“Selamat siang,” ucap Dani begitu sampai di hadapan Via. “Selamat siang. Anda ingin membeli produk kami?” Dani terdiam kemudian mengangguk. Sementara Via menjelaskan dengan penuh semangat mengenai khasiat dan kegunaan skincare yang dijualnya. Bahkan dia juga menjelaskan bagaimana cara pemakaian yang benar agar hasil memuaskan. Dani yang sejatinya tidak terlalu mengerti dan peduli hanya mengangguk dan sesekali mengiyakan. Lagipula dia pergi ke sana atas perintah Reza. Sehingga tak perlu repot mengerti dan tahu lebih jauh mengenai produk tersebut. “Baiklah. Saya mau sepuluh paket,” ucap Dani tanpa basa-basi. Mata Via melebar, mulut menganga mendengar angka sepuluh yang disebutkan oleh Dani. Begitu pula dengan kedua rekannya. Di sisi lain, Reza yang melihat ekspresi tak percaya di wajah Via hanya terkekeh geli. Ikut merasa senang. “Se-sepuluh?” tanya Via terbata karena masih tidak menyangka. Dani mengangguk yakin. Maka tanpa menunggu lebih lama, Via langsung membungkus pesanan Dan
"Via, aku seperti pernah melihatnya!" bisik Bella penasaran, namun via tak menjawab. "Jika Anda hanya ingin menghina produk kami, silakan pergi," ucap Via sembari tersenyum paksa. “Tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya bicara tentang fakta yang ada. Baik produk ataupun kalian, sama-sama meragukan,” jawab Raysa dengan nada merendahkan yang tak bisa begitu saja diabaikan oleh telinga Bella. Bella berjalan mendekati Raysa dan berbisik di telinga wanita tersebut. “Kalau begitu, silahkan pergi. Lagipula untuk apa Anda datang ke sini? Bukankah Anda sendiri punya produk yang sama dengan kami?” Sebuah senyum sinis tercetak di wajah Raysa. “Setiap orang punya hak untuk menjadi seorang pembeli. Daripada membahas hal lain, lebih baik kalian bekerja lebih giat dan promosikan produk dengan benar.” “Sebenarnya apa tujuan Anda?” tanya Bella lagi dengan nada dan gestur tubuh yang masih berusaha dibuat sopan. Dia sama sekali tidak habis pikir dengan kedatangan Raysa yang tiba-tiba berperan sebagai p
"Begitu luasnya negara ini, kenapa aku harus bertemu lagi denganmu di sini," ucap Raysa memandang sinis kepada Reza yang mengenakan baju keamanan.Sayangnya, Reza memilih diam dan menatap sang mantan dengan senyuman. “Aku akui kamu tampan, sayangnya nasibmu tidak setampan itu,” ucap Raysa dengan senyum dan tatapan merendahkan. Usai berkata demikian, dia langsung membuang muka dan benar-benar pergi. Andai bukan di kantor polisi, ingin rasanya Reza meremas mulut kurang ajar mantan isterinya tersebut. “Sabar,” ucap Reza seraya mengelus dadanya sendiri. Di sisi lain, Bella terus berusaha menyanggah dan membantah. Meskipun usahanya itu sia-sia. Dengan alasan tidak adanya saksi dan bukti maka laporan yang dibuat untuk mereka tetap harus diproses. “Kalau memang begitu, bawalah bukti ke hadapan kami agar kalian bisa bebas,” ucap petugas polisi yang melayani laporan terhadap Bella dan Via. “Andai aku tahu akan berakhir seperti ini, daripada melawan lebih baik aku videokan saja saat dia m
