Randi menatap sebuah amplop berisi surat peringatan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kasus yang menimpa Via. Sebagai manajer di perusahaan tersebut, Randi dibebankan sebuah tanggung jawab untuk menyelesaikannya. Dia harus turun tangan secara langsung dan meminta maaf pada Raysa agar masalah ini tidak berlarut-larut. Dibacanya sekali lagi surat tersebut kemudian Randi bangkit dari kursi kerjanya dan bergegas setelah meletakkan surat tersebut di meja. Randi memutuskan untuk pergi menemui Raysa dan meminta maaf pada wanita tersebut. Bagaimanapun dia tak mau masalah ini terus bergulir dan berdampak buruk bagi perusahaan dan tentu saja bagi Via juga. Melihat Randi yang keluar dari ruang kerja dengan wajah yang ditekuk, Bella merasa penasaran. Dia pun bertanya pada pria tersebut, tetapi tak mendapat jawaban sesuai keinginan. “Pekerjaan.” Hanya itu yang keluar dari mulut Randi sebagai jawaban. Karena tidak merasa puas, Bella pun menggali informasi lebih lanjut kepada beberapa rekan
Raysa terus memupuk kebencian dalam hatinya untuk Via, bahkan tak puas dengan hanya membuat gadis itu bersujud, kini Raysa mengambil segelas minuman yang dia pesan sebelumnya dan menumpahkan itu tepat di kepala Via. Sambil terus melakukan live streaming di media sosial. Reza yang melihat itu semakin geram dan tak tahan. Akan tetapi, keadaan saat ini tak memungkinkan dirinya untuk berperan sebagai pahlawan. Sampai di titik saat ini, dia masih harus bersabar. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Randi yang seketika berdiri. Merasa kaget dengan apa yang dilakukan Raysa pada Via. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan. Segelas minuman tadi, anggap saja sebagai pembersih untuk kesalahannya,” jawab Raysa tanpa beban. Sementara Via tertunduk dengan perasaan kesal bercampur sedih. Bukan tak ingin melawan, hanya saja saat ini Raysa tengah melakukan live dan melakukan perlawanan hanya akan membuat keadaan semakin runyam. Sesak memenuhi perasaan Via, rasa panas menyerang mata diiringi tet
Reza terdiam. Lalu, setelah Via berpamitan, pria itu tiba-tiba menawarkan Via untuk berjalan-jalan sejenak sekadar menghilangkan penat. Via pun merasa bahwa ide itu tidak buruk, dia pun setuju dan meminta Reza untuk menunggu. “Mau ke mana kita?” tanya Via sesaat setelah selesai bersiap. “Pantai bagaiamana?” “Sepertinya bagus.” Tanpa basa-basi lagi, Reza pun melajukan sepeda motornya ke arah pantai dengan jarak tempuhnya yang lumayan. Setelah menghabiskan waktu sekitar satu jam akhirnya mereka sampai dan memilih batu karang di pinggir pantai sebagai tempat untuk menikmati pemandangan. “Ini.” Reza menyodorkan satu kotak sosis bakar dan segelas es coklat untuk camilan. “Bukankah kamu sudah terbukti tidak bersalah. Lantas kenapa mereka masih memecatmu?" tanya Reza sembari melirik Via yang sedang memanyunkan bibirnya. "Itulah yang di harapkan Raysa!" "Maksudnya? Apa kamu kenal dia sebelumnya." Via menganggukkan kepalanya, dan kembali terdiam sembari mengedarkan pandangan ke seluru
Mata Reza beberapa kali melirik ke arah Via, di mana perempuan itu pun curi-curi pandang ke arahnya. Reza pura-pura batuk, kemudian berjalan ke sisi lain untuk mengindari tatapan dari Via."Sa-saya bisa tidur di sofa ini, kamu tidur di sana.""Ya udah, sini!" ucap Via yang sontak membuat Reza langsung mendongak dan menatapnya.Via mengulurkan bantal dan selimut, membuat Reza tersenyum. Reza menggelengkan kepala, saat dia sadar kalau Via hanya memberikan benda itu bukan mengajaknya tidur bersama. Reza membawa bantal dan selimut ke sofa, kemudian berbaring di sana. Posisinya memang tidak nyaman, tetapi dia juga tak mungkin tidur satu ranjang yang sama dengan Via.Bukan takut khilaf, Reza hanya merasa tidak enak saja. Mereka baru kenal dan kini malah ditempatkan di satu ruangan yang sama, bahkan harus tidur di ranjang yang sama. Jadi Reza mengalah, memilih tidur di sofa dengan posisi yang sama sekali tidak nyaman.Melihat Reza yang meringkuk membuat Via sedikit tidak enak. "Gimana kalau
