Dani akhirnya menemukan bukti kuat mengenai penyelewengan dana besar-besaran yang melibatkan Chandra dan Raysa. Setiap kali ia memeriksa catatan transaksi dan faktur pembelian, angka-angka yang tidak wajar semakin jelas. Pembelian bahan baku fiktif dan pengalihan dana ke rekening pribadi Raysa menjadi bukti krusial. Ini bukan hanya skema biasa, tapi rencana yang sudah dijalankan sejak lama oleh Chandra, dan Raysa terlibat langsung sebagai eksekutornya.Setelah mengumpulkan bukti yang cukup, Dani segera melapor ke Reza. Reza, yang sudah mencium adanya penyelewengan, merasa lega sekaligus murka. Mereka segera memutuskan untuk menggelar rapat dengan seluruh pemegang saham guna membahas masalah ini secara terbuka. Namun, Reza tahu bahwa ini bukan hanya tentang uang, tapi tentang reputasi keluarga dan posisinya di perusahaan. Chandra dan Raysa telah bermain licik di belakangnya, dan dia tahu mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan.Sementara itu, Pak Bima, paman Reza, sudah mendengar t
Pak Bima duduk di kantornya dengan tatapan licik. Dia baru saja menerima kabar dari informannya yang membuatnya tersenyum puas. Fakta bahwa Reza pernah menikah dengan Raysa memberinya peluang besar untuk memojokkan keponakannya.“Kau pikir bisa lolos dari ini, Reza? Masa lalumu akan menghancurkanmu,” gumamnya sambil mengerutkan dahi, memikirkan langkah berikutnya.Dia pun memanggil Chandra ke kantornya. “Kita akan mainkan ini dengan halus, Chandra. Sebarkan rumor tentang Reza yang menggelapkan uang perusahaan Raysa saat mereka masih menikah. Pastikan semua pemegang saham tahu, dan biarkan mereka mempertanyakan integritas Reza.”Chandra tersentak ketika mendengar bahwa Raysa adalah mantan istri dari sepupunya. "Oh My God, jadi selama ini Reza suami Raysa!" batin Chandra kesal. Chandra ragu sejenak, tetapi tahu bahwa dia tidak bisa menolak perintah ayahnya. “Apa ini tidak terlalu berlebihan, Pa?”Pak Bima tersenyum dingin. “Tidak ada yang berlebihan ketika kita bicara soal kekuasaan, C
Setelah skandal tentang dirinya dipublikasikan, Raysa merasa hidupnya hancur. Semua mata memandangnya dengan tuduhan, seolah seluruh dunia menyalahkannya. Kemarahan membuncah di dalam dirinya, dan satu-satunya orang yang bisa ia pikirkan adalah Chandra.Raysa segera menuju rumah Chandra dengan tekad bulat. Begitu sampai di sana, tanpa basa-basi, dia langsung mengetuk pintu dengan keras. "Chandra! Buka pintunya!" serunya dengan nada tegas.Tak lama, Chandra membuka pintu dengan wajah penuh kejengkelan. "Apa lagi sekarang, Raysa? Bukankah sudah cukup masalah yang kamu buat?""Masalah? Kamu mau bicara soal masalah?" Raysa menatapnya dengan tajam. "Kamu pikir aku yang membuat semua ini? Pak Bima menggunakan aku sebagai kambing hitam, dan kamu duduk tenang seolah tidak terlibat apa pun!"Chandra menghela napas panjang dan dengan kasar berkata, "Dengar, Raysa. Aku tidak ada hubungannya dengan ini. Kamu yang terlibat, jadi jangan coba-coba menyeretku ke dalamnya."Raysa, yang sudah sangat te