“Jangan terlalu banyak pikiran. Aku pasti akan segera menyelesaikan masalah ini. Tetap semangat,” ucap Randi seraya menepuk pelan bahu kiri Via. “Terima kasih. Maaf karena aku sudah merepotkan.” Via berkata dengan penuh penyesalan dan rasa bersalah. Matanya beberapa kali berkedip, menahan air mata yang terus mendesak dan membuat kedua matanya terasa panas.“Jangan begitu. Kamu tidak perlu sungkan padaku. Sebagai atasan, ini sudah jadi kewajibanku untuk melindungi karyawan. Selain itu, kita ini teman dari zaman kuliah. Jadi, kamu tidak perlu merasa tidak enak.” “Entahlah. Aku hanya…, “ Via menarik napas dan menjeda sejenak ucapannya. “Apa pun itu, terima kasih,” ucapnya kemudian. Sementara itu, Reza masih tetap berdiam diri di tempat semula dengan tatapan yang tak sedetik pun lepas dari Via. Sampai akhirnya, Bella keluar dan menghentikan keadaan tersebut. Reza buru-buru membuang muka ke arah lain saat dia sadar bahwa Via mulai menoleh padanya. “Ah, ini benar-benar menyebalkan. Aku
Seseorang mengendap-endap, dari satu mobil ke mobil lainnya. Dia menguping laporan sopir pada setiap penjual yang menerima kiriman barang tersebut. Siapa lagi kalau bukan Reza, laki-laki itu memang sengaja ingin melihat transaksi para pemasok dengan penjual di mall-nya ini, setelah menyelesaikan masalah Via.Reza memicingkan mata, saat dia melihat seorang karyawan di bagian gudang menerima uang dari sopir pengangkut. Seperti ada sesuatu di antara mereka, membuat Reza kini melangkah mendekat, dia ingin mendengar percakapan mereka."Mereka ngapain bisik-bisik kayak gitu, ini pasti ada yang gak bener.""Kenapa dia ngasih uang, apa semua yang terjadi di toko-toko memang disengaja? Ini ulah Chandra atau ulah para karyawan yang pengen punya keuntungan?" tanya Reza lagi pada dirinya sendiri.Reza mengeluarkan ponselnya, memotret adegan di depan sana. Namun, dia tidak hanya membutuhkan bukti ini, tapi harus juga merekam percakapan mereka untuk memastikan kalau ini memang benar-benar sebuah ke
Reza tengah duduk di kursi kerjanya, dengan tangan yang memegang bolpoin yang di ketuk-ketukkan ke kepalanya sendiri. Reza benar-benar sedang menunggu hasil kerja Dani, tentang dua orang yang harus dicari tahu identitasnya.Suara langkah kaki dan juga pintu yang dibuka membuyarkan lamunan Reza, membuatnya melirik ke sumber suara. Tatapan mata Reza yang tengah serius membuat Dani sontak menundukkan pandangannya. "Maaf Tuan Muda, saya datang untuk memberi kabar soal ....""Jangan bicara terlalu formal, duduk dulu dan katakan semuanya!" ucap Reza yang mana kini dia melemparkan senyuman.Rupanya Reza memang tengah berpikir keras, membuat ekspresi seriusnya terkesan sangat menyeramkan. Itulah kenapa Dani tiba-tiba menundukkan kepalanya. Namun, saat Reza kembali ramah dengan tersenyum manis itu membuat Dani sedikit lega.Mungkin karena Reza memang cucu Eyang Wiryo, kesan berwibawa sangat kuat, membuat Reza terlihat sangat menyeramkan saat sedang serius. Reza menaikan sebelah alisnya, menata
Randi menatap sebuah amplop berisi surat peringatan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kasus yang menimpa Via. Sebagai manajer di perusahaan tersebut, Randi dibebankan sebuah tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Dia harus turun tangan secara langsung dan meminta maaf pada Raysa agar masalah ini tidak berlarut-larut. Dibacanya sekali lagi surat tersebut kemudian Randi bangkit dari kursi kerjanya dan bergegas setelah meletakkan surat tersebut di meja. Randi memutuskan untuk pergi menemui Raysa dan meminta maaf pada wanita tersebut. Bagaimanapun dia tak mau masalah ini terus bergulir dan berdampak buruk bagi perusahaan dan tentu saja bagi Via juga. Melihat Randi yang keluar dari ruang kerja dengan wajah yang ditekuk, Bella merasa penasaran. Dia pun bertanya pada pria tersebut, tetapi tak mendapat jawaban sesuai keinginan. “Pekerjaan.” Hanya itu yang keluar dari mulut Randi sebagai jawaban. Karena tidak merasa puas, Bella pun menggali informasi lebih lanjut kepada beberapa rekan
