"Bagaimana Tuan Muda, hanya kencan buta saja. Kalau Anda tidak ingin melanjutkannya pun tak apa, tapi tolong temui Nona Nadia di restoran ini," ucap Dani yang memberikan alamat restoran pada Reza.Ini bukan pilihan, melainkan sebuah keharusan. Reza melirik alamat itu dan kembali diam. Dia masih belum bisa kalau harus menjalin hubungan, apalagi atas dasar perjodohan.Di jam makan siang, Reza sudah disiapkan pakaian semi formal. Dia mengenakan celana hitam, sepatu kerja, dan juga kemeja hitam lengan panjang yang sebenarnya lengannya dia gulung sampai siku lengan."Kamu benar-benar tampan, Tuan Muda.""Aku tahu itu Dani, jadi kamu mau jadi sopir atau aku pergi sendiri? Jangan memata-matai aku, lebih baik kamu ikut saja!" ucap Reza yang dia sudah tahu kalau Dani tak akan mungkin membiarkannya pergi sendiri.Dani langsung tersenyum dan mereka pun pergi bersama, ke restoran yang sudah Nadia tentukan. Kebetulan saat tiba, meja itu masih kosong, yang mana Reza harus menunggu Nadia datang.Rez
Dani dan Reza kini tengah membungkuk di balik salah satu mobil yang terparkir. Dani berjalan lebih dulu ke gudang, kemudian dia menyapa penjaga di sana dengan senyuman. "Selamat malam," sapa Dani sembari mengangguk memberi hormat. Namun, saat sosok penjaga itu hendak merespon, Dani dengan cepat memukul rahangnya yang membuat penjaga gudang langsung terjengkang. Dia menyeret tubuhnya dan membawanya ke satu sisi. Dani dengan cepat memberi sinyal dengan menghubungi Reza, menandakan kalau di dalam sudah aman dan waktunya Reza bergerak. Tak lama Reza datang dan melihat penjaga gudang sudah terkapar di bawah. "Ganti pakaiannya, Tuan Muda!""Sudah kubilang jangan panggil Tuan Muda!" "Tapi!" "Tidak ada tapi-tapi. Atau kamu bisa memanggilku Kakak. bukankah aku satu tahun lebih tua darimu." Dani hanya tersenyum simpul sambil memanggil "kakak!" Reza pun tersenyum, lalu menepuk bahu Dani sembari mengganti pakaiannya menjadi si penjaga gudang, sementara Dani langsung menyeretnya ke sisi la
“Jadi, akan dikirim ke mana barang itu?” tanya Reza dengan suara rendah, tetapi penuh tekanan. Dia menatap tajam ketiga pria yang tengah duduk di hadapan. Berusaha mengintimidasi orang-orang itu guna mendapatkan sebuah pengakuan untuk sesuatu yang menjadi kecurigaan. Namun, tak ada sedikit pun jawaban yang keluar. Dua sopir dan satu kernet itu masih memilih bungkam. Dani yang melihat hal tersebut semakin dibuat geram. Pasalnya ketiga orang itu tidak menunjukan gelagat yang baik untuk bisa diajak kerja sama. “Sebaiknya kalian mengaku jika tak mau urusan ini menjadi panjang,” ucap Dani yang sudah merasa tidak sabar. Pasalnya bukti yang memberatkan mereka sudah ada, didapatkan Dani selama masa pengintaian. Tinggal butuh pengakuan dan bukti pengiriman, maka semuanya akan benar-benar terang. Akan tetapi, seperti yang terjadi sebelumnya. Jawaban itu tak kunjung didapatkan karena sopir dan kernet tersebut masih tidak mau bersuara. Sampai akhirnya, Dani melakukan sedikit gertakan dengan me
