Reza mendekat, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang dipegang Raysa. Di sana, ia melihat tajuk berita yang memuat nama istrinya. Berita itu ternyata telah menyebar luas, dan menjadi perbincangan hangat di berbagai media.
Raysa tersenyum hampa menanggapi banyak orang di sana. Dia menelan air liurnya, kemudian berjalan mendekati Reza, kemudian dia menatap mereka semua dengan tajam. "Masuk ke mobil sekarang juga!" "Ke-kenapa?" "Jangan banyak tanya, cepat ikuti Raysa!" ucap Pak Abas membulatkan mata dan meminta menantunya itu untuk segera pergi. Tak ada pilihan lain, Reza segera menyusul Raysa yang kini sudah masuk mobil terlebih dahulu. Tentunya aksi mereka berdua ditonton banyak orang, termasuk para wartawan. Mereka tak mau meninggalkan kesempatan sedikit pun untuk mengambil gambar berharga ini. Raysa langsung membawa mobilnya, melaju menjauhi pabrik. Di perjalanan, keduanya sama-sama bungkam, mereka memilih diam sebelum mengutarakan isi pikiran masing-masing. "Aku sudah bangun reputasi ini dengan susah payah, membangun perusahaan dengan citra yang baik di publik, terus dengan mudahnya kamu hancurkan semua ini?" "Aku gak ngelakuin apa-apa, Sayang!" bantah Reza hingga membuat Raysa melempar ponselnya. Reza tidak bisa apa-apa karena memang itu bukan murni kesalahannya, dia hanya membantu Pak Abas, tak bermaksud merusak citra perusahaan Raysa. Reza membaca semua komentar di laman berita dan dia tidak menemukan sesuatu yang salah. "Jangan so polos deh, udah tahu kamu itu salah. Kamu buat aku malu, Reza!" teriak Raysa. "Aku gak mau tahu, pokoknya gimana pun caranya kamu harus bersihkan nama baik aku lagi. Kalau perlu jangan pernah bilang sama siapa pun juga kalau kamu itu suamiku, sangkal aja, aku gak peduli," ucapnya lagi. Reza menolak dengan alasan kalau dia tak bisa berbohong. Dia tak mau kalau Raysa membohongi publik. "Kenapa harus berbohong Sayang, faktanya aku memang suami kamu." "Gak! Kamu bisa gak sih, nurut aja. Gak usah banyak omong!" Keduanya beradu mulut, membuat keadaan di dalam mobil menjadi panas. Mereka sama-sama tak mau kalah, Reza tak ingin berbohong, sementara Raysa tak ingin mengakui suaminya. "Sa, awas!" teriak Reza saat melihat mobil yang dikendarai istrinya itu tidak stabil. Raysa membawa kendaraan dengan tidak teratur, membuatnya nyaris saja menabrak pembatas jalan. Untungnya dia bisa menghindar dengan membelokkan setirnya ke sisi kiri. Namun, sialnya itu membuat kendaraan mewahnya menabrak pal listrik. Raysa memegang kepalanya yang terasa pening, dalam keadaan setengah sadar, dengan cepat dia segera menghubungi seseorang. "Tolong ke lokasiku sekarang juga. Aku mengalami kecelakaan!" ucapnya. Raysa menyentuh tubuh Reza, memastikan keadaan suaminya, apakah baik-baik saja atau tidak. Rupanya tidak, Reza tidak bergerak sama sekali. Kepalanya, wajahnya, tampak dipenuhi darah. "Dia masih hidup gak, ya?" tanyanya sembari menyentuh bagian hidung Reza. Beruntung masih ada embusan napas di sana, Raysa pun keluar dari mobil dengan gelisah. Takut jika saja ada orang yang lewat atau mungkin ada media yang tahu, dia tidak mau jika ada pemberitaan tentang kecelakaan yang dialaminya dengan Reza karena itu akan semakin memperkuat dugaan wartawan, kalau dia dan Reza memang sepasang suami—istri. "Lama banget, sih!" ucap Raysa pada sosok yang kini datang dengan mobil hitam. "Kenapa