Raysa terus memupuk kebencian dalam hatinya untuk Via, bahkan tak puas dengan hanya membuat gadis itu bersujud, kini Raysa mengambil segelas minuman yang dia pesan sebelumnya dan menumpahkan itu tepat di kepala Via. Sambil terus melakukan live streaming di media sosial. Reza yang melihat itu semakin geram dan tak tahan. Akan tetapi, keadaan saat ini tak memungkinkan dirinya untuk berperan sebagai pahlawan. Sampai di titik saat ini, dia masih harus bersabar. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Randi yang seketika berdiri. Merasa kaget dengan apa yang dilakukan Raysa pada Via. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Segelas minuman tadi, anggap saja sebagai pembersih untuk kesalahannya,” jawab Raysa tanpa beban. Sementara Via tertunduk dengan perasaan kesal bercampur sedih. Bukan tak ingin melawan, hanya saja saat ini Raysa tengah melakukan live dan melakukan perlawanan hanya akan membuat keadaan semakin runyam. Sesak memenuhi perasaan Via, rasa panas menyerang mata diiringi tet
Eyang Wiryo terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, dan oksigen di hidungnya membuat semua orang yang hadir semakin khawatir. Suasana ruang perawatan terasa begitu tegang.Di sekelilingnya, berkumpul seluruh anggota keluarga yang selama ini terlibat dalam konflik warisan. Ada Reza, Via, Randi, Johan, Chandra, dan Bima, sang dalang dari semua kekacauan ini.Dengan suara bergetar, Eyang Wiryo berbicara, memecah kesunyian, "Aku tidak pernah membayangkan keluargaku akan berantakan seperti ini... Apa yang kalian semua cari? Harta? Kekuasaan? Apa semua itu lebih berharga dari keluarga kita?"Tak ada yang menjawab. Mereka hanya menunduk, entah karena merasa bersalah atau masih menyimpan amarah masing-masing.Eyang Wiryo menghela napas panjang. "Aku akan mengatakan sesuatu yang harus kalian dengar baik-baik. Reza adalah pemilik sah dari perusahaan keluarga kita. Semua harta yang kalian perebutkan berasal dari suamiku yang pertama, dan Bima... kamu bukan anak dari suami pertama
Chandra melangkah dengan cepat menuju kediaman ayahnya, Bima. Pikirannya penuh dengan pertanyaan yang berputar tanpa henti. Fakta bahwa Randi adalah saudara tirinya, dan Johan juga bagian dari skema besar ayahnya, membuatnya tidak bisa diam saja.Saat ia memasuki ruang kerja Bima, pria itu tampak tenang, duduk di balik meja besar dengan segelas teh di tangannya. Seakan tidak ada yang terjadi."Chandra," sapa Bima tanpa ekspresi. "Kau datang dengan wajah penuh amarah. Apa yang kau inginkan?"Chandra mengepalkan tangannya. "Aku ingin jawaban. Aku ingin tahu kenapa kau menyembunyikan fakta bahwa Randi adalah saudaraku! Kenapa kau memalsukan hasil DNA-nya?!"Bima meletakkan gelasnya dengan tenang, lalu menatap Chandra dalam-dalam. "Karena aku tidak pernah berniat mengakui Randi sebagai bagian dari keluarga ini."Chandra terhenyak. "Apa maksudmu?! Dia anakmu!"Bima mendengus kecil. "Dan itu adalah kesalahan yang seharusnya tidak pernah terjadi."Chandra semakin geram. "Bagaimana dengan Joh