Pegawai mall Anggrek sudah sibuk sejak pagi. Berita tentang kedatangan bos besar telah sampai kepada para staf dan mereka tengah mempersiapkan semuanya. Di akhir persiapan, semua pegawai berdiri di kanan dan kiri pintu masuk untuk menyambut kedatangan Eyang Wiryo. Sesuai jadwal, apa yang ditunggu akhirnya datang. Tak terkecuali Reza yang akan menjadi pemeran utama untuk acara hari ini. Namun, dia datang terpisah karena mobil yang ditumpangi terjebak sedikit lebih lama di lampu merah. Sambil menunggu, Eyang Wiryo ditemani beberapa ajudannya berkeliling untuk melihat-lihat. Di sisi lain, Reza sudah terlihat di parkiran dan mulai memasuki area dalam bangunan mall. Tepat di pintu masuk, dia bertemu dengan Bella.Bella ternganga untuk beberapa saat melihat penampilan Reza yang tidak seperti biasanya. Setelan jas abu yang dipadukan dengan sepatu hitam sangat cocok dan membuat pria itu terlihat tampan. “Astaga, aku hampir tidak bisa mengenali kamu dengan pakaian ini,” ucap Bella sambil men
Reza menanyakan keadaan Bella pada Dani dan meminta asistennya tersebut untuk membawa Bella ke ruangannya karena ada sesuatu yang harus dibicarakan. Tanpa banyak bertanya, Dani mengiyakan permintaan Reza kemudian pamit untuk menemui Bella dan membawa gadis itu ke hadapan Reza. “Bos ingin bertemu denganmu, ikut aku ke ruangannya,” ucap Dani begitu dia bertemu dengan Bella. Mendengar itu, Bella merasa takut. Dia khawatir Raza akan marah dan membuat dirinya kehilangan pekerjaan. Namun, tak punya kuasa juga untuk menolak sehingga pada akhirnya mau tidak mau Bella tetap mengikuti langkah Dani. Sesampainya di ruangan Reza, Dani mempersilakan dan pamit untuk menunggu di luar. Membiarkan Reza dan Bella berbicara secara langsung tanpa pihak ketiga. Sementara itu, Bella terus menarik napas dan mengembusnya dengan pelan guna menyembunyikan kegugupan. “Duduklah,” ucap Reza seraya mengulurkan tangan, mempersilakan. “Emh, eh, i-iya.” Bella merespon dengan canggung. Pikiran dan hatinya dipenuhi
Seseorang mengetuk pintu ruang kerja di mana Reza berada. “Masuk.” Reza menyahut. Tak lama, pintu terbuka dan memperlihatkan Dani beserta satu orang pria lainnya berdiri di ambang pintu. Reza melirik ke arah mereka kemudian mengangguk. Dani mempersilahkan pria itu masuk dan pamit untuk melakukan pekerjaan yang lain. “Selamat datang, duduklah,” ucap Reza menyapa. Pria yang tak lain adalah Candra itu menanggapi sapaan Reza dengan dingin. Dia duduk di sofa tamu setelah menarik kedua ujung jasnya dengan penuh keangkuhan. Sementara Reza hanya menatap itu dengan senyum. “Aku yakin kamu sudah tahu tujuanku datang ke sini,” ucap Candra tanpa basa-basi. “Tentu saja. Selama ini kita tidak pernah saling sapa atau bermain bersama karena kesibukan masing-masing. Dan aku senang karena kamu mau menemuiku di saat kamu sedang berada di sini. Sungguh, aku merasa terhormat.” Reza berucap dengan nada sarkas yang terlihat jelas. Candra membuang napas kasar, dia mengedarkan pandangan ke seluruh ruan
"Via, kamu kenapa, Nak?" Suara serak itu membuyarkan lamunan Via.Seketika Via langsung melirik dan tersenyum pada sosok wanita yang tengah duduk di kursi roda. Tatapan penuh rasa khawatir itu membuat Via langsung tersenyum, sekadar mengurangi rasa cemas ibunya. Via memegang tangan ibunya dan kembali menatapnya dengan tersenyum. "Aku gak apa-apa, Bu. Ibu sudah bosan? Mau kembali ke tempat tidur atau jalan-jalan?" tanyanya.Ibunya Via menggeleng, kemudian menunjuk tempat tidur di mana dia memilih untuk beristirahat. Via langsung mendorong kursi roda dan membantu ibunya untuk beristirahat.Via menghela napas, pikirannya saat ini tengah kusut. Dia harus merawat ibunya di panti jompo, sementara dirinya sendiri tidak memiliki pekerjaan. Di ibu kota mencari pekerjaan sangatlah sulit. Walau dia lulusan terbaik, tetap saja masuk ke sebuah perusahaan atau mendapatkan pekerjaan biasa pun akan sulit di era sekarang ini.Kaki Via melangkah keluar panti jompo, dia duduk di taman sembari menatap la
