bawa ke rumah sakit!" ajak Brian sosok laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Raysa dengan cepat menahan tangan Brian dan menggeleng. "Jangan bawa dia ke rumah sakit, apalagi kalau sampai wartawan tahu kalau aku yang bawa, Itu akan jadi masalah," ungkapnya. "Terus gimana?" Raysa celingukan, mengamati sekitarnya. Dia kemudian mengajak Brian untuk mengeluarkan Reza dari mobil, dia meminta Brian menyeret suaminya ke sisi kiri jalan di mana tumbuh rerumputan tinggi. "Ini yakin mau ninggalin dia di sini? Sebentar lagi akan ada badai.” Raysa tak memedulikan peringatan Brian dan tetap kukuh untuk meninggalkan Reza di jalan. "Iya, ayo cepat nanti keburu banyak orang yang liat!" ucap Raysa. "Cepat telepon mobil derek dan bawa aku ke rumah sakit!" ucapnya lagi memerintah. “Aku sudah telepon bentar lagi datang.” Brian hanya menurut saja, dia melakukan semua yang diucapkan Raysa tanpa bertanya lagi. Laki-laki itu membawa Raysa ke rumah sakit, setelah mobil derek mengangkut mobil, dan mereka meninggalkan Reza yang tidak sadarkan diri di semak-semak. Angin yang berembus membuat darah di kepala Reza mengering, banyak lalat yang hinggap di lukanya. Reza tersadar dengan keadaan langit sudah menghitam, entah sudah malam, atau memang cuaca yang mendung. Dia mengedipkan mata, mencoba mengamati sekitarnya. Dengan kepala yang masih pusing dan tubuh yang terasa remuk, Reza menguatkan diri untuk bangun dari tidurnya. Dia berdiri dengan posisi yang masih belum stabil, dia mengamati sekitarnya dan menemukan dirinya masih di jalanan yang sama dengan tadi. Namun, di mana istrinya? Di mana mobil istrinya? "Raysa!" panggil Reza terus menerus. Reza berjalan perlahan, mencoba mencari bantuan. Dia masih sempoyongan, beberapa kali harus terjatuh karena kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Pemerintah membuat peringatan kepada seluruh masyarakat, sejak tiga hari yang lalu. Di mana hari ini tepatnya, beberapa menit lagi akan ada hujan badai di daerah pantai Giri dan menghimbau masyarakat untuk tidak melewati jalanan sekitar demi keselamatan. Di lain arah, seseorang asyik berkendara dengan earphone yang menempel di telinga dengan memutar musik kesukaan. Dia terus bersenandung, tak mendengar larangan dan peringatan tersebut. Sosok itu tampak melanjutkan perjalanan dengan kendaraan roda duanya. Dia Riviya, gadis itu baru saja keluar dari pantai menuju ke kota. Tepatnya sekitar 5 km dari kawasan padat penduduk. Angin berhembus pun mulai menerpa, membuat gadis itu harus berkendara sembari memicingkan mata. “Waduh, anginnya kencang sekali.” Dari jarak pandang yang terbatas, dia melihat seseorang berjalan terhuyung-huyung, bahkan terlihat beberapa kali sosok itu terjatuh. "Hei, Anda kenapa?" tanya Riviya berteriak. Reza melirik, membuat Via bisa melihat banyaknya luka di tubuh laki-laki itu terutama di bagian kepala, bahkan darah yang tadinya sudah mengering terlihat basah kembali karena gerimis, ditambah dengan luka baru yang dia dapat dari beberapa kali tersungkur. "Astaga, apa yang terjadi. Ini korban kecelakaan?" tanya Riviya sembari turun dari motornya. Reza masih pusing, kepalanya benar-benar pening membuatnya tak cukup mampu mengenali Via. "Mas, ingat saya? Saya SPG itu, apa yang terjadi?" tanya Via. Reza tak menjawab dan Via langsung merogoh ponselnya, mencoba mencari bala bantuan. Dia menghubungi panggilan darurat kepolisian dan ambulan, sayangnya tak ada koneksi internet dan jaringan di sana. Via mengusap wajahnya yang sudah basah kuyup karena hujan. Via mengangkat tubuh Reza, mencoba membawanya dengan sepeda motor. "Mas, bisa 'kan?" tanyanya. "Tunggu ya, aku coba buat hubungi polisi sama ambulan lagi!" teriak Via yang memang berusaha mengimbangi suara rintikan hujan. Sayangnya tak ada jaringan di sana dan Via mengernyitkan kening setelah melihat notifikasi cuaca hari ini, di mana memang jaringan sedang terganggu