bisa kecelakaan, terus bagaimana keadaan dia?" Raysa menggelengkan kepalanya, dia memasang wajah malas. Ya, Raysa seolah enggan untuk berurusan dengan suaminya yang bahkan saat ini membutuhkan pertolongan. "Ayo, kita bawa ke rumah sakit!" ajak Brian sosok laki-laki bertubuh tinggi besar itu. Raysa dengan cepat menahan tangan Brian dan menggeleng. "Jangan bawa dia ke rumah sakit, apalagi kalau sampai wartawan tahu kalau aku yang bawa, Itu akan jadi masalah," ungkapnya. "Terus gimana?" Raysa celingukan, mengamati sekitarnya. Dia kemudian mengajak Brian untuk mengeluarkan Reza dari mobil, dia meminta Brian menyeret suaminya ke sisi kiri jalan di mana tumbuh rerumputan tinggi. "Ini yakin mau ninggalin dia di sini? Sebentar lagi akan ada badai.” Raysa tak memedulikan peringatan Brian dan tetap kukuh untuk meninggalkan Reza di jalan. "Iya, ayo cepat nanti keburu banyak orang yang liat!" ucap Raysa. "Cepat telepon mobil derek dan bawa aku ke rumah sakit!" ucapnya lagi memerintah. “Aku sudah telepon bentar lagi datang.” Brian hanya menurut saja, dia melakukan semua yang diucapkan Raysa tanpa bertanya lagi. Laki-laki itu membawa Raysa ke rumah sakit, setelah mobil derek mengangkut mobil, dan mereka meninggalkan Reza yang tidak sadarkan diri di semak-semak. Angin yang berembus membuat darah di kepala Reza mengering, banyak lalat yang hinggap di lukanya. Reza tersadar dengan keadaan langit sudah menghitam, entah sudah malam, atau memang cuaca yang mendung. Dia mengedipkan mata, mencoba mengamati sekitarnya. Dengan kepala yang masih pusing dan tubuh yang terasa remuk, Reza menguatkan diri untuk bangun dari tidurnya. Dia berdiri dengan posisi yang masih belum stabil, dia mengamati sekitarnya dan menemukan dirinya masih di jalanan yang sama dengan tadi. Namun, di mana istrinya? Di mana mobil istrinya? "Raysa!" panggil Reza terus menerus. Reza berjalan perlahan, mencoba mencari bantuan. Dia masih sempoyongan, beberapa kali harus terjatuh karena kakinya belum mampu menopang tubuhnya sendiri. Pemerintah membuat peringatan kepada seluruh masyarakat, sejak tiga hari yang lalu. Di mana hari ini tepatnya, beberapa menit lagi akan ada hujan badai di daerah pantai Giri dan menghimbau masyarakat untuk tidak melewati jalanan sekitar demi keselamatan. Di lain arah, seseorang asyik berkendara dengan earphone yang menempel di telinga dengan memutar musik kesukaan. Dia terus bersenandung, tak mendengar larangan dan peringatan tersebut. Sosok itu tampak melanjutkan perjalanan dengan kendaraan roda duanya. Dia Riviya, gadis itu baru saja keluar dari pantai menuju ke kota. Tepatnya sekitar 5 km dari kawasan padat penduduk. Angin berhembus pun mulai menerpa, membuat gadis itu harus berkendara sembari memicingkan mata. “Waduh, anginnya kencang sekali.” Dari jarak pandang yang terbatas, dia melihat seseorang berjalan terhuyung-huyung, bahkan terlihat beberapa kali sosok itu terjatuh. "Hei, Anda kenapa?" tanya Riviya berteriak. Reza melirik, membuat Via bisa melihat banyaknya luka di tubuh laki-laki itu terutama di bagian kepala, bahkan darah yang tadinya sudah mengering terlihat basah kembali karena gerimis, ditambah dengan luka baru yang dia dapat dari beberapa kali tersungkur. "Astaga, apa yang terjadi. Ini korban kecelakaan?" tanya Riviya sembari turun dari motornya. Reza masih pusing, kepalanya benar-benar pening