"Riviya!" panggil seorang wanita berseragam hitam. Seketika Riviya tersenyum dan masuk ke dalam ruangan bersama 3 pelamar lainnya yang sebelumnya sudah masuk di dalam ruangan. Via menghentikan langkahnya, ketika melihat sosok pria yang sebelumnya ia temui-Chandra. "Riviya!" panggilan yang diabaikan gadis berambut panjang itu, hingga sang wanita berbaju hitam sebelumnya menepuk punggungnya. "Maaf!" Riviya duduk sembari kedua tangannya mengepal karena tegang. Tentu saja gadis itu sangat berharap dengan pekerjaan ini, agar bisa membiayai perawatan ibunya. Tatapan Chandra fokus menatap kecantikan Via hingga sang manager di sampingnya pun lirih memanggil Chandra beberapa kali. Beberapa kali Via selalu bisa membawa pertanyaan yang di pertanyakan oleh sang penguji. Hal itu membuat Chandra semakin kagum. "Silakan keluar dan tunggu, nanti kami akan mengumumkannya."Mereka berempat pun keluar ruangan, dan setelah keluar, Via pun ingin marah pada dirinya sendiri. "Kenapa sih aku soal bange
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak
Beberapa hari berlalu. Randi masih setia datang ke klinik untuk melaksanakan tugasnya sebagai manager. Selama itu pula, sejak pertengkaran dengan Reza, dia tak pernah mendapat atau mengirim pesan pada Via. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, Randi kembali mengecek ponsel. Berharap ada pesan dari Via. Tak apa jika pesan itu berisi kemarahan atau luapan kekecewaan, Randi akan menerima. Daripada terus tanpa kabar, bahkan di klinik pun dia tak bisa bertemu karena Via belum masuk. Sejak saat itu, hari demi hari dijalani Randi dengan rasa penyesalan. Dia bahkan sampai memblokir nomor Raysa dan memutuskan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita itu. Dia juga telah memiliki rencana untuk mengundurkan diri dan pergi dari Harua. Demi apa pun, dia tak sanggup harus berhadapan dengan Via. Namun, tak ingin disebut pengecut karena pergi begitu saja. Setidaknya ada satu kali pertemuan, sebelum semua benar-benar berakhir. Di sisi lain, Raysa semakin merasa kesal. Dia benar-benar sendiri sekar
“Ada apa denganmu?” tanya Raysa. Keningnya mengkerut dan tatapannya serius memperhatikan Randi yang baru saja datang. Mereka jadi bertemu di kafe yang tak jauh dari klinik. Awalnya Randi menolak karena masih merasa marah dan tak ingin bertemu siapa pun. Namun, karena Raysa sudah sampai dan merengek akhirnya dia menuruti wanita itu. “Dari awal seharusnya aku tidak ikut campur dalam ide gilamu itu,” ketus Randi seraya membuang napas kasar. “Apa terjadi sesuatu?” “Menurutmu?” Randi membulatkan mata, menatap tajam Raysa. Sementara telunjuk kanannya menunjuk tepat pada luka di wajah. “Kamu tidak melihat ini?” “I-itu–” “Reza sudah tahu semuanya. Tak ada harapan, kacau!” Mata Raysa membesar, membulat sempurna. Rasa tenang yang di bawa sebelumnya, langsung lenyap tanpa sisa. Untuk beberapa saat, Raysa hanya bisa terdiam. “Saat kita bicara lewat telepon tadi, Reza ada di belakangku.” Raysa mengembus napas kasar, jemari menyentuh kening, dan sedikit menekannya. Dia seketika men