karena adanya badai. Dia mengumpat, merasa bodoh karena bisa-bisanya tidak tahu dengan pemberitahuan tersebut. Ditambah lagi kini dia membawa seseorang yang terluka. Via tidak bisa diam di sana, tak akan ada pertolongan datang. Dengan kebingungan, Via membuka ikat pinggang Reza yang dikaitkan dengan ikat pinggang yang menempel di tubuhnya, kemudian dia naik ke motornya, dan mengikat tubuh Reza ke tubuhnya. Reza masih setengah sadar, tetapi dia tidak tahu kapan laki-laki itu akan kehilangan kesadarannya. Dilihat dari lukanya, Reza mengalami luka yang cukup parah, takut kalau tiba-tiba dia kehilangan kesadaran dan malah terjatuh saat motor dalam keadaan melaju. "Maaf ya, kita harus pergi sekarang juga buat obati lukanya." Via pun membawa Reza di tengah badai hujan dan angin. Dia menerobos cuaca ekstrim itu demi keselamatan Reza. Baru saja mereka berkendara, tiba-tiba sesuatu yang jatuh di depan sana membuat Via harus mengerem mendadak. Sebuah pohon besar tumbang di tengah jalan, menimbulkan suara yang sangat keras membuat keduanya membulatkan mata karena terkejut. Pohon itu jatuh dan menghalangi jalan mereka. Sialnya lagi bukan hanya satu, ada banyak sekali pohon yang tumbang di setiap sisi jalan. Via hanya bisa diam, menatap jalanan yang akan dilaluinya tertutup banyak pohon.Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat."Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati.Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata."Mas! Mbak! Tolong!" teria
Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah
Keesokan harinya Raysa langsung dibawa pulang tanpa sepengetahuan suaminya. Reza datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya lagi, tetapi ternyata sang istri sudah tidak ada di ruangannya. Setelah kemarin mereka berdebat yang berujung Reza diusir, Raysa kini memutuskan untuk pulang dan tak ingin menemui Reza. Raysa semakin membenci Reza setelah semalam berita tentang mereka muncul diberita. "Gimana? Ayolah Sa, Mama udah gak bisa tahan lagi sama semua kelakuan bodohnya dia. Apa yang kamu harapkan dari dia, dia cuma numpang hidup di sini, dia cuma laki-laki miskin yang pengen hidup enak tanpa harus bekerja. Dia menjadikanmu alat untuk dia bertahan hidup!" ucap Mama Marsya yang mana Raysa hanya diam saja.Tak ada tanggapan pasti, Raysa seolah mengabaikan ocehan ibunya. Namun, dia melemparkan ponselnya yang mana membuat Mama Marsya langsung menangkap benda pipih itu. Dia membulatkan mata, yang kemudian diikuti senyuman merekah di wajahnya. "Ini baru anak Mama. Kapan kamu mengajukan gu
Ini lebih sakit dari sekadar sebuah tamparan. Semua kalimat Raysa terasa menyayat hatinya. Sakit dan sesak. Reza mengangguk kecil dengan mata yang masih menatap Raysa, berharap masih ada setitik harapan pada hubungan mereka ini."Kasih aku waktu buat berkemas, aku akan pergi dari sini.""Baguslah, cepat pergi sana!" usirnya lagi yang mana Raysa kini pergi dari kamarnya.Reza masih duduk di tempat tidur, menatap setiap bagian ruangan itu. Tiba-tiba dia teringat dengan gelang Via yang dia tinggalkan beberapa hari lalu. Reza langsung mencarinya, menggeledah setiap bagian kamar. Namun, ternyata benda itu tidak dia temukan di mana pun juga.Reza belum mengemasi barangnya, dia berniat untuk mendapatkan gelang itu lebih dulu sebelum dia pergi. Dia keluar dari kamar, berniat menanyakannya langsung pada Raysa.Namun, kakinya berhenti melangkah saat melihat ada seorang laki-laki tengah duduk bersama Raysa. Dia terlihat rapi dengan jasnya, di atas meja terdapat banyak berkas yang Reza tidak tahu