Via masih termenung, memikirkan nasib yang seakan ingin membuatnya berada dalam titik terendah dalam satu hentakan. Setelah dipermalukan Raysa, dipecat dari pekerjaan, kini dirinya harus mengunjungi kantor polisi lagi karena penggerebekan beberapa waktu lalu. Sebuah peristiwa yang membuatnya terancam dinikahkan oleh dinas sosial setempat sebagai konsekuensi. Sementara Reza terus berpikir keras agar dia dan Via bisa keluar dari kantor polisi dan pulang. Setelah keadaan lebih tenang, dia mendatangi polisi seorang diri dan coba melakukan sesuatu. Meminta ponselnya kembali untuk menghubungi pihak keluarga yang mungkin bisa datang untuk menjamin dirinya dan Via. Namun, nyatanya tidak semulus itu karena polisi yang menyita ponsel miliknya seakan tak percaya. Dia menganggap Reza hanya ingin lari dari tanggung jawab dan menelepon sembarang orang. Akan tetapi, Reza terus meyakinkan polisi yang menginterogasinya tersebut bahkan sampai bersumpah.“Bapak yang bilang agar pihak keluarga datang s
Ruangan untuk perempuan dan laki-laki memang dibedakan. Jadi di malam itu Reza dan Via berada di tempat yang berbeda. Reza sudah menghubungi Dani dan memintanya untuk segera menjemputnya. Sementara Via hanya meringkuk dengan tas yang dijadikan bantalan kepala.Seorang petugas lewat ke sel di mana Via meringkuk, sontak dia pun bangun. "Bu, maaf saya mau tanya!" ucapnya menahan langkah polisi wanita."Laki-laki yang tadi bersama saya, apa dia masih ada di ruangannya?""Reza? Dia sudah pulang, tadi dijemput oleh keluarganya," jawab si polisi yang membuat mata Via langsung membulat."Masa, Bu! Dia beneran keluar sama keluarganya?" tanya Via lagi untuk memastikan rasa kecewanya.Polisi itu mengangguk kembali dengan yakin, membuat Via seketika tersenyum hampa. Dia berbalik menatap para perempuan yang kini mendongak menatap rasa kecewanya. Via terduduk sembari memeluk kakinya, isi kepalanya mulai berputar, memikirkan bagaimana caranya dia bisa cepat keluar dari tempat tersebut.Walau rasa ke
Derap langkah seseorang mengisi kekosongan sebuah mansion di tengah Kota Aru Malaca. Saat tangannya memegang handel pintu, seseorang tampak tengah merapihkan sesuatu di meja ketua, tentunya membuat sosok yang masuk tadi menaikkan sebelah alisnya."Apa yang kamu lakukan di sini, Kak? Di mana Ketua? Di mana Nyonya Wiryo berada?" tanyanya.Dia adalah Dani, orang kepercayaan Eyang Wiryo yang kini ditugaskan terus berada di sisi Elreza. Dani terlihat cemas, raut wajahnya jelas menggambarkan itu, membuat siapa pun tahu kalau ada hal buruk yang mungkin terjadi.Sosok itu menepuk pundak Dani dan memintanya untuk merahasiakan apa yang terjadi saat ini. "Eyang berada di luar negeri, katakan seperti apa yang aku ucapkan saja. Eyang baik-baik saja!" tegasnya."Apa ini karena berita yang terjadi?" tanya Dani lagi.Anggukan kecil dari Andre membuat Dani memelas. Sudah dia duga kalau kejadian yang menimpa Reza dan Via di hotel kemarin akan berdampak pada kesehatan Eyang Wiryo. Namun, lagi-lagi dia h
"Bagaimana Tuan Muda, hanya kencan buta saja. Kalau Anda tidak ingin melanjutkannya pun tak apa, tapi tolong temui Nona Nadia di restoran ini," ucap Dani yang memberikan alamat restoran pada Reza.Ini bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan. Reza melirik alamat itu dan kembali diam. Dia masih belum bisa kalau harus menjalin hubungan, apalagi atas dasar perjodohan.Di jam makan siang, Reza sudah disiapkan pakaian semi formal. Dia mengenakan celana hitam, sepatu kerja, dan juga kemeja hitam lengan panjang yang sebenarnya lengannya dia gulung sampai siku lengan."Kamu benar-benar tampan, Tuan Muda.""Aku tahu itu Dani, jadi kamu mau jadi sopir atau aku pergi sendiri? Jangan memata-matai aku, lebih baik kamu ikut saja!" ucap Reza yang dia sudah tahu kalau Dani tak akan mungkin membiarkannya pergi sendiri.Dani langsung tersenyum dan mereka pun pergi bersama, ke restoran yang sudah Nadia tentukan. Kebetulan saat tiba, meja itu masih kosong, yang mana Reza harus menunggu Nadia datang.Rez