Setelah Johan berhasil ditangkap, Reza bersama Randi dan Via kembali ke tempat persembunyian mereka. Namun, meski Johan kini berada di tangan pihak berwenang, Reza masih merasa ada sesuatu yang belum selesai. Di tengah malam yang sunyi, Reza duduk di ruang kerja kecilnya, membaca kembali dokumen-dokumen yang mereka sita dari Johan. Namun, semakin ia membaca, semakin ia menyadari bahwa ada sosok lain yang lebih besar di balik ini semua. Nama Bima, pamannya sendiri, terus muncul dalam berbagai transaksi dan laporan rahasia. Reza menggertakkan giginya, tangannya mengepal. "Jadi selama ini… Paman Bima yang mengatur semuanya?" Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya tersadar. Randi masuk dengan wajah penuh kebingungan. "Ada apa, Reza? Kau terlihat tegang," tanya Randi. Reza mengangkat salah satu dokumen dan melemparkannya ke meja. "Lihat ini. Nama Paman Bima ada di setiap transaksi ilegal Johan. Dia bukan hanya mengetahui semua ini, dia adalah dalangnya!" Randi membaca do
Pagi itu, Reza menerima pesan dari Bayu. Isinya singkat, tetapi cukup membuat adrenalin Reza meningkat."Johan mulai bergerak. Dia tahu tentang dokumen itu. Hati-hati."Reza duduk di kursi, menatap papan penuh strategi di depannya. Ia tahu bahwa Johan tidak akan tinggal diam setelah mengetahui dokumen itu ada di tangan yang aman. Kini, semua yang telah ia persiapkan harus berjalan sempurna, atau semuanya akan sia-sia.Via muncul dari dapur, membawa secangkir teh untuk Reza. Ia menatap wajah Reza yang terlihat semakin lelah namun tetap penuh keyakinan.“Kamu yakin bisa mengatasi ini, Reza?” tanya Via pelan, duduk di depannya.Reza menatap Via dengan tatapan lembut namun penuh tekad. “Aku harus yakin, Via. Kalau aku nggak bergerak sekarang, Johan akan terus menghancurkan segalanya. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Via terdiam sejenak, lalu menggenggam tangan Reza. “Kalau kamu butuh bantuan, aku di sini. Jangan terlalu memaksakan diri, Reza.”Reza tersenyum kecil. Sentuhan Via mem
Malam itu, Reza duduk di ruang tamu yang remang. Di depannya terdapat tumpukan dokumen penting yang baru saja ia dapatkan dari salah satu informannya. Wajahnya serius, penuh konsentrasi, membaca setiap detail yang bisa menjadi kelemahan Johan.“Reza, apa ini cukup untuk melawan dia?” tanya Randi sambil mendekati meja, pandangannya menyapu dokumen tersebut.“Ini lebih dari cukup,” jawab Reza, menutup map dengan tegas. “Dokumen ini adalah bukti nyata bahwa Johan terlibat dalam penyelundupan besar. Kalau kita bisa menyerahkannya ke pihak yang tepat, itu akan menghancurkan dia.”Via yang duduk di sofa terlihat gelisah. “Tapi Johan nggak akan tinggal diam. Dia pasti sudah tahu bahwa kita sedang bergerak melawannya.”Reza menatap Via dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku tahu itu, Via. Tapi aku nggak akan biarkan dia menang. Ini tentang keadilan, bukan hanya untuk kita, tapi untuk semua orang yang sudah dia rugikan.”Pagi harinya, Reza mengumpulkan Randi dan Via di sebuah kafe kecil yang jau
Keesokan paginya, Reza kembali ke apartemen dengan penampilan yang terlihat lelah, namun tatapannya masih penuh keyakinan. Via yang tengah duduk di ruang tamu langsung berdiri begitu melihat Reza masuk.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Via, mendekat dengan nada penuh kekhawatiran.“Aku baik,” jawab Reza singkat. “Dokumen itu sudah aman. Sekarang kita hanya perlu menunggu langkah Johan berikutnya.”Randi, yang sejak tadi mengamati dengan cemas, akhirnya bersuara. “Reza, aku nggak ngerti kenapa kamu nggak membiarkan aku ikut tadi malam. Kalau mereka menyerang kamu di tengah jalan, gimana?”Reza menatap Randi dengan serius. “Karena aku butuh kamu di sini. Tugasmu menjaga Via, memastikan dia aman. Kalau aku gagal, setidaknya masih ada kamu di sini untuk melindungi dia.”Via yang mendengar ucapan itu merasa hatinya bergetar. Meskipun Reza tidak pernah mengungkapkan perasaannya secara langsung, tindakan dan ucapannya selalu menunjukkan betapa ia peduli.Sore itu, ketika suasana sedikit tenang, p