Tanpa berlama-lama, Reza menuruti keinginan Via. Satu botol air mineral berukuran sedang, yang tutupnya sudah dibuka, dengan segera dia berikan pada sang istri. Setelahnya barulah Reza bergegas keluar untuk memanggil perawat. Tak perlu waktu lama, Reza sudah kembali bersama dua orang perawat. Mereka menyapa Via dengan ramah, kemudian memeriksa keadaannya. “Untuk trimester awal, memang normal terjadi seperti ini. Untuk kedepannya, mungkin bisa lebih diperhatikan soal makanan apa saja yang memang tidak bisa masuk, kemudian bisa diganti dengan makanan lain,” jelas salah satu perawat. “Tapi, ini tidak berbahaya bukan?” Dua perawat itu tersenyum, “Tidak, ini normal dan biasanya berhenti sendiri ketika usia kandungan memasuki trimester dua. Untuk membantu asupan nutrisi, Ibu mungkin bisa mulai mengkonsumsi susu khusus untuk ibu hamil.” “Baik. Terima kasih, sus,” ucap Reza. Kedua perawat itu mengangguk, kemudian pamit karena Via sudah baik-baik saja sekarang. Mualnya juga sudah hilang.
Randi melepaskan tubuhnya dari pegangan dua orang karyawan yang tadi menahannya. “Ngapain masih di sini, Kerja!” bentaknya dengan tatapan tajam, menyiratkan ketidaksukaan. Beberapa karyawan yang semula berkerumun untuk membantu atau hanya sekadar ingin tahu, otomatis membubarkan diri. Memilih untuk tahu diri, daripada kehilangan pekerjaan. Pura-pura untuk tidak tahu dan tak membahas kejadian sebelumnya. Setidaknya, tidak di hadapan Randi. Setelah memberikan perintah, Randi bergegas ke ruang kerjanya. Di sana, dia mengaktifkan kamera ponsel untuk memeriksa keadaan wajah. Ada lebam yang cukup kentara di pipi kiri, sudut bibir juga sobek sehingga memperlihatkan cairan berwarna merah yang sedikit menggumpal di sana. Randi menyeka bagian itu dengan kasar. Kemudian, dia berteriak seraya menggenggam ponselnya. Beruntung tidak sampai hancur. Keadaannya benar-benar kacau sekarang. Bukan hanya penampilan, tetapi juga pikiran. Dia mulai merasa takut dan gelisah tentang respon Via. Apalagi se
“Sebenarnya apa saja yang kamu yang kerjakan?” Raysa langsung membentak Randi begitu panggilan teleponnya terjawab. “Pekerjaan apa?” Randi yang tidak tahu menahu soal kekesalan Raysa tentu saja merasa bingung dan terkejut. Raysa mengambil napas dalam, karena sebenarnya Randi tak tahu menahu tentang apa yang dia bicarakan dengan Reza semalam. Gengsi terlalu kuat, Raysa belum mau mengakui kekalahan. Setidaknya untuk sekarang. “Kamu sudah mengirim fotoku dengan Reza semalam? Sudah membuat Via cemburu?” Randi sempat terdiam sejenak, sebelum akhirnya me jawab pertanyaan Raysa. “Aku sudah melakukannya. Namun, belum ada balasan dari Via. Pesannya juga baru dilihat pagi ini dan dia belum datang. Ada apa, kenapa kamu terdengar sangat kesal?” Helaan napas kasar terdengar di telinga Randi. Pertanda bahwa lawan bicaranya memang sedang dalam kondisi yang tidak baik. “Rencanaku soal Reza tidak berjalan mulus. Bahkan dia mulai curiga kalau kecelakaan itu hanya sebuah sandiwara. Bagian dari renca