membuatnya tak cukup mampu mengenali Via. "Mas, ingat saya? Saya SPG itu, apa yang terjadi?" tanya Via. Reza tak menjawab dan Via langsung merogoh ponselnya, mencoba mencari bala bantuan. Dia menghubungi panggilan darurat kepolisian dan ambulan, sayangnya tak ada koneksi internet dan jaringan di sana. Via mengusap wajahnya yang sudah basah kuyup karena hujan. Via mengangkat tubuh Reza, mencoba membawanya dengan sepeda motor. "Mas, bisa 'kan?" tanyanya. "Tunggu ya, aku coba buat hubungi polisi sama ambulan lagi!" teriak Via yang memang berusaha mengimbangi suara rintikan hujan. Sayangnya tak ada jaringan di sana dan Via mengernyitkan kening setelah melihat notifikasi cuaca hari ini, di mana memang jaringan sedang terganggu karena adanya badai. Dia mengumpat, merasa bodoh karena bisa-bisanya tidak tahu dengan pemberitahuan tersebut. Ditambah lagi kini dia membawa seseorang yang terluka. Via tidak bisa diam di sana, tak akan ada pertolongan datang. Dengan kebingungan, Via membuka ikat pinggang Reza yang dikaitkan dengan ikat pinggang yang menempel di tubuhnya, kemudian dia naik ke motornya, dan mengikat tubuh Reza ke tubuhnya. Reza masih setengah sadar, tetapi dia tidak tahu kapan laki-laki itu akan kehilangan kesadarannya. Dilihat dari lukanya, Reza mengalami luka yang cukup parah, takut kalau tiba-tiba dia kehilangan kesadaran dan malah terjatuh saat motor dalam keadaan melaju. "Maaf ya, kita harus pergi sekarang juga buat obati lukanya." Via pun membawa Reza di tengah badai hujan dan angin. Dia menerobos cuaca ekstrim itu demi keselamatan Reza. Baru saja mereka berkendara, tiba-tiba sesuatu yang jatuh di depan sana membuat Via harus mengerem mendadak. Sebuah pohon besar tumbang di tengah jalan, menimbulkan suara yang sangat keras membuat keduanya membulatkan mata karena terkejut. Pohon itu jatuh dan menghalangi jalan mereka. Sialnya lagi bukan hanya satu, ada banyak sekali pohon yang tumbang di setiap sisi jalan. Via hanya bisa diam, menatap jalanan yang akan dilaluinya tertutup banyak pohon.Riviya berusaha memutar otak, mencari jalan keluar. Gadis berambut panjang itu tidak bisa diam saja, dia tidak sendirian, dia membawa seseorang yang sedang terluka parah. Matanya tertutup sejenak, tampak juga dia menarik napas, kemudian membuangnya secara perlahan. Via hanya mencoba menenangkan diri agar pikirannya bisa bekerja lebih baik lagi.Untuk beberapa saat dia diam di tengah badai yang masih mengguyur tempat tersebut. Via memutuskan untuk putar balik, dia rasa dibandingkan mengambil resiko dengan berjalan terus, lebih baik kembali menuju arah pantai dan mencari pertolongan di pemukiman warga. Tak begitu jauh, dia bisa mencapai tempat itu dengan lebih cepat."Tenang ya, kayaknya ada klinik di area pemukiman yang tadi aku lewati." Via sebisa mungkin mengendarai motornya dengan cepat dan tentunya tetap hati-hati.Tak berselang lama, mereka tiba di lokasi, membuat Via merasa sedikit lega. Terlebih bangunan klinik yang dimaksudnya sudah ada di depan mata."Mas! Mbak! Tolong!" teria