Reza dan Via mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, mengikuti lokasi yang dikirimkan Randi. Jalanan malam yang sepi memberikan suasana mencekam. Via terus memperhatikan ponsel, memastikan mereka tidak kehilangan jejak.“Dia ada di jalan dekat gudang tua di pelabuhan,” ujar Via sambil menunjuk layar ponselnya.Reza mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Jika Johan sudah mempersiapkan jebakan, tempat seperti itu ideal untuk menyergap.”Ketika mereka hampir sampai, Reza memperlambat mobilnya. Dari kejauhan, ia melihat sosok Randi berlari sambil membawa map dokumen. Dua pria mengejarnya dengan senjata di tangan.“Pegang erat,” ujar Reza singkat pada Via.Tanpa ragu, Reza menginjak pedal gas dan meluncur ke arah para pengejar. Kedua pria itu terkejut dan melompat menghindar saat mobil Reza mendekat.Randi segera naik ke dalam mobil, napasnya tersengal. “Mereka nggak akan berhenti. Mereka tahu dokumen ini terlalu penting untuk dilepaskan.”Reza hanya mengangguk. Ia berbalik, menatap Via
Reza mengintip dari jendela dan melihat dua mobil hitam berhenti di depan rumah. Beberapa pria keluar dengan ekspresi serius."Johan," gumam Reza, menyadari siapa yang mengirim mereka.Randi mulai panik. "Apa yang harus kita lakukan? Mereka pasti sudah tahu kita di sini."Reza menatap Randi dengan tajam. "Kita tidak akan lari. Kali ini, kita lawan."Pria-pria itu mulai mendekati pintu, mengetuknya keras. "Buka pintunya, Reza! Kami tahu kamu ada di dalam!"Reza mengambil napas dalam-dalam. "Randi, siapkan dokumen-dokumen itu. Kalau aku gagal, kamu harus pergi dari sini dan serahkan semuanya ke Pak Hendra.""Reza, kamu serius? Kamu mau melawan mereka sendirian?""Aku tidak akan membiarkan mereka mengambil apa yang sudah kita perjuangkan," kata Reza dengan mantap.Ia membuka pintu perlahan, berdiri di hadapan para pria itu dengan tatapan dingin."Kalian mencari aku?" tanya Reza sambil tersenyum tipis.Tanpa basa-basi, salah satu pria mencoba menyerang Reza. Namun, Reza dengan sigap mengh
Di apartemennya, Randi termenung dengan pikiran yang berkecamuk. Fakta bahwa Johan adalah kakaknya tidak mudah ia cerna. Ia duduk di kursi, memandangi meja yang penuh dengan dokumen yang diberikan Johan sebelumnya, termasuk hasil tes DNA palsu."Kalau aku percaya Johan, apa yang akan terjadi dengan Via? Dengan Reza?" gumam Randi, suaranya berat.Namun, di tengah kebimbangannya, ponselnya berdering. Nama Johan muncul di layar. Dengan enggan, Randi mengangkat panggilan itu."Randi," suara Johan terdengar tajam, "aku butuh jawabanmu sekarang. Kamu di pihakku atau tidak?"Randi terdiam. "Johan, kenapa kamu melakukan ini? Kenapa kamu harus membuat semua ini rumit?""Karena aku tidak akan diam sementara Reza mengambil semua yang seharusnya milik kita!" bentak Johan. "Dia hanya pura-pura baik, Randi. Dia memanfaatkan kamu dan Via!""Via nggak ada hubungannya dengan ini!" balas Randi, mulai kehilangan kesabaran."Oh, tentu saja ada," Johan tertawa sinis. "Kamu pikir dia benar-benar peduli pad