Pagi itu, saat Reza baru saja terbangun di kursi ruang rawat Raysa, terdengar suara berita dari TV di ruangan sebelah. Suara pembawa berita yang lantang dan jelas membuat Reza terperangah."Berita mengejutkan datang dari salah satu perusahaan skincare terbesar. Mantan suami dari Raysa, terlihat di rumah sakit di paviliun kandungan, di mana Raysa dirawat setelah mengalami keguguran. Dugaan kuat bahwa mereka masih menjalin hubungan mesra meski sudah bercerai. Bahkan kabarnya, kehamilan Raysa adalah hasil dari hubungan gelap tersebut!"Reza tersentak. Raysa, yang masih lemah di tempat tidur, mengangkat kepalanya pelan, mencoba memahami situasi. Tatapan mereka bertemu, dan seketika wajah Raysa berubah pucat. "Reza... ini semua salah... ini fitnah," katanya dengan suara bergetar.Reza segera berdiri, membuka pintu ruangan untuk memeriksa situasi di luar. Dia tahu ini tidak akan berakhir baik. Beberapa perawat dan pasien sudah mulai bergosip tentang berita tersebut. Wajah-wajah penasaran mu
Reza pulang ke rumah dengan wajah letih, berharap bisa langsung beristirahat setelah semalam penuh di rumah sakit. Namun, begitu membuka pintu, suasana di dalam rumah terasa aneh. Tidak ada sambutan hangat dari Via, hanya kesunyian yang membuatnya merasa ada sesuatu yang salah.Via duduk di ruang tamu dengan wajah masam, tangan terlipat di dada, matanya menatap Reza tajam. Bukannya mendekati atau berbicara, dia malah diam dengan ekspresi marah yang sangat kentara.Reza, yang bingung melihat sikap Via, mencoba mendekat dengan hati-hati. “Hei, aku baru pulang,” katanya pelan, berharap mendapat sedikit pengertian. Tapi, Via tetap diam, tak menggerakkan otot wajah sedikit pun.Lisa, yang entah dari mana tiba-tiba muncul, dengan santai menyodok situasi. “Oh, Mbak Via lagi nggak mood ya? Padahal, Mas Reza kan baru pulang dari… ah, ya, rumah sakit. Sama Mbak Raysa ya, Mas? Romantis banget berduaan di rumah sakit bagian kandungan.” Lisa menambahkan dengan nada jahil.Via menoleh dengan cepat
Eyang Wiryo merasa hatinya tidak tenang setelah mendengar berita tentang Raysa dan Reza di televisi. Pikirannya berputar, khawatir rumor yang tersebar akan semakin merusak nama baik cucunya, Reza. Eyang Wiryo tahu bahwa tindakan cepat harus diambil. Maka, ia pun segera memutuskan untuk menemui Nadia di tempat kerjanya.Setibanya di mal yang dimiliki oleh Nadia, Eyang Wiryo langsung menuju lantai utama tempat Nadia biasanya bekerja. Penjaga toko dan staf mal menghormati kehadiran wanita tua yang penuh wibawa ini, membimbingnya langsung ke kantor Nadia.Ketika Nadia melihat Eyang Wiryo masuk, dia segera berdiri dari kursinya, tersenyum anggun seperti biasanya. “Eyang, apa yang membawa Eyang ke sini? Ada yang bisa aku bantu?” Nadia menyapa dengan nada sopan dan lembut.Eyang Wiryo mengambil kursi di hadapan Nadia dan duduk dengan anggun, meskipun raut wajahnya sedikit serius. “Nadia, Eyang ke sini karena ada yang penting ingin Eyang bicarakan,” kata Eyang Wiryo.Nadia duduk kembali dan m
Via sedang sibuk melayani pelanggan di konternya ketika Nadia, dengan penampilan anggun seperti biasa, datang menghampirinya. Nadia menunggu dengan sabar, sesekali tersenyum kepada pelanggan yang lewat, hingga akhirnya Via selesai dengan tugasnya."Via," sapa Nadia lembut. "Kamu sibuk sekali. Kalau ada waktu, bagaimana kalau kita makan siang bersama?"Via ragu sejenak. Tawaran itu terdengar menarik, namun ia merasa sedikit canggung mengingat Nadia pernah dekat dengan Reza. Tetapi, Nadia tampak tulus dan tidak ada kesan negatif dari cara bicaranya. Setelah berpikir sejenak, Via pun mengangguk."Baiklah, Mbak Nadia. Saya akan ikut," jawab Via dengan senyum kecil.Nadia tersenyum senang. "Terima kasih, Via. Sampai nanti ya. Aku sudah menyiapkan tempat yang nyaman." Setelah memastikan janji makan siang mereka, Nadia melangkah pergi, namun di balik itu, ia sudah mengatur sesuatu yang lebih besar. Malam nanti, sesuai dengan instruksi dari Eyang Wiryo, Nadia akan menggelar jumpa pers dengan