Seharian Reza dikurung di sana, sebelum akhirnya ditempatkan ke bangunan di belakang. "Kamu dan yang lainnya untuk sementara waktu tinggal di sini dulu. Kamu bisa ikut aktivitas yang sudah dijadwalkan dan ya bantu-bantu aja di sini.""Ini rumah dinas sosial, tempat di mana orang-orang seperti kalian tinggal. Daripada tinggal di jalanan, mengganggu orang, lebih baik di sini. Kalian akan aman, terjamin juga, asalkan nurut aja sama semua petugas," jelasnya lagi yang mana Reza hanya bisa pasrah.Dia tersenyum hambar, menatap ruangan itu yang terdiri dari beberapa tempat tidur. Bukan merasa hina, Reza hanya merasa terluka dengan sikap Raysa yang dengan tega membuangnya. Kalau dia tidak dibuang, tidak mungkin istrinya itu menolak mengenalinya.Raysa secara terang-terangan menyebut kalau mereka tidak saling mengenal. Membuat dada Reza terasa sesak, tenggorokannya seperti dicekik, benar-benar sakit. Reza mengusap wajahnya, yang ternyata bulir bening melintas di pipi."Terimakasih Pak, sudah m
Senyum penuh kemenangan tampak jelas di wajah pria yang menutup wajahnya dengan masker, dia memberi isyarat pada semua preman suruhannya untuk membawa Reza pergi dari sana. Dia tak mau kalau ada saksi mata yang akan membuat namanya tercoreng di media masa.Reza diseret menuju mobil yang sudah disiapkan tak jauh dari sana, mereka tak sadar kalau tubuh Reza meninggalkan jejak di pasir pantai itu. Reza diangkat dan dilempar dengan kasar. Mobil hitam itu melaju meninggalkan area pantai dan berhenti di sebuah bangunan tua.Kepala Reza terasa pening, kesadarannya sudah kembali walau matanya masih belum bisa menatap sekitar dengan baik. Reza hanya menemukan ada beberapa orang laki-laki bertubuh tinggi besar mengelilinginya. Mereka menggunakan masker hitam dan topi, membuat Reza tak bisa mengenali mereka satu per satu.Reza kembali diseret ke kursi, dia didudukkan dengan paksa."Tanda tangani surat cerai ini atau kamu akan dihabisi!" ucap salah satunya.Saat mendengar ucapan itu, Reza baru sa
Semua nelayan berpencar mencari Reza, setelah beberapa menit pencarian, salah satunya melihat jejak mobil yang membuat mereka langsung mengarah ke beberapa tempat terdekat di sana. "Pak, kita cari ke arah sana. Siapa tahu ada bangunan kosong atau apa yang bisa dijadikan tempat kejahatan. Kita cek satu per satu, sekalian tanya sama orang sekitar siapa tahu melihat mobil mencurigakan!"Baru saja mereka akan pergi, tiba-tiba mereka melihat mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu keluar dari arah hutan, membuat para nelayan segera berlari."Kita cek di rumah kosong itu!"Semua berlarian dan begitu masuk, mereka menemukan Reza berlumuran darah."Pak Darma, ada Nak Reza di sini!""Cepat bawa mobil, kita bawa dia ke rumah sakit!" teriak Pak Darma.Reza pun langsung digotong ke luar dan dinaikan ke dalam pick up. Pak Darma dan beberapa nelayan membawanya ke rumah sakit. Kondisi Reza tidak cukup parah, tusukan itu tak sampai mengenai organ tubuhnya. Jadi, dia bisa langsung p
Raysa termenung di tepi jendela kamarnya, menatap matahari yang mulai condong ke barat untuk menyentuh peraduan. Warna kuning keemasan menghias langit dengan indah, tetapi tak mampu mengindahkan perasannya saat ini. Fakta tentang Reza yang ternyata merupakan salah satu anggota keluarga kaya dan kini telah sukses sebagai pengusaha, menampar keras kebodohannya di masa lalu yang dengan sengaja membuang pria itu dari hidupnya. Andai bisa lebih sabar, Reza pasti saat ini masih menjadi miliknya. Namun, apa mau dikata, semua sudah terjadi dan waktu tak bisa diulang kembali. Rasa sesal menggerogoti hati Raysa tanpa ampun. Dia benar-benar menjadi sangat tidak terima dengan kenyataan bahwa Reza kini telah menjadi suami Via dan secara tidak langsung, dia sendirilah yang menjadi jembatan untuk kedua orang tersebut. “Aaarrrggght!” Raysa menjambak rambutnya, rahang wanita itu mengeras, seiring gigi yang berbunyi karena saling beradu. Embusan napasnya tak lagi terdengar santai, penyesalan dan ra