Langkah kakinya bergerak dengan terburu-buru, begitu mendengar Raysa masuk rumah sakit karena kecelakaan. Terlebih saat nama menantu tak bergunanya itu terlibat, membuat Marsha naik pitam."Mama udah bilang sama kamu, jangan pernah pergi sama dia. Selain dia gak berguna, pengecut, miskin, dia juga membawa sial!" ucapnya terus menggerutu.Marsha tak menyadari kalau di sana bukan hanya ada putrinya, melainkan ada orang asing. Untungnya Marsha tak menyebut Reza sebagai menantunya. Dia langsung membulatkan mata, menaikan alisnya saat Raysa menggerakkan matanya ke sisi lain di belakang Marsha.Marsha langsung mengubah ekspresinya dan mencoba tersenyum, dia sadar kalau putrinya saat ini tengah menunjukkan seseorang di belakangnya. Marsha berbalik badan kemudian menunduk, menyapa seseorang yang kini hanya tersenyum saja. "Selamat siang, Pak. Maaf, saya terlalu panik sampai tidak menyadari ada Anda di sini." "Tidak apa-apa, perkenalkan saya Brian.""Dia salah satu pengusaha juga Ma, perusaha
Reza kini masih berdiri di depan gerbang seperti orang bodoh. Bukan tak punya harga diri, hanya saja dia berpikir untuk menemui Raysa dulu. Tak mungkin dia pergi tanpa tahu keadaan istrinya, tetapi sialnya dia tidak tahu harus menanyakan kondisi Raysa pada siapa.Setelah lelah berdiri, Reza pun berjongkok di depan gerbang sembari berpikir. Kemudian dia tersenyum kecil, saat mengingat seseorang yang mungkin bisa dia minta pertolongan. Reza berkeliling rumah, mencari jalan agar dia bisa menemui seseorang itu. Sampai akhirnya dia tersenyum, begitu melihat seseorang tengah membuang sampah di halaman belakang, Reza bersabar menunggu, sampai wanita itu melirik ke arahnya. Begitu asisten rumah tangga itu melihatnya, dengan cepat Reza melambaikan tangan memintanya untuk mendekat."Kenapa, Pak?""Kamu tahu di mana Nyonya tidak? Dia ada di rumah atau dia ada di mana gitu?""Nyonya Raysa ada di rumah sakit, katanya tadi kecelakaan," ceritanya.Reza mengamati sekitar kemudian bertanya, "Kamu tah
Keesokan harinya Raysa langsung dibawa pulang tanpa sepengetahuan suaminya. Reza datang ke rumah sakit untuk menjenguk istrinya lagi, tetapi ternyata sang istri sudah tidak ada di ruangannya. Setelah kemarin mereka berdebat yang berujung Reza diusir, Raysa kini memutuskan untuk pulang dan tak ingin menemui Reza. Raysa semakin membenci Reza setelah semalam berita tentang mereka muncul diberita. "Gimana? Ayolah Sa, Mama udah gak bisa tahan lagi sama semua kelakuan bodohnya dia. Apa yang kamu harapkan dari dia, dia cuma numpang hidup di sini, dia cuma laki-laki miskin yang pengen hidup enak tanpa harus bekerja. Dia menjadikanmu alat untuk dia bertahan hidup!" ucap Mama Marsya yang mana Raysa hanya diam saja.Tak ada tanggapan pasti, Raysa seolah mengabaikan ocehan ibunya. Namun, dia melemparkan ponselnya yang mana membuat Mama Marsya langsung menangkap benda pipih itu. Dia membulatkan mata, yang kemudian diikuti senyuman merekah di wajahnya. "Ini baru anak Mama. Kapan kamu mengajukan gu
Ini lebih sakit dari sekadar sebuah tamparan. Semua kalimat Raysa terasa menyayat hatinya. Sakit dan sesak. Reza mengangguk kecil dengan mata yang masih menatap Raysa, berharap masih ada setitik harapan pada hubungan mereka ini."Kasih aku waktu buat berkemas, aku akan pergi dari sini.""Baguslah, cepat pergi sana!" usirnya lagi yang mana Raysa kini pergi dari kamarnya.Reza masih duduk di tempat tidur, menatap setiap bagian ruangan itu. Tiba-tiba dia teringat dengan gelang Via yang dia tinggalkan beberapa hari lalu. Reza langsung mencarinya, menggeledah setiap bagian kamar. Namun, ternyata benda itu tidak dia temukan di mana pun juga.Reza belum mengemasi barangnya, dia berniat untuk mendapatkan gelang itu lebih dulu sebelum dia pergi. Dia keluar dari kamar, berniat menanyakannya langsung pada Raysa.Namun, kakinya berhenti melangkah saat melihat ada seorang laki-laki tengah duduk bersama Raysa. Dia terlihat rapi dengan jasnya, di atas meja terdapat banyak berkas yang Reza tidak tahu