Bella, yang baru saja turun dari lantai 3, merasa suasana hari itu lebih sunyi dan berbeda dari biasanya. Ketika berjalan melewati Via, ia memperhatikan wajah Via yang tampak lebih banyak melamun, seperti memikirkan sesuatu yang berat."Eh, Via, kamu kenapa? Kok dari tadi kayak nggak fokus gitu," Bella bertanya, mendekati Via yang sedang duduk dengan tatapan kosong.Via menoleh sekilas dan hanya memberikan jawaban singkat, "Nggak apa-apa, Bell."Namun, Bella tahu betul bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Via biasanya ceria, tapi hari ini tampak sangat berbeda. Mencoba menggali lebih dalam, Bella duduk di sampingnya."Kamu serius nggak apa-apa? Aku denger tadi kayak ada pembicaraan tentang jumpa pers, katanya malam ini. Apa ada hubungannya sama tunangan Nadia?" Bella bertanya lebih hati-hati, berharap Via mau terbuka.Via terdiam sejenak, tatapannya jatuh ke lantai. "Iya, ada jumpa pers nanti malam. Dan... aku gak tahu mau bahas apa mereka," jawabnya pelan, dengan nada yang terdengar a
Pagi itu, Reza duduk di meja makan sambil membaca laporan pekerjaan di tablet-nya. Via, dengan perut yang sudah membesar, tampak sibuk memotong buah di dapur. Meski kehamilannya sudah memasuki trimester terakhir, ia tetap berusaha aktif, meski langkahnya mulai melambat.“Sayang, duduk dulu, istirahat,” kata Reza tanpa menoleh dari tablet.Via menoleh dengan senyum tipis. “Sebentar lagi, Mas. Aku mau siapkan jus dulu.”Reza menurunkan tablet dan menatap Via dengan serius. “Aku bisa bikin jus sendiri. Kamu tuh harus lebih banyak istirahat.”Via mengangkat alis. “Mas, aku masih bisa gerak, kok. Enggak usah khawatir berlebihan.”Reza mendesah, tapi memutuskan untuk tidak memperdebatkannya. Setelah Via selesai dan duduk di depannya, ia membuka pembicaraan yang sejak tadi ada di pikirannya.“Sayang, aku mau ngomong soal Mama,” kata Reza hati-hati.Via menghentikan gerakannya, menatap Reza dengan ekspresi penasaran. “Kenapa dengan Mama?”Reza mengusap dagunya, mencari kata yang tepat. “Aku p
Reza dan Dani segera keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan mulai menyusuri jalanan perumahan. Reza mengemudi dengan wajah tegang, sementara Dani mencoba mencairkan suasana.“Pak, apa Ibu Via pernah cerita tempat favoritnya kalau lagi ingin sendiri?” tanya Dani, mencoba membantu.Reza berpikir sejenak. “Dia suka pergi ke taman kota, tempat dia sering jalan-jalan waktu masih kecil. Tapi...” Reza melirik jam di dashboard. “Jam segini? Aku enggak yakin.”Dani mengangguk. “Kita coba saja, Pak. Siapa tahu benar.”Mereka menuju taman kota. Saat tiba, suasana cukup sepi. Lampu taman redup menerangi jalan setapak, tetapi tidak ada tanda-tanda Via. Reza turun dari mobil, berjalan cepat memeriksa setiap sudut taman. Dani mengikutinya dengan senter di tangan.“Via!” panggil Reza beberapa kali, suaranya menggema di tengah malam.Tiba-tiba, Dani menunjuk ke arah bangku taman di dekat danau kecil. “Pak, itu... seperti ada seseorang.”Reza langsung berlari mendekat, dan benar saja, Via duduk di sana