Bab: Janji yang BeratSetelah konfrontasi dengan Pak Bima, Reza kembali ke rumah dengan wajah yang tegang. Ia langsung mencari Via, yang saat itu sedang duduk di ruang keluarga. Via tengah berusaha menenangkan diri dengan membaca buku, tetapi pikirannya tetap gelisah. Begitu melihat raut wajah suaminya, ia tahu ada sesuatu yang serius."Reza, apa yang terjadi?" tanyanya sambil menutup buku dan meletakkannya di pangkuan.Reza berjalan mendekat, duduk di sampingnya, dan langsung meraih tangannya. Ia menatap Via dengan penuh kesungguhan. "Aku sudah bertemu dengan Pak Bima. Dia tidak akan berhenti begitu saja, Via. Tapi aku berjanji, aku akan melindungimu dari semua ini."Via mengangguk pelan, tetapi hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Janji Reza adalah penguat, tetapi tidak cukup untuk menghilangkan rasa takut yang terus menghantuinya."Reza," katanya pelan, mencoba meredam suaranya agar tidak terdengar gemetar, "aku percaya padamu. Tapi... aku takut. Semua ini terasa terlalu berat untu
Konfrontasi di Perusahaan Di kantor, suasana menegang saat Reza memanggil Chandra ke ruangannya. Chandra, yang awalnya terlihat percaya diri, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres dari ekspresi dingin sepupunya. “Chandra,” suara Reza terdengar tenang, namun sarat dengan ketegasan, “Aku ingin kita berbicara serius hari ini. Tentang kamu, Raysa, dan segala permainan yang kalian jalankan di belakangku.” Wajah Chandra langsung berubah pucat. Ia mencoba menyangkal. “Saya tidak mengerti maksudmu. Apa yang akmu bicarakan?” Reza meletakkan flash drive di atas meja. “Aku punya rekaman percakapanmu dengan Raysa. Kau pikir aku akan membiarkan kalian terus menghancurkan hidupku dan Via?” Chandra tercekat, berusaha mencari alasan. “Om, itu bukan seperti yang terlihat. Saya hanya...” Reza memotong dengan nada dingin, “Hanya ikut campur dalam urusan pribadiku? Hanya berusaha menghancurkan istri yang kucintai? Cukup, Chandra! Aku sudah cukup bersabar dengan semua ini.” Reza berdiri,
Malam itu, Reza duduk di ruang kerja dengan laptopnya terbuka. Ia memeriksa rekaman yang diberikan Lisa kepada Via, mencatat setiap detail penting. Ada sesuatu yang memberinya ide—rekaman ini bisa menjadi kunci untuk membalikkan keadaan.Namun, saat Reza berencana untuk melibatkan pengacaranya, Via tiba-tiba masuk ke ruang kerja dengan tatapan penuh tekad.“Aku ingin menghadapi Raysa sendiri,” katanya.Reza menoleh, terkejut. “Via, ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang kita. Biarkan aku menangani ini.”Via menggeleng. “Sudah terlalu lama aku diam, Reza. Aku selalu mengandalkanmu untuk melindungiku, tapi aku sadar, jika aku terus begini, mereka akan berpikir aku lemah. Aku ingin menunjukkan kepada mereka bahwa aku juga bisa bertarung.”Reza terdiam sesaat, lalu mengangguk perlahan. “Baik, tapi kita hadapi ini bersama.”Via dan Reza memutuskan untuk mengadakan konferensi pers untuk mengklarifikasi semua rumor yang beredar. Dalam ruangan yang dipenuhi wartawan, Via berdiri di depan podi
Via berdiri di kamar dengan ponsel Reza di tangannya. Pesan dari Raysa tampak mencolok di layar:"Aku tahu kamu masih peduli padaku, Reza. Jangan bohongi dirimu sendiri. Aku akan menunggu kapan pun kamu siap kembali."Pesan itu membuat darah Via mendidih. Selama ini, ia sudah mencoba bertahan di tengah segala hinaan dan fitnah. Namun, pesan itu membuatnya merasa seolah-olah semua perjuangannya sia-sia.Saat Reza masuk ke kamar, ia melihat Via menatapnya dengan mata penuh amarah dan rasa sakit. “Reza, apa maksud semua ini?” Via menunjukkan layar ponselnya.Reza mengernyit. Ia mendekat untuk melihat pesan tersebut, lalu menghela napas berat. “Via, dengarkan aku. Aku tidak pernah membalas pesannya, apalagi memiliki hubungan apa pun dengannya.”Namun, Via sudah terlalu lelah untuk menerima penjelasan. “Kalau begitu, kenapa dia masih berani menghubungimu seperti ini? Apa yang membuat dia merasa punya hak untuk mengatakan semua itu?”Reza mencoba mendekati Via, tapi istrinya mundur selangka