Seharian Reza dikurung di sana, sebelum akhirnya ditempatkan ke bangunan di belakang. "Kamu dan yang lainnya untuk sementara waktu tinggal di sini dulu. Kamu bisa ikut aktivitas yang sudah dijadwalkan dan ya bantu-bantu aja di sini.""Ini rumah dinas sosial, tempat di mana orang-orang seperti kalian tinggal. Daripada tinggal di jalanan, mengganggu orang, lebih baik di sini. Kalian akan aman, terjamin juga, asalkan nurut aja sama semua petugas," jelasnya lagi yang mana Reza hanya bisa pasrah.Dia tersenyum hambar, menatap ruangan itu yang terdiri dari beberapa tempat tidur. Bukan merasa hina, Reza hanya merasa terluka dengan sikap Raysa yang dengan tega membuangnya. Kalau dia tidak dibuang, tidak mungkin istrinya itu menolak mengenalinya.Raysa secara terang-terangan menyebut kalau mereka tidak saling mengenal. Membuat dada Reza terasa sesak, tenggorokannya seperti dicekik, benar-benar sakit. Reza mengusap wajahnya, yang ternyata bulir bening melintas di pipi."Terimakasih Pak, sudah m
Senyum penuh kemenangan tampak jelas di wajah pria yang menutup wajahnya dengan masker, dia memberi isyarat pada semua preman suruhannya untuk membawa Reza pergi dari sana. Dia tak mau kalau ada saksi mata yang akan membuat namanya tercoreng di media masa.Reza diseret menuju mobil yang sudah disiapkan tak jauh dari sana, mereka tak sadar kalau tubuh Reza meninggalkan jejak di pasir pantai itu. Reza diangkat dan dilempar dengan kasar. Mobil hitam itu melaju meninggalkan area pantai dan berhenti di sebuah bangunan tua.Kepala Reza terasa pening, kesadarannya sudah kembali walau matanya masih belum bisa menatap sekitar dengan baik. Reza hanya menemukan ada beberapa orang laki-laki bertubuh tinggi besar mengelilinginya. Mereka menggunakan masker hitam dan topi, membuat Reza tak bisa mengenali mereka satu per satu.Reza kembali diseret ke kursi, dia didudukkan dengan paksa."Tanda tangani surat cerai ini atau kamu akan dihabisi!" ucap salah satunya.Saat mendengar ucapan itu, Reza baru sa
Semua nelayan berpencar mencari Reza, setelah beberapa menit pencarian, salah satunya melihat jejak mobil yang membuat mereka langsung mengarah ke beberapa tempat terdekat di sana. "Pak, kita cari ke arah sana. Siapa tahu ada bangunan kosong atau apa yang bisa dijadikan tempat kejahatan. Kita cek satu per satu, sekalian tanya sama orang sekitar siapa tahu melihat mobil mencurigakan!"Baru saja mereka akan pergi, tiba-tiba mereka melihat mobil hitam yang melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu keluar dari arah hutan, membuat para nelayan segera berlari."Kita cek di rumah kosong itu!"Semua berlarian dan begitu masuk, mereka menemukan Reza berlumuran darah."Pak Darma, ada Nak Reza di sini!""Cepat bawa mobil, kita bawa dia ke rumah sakit!" teriak Pak Darma.Reza pun langsung digotong ke luar dan dinaikan ke dalam pick up. Pak Darma dan beberapa nelayan membawanya ke rumah sakit. Kondisi Reza tidak cukup parah, tusukan itu tak sampai mengenai organ tubuhnya. Jadi, dia bisa langsung p
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men