Di ruang kerja yang tenang, Reza duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Dani, asistennya, berdiri di dekat meja dengan secangkir kopi untuk Reza. Ekspresi penasaran terlihat jelas di wajah Dani."Pak, Anda kelihatan sangat lelah. Ada masalah?" tanya Dani sambil menyerahkan kopi.Reza mendesah panjang, menatap Dani sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Ini soal Via. Sejak hamil, tingkah lakunya semakin manja. Kadang saya tidak tahu harus tertawa atau menangis."Dani menahan senyum. "Apa yang dilakukan Bu Via, Pak? Hingga membuat Anda seperti ini."Reza menyandarkan tubuhnya ke sofa, seolah mencari dukungan. "Tengah malam, Dani. Dia membangunkan saya karena ingin martabak rasa pandan. Jam dua dini hari, bayangkan itu. Saya harus keliling kota mencari penjual martabak yang masih buka."Dani mengerutkan alis, mencoba serius, tapi sudut bibirnya hampir terangkat. "Dan Bapak menemukannya?""Setelah hampir satu jam berkeliling, akhirnya ketemu. Tapi begitu saya pulang dan menyerahkannya, ta
Via, yang awalnya tampak bingung dengan kedatangan Raysa dan kedua orang tuanya, berusaha tetap tenang. Diana, yang berdiri di sampingnya, hanya melirik Raysa dengan dingin. Bagaimanapun, Diana masih merasa tidak nyaman dengan sikap Raysa sebelumnya."Ada apa kalian datang ke sini?" tanya Via lembut, meski hatinya sedikit gelisah. Ia tak ingin memicu masalah baru setelah semua yang terjadi.Raysa menunduk sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap Via dengan tatapan penuh penyesalan. "Aku ingin meminta maaf, Via. Atas semua yang telah aku lakukan padamu dan Reza."Via tampak terkejut. Ia menatap ayah dan ibu Raysa yang mengangguk, mendukung langkah putri mereka.Diana, meskipun terlihat enggan, akhirnya berbicara, "Apa kamu benar-benar tulus meminta maaf, Raysa? Atau ini hanya taktik baru?"Raysa menelan ludah, menyadari bahwa ia memang harus membuktikan niatnya. "Aku tulus, Bu Diana. Aku sadar kesalahanku. Aku ingin memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi hidup dengan dendam
Sembab masih terlihat di wajah Raysa. Dia mengaduk jus jeruk di hadapan dengan hampa, pikirannya masih berkelana pada langkah-langkah yang mungkin bisa dia tempuh untuk membalas perlakuan Reza dan Via. Sakit hatinya belum reda, dia belum bisa menerima. Itu bukanlah akhir yang dia inginkan. Dua jam yang lalu, dia memutuskan untuk keluar dari rumah, setelah beberapa hari tak bersentuhan dengan udara di luar. Dia ingin mencari inspirasi, bukan untuk memulihkan usaha, tetapi untuk membalas luka yang ada. Penyakit hati memang susah sembuhnya. Kafe yang biasa didatangi oleh kebanyakan anak muda itu, terlihat tenang, dan ramai seperti biasanya. Dari luar, terlihat sangat menarik karena desainnya yang nyentrik tapi tidak norak. Ala-ala tahun sembilan puluhan, yang jadinya terlihat unik dan elegan. Bima yang kebetulan melintas di sana pun ikut tertarik. Dia memutuskan untuk singgah karena memang merasa haus setelah cukup lama berkendara. Aru Malaca dan Harua memiliki jarak yang lumayan. Apa
Hal yang paling ditakutkan oleh Randi akhirnya terjadi. Via memutuskan untuk mengakhiri kerjasamanya dan tampil di depan. Randi tak masalah dengan itu, karena sejak awal, dia memang ingin Via yang tampil di depan mewakili perusahaan. Namun, yang jadi penyesalan adalah dia yang tak bisa menemani Via lagi. “Aku mengerti dan aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sendiri memang berniat untuk mengundurkan diri. Via sungguh, rasanya aku sudah tidak punya muka untuk bertemu denganmu. Aku …” Randi menjeda, mengambil napas lumayan panjang untuk memenangkan perasaan. “Aku benar-benar menyesal,” lanjutnya kemudian. Suara pria itu terdengar bergetar. “Demi apa pun, Randi. Sebenarnya aku sangat ingin memarahimu. Namun, aku juga tak bisa sepenuhnya membencimu. Terima kasih sudah mencintaiku sedalam itu, menemani, dan juga selalu mendukungku selama ini.” “Ya, jadi inilah akhirnya. Semoga bahagia.” Randi mengalihkan pandangan, helaan napasnya sangat berat. Mata pria itu dipenuhi oleh embun yang