Malam itu, setelah konferensi pers selesai, Via tidak bisa tidur. Ia merasa semua tindakan Reza untuk membelanya hanya memperburuk keadaan. Berita dan komentar di media sosial semakin menjadi-jadi. Bahkan, beberapa pasien di kliniknya mulai membatalkan jadwal konsultasi dikliniknha, membuatnya merasa reputasi kliniknya juga ikut hancur. Banyak pelanggan mengkritik meminta Via untuk di pecat. Pagi harinya, saat Via duduk di meja makan dengan tatapan kosong, Lisa datang untuk mengecek kondisi Bu Diana. Melihat Via yang tampak tidak bersemangat, Lisa langsung bertanya, “Vi, kamu kelihatan makin drop. Ada apa lagi? Aku dengar berita itu viral lagi.”Via hanya mengangguk lemah. “Aku lelah, Lis. Aku gak tahu lagi harus gimana.”Lisa menghela napas panjang. “Vi, kamu harus tegas. Kalau ini memang ulah Raysa, kamu gak bisa terus-menerus diam dan biarkan dia menang. Aku yakin Reza juga akan mendukungmu.”Namun, Via menggeleng. “Aku tidak yakin, Lis. Semakin Reza mencoba membelaku, semakin ban
Malam itu, ketika Reza tiba di rumah, ia langsung mencari Via untuk membicarakan kejadian di kantor. Namun, ia mendapati istrinya sedang duduk di ruang tamu dengan wajah lelah dan pandangan kosong. Raut wajah Via sudah cukup bagi Reza untuk tahu bahwa istrinya telah mendengar sesuatu yang buruk lagi.“Via, ada apa? Apa yang terjadi hari ini?” tanya Reza, mencoba mendekati istrinya.Via mengangkat pandangan, matanya sudah basah oleh air mata yang tertahan. “Reza, apa kamu tahu seberapa jauh Raysa mencoba menghancurkan aku? Aku merasa tidak punya tempat lagi di dunia ini.”Reza terkejut mendengar nada suara Via yang begitu hancur. “Apa maksudmu? Apa dia melakukan sesuatu lagi?”Via mengangguk perlahan. “Hari ini, aku mendengar gosip dari beberapa orang di klinik. Mereka membicarakan skandal lama kita… saat aku dan kamu ditangkap di hotel. Mereka mengaitkannya dengan statusku sebagai istrimu sekarang, seolah-olah aku adalah wanita murahan yang merebutmu dari Raysa. Aku malu, Reza... Aku
Setelah acara berakhir, dalam perjalanan pulang, Via tak mampu menahan lagi emosinya. Di dalam mobil, ia menatap Reza dengan mata berkaca-kaca. “Aku lelah, Reza. Selalu dihina, dianggap rendah… semua hanya karena aku menikah denganmu. Sampai kapan aku harus bertahan seperti ini?”Reza menggenggam tangannya, mencoba menenangkan hati istrinya. "Aku akan selalu melindungimu, Via. Apa pun yang terjadi, aku akan memastikan mereka berhenti meremehkanmu. Bahkan jika itu berarti aku harus meninggalkan semua ini demi kita."Namun di lubuk hati, Via mulai mempertanyakan apakah cinta mereka mampu bertahan di tengah tekanan seperti ini, dan apakah Reza benar-benar mampu mengatasi ambisi keluarga besar Wijaya yang penuh intrik demi dirinya.Sesampainya di rumah, Via merasa benar-benar lelah dan tertekan. Semua perkataan hinaan, tatapan tajam, dan sindiran selama acara tadi masih terngiang di kepalanya. Sejak pernikahannya dengan Reza, ia tak pernah merasa diterima penuh oleh lingkungan keluarga be
Konflik yang dihadapi Via dan Reza mulai meruncing, terutama setelah Raysa dan Chandra semakin berani menjalankan rencana mereka. Raysa, yang tahu betul titik lemah Via, mulai menyusun skenario untuk mempermalukan dan menyudutkan Via di depan publik.Suatu pagi di klinik, Via menerima telepon dari seorang wartawan yang menanyakan kabar tentang "Masa lalu Raza," dan posisinya sebagai istri pewaris Wijaya Nikel. Wartawan itu, yang jelas-jelas telah mendapat bocoran dari Raysa atau Chandra, berusaha memancing Via untuk memberikan pernyataan resmi tentang tuduhan merebut suami orang, Via yang terkejut dengan pertanyaan tersebut, langsung menyadari bahwa sesuatu sedang dipermainkan.Namun masalah ini tak berhenti di situ. Setelah hari yang melelahkan, Via menerima undangan acara amal dari perusahaan Reza, di mana ia diharapkan hadir sebagai pendampingnya. Reza berharap kehadiran mereka sebagai pasangan akan memulihkan citra mereka. Via, meski ragu, akhirnya setuju demi menjaga kehormatan s