Makan malam terasa lebih hangat dari biasanya. Kehadiran Eyang Wiryo dan Candra di meja makan memberi warna tersendiri. Diana juga lebih banyak tersenyum karena ditemani oleh Eyang Wiryo. Hanya saja, Candra terlihat berbeda. Dia seolah larut dalam pikirannya sendiri. Tawa dan canda yang dilontarkan, tak sejalan dengan ekspresi wajahnya. “Kamu sakit?” tanya Reza. Setelah beberapa waktu, akhirnya dia menyadari jika ada yang salah dengan saudaranya. Candra terkesiap, dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab. “A-aku, hanya sedikit lelah.” “Kalau begitu istirahatlah. Namun, habiskan dulu makananmu, biar ada tenaga.” Candra mengangguk, dia kembali pada piring miliknya dan menyendok pelan makanan di sana. Memaksakan diri untuk segera menghabiskan menu di sana dan pergi. Setidaknya, dia berpikir sendiri mungkin akan lebih baik untuknya saat ini. Selesai makan malam, Candra pamit ke kamar untuk istirahat. Sementara yang lain, kecuali Lisa, berkumpul di ruang keluarga sambil berbagi
Senja mulai menampakkan diri, tanda bahwa aktivitas kantor akan segera berakhir. Beberapa karyawan bahkan sudah ada yang pulang karena memang sudah waktunya.“Terima kasih untuk hari ini, Dani. Kamu melakukannya dengan sangat baik,” ucap Reza sebelum dirinya memutuskan untuk pulang. “Sama-sama, Tuan. Saya hanya melakukan bagian saya. Selebihnya, itu karena memang, Tuan sendiri yang sangat kompeten.” Reza menepuk pundak Dani, “Terima kasih sekali lagi. Sekarang pulanglah.” Dani mengangguk, kemudian pamit. Reza sendiri langsung menuju area parkir dan bergegas. “Aku pulang!” Reza membuka pintu rumah dan mengabarkan kepulangannya dengan gembira. Matanya berbinar, penuh kepuasan.Tanpa menunggu sambutan, Reza masuk dan mencari Via untuk berbagi kebahagiaan. Namun, alih-alih Via, dia juga menemukan Eyang Wiryo dan Candra. Mereka sedang duduk di ruang tamu, sambil mengobrol. “Kapan kalian tiba?” tanya Reza. Setelah menyalami tangan neneknya dan duduk di sebelah Via. “Belum lama. Bagaim
Raysa benar-benar dibuat mati kutu. Penolakan terang-terangan yang dilakukan Reza, berhasil merobohkan harga dirinya. “Kalian berdua memang tidak berguna sejak awal. Pasangan serasi, penghancur!” teriak Raysa dengan tawa sumbang. Menatap tajam Reza dan Via secara bergantian, kemudian keluar dari rumah itu dengan segala rasa kesal dan juga penyesalan yang mendalam. “Dasar bodoh, Raysa bodoh!” katanya tak henti merutuki diri sendiri. Bahkan setelah sampai di mobil pun, dia masih melakukannya sambil menangis. Sementara itu, Reza dan Via terjebak dalam hening yang janggal. Keduanya masih larut dalam perasaan mengganjal di hati masing-masing. “Via, maaf jika aku terlalu kasar pada Raysa,” ucap Reza, memulai kembali pembicaraan. “Tak perlu minta maaf. Karena nyatanya itu adalah apa yang kamu rasakan terhadap dia. Aku tidak tahu apa saja yang sudah dia lakukan padamu, tetapi itu pasti cukup menyakitkan. Tak apa, semoga itu membuatnya sadar.”Meski sedikit terkejut dengan apa yang dikatak